Share

Tiga

Author: Dewanu
last update Last Updated: 2025-08-25 18:00:19

"Jangan ganggu Hardi, dia lagi ada tamu penting," ucap Melly tanpa sedikit pun empati, menghalangi jalan Asih.

Asih melongok dari balik kaca pembatas. Wanita tadi tidak terlihat seperti tamu resmi. Ia melihat mereka berdua berbincang santai dan bercengkrama, bahkan Hardi tertawa lepas.

"Tamu penting?" ulang Asih, nadanya penuh sindiran. "Menurutku dia perempuan genit yang kurang bisa menempatkan diri. Bercanda seperti itu, apa tidak bahaya?"

Melly menyeringai. "Bahaya apa maksudmu? Citra itu artis seperti Helena. Kalau dia mau dinikahi Hardi maka kau harus terima."

Asih tercengang. "Jadi, kalau dia artis aku harus terima dia bermesraan dengan suamiku? Karena dia artis, dia bisa merebut suami orang?"

"Siapa yang merebut?" Melly balik menyindir. "Hardi mau dan dia juga mau dinikahi Hardi."

Asih mengerutkan kening, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Bahkan di usianya yang menjelang senja, wanita ini masih sanggup berhalusinasi. "Dinikahi Hardi?"

"Iya. Bagaimanapun kami pengin Hardi punya keturunan," jawab Melly enteng.

"Oh, begitu rupanya," jawab Asih santai. "Apa maksud Ibu... lalu bagaimana denganku?" tanya Asih, dengan suara yang dibuat-buat terkejut. "Apa dia mau jadi istri kedua?"

Melly tersenyum sinis, matanya memancarkan kekejaman. "Kalau dia tidak mau, ya terpaksa kau harus menyingkir."

Ucapan itu sontak memicu kemarahan Asih. Darahnya mendidih. "Baiklah, kalau memang itu yang Ibu mau. Aku pasti akan menyingkir. Buat apa juga punya suami sampah, suami yang tidak pernah mau bersyukur," balas Asih, suaranya pelan tapi menusuk.

"Apa katamu? Bersyukur seperti apa? Sudah lima tahun kau bahkan tidak bisa memberikan anak buat Hardi. Ini semua salahmu!"

Asih berusaha mengendalikan diri, tak mau berdebat lebih jauh lagi. Ia memilih diam, tapi ibu mertuanya itu malah terus mengoceh.

"Asih, sampai kapan kamu mau terus-terusan jadi beban Hardi? Sudah miskin, tak punya penghasilan, dan yang paling tidak menyenangkan adalah kamu itu mandul," katanya, menekan kata terakhir. "Kalau Citra, Hardi punya masa depan yang cerah karena dia jago bisnis, jago akting, dan masih muda. Coba kalau kau seperti dia, tidak mungkin Hardi ingin pisah darimu."

Asih tertegun. Kata-kata pedas itu seharusnya menghancurkannya, tapi sebaliknya, semua kekurangan yang disebutkan justru membuatnya membuka mata. Selama ini, ia memang telah memenjarakan dirinya sendiri dan terkunci dalam ketidakberdayaan. Ia menatap Melly, senyum sinis muncul di bibirnya.

"Apa masih ada yang lain, Bu?" tanya Asih skeptis. "Apa ada kesalahan dan dosa lain yang selama ini kulakukan pada keluarga ini?"

"Dasar menantu tidak punya sopan santun! Kamu ini lagi melawanku, ya? Kau menantangku?"

"Bu, semut saja kalau diinjak melawan, apalagi singa," ketus Asih, lalu berbalik melenggang pergi.

Ia berjalan cepat, berbisik pada dirinya sendiri. "Sudahlah, biarkan saja mereka jungkir balik. Asalkan aku sudah punya uang, akan kubeli semua harga diri Hardi itu."

Sesampainya di rumah, ia segera menghubungi Bagas. Kepalanya rasanya mau pecah dengan semua masalah yang ada. Dengan mertua, ipar dan bahkan suami sendiri. Bagaimana lagi kalau nanti Arif sudah benar-benar jadi suami Helena?

Dengan hati penuh harap, Asih menghubungi Bagas.

"Gas, kapan aku bisa menerima uangnya?"

"Astaga, kau sudah tidak sabaran ya?" sindir Bagas.

"Bukan cuma tidak sabar, Gas. Ada banyak hal yang harus kuselesaikan. Aku butuh secepatnya."

