LOGIN
"Kau memang sahabat baikku, Vannia. Tapi jika soal cinta, aku tak bisa mundur begitu saja. Lagipula, suamimu lebih memilihku, bukan?"
Wanita gila! Itu umpatan yang hati Vannia keluarkan ketika mulutnya tak bisa berkata-kata karena rasa sakit yang menghujam hatinya. Bibirnya bergetar menahan tangis dan amarah. Sudah kepergok chatingan mesra dengan suaminya, Anya—sabahat terbaiknya—sama sekali tak menunjukkan raut merasa bersalah.
PRANG!
Anya sangat terkejut ketika Vannia mengempaskan ponsel miliknya ke lantai kafe dengan keras, membuat ponsel mahal itu terpental dan retak. Buru-buru Anya memungut ponsel itu dengan tampang kesalnya pada Vannia.
"Vannia!"
"Apa?!" tantang Vannia berani. Ia menunjuk wajah Anya dengan perasaan penuh rasa kecewa. "Jadi selama ini kau bermain di belakangku bersama suamiku? Kau bukan sahabatku, Anya. Kau iblis!"
"Ya. Aku memang iblis yang suamimu cintai. Haruskah aku berbangga diri menjadi seorang iblis sekarang?" Anya tertawa tanpa rasa bersalah.
"Sudah berapa jauh hubungan kalian?" tanya Vannia dengan nada dingin dan tatapan yang tajam.
"Sejak kau menantangku siapa yang menikah lebih dulu," sahut Anya santai. "Vannia, kau itu sahabat yang terlalu lugu bagiku. Kau pikir aku tak pernah iri dengan pencapaian yang kau peroleh sejak kita duduk di bangku sekolah? Kau bahkan sudah berkali-kali merebut pria yang aku cintai. Sudah cukup pria incaranku tertuju padamu. Sekarang, giliran suamimu yang harus bertekuk lutut di hadapanku," lanjutnya dengan percaya diri.
Anya tersenyum senang seraya membuka tas miliknya. Ia mengambil sebuah undangan yang bertuliskan namanya dan juga nama suami Vannia yaitu Renvier. Tangan bergetar Vannia menerima undangan itu dengan hati yang mencelos.
"Kami akan menikah secara tertutup di gedung pernikahan milik keluarga Renvier. Awalnya kau bukanlah tamu yang kami harapkan, tapi karena kau telah mengetahuinya ... maka datanglah. Kau selalu ingin melihat aku menikah, bukan? Aku sudah mengabulkannya."
Vannia menarik napasnya dalam-dalam. Ia mendelik ke arah Anya sambil berjalan perlahan menuju wanita itu. Bukannya takut, Anya malah berdiri dengan angkuh seakan-akan Vannia tak bisa melukainya sedikitpun.
"Silakan ambil suamiku. Tapi jangan berpikir kau akan mendapatkan kebahagiaan yang kau impikan, Anya. Lihatlah bagaimana sahabatmu yang lugu ini menjadi duri di setiap langkah yang kau ambil di samping suamiku!" tegas Vannia sebelum meninggalkan ruangan private kafe tersebut.
Vannia dengan derai air mata berjalan tanpa memedulikan orang-orang yang menatapnya keheranan. Vannia menuju parkiran, membuka mobilnya, dan masuk ke dalamnya. Tangisannya pecah di sana. Vannia memukul-mukul setir dengan perasaan yang teramat sakit melebihi apapun.
"A-apa kekuranganku sehingga kalian mengkhianatiku? Aku telah menjadi istri yang baik. Aku juga telah baik dengan sahabatku. Tapi mengapa mereka malah menyakitiku seperti ini? Aku telah meninggalkan semuanya demi cintaku padamu, Renvier. Tapi kau dengan mudah meninggalkanku dengan selingkuhanmu!"
Vannia segera menjalankan mobilnya meninggalkan kafe itu. Tekadnya untuk balas dendam semakin bulat. Vannia yang terkenal dengan kepribadian lembut dan mudah tersenyum, akan berubah menjadi Vannia yang kuat dan tak terkalahkan.
"Aku tak pernah rela cinta yang kurajut dengan sepenuh hati kau lukai begitu aja! Aku akan merelakan, tetapi tidak membiarkan kalian bahagia. Mari tetap hidup berdampingan dengan luka yang akan kita kecap bersama."
