Share

Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain
Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain
Author: Richie

Bab 1

Author: Richie
"Bu Ayu, Anda yakin ingin mengganti nama Anda dengan nama orang lain?"

"Ya."

Begitu keluar dari hotel, aku menatap langit cerah dan tiba-tiba merasa seakan beban berat telah terangkat dari pundakku. Karena aku akhirnya melepaskan bayangan gelap yang akan menghantuiku seumur hidup.

Aku mencoret namaku dari dokumen pernikahan dan menggantinya dengan nama Sinta Lestari.

Tak lama sebelumnya, aku menerima pesan dari Sinta.

Katanya, dia adalah cinta pertama Damar.

Andai bukan karena ayahku yang menjelang ajalnya menyerahkan wewenang perusahaan pada Damar dengan alasan ingin ada yang menjagaku, mereka berdua tidak akan pernah putus. Damar juga tidak akan pernah setuju untuk menikah denganku.

Sinta bahkan mengirim beberapa foto dirinya bersama Damar di ranjang.

Melihat hal itu, untung saja manajer hotel sedang berada di sisiku. Kalau tidak, mungkin penyakit jantungku langsung kambuh karena terlalu marah.

Saat aku sadar kembali, tiba-tiba segalanya menjadi jelas.

Damar tidak pernah menyentuhku selama lima tahun ini, bukan karena dia menjaga kondisiku yang sakit jantung, tapi karena dia ingin menjaga diri untuk Sinta.

Menyadari hal itu, aku pun mengambil ponsel dan memberi kabar baik pada Sinta. Lagi pula, kalau mereka memang cinta sejati dan menganggap aku perusak hubungan mereka, biarlah aku yang mengalah. Aku beri mereka jalan.

Namun, lima tahun pengorbananku bukanlah hal yang bisa diabaikan. Penipuan yang begitu dalam membuatku sulit bernapas. Bahkan karena kondisi tubuhku, aku tidak sanggup membalas dendam. Jadi, aku memilih untuk pergi.

Aku akan menjual seluruh sahamku di Grup Cahaya sesuai harga pasar, lalu menggunakan uang itu untuk pergi ke luar negeri dan mencari pengobatan terbaik untuk penyakit jantungku.

Mulai sekarang, aku akan hidup untuk diriku sendiri.

Saat semua urusan sudah selesai ditangani, malam pun sudah larut.

Aku pulang ke rumah dan mendapati seluruh ruangan gelap gulita. Awalnya aku mengira Damar seperti biasa sedang lembur dan akan pulang larut malam. Namun saat aku membuka pintu kamar, aku malah melihat seorang pria dan wanita keluar dari kamar tidur dengan pakaian yang kusut dan wajah panik.

Itu adalah Damar dan Sinta.

Mataku melirik samar ke arah bekas lipstik di sudut bibir Damar. Aku tetap bersikap tenang dan berkata, "Aku pulang."

Damar tidak berani menatapku langsung, tapi suaranya tetap lembut dan seolah penuh kasih seperti biasanya. "Maaf, aku pikir kamu nggak akan pulang malam ini, jadi aku ajak Sinta ke sini untuk bahas pekerjaan."

"Kamu tahu sendiri, urusan perusahaan terlalu banyak dan kamu juga nggak bisa banyak bantu karena kondisi kesehatanmu. Jadi aku harus cari bantuan dari orang lain."

Dulu saat mendengar ucapan seperti itu, aku selalu merasa bersalah.

Aku dan almarhum ayahku yang menyerahkan perusahaan besar itu padanya dan membuatnya harus menanggung begitu banyak beban. Karena itulah aku selalu berusaha memahami dan menuruti semua kemauannya.

Misalnya, saat dia membawa Sinta ke rumah dengan dalih membahas pekerjaan, aku akan membuatkan teh dan membantu mereka. Atau saat mereka lembur berdua di kantor sampai larut malam, aku akan memperkirakan waktunya dan mengantar makanan untuk mereka.

Sampai akhirnya, ketika aku setuju menikah dan menyerahkan seluruh sahamku padanya, dia mulai merasa dirinya benar-benar pemilik perusahaan dan mulai memperlakukanku semena-mena.

Waktu itu, aku seperti pembantu bagi mereka berdua. Kalau bukan karena Sinta sendiri yang mengungkap semuanya dan menyadarkanku, mungkin aku masih terjebak dalam dunia yang kubuat sendiri.

Aku menarik napas dalam-dalam, merasa sangat lelah. Aku benar-benar tidak mau lagi melayani mereka berdua. Maka, aku pun mengingatkan, "Bersihkan lipstik di sudut bibirmu."

Kalau mau berpura-pura, setidaknya lakukan dengan profesional. Begitu perasaan cinta itu memudar, melihat Damar lagi pun rasanya hambar.

Damar tertegun, lalu mengusap sudut bibirnya. Saat dia melihat noda merah terang di punggung tangannya, tubuhnya langsung menegang.

Aku berbalik ke dapur untuk menuang segelas air, mencoba menyegarkan diri dan menjernihkan pikiran.