"Benarkah? Memangnya masalah apa?"

"Uhm...Aku... mau bercerai saja dengan Hardi, tapi..."

"Bercerai? Kenapa?"

"Kau bahkan sudah tahu suamiku selingkuh, tapi kau diam saja? Sekarang aku melihatnya sendiri, dan wanita itu dia memang cantik, iya kan?" Asih mencari alasan yang mungkin paling tepat saat ini. Padahal, masalahnya tidak sesederhana itu.

"Kau tidak mau bertahan?"

"Untuk apa? Untuk membuatku gila?" bantah Asih.

"Asih, aku minta maaf, aku juga baru tahu soal itu. Tapi. bercerai..."

"Tidak masalah, Gas. Lebih baik bercerai dari pada dianggap debu. Lagipula sekali berkhianat aku tidak akan pernah lagi percaya padanya."

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"

Ada banyak rencana di benaknya, tapi satu hal tidak boleh ia lewatkan. Ia akan menunjukkan bahwa orang yang mereka hina akan membuat perhitungan. Mereka harus membayar apa yang telah ia rasakan selama ini.

"Asih? Kau mendengarku?"

"Iya, aku mendengarmu. Intinya, aku tidak akan bertahan lagi di rumah ini," jawabnya. "Dan satu hal lagi, Bagas. Aku mau bertanya padamu karena kau atasan Helena. Aku tak mengerti bagaimana Arif bisa hidup kembali, dan muncul sebagai adik iparku sementara kau tidak pernah memberitahuku?" bisik Asih, "Bisakah kau menjelaskannya padaku?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sepuluh

    "Maaf, aku tidak akan menyinggung soal pribadi di sini. Meskipun kita adalah keluarga, kau tidak berhak tau urusan keluargaku," jawab Asih lalu berdiri dari duduknya kalau berkata, "Oh ya, aku akan mengantar ibu ke Bandara, jadi aku harus pergi," katanya dan berlalu dari sana. Asih memutuskan untuk cepat pergi dari sana, lalu menuju lobi hotel untuk check out. Keberadaan Arif di sana membuatnya tidak nyaman, ia harus segera pergi dari sana. Asih menjemput keluarga Hardi, sengaja melayani mereka, menunjukkan sebenarnya mereka selalu membutuhkan Asih dalam segala keadaan. Sesampainya di sana, Hardi dan ibunya sudah berdiri cemas di lobi hotel. Begitu juga Citra duduk cemberut di bangku menatap jengah kehadirannya. "Cepat, angkat barang-barangku!" perintah Melly saat Asih sudah dekat. Pandangan Asih langsung tertuju pada tumpukan barang di sudut ruangan. "Kenapa diam saja? Cepat angkat keluar!" Asih melihat ke arah Hardi. "Dia yang laki-laki, kenapa aku yang harus angk

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sembilan

    Hardi tak bisa berkata-kata, saat Asih sedikit keras menepis tangan Hardi dari pergelangan tangannya. Hardi menatap punggung Asih yang menjauh. Ada rasa bangga menyelimuti hatinya. Asih begitu pengertian padanya. Wanita itu kini terlihat semakin cantik dan penuh percaya diri. Hardi lupa bahwa berkas perceraian sudah ditandatangani olehnya. Sesampainya di penginapan, Asih hendak membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba, pintu kamar di sebelahnya terbuka dan seseorang keluar. Mereka saling terpaku, bertatapan mata. Jantung Asih berdegup kencang. Ia tak bisa percaya. Pria di sebelah kamarnya itu ternyata Arif Raharja. Arif tersenyum tipis. "Bukankah kamu Kakak Ipar Helena?" suaranya lembut, namun membuat Asih semakin gugup. Dengan jemari yang mendadak dingin, Asih mengangguk pelan. "Benar. Kamu... ada di sini?" "Kebetulan sekali," ujar Arif, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit Asih baca. "Tapi... di mana Mas Hardi?" "Eh, itu... kami..." Asih tergagap, mencari kata-kata. "Kalian tidak