Pulang dari kafe, Vannia langsung disambut oleh tatapan sinis mertuanya juga iparnya. Biasanya Vannia akan buru-buru meminta maaf karena terlalu lama di luar, tetapi kali ini tidak. Vannia melewati mereka berdua di ruang tengah, Vannia hanya menyapa seadanya.
"Ibu, Berlina. Aku pulang. Aku masuk kamar dulu," sapa Vannia seadanya. Ia buru-buru ingin melangkah pergi. Namun, tiba-tiba punggungnya dilempar sebuah kipas tangan berwarna merah oleh iparnya. "Akhh!" ringisnya seraya menoleh ke arah pelaku.
Berlina, wanita yang lebih tua dua tahun dari Vannia itu bersedekap dengan tatapan meremehkan pada Vannia. Ia langkahkan kaki jenjangnya yang berbalut highhell putih itu menuju Vannia.
"Ada apa ini? Kau mulai berani mengacuhkan kami?" gertak iparnya itu.
Vannia mengembuskan napas pelan. Ia akan berusaha bersabar di hadapan Berlina. "Maafkan aku, Berlina. Tapi aku sedang dalam kondisi hati yang buruk. Aku ingin segera beristirahat dan melupakan semuanya."
Tiba-tiba Berlina tertawa dengan lantang. Bibir merah merona itu kemudian membentuk sebuah senyuman ke arah Vannia yang kebingungan. "Apa kau sudah mengetahuinya?"
"M-maksudmu apa, Berlina? Apa yang aku sudah ketahui?"
Berlina berjalan menuju meja ruang tengah, lalu mengambil sebuah undangan. Ia menunjukkan undangan itu pada Vannia.
"Kau pasti sudah melihat undangan ini dari calon menantu terbaik keluarga ini, bukan? Bagaimana? Bukankah aku dan ibu memilihkan jodoh yang baik untuk suamimu?" kata Berlina dengan tampang yang penuh kebanggaan.
Vannia menggeleng tak percaya. Ternyata perselingkuhan suaminya adalah bagian dari rencana licik mertua dan iparnya sendiri. Vannia tak percaya itu. Ini sudah sungguh sangat keterlaluan!
"Jadi kalian mengetahui semua ini? Bu, Berlina, selama ini aku menerima sikap buruk kalian terhadapku karena aku berusaha menerima kalian sebagai keluargaku juga. Tapi jika kalian berusaha menghadirkan orang ketiga dalam rumah tangga kami, aku tak akan pernah merelakan hal itu! Aku tak akan pernah memaafkan kalian!" cetus Vannia kembali berlinang air mata.
Dadanya kembali sesak oleh rasa sakit. Rasanya ia ingin berlari ke sandaran hidupnya. Tapi malangnya, sandaran hidupnyalah yang telah mengkhianatinya.
Mertua Vannia—Marisa—berjalan dengan tatapan angkuh mendekati menantunya yang tak pernah ia anggap. Marisa berdecih remeh menatap wajah air mata Vannia.
"Dengar, Vannia. Aku sudah menyuruhmu untuk meninggalkan putraku bahkan sebelum kalian menikah. Tapi apa yang kau lakukan? Kau menentangku dan tetap menikah dengan Renvier. Jadi sekarang, terimalah konsekuensi yang telah kau pilih. Renvier tetap akan menikah dengan Anya meskipun kau melarangnya atau Renvier sendiri yang menolak pernikahan itu!"
Vannia tak sanggup lagi berada di sana. Ia segera naik tangga untuk menuju kamarnya. Vannia membuka pintu dengan kasar. Ia mendapati Renvier yang duduk di sisi ranjang dengan kepala yang menunduk dan tangan bertautan ke depan.
"Renvier, sekarang kau jawab pertanyaanku dengan jujur. Apakah benar kau mencintai Anya dan akan menikahinya?"
Pria perawakan atletis dengan potongan rambut low fade itu pun akhirnya mendongkak dengan raut wajah yang serba salah. Awalnya Vannia berharap suaminya akan mengatakan tidak. Namun, ternyata ia salah menduga.
"Iya, Vannia. Aku mencintai Anya dan akan segera menikah dengannya."
