LOGINHardi tak bisa berkata-kata, saat Asih sedikit keras menepis tangan Hardi dari pergelangan tangannya.
Hardi menatap punggung Asih yang menjauh. Ada rasa bangga menyelimuti hatinya. Asih begitu pengertian padanya. Wanita itu kini terlihat semakin cantik dan penuh percaya diri. Hardi lupa bahwa berkas perceraian sudah ditandatangani olehnya. Sesampainya di penginapan, Asih hendak membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba, pintu kamar di sebelahnya terbuka dan seseorang keluar. Mereka saling terpaku, bertatapan mata. Jantung Asih berdegup kencang. Ia tak bisa percaya. Pria di sebelah kamarnya itu ternyata Arif Raharja. Arif tersenyum tipis. "Bukankah kamu Kakak Ipar Helena?" suaranya lembut, namun membuat Asih semakin gugup. Dengan jemari yang mendadak dingin, Asih mengangguk pelan. "Benar. Kamu... ada di sini?" "Kebetulan sekali," ujar Arif, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit Asih baca. "Tapi... di mana Mas Hardi?" "Eh, itu... kami..." Asih tergagap, mencari kata-kata. "Kalian tidak bersama?" Arif mengangkat alis, nadanya sedikit menyelidik. Sumpah, Asih sangat gugup sekarang. Rasanya tak percaya pria ini adalah Arif yang dulu, sosok yang sangat berbeda dengan yang diingatnya. "Mau makan siang bersamaku? Kebetulan aku hanya sendirian," tawar Arif, tatapannya lekat pada Asih. "Ah... tid—" Arif memotongnya dengan senyum tipis. "Tidak bagus menolak tawaran calon ipar sendiri, kan? Bukankah sekarang sudah waktunya makan siang?" Ada nada memaksa yang halus dalam suaranya, membuat Asih tak punya pilihan. Di restoran hotel itu, Arif memesan makan siang. Pria itu bahkan tak bertanya makanan apa yang Asih sukai, langsung menyebutkan beberapa menu. Anehnya, semua makanan yang Arif pesan adalah hidangan yang dulu biasa mereka santap bersama. Sikap dingin Arif, seolah tak pernah mengenalnya, membuat rasa penasaran Asih makin menggebu. "Kamu dulu... tinggal di mana?" Asih memberanikan diri memecah kesunyian di antara denting sendok yang beradu dengan piring. "Hmm, Amsterdam," jawab Arif datar, tanpa ekspresi. Sesekali tangannya sibuk mengambil makanan lalu mengunyahnya. "Aku tinggal dan bersekolah di sana." "Tak pernah di Indonesia?" tanya Asih lagi, mencoba menarik lebih banyak informasi. Tiba-tiba, suara dering telepon memutus percakapan mereka. Arif melihat nama di layar ponselnya, lalu mengangkatnya. "Halo, Helena." "Halo sayang, aku sudah di London sekarang. Kamu mau oleh-oleh apa?" Suara Helena terdengar jelas, bahkan Asih bisa mendengarnya. "Tidak usah repot-repot, selama kamu sehat dan pulang dengan selamat, aku sudah bahagia." "Oh sayang, kamu tahu aku sudah sangat merindukanmu? Sayang sekali jadwal syuting masih cukup panjang." "Tidak mengapa, kita akan bertemu setelah kamu selesai, oke?" "Baiklah sayang, bye. Muah!" Panggilan berakhir. Asih melihat betapa tulusnya Arif saat berbicara dengan Helena. Ia tak bisa mengelak, Arif memang sangat mencintai wanita itu. Apa gunanya berandai-andai pun dia adalah sosok yang sama di masa lalu? Asih tak seharusnya merusak kebahagiaan mereka, bukan? "Kalian pasangan yang sangat serasi dan saling mencintai," kata Asih, memaksakan senyum manis. "Aku berdoa pernikahan kalian sukses dan bahagia." Arif tersenyum