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Delapan

    Saat pintu kamarnya terbuka perlahan, seorang staf office boy (OB) berdiri di sana, menatapnya dengan raut khawatir yang tulus. "Maaf, Bu, saya mendapatkan laporan dari kamar sebelah ada suara tangisan yang sedikit mengganggu. Apakah Anda membutuhkan sesuatu?" tanya OB itu dengan sopan, nadanya lembut, seolah tak ingin menambah beban Asih. Asih tersentak, rasa malu seketika menyerbu karena tangisannya yang tak tertahankan telah terdengar. Wajahnya memerah, bukan hanya karena air mata tapi juga karena rasa terkejut. Ia buru-buru menarik napas, berusaha menormalkan suaranya yang serak. "Oh, maafkan saya, Mas. Saya... saya baik-baik saja. Mungkin saya hanya sedikit kelelahan." Ia memaksakan senyum tipis, berharap OB itu segera pergi, agar ia bisa kembali tenggelam dalam kesendiriannya. OB itu mengangguk penuh pengertian, memberikan senyum simpati, dan pamit undur diri. Asih menutup pintu, seolah ingin mengunci kerapuhannya di dalam. Lega, karena tak ada yang perlu tahu badai emosi

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Tujuh

    Berfoya-foya? Hardi benar-benar terperangah. Asih adalah istri yang sangat hemat, kenapa dia mau berfoya-foya? "Oh tidak, aku tidak bisa menurutimu." "Tapi Mas, aku sudah terlanjur memesan tiket pesawat untuk kita berempat." "Berempat?" Hardi tentu saja tidak langsung setuju. "Makin kesini kau ini makin melunjak," cibirnya pedas. "Memangnya kau keberatan kalau aku mengatakan ini sebagai permintaanku yang terakhir?" katanya dengan wajah yang sendu, seolah sedang menyesali sesuatu. "Aku... pengen perpisahan denganmu sekaligus mengajak ibu dan Citra." "Hah? Kau... serius?" Wanita itu mengangguk. Hardi mengerutkan keningnya. Permintaan terakhir Asih sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Transportasi ke Bali juga tidak mahal. Selain itu setelah ini ia akan kembali ke rumah ibu setelah Helena menikah. Jadi dia cuma butuh Citra mau menikah dengannya. "Oke, kita ke Bali." ### Setelah mendapatkan jadwal penerbangan, Asih mengirim bukti pemesanan tiket ke nomor Hardi dan

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Enam

    "Kau... serius bisa menjual dengan harga dua miliar?" Asih menatap Hardi, sorot mata itu adalah sorot mata pasrah karena tidak ada pilihan lain. "Aku akan usahakan, Mas. Kalau kau percaya padaku, dan memberikan toko itu sebagai komisi, maka aku akan membantumu." Bagi Asih, motivasi terbesarnya saat ini adalah membalikkan keadaan. Hinaan, cemoohan, dan perlakuan kasar mereka selama ini harus ada harga yang harus dibayar oleh suaminya itu. Mengambil satu persatu aset Hardi akan menjadi hiburan yang menyenangkan. "Eh... kau janji kan?" Asih cepat mengangguk. "Baiklah, aku setuju. Bukankah aku sudah tandatangani semua yang kau butuhkan?" Asih tersenyum manis pada suaminya, senyum termanis yang harus Hardi ingat untuk selamanya. Setelah Hardi lelap dalam tidurnya, Asih menatap tanda tangan Hardi di atas kertas. Bibirnya membentuk senyum tipis yang tak terlihat. Di ponselnya, suara Bagas terdengar terkejut, "Kau benar-benar menjual vilamu pada hanya untuk membeli tanah Hard

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   lima

    "Aku takut kau menyesal bercerai dariku, Asih," tiba-tiba Hardi bersuara. Rupanya saat menandatangani berkas itu pikirannya berkutat pada sikap Asih yang sangat tenang. Apa maksudmu, Mas? Kita putuskan saja untuk bercerai. Dengan begitu Citra akan senang dan segera menerima lamaran darimu." Sedikit ragu, Hardi terus membubuhi tanda tangan. Beberapa berkas kertas yang Hardi sendiri tak yakin apa yang ada di dalamnya. Hardi harus menandatangani berkas itu sebelum Asih berubah pikiran. Asih tersenyum menang, meskipun hatinya sangat sakit ia merasa terbebas sekarang, ia berharap rencananya akan berjalan mulus. "Mas, surat ini adalah surat wewenang penjualan tanah tepi pantai, dan yang ini adalah berkas pengajuan perceraian. Adapun selain itu, kau akan tau nanti," terang Asih seolah semua itu hanya berkas sepele. Iapun mengambil dari hadapan Hardi, mengumpulkan menjadi satu dalam sebuah map. Hardi mengerutkan dahi, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tadinya ia mengira ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status