Tempat tidur yang awalnya diisi oleh suaminya, sekarang tak ada siapa-siapa di sana. Suaminya sekarang berada di kamar sebelah untuk memadu malam pertama dengan istri barunya, Anya. Ia tak pernah berpikir jikalau sahabatnya sendiri akan merebut suaminya seperti ini. Padahal Anya adalah sahabat terbaiknya.
"Tidak-tidak. Aku tak boleh lemah. Ya, aku tak boleh lemah. Aku harus kuat agar mereka terutama Anya tak memandangku rendah. Sudah cukup aku mengalah dan merendah selama ini menjadi istri dari Renvier. Mulai besok, aku adalah diriku yang baru," monolog Vannia menyakinkan dirinya.
Malam yang gelisah itu berhasil dilalui oleh Vannia dengan baik.
Pukul tujuh pagi Vannia sudah rapi dengan tampilannya. Tepat saat ia keluar kamar, suaminya keluar dari kamar pengantin. Tanda-tanda merah di tubuh Renvier yang tak mengenakan atasan langsung membuat Vannia memalingkan wajahnya.
"Vannia," panggil Renvier ketika Vannia hendak beranjak pergi begitu saja.
Vannia menghentikan langkahnya tepat di samping Renvier berdiri. Wanita itu tak menoleh, hanya menatap lurus ke depan. "Ada apa, Renvier?"
"Siapa pria yang berdansa denganmu semalam?"
Rasanya Vannia geli mendengarnya. Renvier mempertanyakan hal itu pagi-pagi begitu padanya? Apakah Renvier begitu kepikiran soal Zhein kemarin? Ah, Vannia tahu sekarang. Suaminya ternyata begitu serakah dan tak tahu diri. Sudah menduakannya dengan tak tahu dosa, kini mencemburuinya berdekatan dengan pria lain.
"Memangnya apa urusannya denganmu, Renvier?"
Renvier tampak mengerutkan keningnya dengan lidah yang terasa kelu. Pria itu bingung harus menjawab seperti apa pertanyaan balik dari istrinya. "Y-ya kenapa? Bukankah wajar aku bertanya karena kau adalah istriku?''
Vannia tertawa kecil sambil bersedekap, ia kemudian menoleh pada Renvier dengan tatapannya yang dingin. "Kau barusan mengakuiku sebagai istrimu setelah kau menikah lagi sekehendakmu dengan sahabatku sendiri? Renvier, kau sudah mengkhianatiku. Kau selingkuh. Kau tak mengerti tentang dosa seperti itu?"
"Cinta itu tak terduga, Vannia. Ini juga keinginan ibuku. Apa salahnya aku menuruti apa yang selama ini ibuku dambakan? Lagipula ... aku menikah dengan sahabatmu. Harusnya kau senang memiliki madu yang begitu kau sayangi, bukan?''
Vannia geleng-geleng tak habis pikir dengan pemikiran bodoh suaminya. Apa katanya, senang? Jangankan soal cinta, ketika idola yang kita senangi sama dengan sahabat kita saja, kita akan merasa ditikung. Ini Renvier bilang harusnya ia bahagia.
"Kau pria paling bodoh yang pernah aku temui, Renvier," cetus Vannia menatap penuh kekecewaan.
"Bodoh?" Renvier tak menyangka Vannia yang ia kenal sebagai wanita yang paling lembut dan selalu berkata baik, kita mengumpatinya dengan mudah. "Kau berubah, Vannia. Tak salah aku mempunyai yang lain selain dirimu."
"Ya. Aku memang berubah dan perubahanku akan membuat kalian berdua merasakan penderitaan yang pantas kalian dapatkan karena telah mengkhianatiku," sahut Vannia sebelum pergi meninggalkan Renvier. Ia tak peduli pada Renvier yang memanggilnya kesal dan bertanya ke mana ia akan pergi. Bagi Vannia, ia sekarang tak perlu meminta izin untuk ke mana-mana. Sebab suaminya sama sekali tak meminta izin untuk menikahi wanita lain.
