Mag-log in“Dua garis.” Kanaya mematung melihat alat pengecek kehamilan di tangannya. “Nggak mungkin!” matanya tak berkedip melihat alat itu, dunia seolah berhenti. Langit seakan runtuh.
“NGGAK! Ini nggak mungkin!” ucapnya tertahan, tenggorokan Kanaya seakan tercekik.
Bagi seseorang, apa yang sedang Kanaya alami sekarang bisa jadi kabar bahagia. Tapi, bagi Kanaya… ini adalah kabar buruk.
Kepalanya merasa pusing dalam sekejap. Kanaya sudah terlambat menstruasi beberapa minggu. Karena itu dia membeli alat tes kehamilan sepulang kerja di minimarket kemarin malam.
Wanita yang berdiri di depan meja rias di kamarnya membeku sambil melihat alat tes kehamilan itu. Bahunya melorot, ada perasaan yang tak bisa dia jabarkan.
Setelah hening beberapa menit. Kanaya menghela napasnya. “Aku akan mencoba mengetes lagi. Bisa jadi ini salah, ya… test pack ini pasti salah.”
Buru-buru dia pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Dia tak membeli satu buah seperti sebelumnya. Tapi semua jenis alat tes kehamilan di sana.
Mulai dari harga puluhan ribu sampai ratusan ribu. Kanaya membeli semuanya.
Sesampainya di rumah dia mencoba semuanya sekaligus. Dan hasilnya… Tetap sama. Garis dua, positive, pregnant, hamil.
Srakkk!!!
Kanaya melorot jatuh ke lantai. Kakinya tak sanggup lagi menopang beban tubuhnya. “Gimana ini…?” gumamnya lirih tak berdaya.
Tubuhnya mulai gemetar. Di dalam kamar kos berukuran sedang itu, Kanaya tidak tahu harus bagaimana.
Ternyata hubungan one night stand bersama Adrian sebulan yang lalu akan berakhir seperti ini. Kanaya menutup matanya dengan penuh penyesalan. Kenapa dia bisa gegabah seperti ini.
Wanita berdiam diri di posisinya hampir lima belas menit, sampai akhirnya dia beranjak berdiri. Langkahnya yang berat berjalan menuju ranjang.
Kanaya menghela napas berat. “Aku harus ke rumah sakit untuk memeriksakannya.”
Dia meraih ponselnya yang tergeletak di meja nakas samping ranjangnya. Kanaya mengusap wajahnya sekali lagi. “Aku bisa mati kalau ibu tahu,” ucapnya sambil membayangkan wajah ibunya di kampung halaman.
“Aku harus mengatasi ini sendiri.” Kanaya mengangguk setuju dengan usulannya sendiri.
Tapi sebelum pergi ke rumah sakit, Kanaya harus meminta izin cuti di kantornya.
Karena itulah Kanaya menelpon Nathan, selaku atasannya. Sebenarnya dia malas sekali berbicara dengan pria itu. Tapi, apa boleh buat, dia tak punya pilihan.
“Halo,” suara Nathan langsung terdengar saat dering ketiga telepon Kanaya.
“Halo Pak Nathan. Saya Kanaya.”
“Iya Nay, aku tahu ini kamu. Aku tidak menghapus nomormu. Ada apa?”
Apa-apaan dengan kalimat tidak penting itu? bisik Kinara dalam hati.
“Saya mau izin tidak masuk kerja, Pak.”
“Kenapa? Apa kamu sakit?”
Kanaya terdiam sesaat, apa yang harus dia katakan? Tidak mungkin dia bilang ingin memeriksakan kandungan, kan.
“Nay?” Nathan memanggil Kanaya dari telepon karena wanita itu tiba-tiba diam saja.
“Iya, Pak. Saya sedikit demam. Jadi… saya tidak bisa berangkat bekerja hari ini,” sahut Kanaya dengan nada terbata-bata.
“Kalau begitu, istirahat saja. Apa demamnya parah? Aku akan mengantarmu ke rumah sakit sekarang. Tunggu—”
“Ti-tidak perlu Pak, saya bisa pergi ke rumah sakit sendiri. Saya menelpon saya untuk izin tidak masuk kerja hari ini. Anda tidak perlu sampai mengantar saya.”
Siapa juga yang mau diantar dengan mantan kekasih. Nathan ini lama-lama mulai tidak mengerti posisinya.
“Karena anda sudah mengizinkan, saya akhiri teleponnya ya, Pak. Selamat pagi.”
Tuttt
Panggilan terputus.
Kanaya lega, setidaknya dia punya waktu untuk bersiap ke rumah sakit. Sedangkan, Nathan merasa sangat khawatir dengan keadaan Kanaya.
“Apa dia bisa ke rumah sakit sendiri? Dia masih tinggal sendiri, dan tidak memiliki teman dekat,” ucap Nathan mencemaskan Kanaya.
***
Kanaya sengaja memilih rumah sakit yang jauh dari kos dan kantornya. Dia rela naik busway selama satu jam lebih hanya untuk ke rumah sakit elit ini. Berharap tidak akan ada mengenalinya.