Mungkin ucapanku tadi membuatnya merasa terpojok, karena Damar buru-buru masuk ke dapur dengan wajah panik dan mencoba menjelaskan, "Ayu! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Jangan salah paham, aku dan Sinta nggak ada apa-apa!"

"Itu cuma nggak sengaja ... kesenggol saja."

Aku menatap matanya yang penuh kepanikan. Dia panik karena kebohongannya terbongkar dan ingin mencari-cari alasan.

Untuk sesaat, aku sempat bertanya-tanya dalam hati, apakah selama ini dia hanya berterima kasih atas kebaikan ayahku, atau benar-benar pernah menaruh sedikit perasaan padaku selama proses penipuannya itu?

Namun sekarang, aku tahu jawabannya.

Dua kemungkinan yang sempat kupikirkan itu, ternyata keduanya tidak ada. Sedari awal, dia hanya menginginkan perusahaanku.

Melihat wajahku yang tenang dan diam, Damar mengira aku akan kembali memercayai ucapannya seperti biasa.

Lalu dengan santai dan tanpa rasa bersalah, dia malah mengajukan permintaan, "Ngomong-ngomong, lagian kita juga akan segera menikah, kamu serahkan saja sekarang saham perusahaan itu ke aku."

"Dulu, karena ayahmu memberikan mayoritas saham ke kamu, aku jadi kurang punya suara di rapat pemegang saham. Padahal keputusan ini penting sekali untuk perusahaan, kamu pasti paham maksudku, 'kan?"

Damar kembali berakting, berpura-pura jadi lelaki yang lelah secara fisik dan mental demi masa depan kami yang lebih baik. Namun kali ini, aku tidak akan lagi memanjakannya seperti dulu.

"Aku akan menjual sahamku," kataku datar.

Mengabaikan keterkejutannya, aku melanjutkan, "Kalau kamu memang tertarik, silakan hubungi agenku. Nanti akan aku kirimkan nomornya. Urus saja secara resmi sesuai prosedur."

Kalau saja aku tidak sempat mencari tahu lewat agensi penjualan, mungkin aku akan tetap percaya dengan kebohongannya bahwa perusahaan ini begitu berat untuk dikelola dan dia sangat menderita demi membantuku.

Padahal kenyataannya, perusahaanku sudah berjalan stabil dan sebagai pengelola, dia seharusnya tidak perlu bekerja sekeras itu.

Memikirkan semua itu membuatku tertawa sinis. Tawa itu langsung membuat Damar sadar kembali dari keterkejutannya. Wajahnya memerah karena marah dan dia langsung membentakku, "Ayu! Jangan kekanak-kanakan bisa nggak? Jangan campur adukkan masalah perusahaan dengan rasa cemburumu!"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 19

    Lamaran yang mendadak dan tanpa ancang-ancang ini membuatku tertegun seketika. Detik demi detik berlalu, entah sudah berapa lama waktu berjalan. Yang kuingat hanyalah diriku berdiri seperti patung di tempat, menatap wajah William yang waswas.Tampak jelas dia menggigit bibir, seolah telah mengambil keputusan besar. Meskipun hatinya dipenuhi kegelisahan dan ketakutan, dia tetap mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan kata-kata itu.Akhirnya, di bawah tatapannya yang dipenuhi harap dan ketegangan, aku perlahan mengangguk dan memaksakan diri berkata, "Iya."Jawaban sederhana ini terasa seperti menguras seluruh tenaga dalam tubuhku. Setelah menerima lamarannya, hatiku perlahan tenang dan mulai memikirkan kehidupan kami di masa depan.Selama ini, setelah melewati begitu banyak hal, aku mulai memahami banyak hal dalam hidup. Aku tahu, selama aku bisa menjadi kuat dan mandiri, aku tidak perlu lagi takut pada luka yang mungkin dibawa oleh cinta.Kurasa, meskipun aku akan hidup bersamanya se

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 18

    Begitu salah satu dari mereka mencoba meraba dadaku dengan tangannya yang mesum, aku tanpa ragu langsung mengeluarkan alat kejut listrik dan menghantamkannya ke arah orang itu! Lalu, saat yang lain belum sempat bereaksi, aku langsung menyerang keempat orang sisanya satu per satu!Tak lama kemudian, suara rintihan memenuhi seluruh gang. Kelima orang itu tergeletak di tanah, tubuh mereka kejang-kejang. Aku tidak berpikir panjang dan segera mengeluarkan ponsel untuk menelepon polisi.Siapa pun yang berani menjebakku, biar polisi saja yang cari tahu.Sementara itu, di sisi William ....Dia membuka ponsel dan melihat kotak pesan dari orang yang diberi nama panggilan "Sayang". Begitu membaca bahwa aku akan menjemputnya, dia langsung girang bukan main dan memamerkan pesan itu pada teman-temannya."Lihat nggak? Istriku mau jemput aku! Gimana? Iri 'kan, dasar jomblo!"Teman dekat yang duduk di sampingnya langsung menyikutnya. "Pamer cinta bisa kena kutuk, tahu nggak! Cuma kamu doang yang punya

