LOGIN"Jangan ganggu Hardi, dia lagi ada tamu penting," ucap Melly tanpa sedikit pun empati, menghalangi jalan Asih.
Asih melongok dari balik kaca pembatas. Wanita tadi tidak terlihat seperti tamu resmi. Ia melihat mereka berdua berbincang santai dan bercengkrama, bahkan Hardi tertawa lepas. "Tamu penting?" ulang Asih, nadanya penuh sindiran. "Menurutku dia perempuan genit yang kurang bisa menempatkan diri. Bercanda seperti itu, apa tidak bahaya?" Melly menyeringai. "Bahaya apa maksudmu? Citra itu artis seperti Helena. Kalau dia mau dinikahi Hardi maka kau harus terima." Asih tercengang. "Jadi, kalau dia artis aku harus terima dia bermesraan dengan suamiku? Karena dia artis, dia bisa merebut suami orang?" "Siapa yang merebut?" Melly balik menyindir. "Hardi mau dan dia juga mau dinikahi Hardi." Asih mengerutkan kening, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Bahkan di usianya yang menjelang senja, wanita ini masih sanggup berhalusinasi. "Dinikahi Hardi?" "Iya. Bagaimanapun kami pengin Hardi punya keturunan," jawab Melly enteng. "Oh, begitu rupanya," jawab Asih santai. "Apa maksud Ibu... lalu bagaimana denganku?" tanya Asih, dengan suara yang dibuat-buat terkejut. "Apa dia mau jadi istri kedua?" Melly tersenyum sinis, matanya memancarkan kekejaman. "Kalau dia tidak mau, ya terpaksa kau harus menyingkir." Ucapan itu sontak memicu kemarahan Asih. Darahnya mendidih. "Baiklah, kalau memang itu yang Ibu mau. Aku pasti akan menyingkir. Buat apa juga punya suami sampah, suami yang tidak pernah mau bersyukur," balas Asih, suaranya pelan tapi menusuk. "Apa katamu? Bersyukur seperti apa? Sudah lima tahun kau bahkan tidak bisa memberikan anak buat Hardi. Ini semua salahmu!" Asih berusaha mengendalikan diri, tak mau berdebat lebih jauh lagi. Ia memilih diam, tapi ibu mertuanya itu malah terus mengoceh. "Asih, sampai kapan kamu mau terus-terusan jadi beban Hardi? Sudah miskin, tak punya penghasilan, dan yang paling tidak menyenangkan adalah kamu itu mandul," katanya, menekan kata terakhir. "Kalau Citra, Hardi punya masa depan yang cerah karena dia jago bisnis, jago akting, dan masih muda. Coba kalau kau seperti dia, tidak mungkin Hardi ingin pisah darimu." Asih tertegun. Kata-kata pedas itu seharusnya menghancurkannya, tapi sebaliknya, semua kekurangan yang disebutkan justru membuatnya membuka mata. Selama ini, ia memang telah memenjarakan dirinya sendiri dan terkunci dalam ketidakberdayaan. Ia menatap Melly, senyum sinis muncul di bibirnya. "Apa masih ada yang lain, Bu?" tanya Asih skeptis. "Apa ada kesalahan dan dosa lain yang selama ini kulakukan pada keluarga ini?" "Dasar menantu tidak punya sopan santun! Kamu ini lagi melawanku, ya? Kau menantangku?" "Bu, semut saja kalau diinjak melawan, apalagi singa," ketus Asih, lalu berbalik melenggang pergi. Ia berjalan cepat, berbisik pada dirinya sendiri. "Sudahlah, biarkan saja mereka jungkir balik. Asalkan aku sudah punya uang, akan kubeli semua harga diri Hardi itu." Sesampainya di rumah, ia segera menghubungi Bagas. Kepalanya rasanya mau pecah dengan semua masalah yang ada. Dengan mertua, ipar dan bahkan suami sendiri. Bagaimana lagi kalau nanti Arif sudah benar-benar jadi suami Helena? Dengan hati penuh harap, Asih menghubungi Bagas. "Gas, kapan aku bisa menerima uangnya?" "Astaga, kau sudah tidak sabaran ya?" sindir Bagas. "Bukan cuma tidak sabar, Gas. Ada banyak hal yang harus kuselesaikan. Aku butuh secepatnya." "Benarkah? Memangnya masalah apa?" "Uhm...Aku... mau bercerai saja dengan Hardi, tapi..." "Bercerai? Kenapa?" "Kau