Share

Empat

Author: Dewanu
last update Last Updated: 2025-08-23 13:21:45

Bagas terdiam sejenak, dia tau soal kisah itu. Kisah tragis hubungan Asih dan Arif. Tapi itu kan cuma masa lalu?

"Asih, lupakan dia. Meskipun dia ternyata masih hidup, dia bukanlah Arif yang kau kenal."

"Maksudmu... dia orang yang berbeda?"

"Ya. Khabarnya dia menderita amnesia."

Pantas saja, itulah sebabnya Arif tidak merespon keberadaannya di rumah itu.

Asih tertegun. Akan tetapi seperti kata Bagas, bukankah ia harus melupakannya?

Dengan ragu iapun menjawab, "Baiklah, aku mengerti, tentu saja aku bisa melupakan dia. Setidaknya bersyukur bahwa berita bunuh diri karenaku itu tidak benar."

Lalu Asih kembali bertanya soal pembayaran vila itu. "Pertemukan aku dengan pembeli Vila itu, Gas. Aku sangat membutuhkan uang."

Malam harinya, Hardi pulang ke rumah dalam keadaan letih. Ia melemparkan jaketnya dengan asal. Seperti biasa, Asih memungut jaket itu lalu meletakkannya di dalam lemari.

"Asih, pijat kakiku. Aku capek sekali," keluh Hardi sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

Tanpa banyak kata, Asih mengambil minyak urut dan memijat kaki suaminya itu. Meskipun diliputi rasa kesal, Asih tetap melayani Hardi dengan baik, menyimpan emosinya rapat-rapat. Ia sudah terbiasa menelan semua kekecewaan. Beberapa saat kemudian, ia bertanya dengan nada yang terdengar polos pada suaminya.

"Mas, tadi Ibu bilang kalau kau mau menikahi perempuan yang bernama Citra itu?"

Hardi terkejut. Meskipun ia memang berniat begitu, ia tentu tidak akan memberi tahu Asih secepat ini. Namun, melihat Asih terlihat biasa saja—tanpa ekspresi marah atau sedih—Hardi merasa mungkin ia bisa mulai membuka diri.

"Bagaimana kau tahu kabar burung itu?" tanya Hardi, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.

"Apa menurutmu Ibu juga mendapatkan kabar burung dari seseorang, Mas?" Asih membalas, nadanya tetap datar, namun menyimpan makna tersembunyi. "Jujur saja, rencana itu sudah lama kalian rencanakan. Kau mau aku pergi?"

Hardi terdiam. Pijatan Asih yang tadinya terasa enak dan lembut kini terasa hambar karena pikirannya berputar mencari jawaban atas pertanyaan itu.

"Tidak perlu dipikirkan, Asih. Jangan sampai ucapan yang belum tentu kebenarannya mengganggumu."

"Tapi sepertinya ibu serius?"

Hardi bangun untuk duduk, menatap istrinya, mencari tahu sejauh apa istri polosnya itu bereaksi.

"Bagaimana menurutmu? Ibu hanya menuntut keturunan dariku, aku nggak bisa menentangnya."

"Jadi itu benar? Bahwa kalian punya rencana untuk ke arah sana?"

Hardi gugup, justru karena betapa tenangnya Asih mendengar berita ini. Dengan cepat ia pun mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Asih yang menuntut penjelasan. "Masih belum pasti. Citra itu artis, nggak semudah itu." elaknya, mencari alasan yang paling masuk akal.

Asih tersenyum sinis, ia tak mengerti semua jalan pikiran keluarga Hardi yang ekstrim.

"Jadi aku harus menyetujui pernikahan kalian, kan?"

Pertanyaan yang sebenarnya telah Asih siapkan, sebagai alat untuk memuluskan rencananya.

"Eh... apa...kau setuju?"

Jawaban bodoh itu, tidakkah dia sadar siapa yang diajak bicara? Seorang istri, akankah semudah itu menyetujui? Tapi, inilah rule yang Asih mainkan.

"Bukan begitu, Mas. Hanya saja aku sudah tak punya siapa-siapa, jadi aku butuh hidupku terjamin. Aku tidak minta belas kasihan, tapi kembalikan semua yang kau habiskan saat menikah denganku."

