Vannia mengenakan gaun biru muda yang mewah dan elegan, memakai anting indah, highhell yang memukau, dan rambut tertata rapi dengan sempurna. Inilah diri Vannia yang akan hadir di pernikahan suaminya dengan sahabatnya. Hari ini ia akan menjadi wanita tersakiti sekaligus menjadi dirinya yang berbeda yang jauh lebih terhormat dari sebelumnya.
"Sesuai sumpahku, aku akan menjadi duri di perjalanan pertama kalian menempuh kehidupan setelah mengkhianatiku."
Vannia keluar dari kamarnya. Ia menuruti tangga dengan sangat anggun. Di bawah sana, Marisa dan Berlina yang hendak segera berangkat, terpukau melihat bagaimana cantik dan anggunnya penampilan Vannia. Tak seperti yang mereka pikirkan.
"Mau berangkat bersama dengan mobilku, Ibu, Berlina?" tawarnya dengan ramah.
Berlina langsung berdecih. "Kau menawari kami berangkat bersama dengan mobilmu? Kau pasti sudah sakit jiwa karena suamimu menikah dengan sahabatmu sendiri hari ini. Bukankah begitu?"
"Itu benar. Sadarlah, Vannia. Kau tak memiliki mobil mewah di rumah ini. Mobilmu hanyalah mobil rongsokan yang berada di paling dalam garasi rumah. Bahkan Renvier pun tak sudi untuk mengeluarkan mobil itu dari sana," timpal Marisa.
Vannia tertawa pelan. "Ya sudah jika tak mau. Aku berangkat dulu, ya. Sopirku sudah menjemputku. Aku pergi," kata Vannia seraya berjalan meninggalkan mereka berdua.
Marisa dan Berlina saling tatap keheranan. Selain merasa ada yang berbeda dari Vannia, mereka juga merasakan jikalau Vannia tak berbohong soal mobil itu.
Benar saja, mereka berdua terbelalak melihat sebuah mobil merek terkenal Rolls-Royce La Rose Noire Droptai terparkir di halaman rumah mereka. Seorang pria yang berpakaian sopir keluar dari mobil itu, lalu bergegas mengitari mobil untuk membukakan pintu mobil agar Vannia bisa masuk.
"Terima kasih, Bon," ucap Vannia seraya masuk ke dalam.
"Sama-sama, Nyonya."
Vannia duduk dengan anggun di kursi belakang seraya menoleh ke arah rumahnya. Ia tahu ibu mertua dan iparnya pasti tengah mengintip dan kebingungan dengan apa yang mereka lihat.
"Pak Bon, apa tanggapan ibu dan ayahku ketika kau menyuruhmu menjemputku dengan mobil ini?" tanya Vannia pada sopir pribadinya yang dulu.
"Nyonya dan Tuan terlihat merasa senang, Nona. Mereka berpikir Nona akan kembali ke rumah."
Vannia mengangguk paham. "Baiklah. Jalankan mobilnya," titahnya.
Berlina dan Marisa masih mengangga lebar melihat merek mobil itu. Mobil yang saat ini dinaiki Vannia adalah mobil termahal tahun ini. Bahkan mereka berdua tak memilikinya.
"Ini tidak benar, Berlina. Bagaimana bisa wanita rendahan itu memiliki mobil semewah itu?"
"Tidak mungkin, Bu. Aku yakin itu hanya mobil sewaan saja. Entah berapa banyak uang Renvier yang dia keluarkan untuk berlagak sombong dengan mobil mewah itu. Ayo, Bu, kita harus segera ke pernikahan Renvier. Kita harus mengabadikan banyak moment pernikahan Renvier dengan Anya," kata Berlina.
"Ya sudah. Mari kita berangkat!"
Gedung pernikahan yang saat ini digunakan untuk pernikahan kedua Renvier terlihat sangat meriah. Berbeda dengan pernikahan bersama Vannia dulu yang hanya dihadiri oleh sebagian kecil sahabat Renvier saja.
Akhirnya mobil yang Vannia tumpangi pun sampai di gedung pernikahan Renvier dan Anya. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan.