Wanita itu menghela napas panjang sambil melihat ke sekeliling. Awalnya dia tenang, sampai seseorang muncul dari lift ruang tunggu.
“Adrian?” gumamnya melihat pria yang keluar dari dalam lift bersama seorang wanita. Spontan, dia langsung bersembunyi di belakang sofa ruang tunggu.
Kanaya memejamkan matanya sambil berjongkok di belakang sofa. “Aku paling benci situasi seperti ini… Kenapa kau harus sembunyi, Kanaya!” umpatnya pada diri sendiri.
Kanaya merasa jadi wanita bodoh sekarang.
Dia lebih mirip sebagai wanita simpanan yang takut ketahuan pasangan sah. Padahal, Adrian mungkin tidak peduli juga dengan dirinya.
Tiba-tiba saja Kanaya merasa sedih.
Saat melongokan kepalanya, Kanaya melihat Adrian dan tunangannya sedang berdiri di meja administrasi. “Kenapa mereka kemari?” tanyanya dalam hati.
Apa mungkin, Adrian dan tunangannya… Akan memiliki bayi? Mengingat betapa bebasnya Adrian, tidak mungkin dia tidak melakukannya dengan tunangannya, kan.
Kanaya kembali kecewa, sekarang hanya ada dirinya dan… Kanaya menunduk melihat perutnya yang masih rata.
“Nona Kanaya,” panggil suster dari depan ruang pemeriksaan.
Kanaya terlonjak kaget saat namanya dipanggil. Cepat-cepat dia berdiri dan berjalan ke arah ruangan. Tak ingin sampai dilihat Adrian.
Wanita itu masuk ke ruang pemeriksaan dengan terburu-buru. Namun, tanpa dia tahu Adrian melirik ke arah Kanaya, sayangnya dia hanya melihat punggung wanita itu dan menghilang dalam sedetik di balik pintu.
Adrian mengernyit. “Kanaya?” gumamnya lirih. Kenapa dia ada di sini? batinnya.
Tapi belum sempat memikirkan banyak hal tentang Kanaya. Lengannya sudah ditarik Reina. “Kak, ayo masuk!” katanya sambil menarik Adrian.
Adrian mengangguk, tapi matanya masih melihat ke ruangan dimana Kanaya tadi masuk. Dia melihat tanda di pintu, ruang pemeriksaan kandungan.
Apa mungkin?
***
Hening. Tidak ada yang bersuara antara Kanaya ataupun Adrian. Kanaya lebih banyak diam dan menunduk di kursinya. Sedangkan, Adrian fokus menyetir. Mereka sedang perjalanan pulang, Adrian mengantar Kanaya ke kosan. Lebih tepatnya memaksa untuk mengantarkan wanita itu.Jalanan macet menambah canggung suasana di dalam mobil bersama Adrian. Kanaya menahan napasnya setiap kali Adrian mengerem mobilnya. “Ehem!” Adrian berdehem. Kanaya menoleh ke arah pria di sebelahnya. Mata mereka bertemu. “Apa kamu suka mendengarkan musik?” tanya Adrian tiba-tiba.Kanaya mengangguk. “Genre musik apa yang kamu sukai?” “Oh, saya suka mendengarkan musik pop,” Kanaya tersenyum saat menjawabnya. Setelah itu Adrian memutar lagu pop dari salah satu musisi dalam negeri. Kanaya tersenyum lebih lebar karena lagu kesukaannya yang diputar. Adrian melirik singkat ke arah Kanaya yang mulai bersenandung lirih. Sudut bibir pria itu terangkat. “Syukurlah, dia menyukainya,” batin Adrian. Setengah jam berlalu, dan
Langit sudah menggelap saat Kanaya berdiri di depan gedung kantornya. Kepalanya menunduk melihat kakinya sendiri. Keadaan kantor sudah hampir sepi, hanya menyisakan beberapa karyawan yang lembur di beberapa divisi. Lobi sore itu tidak banyak orang lalu lalang. Kanaya menoleh ke kanan dan kiri mencari seseorang yang ia tunggu tak kunjung datang.“Kenapa belum datang juga?” gumamnya. Dia janji bertemu dengan Adrian jam lima tepat. Tapi ini sudah lewat setengah jam dan pria itu tidak muncul juga. Apa mungkin perkataannya tadi tentang membahas pernikahan itu bohong. Mana mungkin seorang Adrian Prakasa mau menikah dengan gadis biasa seperti Kanaya. “Apa aku terlalu jauh berharap padanya?”Sesal menjalar di hati Kanaya, dia sudah terlanjur mengatakan bahwa janin yang ada di perutnya adalah milik Adrian. Bagaimana kalau pria itu berubah pikiran? Kanaya mulai menerka-nerka kemungkinan tidak datangnya Adrian.“Aku pulang saja,” katanya menyerah menunggu pria itu. Lalu melangkahkan kakinya