"Tapi apa salahku hingga kau mengkhianatiku seperti ini, Reinvier?!" Vannia menangis sesegukan di hadapan pria itu hingga ia kesulitan untuk melanjutkan kata-katanya. "Aku rela meninggalkan semuanya untuk bisa bersamamu. Aku dengan sabar menahan semua tekanan yang ibu dan kakakmu berikan padaku. Tapi apa yang kau lakukan? Kau mengkhianati cintaku?"
Reinvier berdiri menghadap Vannia. Pria dengan perawakan tinggi itu menatap Vannia serba salah, tetapi ia juga tampak kesal secara bersamaan.
"Ini semua salahmu karena selalu membawa sahabatmu ke rumah ini atau saat kita pergi berdua. Jadi bukan salahku yang tertarik pada sahabatmu, bukan? Satu lagi, Vannia, aku tak akan menceraikanmu karena aku mencintai kalian berdua."
Hancur sudah perasaan Vannia. Wanita itu langsung terjatuh berlutut di hadapan Renvier dengan isak tangis yang menggema di ruang kamarnya. Renvier yang tak ingin melihat tangisan itu, memilih pergi dari kamar meninggalkan Vannia.
"Kau menusuk jantungku, Renvier. Kau jahat sekali," racau Vannia.
Setelah semua ini, apakah Vannia akan melakukan ancamannya terhadap Anya? Atau ia akan memilih mundur dari cinta tulusnya pada Renvier?
Setelah semuanya berlalu, Zein membawa anak dan istrinya ke ruang tengah. Mereka meninggalkan Renvier dan Anya di dalam ruang kerja Zein. Mereka perlu bicara, jadi Zein tak ingin menganggunya."Syukurlah kau datang tepat waktu, Sayang. Aku benar-benar sangat takut sekali. Anak-anak juga sama. Ronald benar-benar seperti iblis," ucap Vannia.Zein menggenggam tangan Vannia. "Maafkan aku membuat kalian ketakutan karena tak datang lebih awal. Aku dan Renvier pergi ke hutan tempat Ronald disekap. Di sana kami melihat Sansita dan suami barunya. Tak sengaja kami mendengar Ronald sudah bebas. Kami tak tahu bebasnya Ronald hari ini atau hari sebelumnya. Jadi kami memutuskan untuk menyelidikinya. Ada sebuah toko alat pancing tak jauh dari sana. Ada CCTV yang terpasang dan kebetulan di depannya ada dijual bahan bakar eceran. Renvier mengenali itu mobil Ronald. Tapi ternyata yang keluar dari mobil Ronald adalah Jonan. Dari sana kami menyimpulkan bahwa Jonan yang membebaskan Ronald. Lalu aku dan Re
Jonan terusir dari rumah Vannia. Dia dikeluarkan oleh dua satpam dari sana. Namun, Jonan rupanya sudah mempunyai rencana lain. Tak lama setelah ia terusir, sebuah mobil datang. Dari dalam mobil itu, keluar Ronald dengan pakaian pengantar paket makanan."Aku gagal masuk karena mereka sudah mengetahui tujuanku," ucap Jonan."Baiklah. Berarti giliranku untuk bergerak. Kau bersembunyilah sebentar, Ayah," ucap Ronald. Ia memberikan sebuah pistol pada Jonan tanpa banyak bicara.Ronald menekan bel gerbang rumah dua kali. Tak lama sebuah pintu kecil yang ada di bagian pinggir pagar terbuka. Satpam menilik keluar. Ronald pun mengangkat satu kotak pizza di tengannya. Tanpa rasa curiga, satpam itupun membuka pagarnya. Pada saat satpam ingin menerima pesanan, Ronald membuka lebar gerbangnya. Pada saat yang sama Jonan datang dan menembak satpam itu.Suara tembakan dari luar membuat Vannia dan Anya sungguh sangat terkejut. Mereka berdua mengintip dari jendela. Tampak Ronald datang memegang sebuah p