"Aku tak akan menjadi orang menyedihkan di acara ini. Ini pernikahan sahabatku," ucap Vannia menguatkan dirinya.
Kaki jenjang Vannia memasuki gedung pernikahan. Ia langsung disambut dengan kemewahan pernikahan tersebut. Di ujung ruangan, tampak Renvier dan Anya melakukan dansa romantis yang disaksikan oleh sebuah tamu pernikahan. Seberapa kuat dirinya membentengi diri dari rasa sakit, tetapi rasa sakit itu tetap menembus relung hatinya.
Vannia berjalan menuju tempat minuman, lalu mengambil segelas.
"Vannia, kaukah ini?"
Vannia menoleh pada seorang pria dengan setelan jas hitam dan perawakan yang tinggi berada tepat di sampingnya. Vannia ingat sekarang. Pria tampan itu adalah teman masa kecilnya ketika di Paris. Senyuman pria itulah yang mengingatkan Vannia akan pria itu.
"Zhein? Kaukah itu?"
Pria yang dipanggil Zhein oleh Vannia langsung memeluk Vannia dengan senang hati. Vannia pun membalas pelukan itu. Mereka tertawa senang sembari mengurai pelukan hangat mereka.
"Ternyata kau sungguh Vannia. Aku sudah mencarimu sejak lulus sekolah menengah atas. Tapi Ibumu mengatakan ... kau pergi dari rumah dan menikah dengan pria yang--" Ucapan Zhein terhenti begitu tak sengaja melihat Renvier di altar. Zhein terkejut melihat sosok pria itu, lalu beralih pada Vannia yang menunduk.
"Aku harap kau tidak membahasnya, Zhein. Aku tidak ingin mendengar pertanyaan apapun soal suamiku," ucap Vannia sebelum Zhein membuka suara tentang suami Vannia yang saat ini sedang melangsungkan pernikahan dengan wanita lain.
"Okei ... jadi ... mau berdansa denganku?" tawar Zhein mengulurkan tangannya di depan Vannia. "Daripada tersudut di sini, bukankah lebih baik bahagia di atas kebahagiaan mereka?"
Vannia langsung mendongkak menatap mata Zhein. Pria itu tersenyum manis yang tanpa sadar membuat Vannia juga tersenyum. Maka dengan lembut Vannia melabuhkan tangan halusnya di atas telapak tangan Zhein.
Vannia dan Zhein berdansa dengan sangat lihai. Mereka tiba-tiba teringat dengan momen mereka ketika masih kecil. Mereka pernah belajar berdansa bersama. Semua tamu undangan menatap mereka dengan decak kekaguman.
"Vannia, kau sangat cantik. Pria bodoh mana yang meninggalkan tuan putri cantik seperti dirimu?" ucap Zhein di sela kegiatan berdansa mereka. Vannia tersenyum mendengar sanjungan itu. Sejenak ia lupa dengan pemilik acara pernikahan ini.
Anya menoleh pada Renvier yang terlihat tak senang melihat pemandangan di hadapannya. Jelas sekali Renvier memperhatikan bagaimana mesranya Vannia dan Zhein berdansa. Apalagi Vannia terlihat jauh lebih cantik dari biasanya. Renvier bingung, bagaimana Vannia bisa berubah sedemikian rupa?
Usai acara pernikahan itu berakhir, Zhein mengantar Vannia ke rumahnya. Untuk pertama kalinya Zhein menginjakkan kaki di halaman rumah Vannia bersama dengan Renvier. Mereka tak langsung masuk, tetapi berdiri di depan mobil.
"Mengapa tak menyerah saja, Vannia? Kau sudah jelas tak dihargai di rumah ini. Suamimu menikah dengan sahabatmu sendiri dan kau tak pernah diperlakukan baik oleh mertua dan iparmu. Apa lagi hal menyakitkan yang kau tunggu? Tinggalkan saja mereka dan aku akan menyambutmu," kata Zhein dengan serius.