Renvier tersentak kaget ketika Anya berada di belakangnya. Wanita itu menatap tak suka dengan tampak penuh selidik pada Renvier.
"Sayang, kau tak menyesal menikah denganku, bukan? Aku dengar kau berbicara dengan Vannia. Kau cemburu padanya karena pertunjukkan dansa kemarin?"
"Mana mungkin aku menyesal, Anya. Aku--tadi aku hanya penasaran saja dengan pria kemarin di pesta. Aku yakin tak mengundangnya," sahut Renvier.
Anya bersedekap dengan tampang tak suka. "Pokoknya mulai sekarang perhatian dan cintamu hanya untukku, Renvier. Aku memang istri keduamu, tetapi aku tetap ingin nomor satu di hatimu. Kau harus segera membuang jauh-jauh presensi Vannia di hatimu," cetusnya sebelum kembali ke tempat tidur.
Sementara itu, tibalah Vannia di depan sebuah gerbang mansion yang dulu ia tinggalkan demi bisa menikah dengan Renvier. Ya, tempat tinggalnya yang sebenarnya.
Vannia mengeluarkan sebuah kartu berwarna putih dari tasnya. Vannia menempelkan id card itu pada sebuah tempat meletakkan kartu. Vannia tersenyum ketika kartunya terkonfirmasi. Seketika gerbang itu pun terbuka secara otomatis.
"Ternyata mereka tidak memblokir tanda pengenalku sebagai anggota dari keluarga ini."
Tampaklah sebuah mansion yang sangat megah dan indah. Halamannya begitu luas dan panjang. Di bagian samping terdapat garasi yang memiliki pintu terbuat dari kaca, hingga berbagai macam jenis mobil terlihat dari luar. Pemandangan tempat ini sungguh sangat Vannia rindukan.
Ayah dan ibu kandung Vannia keluar dari mansion itu. Mereka berdua menatap Vannia dengan penuh haru. Vannia merasa sangat bersalah dan malu telah meninggalkan keluarganya sendiri demi menikah dengan Renvier. Sekarang, ia malah kembali setelah mendapatkan luka besar dari suaminya sendiri.
"Vannia, kemarilah. Kami tak akan memarahimu. Kami akan menyambutmu dengan gembira," ucap ayah dari Vannia--Daniel.
"A-ayah," cicit Vannia langsung menghambur ke pelukan ayahnya sambil menangis pilu. "Aku sudah berdosa telah meninggalkan ayah dan ibu karena teramat mencintai Renvier. T-tapi begitu Renvier mengkhianatiku, dengan tak tahu malu aku kembali pada keluarga ini. Aku sangat malu, Ayah.
"Tidak, Sayang. Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Inilah yang kami tunggu. Putri bungsu ayah dan ibu telah kembali pada keluarga ini. Sudah saatnya kau menjadi wanita terhormat lagi. Lupakan Renvier dan jalani hidup barumu bersama kami," kata ayah menatap Vannia dengan lembut.
Giliran ibunya Vannia yang memeluk putrinya. "Ibu juga sangat senang kau kembali, Sayang. Pokoknya, setelah ini tak ada yang boleh menyakiti putri kesayangan keluarga ini. Kau akan hidup mewah lagi seperti sediakala, Vannia."
Vannia langsung tersenyum penuh haru. Ia langsung berlari menuju ayahnya, lalu memeluk pria paruh baya itu sambil menangis seperti anak kecil. Ibu Vannia--Anna--ikut berpelukan dengan hangat.
"Maafkan aku yang telah meninggalkan kalian demi pria yang aku cintai. Aku menikahi anak dari musuh ayah dan melupakan statusku sebagai putri dari keluarga ini. Maafkan aku dengan tak tahu malu kembali setelah mendapatkan luka dari Renvier. Maafkan aku, Ayah, Ibu."
Ayah dan ibunya pun langsung mengurai pelukan itu dan menatap putri mereka dengan tatapan yang begitu hangat.