Hardi membeku. Istrinya yang selama ini ia anggap polos, bagaimana bisa ia tahu, membuat syarat dengan hal seperti itu? Bukankah ini pemerasan? batinnya.

"Asih, nggak usah dipikirin, uang segitu kecil bagiku, asal kau mau cerai aku akan kasih kemauanmu."

"Tapi... kau yakin mau bercerai dariku?" Hardi menguji, mencoba memastikan Asih tidak akan menarik kata-katanya.

Asih tersenyum tipis lalu berbalik, melangkah anggun menuju nakas. Ia mengambil lembaran kertas yang sudah disiapkan di sana—sebuah lembaran bersegel yang ia persiapkan setelah pertemuan sorenya dengan Bagas.

"Tanda tangani kertas-kertas ini, Mas. Ini adalah syarat yang harus kau penuhi," ujarnya. "Tanah tepi pantai itu, beri aku wewenang untuk menjualnya, Bukankah kau berniat untuk menjualnya tempo hari?" kata Asih, menyorongkan dokumen itu ke hadapan Hardi. "Setelah ini, aku akan menganggap angin lalu semua rencanamu dengan Ibu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sepuluh

    "Maaf, aku tidak akan menyinggung soal pribadi di sini. Meskipun kita adalah keluarga, kau tidak berhak tau urusan keluargaku," jawab Asih lalu berdiri dari duduknya kalau berkata, "Oh ya, aku akan mengantar ibu ke Bandara, jadi aku harus pergi," katanya dan berlalu dari sana. Asih memutuskan untuk cepat pergi dari sana, lalu menuju lobi hotel untuk check out. Keberadaan Arif di sana membuatnya tidak nyaman, ia harus segera pergi dari sana. Asih menjemput keluarga Hardi, sengaja melayani mereka, menunjukkan sebenarnya mereka selalu membutuhkan Asih dalam segala keadaan. Sesampainya di sana, Hardi dan ibunya sudah berdiri cemas di lobi hotel. Begitu juga Citra duduk cemberut di bangku menatap jengah kehadirannya. "Cepat, angkat barang-barangku!" perintah Melly saat Asih sudah dekat. Pandangan Asih langsung tertuju pada tumpukan barang di sudut ruangan. "Kenapa diam saja? Cepat angkat keluar!" Asih melihat ke arah Hardi. "Dia yang laki-laki, kenapa aku yang harus angk

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sembilan

    Hardi tak bisa berkata-kata, saat Asih sedikit keras menepis tangan Hardi dari pergelangan tangannya. Hardi menatap punggung Asih yang menjauh. Ada rasa bangga menyelimuti hatinya. Asih begitu pengertian padanya. Wanita itu kini terlihat semakin cantik dan penuh percaya diri. Hardi lupa bahwa berkas perceraian sudah ditandatangani olehnya. Sesampainya di penginapan, Asih hendak membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba, pintu kamar di sebelahnya terbuka dan seseorang keluar. Mereka saling terpaku, bertatapan mata. Jantung Asih berdegup kencang. Ia tak bisa percaya. Pria di sebelah kamarnya itu ternyata Arif Raharja. Arif tersenyum tipis. "Bukankah kamu Kakak Ipar Helena?" suaranya lembut, namun membuat Asih semakin gugup. Dengan jemari yang mendadak dingin, Asih mengangguk pelan. "Benar. Kamu... ada di sini?" "Kebetulan sekali," ujar Arif, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit Asih baca. "Tapi... di mana Mas Hardi?" "Eh, itu... kami..." Asih tergagap, mencari kata-kata. "Kalian tidak

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Delapan

    Saat pintu kamarnya terbuka perlahan, seorang staf office boy (OB) berdiri di sana, menatapnya dengan raut khawatir yang tulus. "Maaf, Bu, saya mendapatkan laporan dari kamar sebelah ada suara tangisan yang sedikit mengganggu. Apakah Anda membutuhkan sesuatu?" tanya OB itu dengan sopan, nadanya lembut, seolah tak ingin menambah beban Asih. Asih tersentak, rasa malu seketika menyerbu karena tangisannya yang tak tertahankan telah terdengar. Wajahnya memerah, bukan hanya karena air mata tapi juga karena rasa terkejut. Ia buru-buru menarik napas, berusaha menormalkan suaranya yang serak. "Oh, maafkan saya, Mas. Saya... saya baik-baik saja. Mungkin saya hanya sedikit kelelahan." Ia memaksakan senyum tipis, berharap OB itu segera pergi, agar ia bisa kembali tenggelam dalam kesendiriannya. OB itu mengangguk penuh pengertian, memberikan senyum simpati, dan pamit undur diri. Asih menutup pintu, seolah ingin mengunci kerapuhannya di dalam. Lega, karena tak ada yang perlu tahu badai emosi