bahkan sudah tahu suamiku selingkuh, tapi kau diam saja? Sekarang aku melihatnya sendiri, dan wanita itu dia memang cantik, iya kan?" Asih mencari alasan yang mungkin paling tepat saat ini. Padahal, masalahnya tidak sesederhana itu. "Kau tidak mau bertahan?" "Untuk apa? Untuk membuatku gila?" bantah Asih. "Asih, aku minta maaf, aku juga baru tahu soal itu. Tapi. bercerai..." "Tidak masalah, Gas. Lebih baik bercerai dari pada dianggap debu. Lagipula sekali berkhianat aku tidak akan pernah lagi percaya padanya." "Lalu, apa yang akan kau lakukan?" Ada banyak rencana di benaknya, tapi satu hal tidak boleh ia lewatkan. Ia akan menunjukkan bahwa orang yang mereka hina akan membuat perhitungan. Mereka harus membayar apa yang telah ia rasakan selama ini. "Asih? Kau mendengarku?" "Iya, aku mendengarmu. Intinya, aku tidak akan bertahan lagi di rumah ini," jawabnya. "Dan satu hal lagi, Bagas. Aku mau bertanya padamu karena kau atasan Helena. Aku tak mengerti bagaimana Arif bisa hidup kembali, dan muncul sebagai adik iparku sementara kau tidak pernah memberitahuku?" bisik Asih, "Bisakah kau menjelaskannya padaku?"Kekasih gelap Arif Raharja? Pembantu keluarga Hardi? Apa yang mereka maksudkan? Asih merasa ada yang tak beres. Ia menyabarkan dirinya, tidak tergesa-gesa dalam mengungkap kebenaran ucapan mereka. Setelah semua selesai, beberapa pria keluar mencari angin segar dan bersantai di halaman samping. Secara kebetulan Asih berada di sana dan salah seorang dari mereka mendekati Asih. "Hebat ya, kamu. Pembantu tapi sudah jadi terkenal," sindir pria itu, nada suaranya penuh ejekan. "Apa maksudmu?" Asih mengerutkan kening. "Kau enggak tahu? Nih kalau mau tahu, kamu sudah masuk koran nasional dan menjadi terkenal. Jujur, kalau kamu terawat begitu, kau tak terlihat kalau hanya seorang pembantu." Pria itu menyodorkan selembar koran yang sudah terlipat. Asih menerima koran itu dan membacanya. Matanya membelalak, ia akhirnya mengerti sekarang. Helena telah melancarkan rencananya. "Kalau begitu, apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Asih, suaranya tercekat. "Ah tidak, kami cuma mencari
Helena menelan ludah, mencari kejujuran di sorot mata Arif. Ia mulai sangsi dengan dugaannya sendiri, entah mengapa ia menjadi paranoid setelah melihat foto-foto itu. Namun, jika ia berani membahasnya, bukankah itu justru akan membuat Arif mengingat siapa Asih sebenarnya? Sebentar lagi wanita itu (Asih) harus pergi, tak seharusnya ia merusak segalanya. "Sayang, kau pasti tahu perasaan cintaku padamu," sungutnya, nadanya melunak, ada sedikit keputusasaan di sana. "Aku tentu saja bisa salah paham dengan berita aneh ini." Di hadapan semua orang yang di sana, tidak seharusnya Helena mengungkap kehidupan pribadi calon suaminya. Helena lalu melingkarkan tangannya di lengan Arif dan menatap staf media kesal, "Lain kali, kalau mau menerbitkan berita, tolong konfirmasi dulu dengan benar!" bentaknya. Arif mengangguk pada Helena, lalu menatap tajam ke arah staf media. "Benar, kalian ternyata terlalu berani mengusik reputasiku. Kalian seharusnya menanggung konsekuensi dariku." Saat Arif b