"Kami sudah memaafkanmu dan menanti kedatanganmu, Sayang. Bahkan jika kau ke sini bersama Renvier sekalipun. Tapi setelah mendengar Renvier melukaimu, Ayah tak akan membiarkan hal itu. Ayah tidak ingin putri kesayangan Ayah lemah di hadapan pria yang tak tahu diri. Mulai sekarang, kau akan menjadi wanita terhomat keluarga ini."
Vannia kembali memeluk ayahnya sambil mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Dalam hatinya Vannia berkata, "Ya, mulai sekarang aku akan menjadi wanita terhormat yang tak ada satupun orang yang bisa meremehkanku lagi. Tunggu diriku yang baru, Renvier."
"Apa maksudmu!" Renvier langsung mencengkram kerah kemeja Zein dan sedikit mendorongnya, menciptakan pekikan dari Vannia."Renvier, hentikan!"Renvier tak peduli dengan teriakan Vannia. Matanya berapi-api menatap Zein yang justru berekspresi kelewat santai sekali. "Kau bilang apa tadi? Selingkuhan pertama istriku? Berani kau mengatakan hal itu di depan suaminya sendiri?!" hardik Renvier.Zein tetap tenang dan tak menjauhkan tangan Renvier yang mencengkram kemejanya. "Mengapa kau begitu marah? Kau bahkan tak hanya menyelingkuhi Vannia, tapi kau menikahi sahabatnya. Apakah tak ada kesadaran dari dirimu sendiri betapa kejamnya itu?"Renvier merasa tertampar dengan kata-kata itu. Cengkramannya tak sekuat awalnya. Maka dengan mudah Zein menjauhkan dirinya dari Renvier."Vannia, jika kau sudah selesai bicara dengan pria ini, apa kau bersedia makan siang bersamak?" tanya Zein berbicara dengan nada lembut.Vannia melirik ke arah Renvier yang juga menatapnya. Senyuman miring Vannia terukir, la
Vannia berangkat ke sebuah gedung yang akan dijadikan sebuah tempat resort yang multifungsi sebagai tempat pameran juga. Bisnis inilah yang menjadikan perusahaan yang ia kelola saat ini bekerja sama dengan perusahaan Renvier.Sesampai di gedung besar itu, Vannia melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalamnya. Ia langsung diberi hormat oleh beberapa pekerja yang berpapasan dengannya."Vannia," panggil seseorang dari arah belakang.Vannia pun langsung menoleh, mendapati sosok Renvier berdiri di belakangnya. Vannia mencoba bersikap biasa-biasa saja, kendati jantungnya berdetak dengan cepat lantaran harus kembali berdekatan dengan Renvier."O-oh, Renvier. Kau sudah datang rupanya."Renvier mengangguk sambil tersenyum tipis. "Mari," ajaknya mempersilakan. Mereka pun berjalan berdampingan untuk melihat-lihat isi gedung tersebut.Suasana canggung itu sangat kentara terasa. Sesekali Vannia melirik ke arah Renvier yang juga melirik ke arahnya. Aduh, mengapa mereka seperti orang yang sedang PDK
Deretan mobil yang tertata di dalam garasi panjang dipandangi oleh Vannia satu per satu. Ia langkahkan kakinya yang dibalut highhell hitam menuju ke sebuah mobil Lamborghini berwarna merah, lalu telunjuknya terangkat ke arah mobil tersebut."Aku ingin mobil yang ini," pintanya pada seorang sopir yang sedari tadi menemaninya memilih mobil."Baik, Nona," sahut sopir tersebut langsung bergegas untuk mengeluarkan mobil tersebut.Di sisi lain, keluarga Renvier sedang melakukan makan siang bersama di rumah. Hari pertama menjadi bagian dari keluarga Renvier, Anya berusaha sebaik mungkin. Ia menyajikan makanan yang telah ia pesan sebelumnya. Marisa sebagai mertua sangat senang sekali melihat bagaimana menantu barunya sedang berusaha melayani mereka."Kau memang menantu yang terbaik, Anya. Sudah lama aku menginginkan menantu sepertimu. Malangnya, Renvier malah memilih wanita seperti Vannia. Kau dan Vannia sangat berbeda. Vannia benar-benar tak bisa menjaga penampilan ketika di rumah. Dia hanya