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Tujuh

    Berfoya-foya? Hardi benar-benar terperangah. Asih adalah istri yang sangat hemat, kenapa dia mau berfoya-foya? "Oh tidak, aku tidak bisa menurutimu." "Tapi Mas, aku sudah terlanjur memesan tiket pesawat untuk kita berempat." "Berempat?" Hardi tentu saja tidak langsung setuju. "Makin kesini kau ini makin melunjak," cibirnya pedas. "Memangnya kau keberatan kalau aku mengatakan ini sebagai permintaanku yang terakhir?" katanya dengan wajah yang sendu, seolah sedang menyesali sesuatu. "Aku... pengen perpisahan denganmu sekaligus mengajak ibu dan Citra." "Hah? Kau... serius?" Wanita itu mengangguk. Hardi mengerutkan keningnya. Permintaan terakhir Asih sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Transportasi ke Bali juga tidak mahal. Selain itu setelah ini ia akan kembali ke rumah ibu setelah Helena menikah. Jadi dia cuma butuh Citra mau menikah dengannya. "Oke, kita ke Bali." ### Setelah mendapatkan jadwal penerbangan, Asih mengirim bukti pemesanan tiket ke nomor Hardi dan

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Enam

    "Kau... serius bisa menjual dengan harga dua miliar?" Asih menatap Hardi, sorot mata itu adalah sorot mata pasrah karena tidak ada pilihan lain. "Aku akan usahakan, Mas. Kalau kau percaya padaku, dan memberikan toko itu sebagai komisi, maka aku akan membantumu." Bagi Asih, motivasi terbesarnya saat ini adalah membalikkan keadaan. Hinaan, cemoohan, dan perlakuan kasar mereka selama ini harus ada harga yang harus dibayar oleh suaminya itu. Mengambil satu persatu aset Hardi akan menjadi hiburan yang menyenangkan. "Eh... kau janji kan?" Asih cepat mengangguk. "Baiklah, aku setuju. Bukankah aku sudah tandatangani semua yang kau butuhkan?" Asih tersenyum manis pada suaminya, senyum termanis yang harus Hardi ingat untuk selamanya. Setelah Hardi lelap dalam tidurnya, Asih menatap tanda tangan Hardi di atas kertas. Bibirnya membentuk senyum tipis yang tak terlihat. Di ponselnya, suara Bagas terdengar terkejut, "Kau benar-benar menjual vilamu pada hanya untuk membeli tanah Hard

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   lima

    "Aku takut kau menyesal bercerai dariku, Asih," tiba-tiba Hardi bersuara. Rupanya saat menandatangani berkas itu pikirannya berkutat pada sikap Asih yang sangat tenang. Apa maksudmu, Mas? Kita putuskan saja untuk bercerai. Dengan begitu Citra akan senang dan segera menerima lamaran darimu." Sedikit ragu, Hardi terus membubuhi tanda tangan. Beberapa berkas kertas yang Hardi sendiri tak yakin apa yang ada di dalamnya. Hardi harus menandatangani berkas itu sebelum Asih berubah pikiran. Asih tersenyum menang, meskipun hatinya sangat sakit ia merasa terbebas sekarang, ia berharap rencananya akan berjalan mulus. "Mas, surat ini adalah surat wewenang penjualan tanah tepi pantai, dan yang ini adalah berkas pengajuan perceraian. Adapun selain itu, kau akan tau nanti," terang Asih seolah semua itu hanya berkas sepele. Iapun mengambil dari hadapan Hardi, mengumpulkan menjadi satu dalam sebuah map. Hardi mengerutkan dahi, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tadinya ia mengira ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status