Sebuah mobil pengantin memasuki halaman luas kediaman Renvier. Vannia memperhatikan bagaimana suaminya keluar dari mobil itu bersama Anya. Anya menggandeng lengan Renvier sambil tersenyum culas pada Vannia.
"Tidak akan, Zhein. Setidaknya untuk beberapa waktu, aku tak akan menyerah. Aku tak ingin menanggung rasa sakit seorang diri. Aku akan berbagi rasa sakit ini pada mereka berdua. Tidak ada pembalasan lebih menyenangkan daripada melihat suamiku bertekuk lutut dan sahabatku bersimpuh dengan air mata," tutur Vannia dengan penuh keyakinan.
Setelah pernikahan ini, bagaimanakah kehidupan Vannia, Anya, dan Renvier yang tinggal satu atap?
Anya masuk ke dalam kamar. Tampak Renvier masih tertidur karena pengaruh obat itu. Namun, pria itu beberapa kali melakukan pergerakan. Anya duduk di samping tubuh suaminya seraya mengeluarkan sebuah suntikan dan obat."Sepertinya obatnya akan hilang khasiat. Aku harus menyuntiknya lagi agar dia kembali tidur hingga besok. Pernikahan Vannia dan Zein tetap harus terjadi. Maaf ya, Sayang. Tapi aku harus melakukan ini demi cinta kita tetap terjadi, Renvier."Anya pun menyuntikan obat itu ke lengan Renier. Pria itu mengeryit dalam tidurnya. Anya benar-benar khawatir Renvier akan terbangun oleh rasa sakit itu. Beruntungnya tidak, ia bisa melakukannya dengan baik. Renvier tak terbangun sama sekali."Berhasil. Selamat tidur nyanyak, Sayang," ucap Anya membelai pipi Renvier, sebelum pergi dari kamar tersebut.Di sisi lain, Vannia dengan telaten menyuapi Zein. Pria itu tampak lebih baik dari sebelumnya. Bahkan saat ini Zein sudah dalam keadaan duduk. Tubuhnya tak sekaku dan selemas kemarin. Rau
Zein akhirnya sadar juga. Di ruangan itu hanya ada Vannia yang masih setia menjaganya. Kedua orang tua Zein sudah kembali ke kantor, begitu juga dengan orang tua Vannia. Gavano sudah aman bersama baby sitter di rumah Vannia, jadi Vannia bisa fokus pada Zein hari ini. Melihat Zein membuka matanya, membut Vannia yang sedari tadi menggenggam tangan Zein pun langsung berdiri dengan senyuman senang."Zein, kau sudah sadar? Hei, lihat aku di sini. Kau baik-baik saja, bukan?"Zein perlahan menoleh pada Vannia. Senyuman tipisnya pun terukir. Membuat resah di hati Vannia perlahan menguap ke udara. Ia senang Zein bisa merespons dirinya dengan baik."A-aku ...." Zein terlihat susah menggerakan mulutnya. "Ak-aku tak t-tahu, Vannia. Aku merasa k-kaku dan lemas."Vannia kembali duduk sambil menggenggam tangan Zein dengan raut wajah kembali sendu. "Zein, kau jangan khawatir soal itu. Dokter mengatakan hal demikian. Kau akan lemas saat terbangun nanti. Ternyata benar. Dokter mengatakan cairan obat pe
Renvier membanting penutup wajah kain itu ke lantai ruangan di kantornya. Ternyata pria yang mengawasi Zein dan Vannia itu adalah dirinya. Tentu saja orang yang mencelakai Zein juga dirinya."Sial! Obat itu hanya masuk ke tubuhnya sedikit saja. Ditambah ada seseorang yang membawanya ke rumah sakit. Siapa dia? Bukankah aku telah membayar beberapa pendekor di sana agar tak membantu Zein sama sekali. Mengapa tiba-tiba ada orang yang mmbantu mereka?"Renvier duduk di kursinya dengan raut wajah yang sangat kusut sekali, nyaris frustrasi. Aksi nekatnya benar-benar tak dibayar kontan. Kepuasaannya akan rencana itu tak ada. Walau melihat Zein terkulai lemas, tetapi Renvier tak puas sampai di situ tentang pengaruh obat yang tak sesuai dengan dosisnya."Jika dosis yang aku berikan padanya hanya sedikit, kemungkinan dokter akan menyembuhkannya dengan cepat. Berarti aku harus membuat rencana baru lagi untuk menggagalkan pernikahan itu," gumam Renvier seraya berpikir keras untuk itu."Tapi sebelum