Zein dan Renvier akhirnya menemukan informasi tentang keberadaan Ronald. Dari kamera CCTV yang tak jauh dari hutan. Tepatnya di sebuah toko alat pancing. Mereka menemukan mobil yang biasa dikendarai oleh Ronald singgah di depan toko alat pancing yang juga menjual bahan bakar eceran di depan tokonya. Dari mobil itu keluar Jonan yang berbicara pada pemilik toko untuk mengisikan bahan bakar mobilnya."J-Jonan?" Renvier nyaris tak percaya jikalau yang ia lihat benar-benar adalah Jonan, ayahnya Anya. "Jonan siapa?" tanya Zein yang sedari tadi ikut menatap layar komputer yang memutar video CCTV."Jonan adalah ayah kandung Anya. Anya tak mengakuinya ayahnya karena ayahnya bukan orang kaya. Malah mengakui kekasih baru ibunya sebagai ayahnya. Tapi aku heran. Mengapa Jonan melakukan ini semua? Baru beberapa hari yang lalu aku menghadiri acara pernikahan ibunya Anya dengan kekasihnya. Aku berangkat bersama dengan Jonan. Entah apa yang terjadi pada Jonan dan Sansita waktu itu, karena aku sibuk d
Anya benar-benar seperti orang gila. Ia baru saja mendapatkan kabar dari ibunya jikalau Ronald telah kabur dari tempat penyekapan. Anya tak tahu harus bagaimana. Ronald sudah pasti akan mencarinya dan menuntut balas. Ada beberapa kemungkinan yang akan dilakukan Ronald. Pertama dia akan untuk membunuh Anya. Kedua Ronald akan datang untuk merebut Cia. Dan ketika Ronald akan datang untuk membongkar semuanya pada Renvier bahwa dirinya adalah suami dari Anya."Aaaaaaaaarghhh!" teriak Anya di kamar mandi histeris karena kusutnya pikirannya saat ini.Anya menangis sejadi-jadinya di kamar mandi. Di bawah air shower gadis itu bersimpuh dengan kesedihan yang benar-benar kacau. Begitu banuak yang ia khawatirkan hingga bingung harus melakukan hal apa untuk berlindung."Apa yang harus aku lakukan? Ronald telah bebas. Dia pasti sedang memulihkan tenaganya untuk datang menemuiku. C-Cia putriku akan dalam bahaya. Tidak. Aku tidak akan membiarkan putriku dibawa oleh Ronald. Tidak akan," racau Anya."K
Zein tak langsung mengantar Renvier ke rumah, melainkan mampir ke sebuah kafe untuk minum kopi sambil membicarakan tentang misi mereka untuk menangkap kedua mangsa mereka yaitu Anya dan Ronald. Di sebuah ruangan private itu mereka sedang menunggu kedatangan orang suruhan Renvier yang sedang menyelidiki keberadaan Ronald saat ini.Tak lama yang ditunggu datang. Pria dengan perawakan tinggi besar memasuki ruangan itu, lalu memberikan laporan pada Renvier. Usai ia, Renvier menyuruhnya pergi."Coba aku lihat," ujar Zein.Renvier membuka berkas itu, lalu menyusunnya di meja agar Zein bisa melihat apa isi dari berkas itu. Ternyata potret-potret Ronald yang dibawa oleh dua orang dari kediamannya. Namun, Ronald tampak tak sadarkan diri."Dia diculik?" tanya Zein tak menyangka."Kupikir begitu. Dia diculik dari rumahnya. Lantas, siapa yang merencanakan ini semua?" tanya Renvier juga sama bingungnya.Zein tiba-tiba menunjuk ke arah pintu. "Lihat! Bukankah ini Anya? Ini seperti Anya. Perawakanny
"Wah, ada Paman Renvier!" seru Gevano yang duduk di kursi depan meja makan.Vannia yang sedang menyajikan sarapan, menoleh ke arah dua pria yang baru saja menghampiri meja makan. Tampak Renvier lebih baik kondisinya dari tadi malam."Duduklah. Aku akan ambil piring tambahan," ucap Vannia."Terima kasih," ucap Renvier.Renvier duduk di samping Geira. Posisinya tepat di hadapan Zein yang menatapnya tajam. Renvier menghela napas jengah, ia terganggu dengan tatapan pria itu."Bisakah kau jangan menatapku dengan mata melotot seperti itu? Aku berjanji tak akan macam-macam," pinta Renvier."Aku tak melotot. Aku hanya memperingatimu.""Aku tahu itu. Setelah ini aku juga pulang," sahut Renvier merengut.Vannia meletakkan satu piring lagi di hadapan Renvier sebelum ia duduk di samping Zein."Sayang, kau mau sop ayam?" tanya Vannia pada Zein."Tentu. Aku ingin banyak wortel dalam piringku," sahut Zein tersenyum."Aku akan ambilkan," sahut Vannia dengan telaten menyediakan makanan dan lauknya unt