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 17

    Waktu berlalu begitu cepat. Baru beberapa hari kemudian aku tahu tentang gosip-gosip di internet. Namun, aku sama sekali tidak merasa pusing karenanya. Hal seperti itu bisa dibersihkan dengan klarifikasi selama ada uang.Berita di internet itu penuh dengan yang benar dan yang palsu, siapa juga yang akan terus-menerus peduli pada urusan kecil yang tidak penting?Rencana Damar untuk menekanku lewat opini publik jelas gagal total. Namun, tindakannya justru memicu ledakan emosi dari Sinta.Sinta bersandar di ranjang rumah sakit sambil menatap layar ponselnya, isi hatinya penuh kebencian yang mendidih. Akhirnya, dia tidak sanggup lagi menahan diri. Ponselnya pun dilempar ke atas ranjang dan dia menggertakkan gigi sambil mengumpat penuh dendam."Ayu! Kamu sudah bunuh anakku, sekarang kamu mau rebut priaku juga? Aku benci kamu!"Seorang perawat yang baru masuk untuk mengganti perbannya, sempat mendengar teriakan itu dan melirik dengan jijik.Awalnya dia hampir percaya dengan drama wanita ini.

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 16

    "Kamu cuma ngomong gitu karena marah, 'kan? Kamu yang biasanya lembut, mana mungkin bisa bilang hal seperti itu ...."Damar menatapku hampir seperti memohon. Ini pertama kalinya dia menampakkan ekspresi seperti itu di hadapanku. Mirip seperti ekspresi William waktu menunjukkan lukisan-lukisan lamaku dengan penuh rasa sedih dan bertanya dengan polos apakah aku benar-benar punya tunangan.Namun waktu William melakukannya, ekspresi itu terlihat sangat menyenangkan. Sedangkan saat Damar melakukannya ... hanya membuatku merasa sangat jijik.Mungkin memang begitulah bedanya antara cinta dan tidak cinta. Jadi, aku pun menepis tangannya tanpa ragu."Sejak kamu mengancam nyawaku demi memaksaku menandatangani surat saham, saat itu juga, semua perasaan antara kita sudah selesai."Bibir Damar bergerak sedikit, tapi tak ada kata yang keluar. Apa pun yang dia katakan sekarang, terdengar sia-sia. Dia tidak pernah menyangka, wanita yang dulu begitu mencintainya ... bisa pergi sejauh ini darinya.Bahka

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 15

    Tatapanku langsung tertuju pada Damar dengan penuh keterkejutan. Bahkan dokter yang tadi pun tampak sangat kesal. Dia langsung menepis tangan Damar yang masih mencengkeram kerah jasnya, lalu berkata dengan suara dingin, "Jangan omong kosong seperti itu."Setelah berkata demikian, dia pun segera berbalik dan kembali masuk ke ruang operasi. Tadi dia keluar hanya untuk menyampaikan kabar saja.Lalu, kulihat Damar mulai mengentak-entakkan tangannya ke pintu ruang operasi dengan penuh kepanikan. "Selamatkan anaknya! Kalian dengar nggak?! Selamatkan anaknya!"Melihat kelakuan seperti itu, aku tak bisa menahan keterkejutanku dan bertanya, "Kamu ini setidaknya lulusan S2, masa hal dasar begini saja nggak tahu? Mau kamu bilang apa pun ... menurut hukum, yang harus diselamatkan duluan adalah ibunya."Tubuh Damar langsung menegang. Namun, kemudian dia berbalik menatapku dengan ekspresi sok romantis dan berkata, "Kamu sendiri bilang kamu nggak suka Sinta, bukan? Kalau kita cuma pertahankan anaknya

  • Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain   Bab 14

    Sinta tergeletak di tanah, wajahnya dipenuhi rasa takut sambil menjerit kesakitan. Aku bisa melihat dengan jelas, darah perlahan mengalir dari antara kedua kakinya. Aku panik dan segera mengeluarkan ponsel untuk menelepon ambulans.Orang-orang di sekitar pun langsung memberi jalan.Hal ini berkaitan dengan nyawa. Sekalipun ada dendam sebesar apa pun, aku bukan orang yang akan membiarkan seseorang mati di depan mataku. Terlebih lagi, ada begitu banyak pasang mata yang menyaksikan.Saat Sinta akhirnya dibawa masuk ke mobil ambulans, aku meminta William untuk pergi menerima penghargaannya dulu.Setelah berulang kali kudorong dengan tegas, akhirnya dia mengalah dan tidak ikut naik ke ambulans bersamaku. Kejadian ini terjadi di hari yang seharusnya jadi hari bahagianya. Aku merasa sangat bersalah.William yang bisa membaca pikiranku, menenangkanku sambil berkata, "Ini bukan salahmu. Dia sendiri yang cari masalah. Tenang saja, tunggu aku. Setelah selesai, aku akan menyusulmu."Aku mengangguk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status