Persiapan pernikahan sudah benar-benar nyaris sempurna. Mereka tak menyewa gedung, sebab gedung pernikahan mereka milik keluarga Vannia. Dua hari sebelum hari pernikahan gedung itu mulai didekorasi. Konsep yang digunakan benar-benar seperti di negeri dongeng. Vannia akan menjadi cinderella dan Zein menjadi pangerannya.Zein membukakan pintu mobil untuk Vannia. Vannia pun keluar dari mobil dengan perlahan. Digendongannya ada Gevan berbalut pakaian yang hangat."Lihatlah matanya. Dia membuka mata menatap langit. Beruntungnya langit tak begitu cerah, jadi bayi kita tak merasa silau," ucap Zein.Vannia tersenyum manis melihat mata putranya yang tampan. Benar kata Zein, mata Gevan sedikit terbuka. "Dia sangat manis, Zein. Ini pertama kalinya dia melihat alam bebas seperti ini. Dia pasti sangat senang.""Tentu. Ayo kita masuk! Katanya dekorasi gedung pernikahan kita hampir selesai. Tapi tetap saja, kita harus memperhatikan keselamatan Gevano.""Iya, Zein. Kita akan menjaga Gevano sama-sama.
Vannia keluar dari ruang ganti dengan mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang sangat cantik. Gaun itu sangat menyatu dengan kulitnya yang putih bersedih. Zein yang sedari tadi duduk di sofa dengan setelan jas hitam, takjub melihat begitu cantiknya Vannia. Ia tersenyum lebar sambil menghampiri Vannia yang sedang menatap dirinya di cermin."Bidadari dari mana ini? Seingatku aku membawa calon istriku tadi ke sini, mengapa yang keluar dari bilik itu malah bidadari," goda Zein.Vannia tersenyum malu, ia mencubit perut Zein hingga pria itu memekik. "Apa kau belajar menggombal sekarang, Tuan Zein?""Aduhh Vannia cubitanmu ..." Zein mengelus perutnya yang ngilu, tetapi setelah tersenyum pada wanita di hadapannya. "Tanpa belajar pun aku akan terbiasa menggombalimu, karena kau memang pantas untuk aku gombali. Kau sangat cantik. Benar-benar cantik."Giliran Vannia yang bertindak, ia mengalungkan kedua tangannya pada leher Zein sambil menatap penuh pria itu. "Kau juga sangat tampan, Zein. A
Sudah beberapa hari ini sikap Renvier pada Anya terkesan sangat dingin. Walau Anya sudah berusana untuk melakukan yang terbaik dengan membuatkan susu untuk suaminya."Sayang, ini susu sereal untukmu. Kau menyukainya, bukan?" ucap Anya tersenyum manis.Renvier meneguk air putih setelah menjejal sisa roti ke mulutmnya. Pria itu tampak acuh tak acuh, meraih tisu dan mengelap mulutnya dengan cepat."Aku ada meeting penting pagi ini. Aku snagat terburu-buru. Aku pergi dulu," ucap Renvier beranjak dari duduknya."Renvier, minum susu ini dulu," ucap Anya menyerahkan segelas susu buatannya."Aku sedang tak ingin susu, Anya. Ibu, aku pergi dulu," ucap Renvier seraya melangkah pergi dari sana dengan cepat.Anya mencengkram gelas susu di tangannya. Matanya berkaca-kaca dengan perasaan yang terluka. Marisa yang menyaksikan semua itu merasa iba dengan menantunya."Anya, ada apa dengan kalian? Ibu lihat akhir-akhir ini kalian seperti ada jarak. Beberapa kali juga Ibu mendengar kau dan Renvier berde