Tempat tidur yang awalnya diisi oleh suaminya, sekarang tak ada siapa-siapa di sana. Suaminya sekarang berada di kamar sebelah untuk memadu malam pertama dengan istri barunya, Anya. Ia tak pernah berpikir jikalau sahabatnya sendiri akan merebut suaminya seperti ini. Padahal Anya adalah sahabat terbaiknya."Tidak-tidak. Aku tak boleh lemah. Ya, aku tak boleh lemah. Aku harus kuat agar mereka terutama Anya tak memandangku rendah. Sudah cukup aku mengalah dan merendah selama ini menjadi istri dari Renvier. Mulai besok, aku adalah diriku yang baru," monolog Vannia menyakinkan dirinya.Malam yang gelisah itu berhasil dilalui oleh Vannia dengan baik.Pukul tujuh pagi Vannia sudah rapi dengan tampilannya. Tepat saat ia keluar kamar, suaminya keluar dari kamar pengantin. Tanda-tanda merah di tubuh Renvier yang tak mengenakan atasan langsung membuat Vannia memalingkan wajahnya."Vannia," panggil Renvier ketika Vannia hendak beranjak pergi begitu saja.Vannia menghentikan langkahnya tepat di sa
Vannia mengenakan gaun biru muda yang mewah dan elegan, memakai anting indah, highhell yang memukau, dan rambut tertata rapi dengan sempurna. Inilah diri Vannia yang akan hadir di pernikahan suaminya dengan sahabatnya. Hari ini ia akan menjadi wanita tersakiti sekaligus menjadi dirinya yang berbeda yang jauh lebih terhormat dari sebelumnya."Sesuai sumpahku, aku akan menjadi duri di perjalanan pertama kalian menempuh kehidupan setelah mengkhianatiku."Vannia keluar dari kamarnya. Ia menuruti tangga dengan sangat anggun. Di bawah sana, Marisa dan Berlina yang hendak segera berangkat, terpukau melihat bagaimana cantik dan anggunnya penampilan Vannia. Tak seperti yang mereka pikirkan."Mau berangkat bersama dengan mobilku, Ibu, Berlina?" tawarnya dengan ramah.Berlina langsung berdecih. "Kau menawari kami berangkat bersama dengan mobilmu? Kau pasti sudah sakit jiwa karena suamimu menikah dengan sahabatmu sendiri hari ini. Bukankah begitu?""Itu benar. Sadarlah, Vannia. Kau tak memiliki m
"Kau memang sahabat baikku, Vannia. Tapi jika soal cinta, aku tak bisa mundur begitu saja. Lagipula, suamimu lebih memilihku, bukan?"Wanita gila! Itu umpatan yang hati Vannia keluarkan ketika mulutnya tak bisa berkata-kata karena rasa sakit yang menghujam hatinya. Bibirnya bergetar menahan tangis dan amarah. Sudah kepergok chatingan mesra dengan suaminya, Anya—sabahat terbaiknya—sama sekali tak menunjukkan raut merasa bersalah.PRANG!Anya sangat terkejut ketika Vannia mengempaskan ponsel miliknya ke lantai kafe dengan keras, membuat ponsel mahal itu terpental dan retak. Buru-buru Anya memungut ponsel itu dengan tampang kesalnya pada Vannia."Vannia!""Apa?!" tantang Vannia berani. Ia menunjuk wajah Anya dengan perasaan penuh rasa kecewa. "Jadi selama ini kau bermain di belakangku bersama suamiku? Kau bukan sahabatku, Anya. Kau iblis!""Ya. Aku memang iblis yang suamimu cintai. Haruskah aku berbangga diri menjadi seorang iblis sekarang?" Anya tertawa tanpa rasa bersalah."Sudah berap