Sesaat Asih terkesima dengan semua sikap Arif, mencoba memahami sisi gelap yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Enam tahun lalu, hanya ada sikap manis dan penuh kasih dari pria ini. Namun, Asih sadar, dirinyalah yang telah membuatnya menjadi seperti ini. "Jadi kau inginkan kematianku? Kau ingin aku merasakan apa yang kau alami?" tanya Asih lirih, masih diliputi ketakutan. "Aku bersalah, tapi rumah ini tidaklah bersalah padamu, Arif?" Kedua mata Arif memerah, ada luka yang tengah menyala di sana. Namun, melihat Asih seolah menyerah begitu saja justru membuatnya kesal. "Apa kau sanggup menanggung konsekuensinya?" tanyanya balik, dengan nada mengancam. "Apa yang kau inginkan?" Asih balik bertanya. Tiba-tiba, dari saku pria itu terdengar dering ponsel, memecah ketegangan di antara mereka. Arif mengangkat panggilan itu. "Pak, ada berita buruk," sebuah suara dari seberang membuat Arif mengerutkan dahinya. "Berita buruk apa maksudmu?" Arif menjauh, melangkah meninggalkan Asih
"Asih, apakah kau akan menyerah sekarang? Sepertinya takdir tidak berpihak padamu," suara tajam itu, yang hanya menggema di benaknya, mencekiknya. Dada Asih terasa sesak. Ia merasa seperti mempertaruhkan segalanya, menjual satu-satunya peninggalan berharga demi martabat dirinya, namun kini ia malah terhempas begitu saja. Apalagi yang bisa diharapkan? Asih menepuk dadanya kuat-kuat, berusaha mengumpulkan akal sehat yang tersisa untuk menegakkan tubuhnya. Ya, hanya dengan akal sehat, semua ini akan teratasi. "Aku tidak akan menyerah, Arif. Kalau perlu, kau harus hancur bersama mereka," bisik Asih, suaranya bergetar menahan gejolak amarah dan kepedihan yang membuatnya tak kuasa menahan air mata. Perlahan, butiran bening itu meluncur membasahi pipinya. Dengan tekad yang membara di balik tangisnya, Asih tetap berkehendak untuk mengambil gambar setiap detail rumah. Kecuali satu sudut: tempat dulu ia selalu bertemu Arif. Ya, entah mengapa, kini ia membenci setiap kenangan di sana, memb
Bagas akhirnya menghubungi Asih. Hari ini adalah waktu serah terima sertifikat vila miliknya. Pagi itu, semangat Asih membuncah. Ia mengenakan gamis peach dan hijab berwarna salem, warnanya kontras menawan dengan kulit kuning langsatnya. Riasan tipis yang memulas wajahnya membuat Asih terlihat berseri, memancarkan aura kegembiraan. Asih segera menuju lokasi yang Bagas sebutkan: sebuah restoran lesehan di pinggir kota. "Kau harus menemuinya tepat waktu, Asih. Maklum saja, dia orang sibuk. Itulah sebabnya tidak bisa menemuimu tempo hari," pesan Bagas tadi pagi. "Enggak masalah, Gas. Aku akan sampai di sana lebih dulu," jawab Asih penuh percaya diri. Ia pun menemukan restoran itu. Tampilannya sangat asri, dengan berbagai macam ukiran indah menghiasi setiap sudut. Asih mengagumi detailnya. Selama ini, ia terlalu banyak berdiam di rumah, sehingga tak menyadari ada tempat sebagus ini di kota kelahirannya. Dua pramusaji menyambutnya dengan senyum ramah. "Meja atas nama Ibu Asih ada di
"Sombong!" dengan suara menggelegar Melly membentaknya keras. "Bersih-bersih toko saja sudah nggak mau. Kau ini semakin banyak membangkang!" Asih bangkit dari duduknya, hendak pergi. "Kalau nggak ada yang lain, sepertinya saya harus pulang." "Lihatlah, sama ibu mertuanya saja nggak punya sopan santun!" "Bu, Helena yang punya toko, biar dia yang bersih-bersih, itu kan toko calon suaminya, pasti Helena lebih pantas untuk membersihkannya." Asih hanya melirik sekilas Arif dan Helena lalu beranjak dari sana. Hardi segera memanggilnya, "Asih, duduklah dulu, kita belum selesai membicarakan penjualan tokonya." Akhirnya Asih duduk kembali. Di dalam surat itu, Hardi mendapatkan pembagian tujuh puluh persen dari harga toko. Akan tetapi hanya tersisa sepuluh persen saja setelah dikurangi hak Helena atas tanah tepi pantai. Pemilik sah toko adalah Arif Raharja. "Ayo tanda tangani sebagai saksi," perintah Arif. Dengan berat, Asih akhirnya menandatangani surat itu. Pertemuan