Adrian terkesiap melihat ruangan miliknya dipenuhi orang-orang, padahal dia hanya memanggil Kanaya saja ke ruangannya. Tapi, kenapa ada Pak Damar, Kepala Divisi Marketing dengan seorang pria lainnya. “Kamu siapa?” tanya Adrian menatap lurus ke arah Nathan. “Saya Nathan, Pak. Ketua Tim Marketing 1, atasan langsung Kanaya. Ada apa Pak Adrian memanggil bawahan saya? Kalau dia melakukan kesalahan dalam bekerja, saya yang akan bertanggung jawab.” jelas Nathan. Nathan berpikir kalau Adrian memanggil Kanaya karena terkait pekerjaan di kantor. Kanaya sendiri masih diam di belakang, menggigit bibir bawahnya cemas. “Ada apa ya dia memanggilku? Apa ini karena dia melihatku di rumah sakit waktu itu?” gumamnya dalam hati. Wanita itu diam di belakang Nathan dan Pak Damar. Sedangkan, Adrian memiringkan kepalanya berusaha melihat Kanaya dari tempat duduknya sekarang. “Saya hanya ada urusan dengan Nona Kanaya. Tidak ada hubungannya dengan kalian. Jadi, kalian bisa keluar dari ruangan saya,” suru
Kenyataan paling menyebalkan kalau kamu masih menjadi karyawan marketing biasa adalah kamu tidak boleh mengambil cuti lebih dari dua hari. Karena itu akan membuatmu kehilangan waktu untuk mencapai target penjualan. “Eungh!!!” Kanaya menguap lebar sambil merentangkan tangannya di atas ranjang. Dengan mata yang masih mengantuk dia berusaha mengangkat tubuhnya. Baru selangkah, Kanaya merasa aneh. Ada sesuatu yang mendesak keluar dari tubuhnya. “Ugh!” desisnya pelan.Reflek Kanaya menutup mulutnya. Lalu berlari ke kamar mandi dengan setengah terhuyung.Wanita itu langsung memuntahkan seluruh isi di dalam perutnya ke dalam kloset. Dia memencet tombol flush, menutup kloset dan duduk di atasnya.Napasnya memburu, hampir seisi perutnya ia keluarkan pagi itu juga. Kepalanya juga terasa pusing seketika. Dia memijat pelipisnya sesaat untuk menghilangkannya. Setelah sedikit membaik, Kanaya berdiri di depan wastafel. Memutar kran air lalu membasuh wajahnya yang terlihat pucat. Wanita itu mem
Kanaya membeku sempurna melihat Adrian yang berdiri di depannya dengan wajah yang serius. “K-kenapa Anda ada di sini?” tanyanya dengan suara terbata. Meski tadi Kanaya sudah melihat Adrian dengan tunangannya, dia berpura-pura tidak melihat apapun. “Kamu sendiri kenapa ada di sini?” sahutnya cepat. “Apa?” Kanaya kaget sekali diberi serangan pertanyaan seperti itu. “S-saya… Di sini… karena…” dia tidak tahu harus menjawab apa. Sampai seseorang memanggil Adrian. “Kak Adrian!” Pria itu pun menoleh ke sumber suara, begitu juga Kanaya. Reina memiringkan kepalanya melihat ke arah Kanaya, wajahnya mengerut keheranan sambil berjalan mendekat. “Dia siapa?” tanyanya saat sudah di samping Adrian. “Dia, karyawan di perusahaan,” jawab Adrian. Reina mengangguk, lalu mengaitkan lengan pada Adrian. Namun, Kanaya entah kenapa merasa sedih mendengar jawaban Adrian. “Aku baginya hanya karyawan perusahaan,” gumam Kanaya dalam hatinya. Sedih rasanya. Kenangan tentang kedekatan mereka mel
Suara tangisan bayi terdengar saat Adrian dan Reina membuka pintu sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu ada sepasang suami istri dan satu wanita paruh baya di sana. Si suami sedang menggendong seorang bayi, dan istrinya masih setengah duduk di ranjang perawatan selesai melahirkan. “Adrian, kamu sudah datang, Nak?” sapa wanita paruh baya itu. Adrian tersenyum tipis. “Hai Mam, gimana keadaanmu Kak?” sahutnya sambil menyapa kakak perempuannya. “Seperti kelihatannya, aku selamat melahirkan keponakanmu.” Wanita yang berbaring tadi adalah kakak perempuan Adrian. Sheila Purnama, kakak perempuan satu-satunya Adrian. “Hai Rein, makasih ya sudah datang.” Sheila melihat ke arah wanita di sebelah adiknya. “Selamat atas kelahiran anak pertamanya Kak Sheila dan Kak Bara.” Reina memberikan sebuah kado pada Sheila. Dia melirik ke arah Bara sekilas sambil tersenyum. “Nak Reina ini, kenapa repot-repot sekali,” ujar Mama Adrian, Delina. “Nggak repot kok, Ma,” sahut Reina lalu memeluk Delina denga