tipis, seolah bangga. "Terima kasih. Helena memang wanita idaman, dia adalah tipe wanita yang kusukai." Asih termenung sejenak. Betapa bahagianya menjadi wanita yang dicintai, dianggap sebagai wanita idaman, dan dianggap memiliki tipe yang ideal oleh seseorang. Artinya, Helena adalah wanita yang memenuhi "standar kualitas" untuk menerima rasa cinta dari seorang pria. "Syukurlah kalau begitu," ujar Asih, suaranya sedikit tercekat. "Kalau boleh tahu, apakah karena dia cantik dan sukses?" Arif tersenyum misterius. "Karena dia memiliki kekuatan untuk dicintai." "Aku tak mengerti?" Asih menatapnya, bingung. Arif tersenyum, dengan sedikit seringai tipis di sudut bibirnya. "Apakah kau tidak mencintai suamimu?" Pertanyaan itu meluncur tajam, mengubah atmosfer seketika. Suara Arif menjadi lebih berat dan dalam, menggetarkan sesuatu dalam diri Asih. Itu suara yang tidak pernah Asih lupakan, suara khas yang dulu selalu terdengar lembut dan menggoda, mengiringi setiap momen mereka bersama. Ketakutan merayapi Asih. "Kau..." Asih tercekat, jantungnya berpacu. Ia merasakan darahnya berdesir dingin. Pria di hadapannya ini... dia bukan hanya mirip. "Maksudku," potong Arif cepat, senyum seringainya menghilang diganti ekspresi datar, seolah pertanyaan sebelumnya tak pernah terucap. "Orang yang ingin mendapatkan cinta seseorang memang harus siap dengan segala konsekuensinya. Itu maksudku." Suasana di meja makan terasa semakin aneh, penuh ketegangan yang tak terucap. Dilema di hati Asih semakin menjadi. Terlebih saat Arif melontarkan pertanyaan tajam tadi, "Apakah kau tidak mencintai suamimu?" Arif mengamati Asih yang masih terdiam, lalu sebuah senyum tipis kembali tersungging di bibirnya. "Kau belum menjawabku tadi, bukankah kau mau tahu bagaimana aku begitu mencintai Helena?"Kekasih gelap Arif Raharja? Pembantu keluarga Hardi? Apa yang mereka maksudkan? Asih merasa ada yang tak beres. Ia menyabarkan dirinya, tidak tergesa-gesa dalam mengungkap kebenaran ucapan mereka. Setelah semua selesai, beberapa pria keluar mencari angin segar dan bersantai di halaman samping. Secara kebetulan Asih berada di sana dan salah seorang dari mereka mendekati Asih. "Hebat ya, kamu. Pembantu tapi sudah jadi terkenal," sindir pria itu, nada suaranya penuh ejekan. "Apa maksudmu?" Asih mengerutkan kening. "Kau enggak tahu? Nih kalau mau tahu, kamu sudah masuk koran nasional dan menjadi terkenal. Jujur, kalau kamu terawat begitu, kau tak terlihat kalau hanya seorang pembantu." Pria itu menyodorkan selembar koran yang sudah terlipat. Asih menerima koran itu dan membacanya. Matanya membelalak, ia akhirnya mengerti sekarang. Helena telah melancarkan rencananya. "Kalau begitu, apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Asih, suaranya tercekat. "Ah tidak, kami cuma mencari
Helena menelan ludah, mencari kejujuran di sorot mata Arif. Ia mulai sangsi dengan dugaannya sendiri, entah mengapa ia menjadi paranoid setelah melihat foto-foto itu. Namun, jika ia berani membahasnya, bukankah itu justru akan membuat Arif mengingat siapa Asih sebenarnya? Sebentar lagi wanita itu (Asih) harus pergi, tak seharusnya ia merusak segalanya. "Sayang, kau pasti tahu perasaan cintaku padamu," sungutnya, nadanya melunak, ada sedikit keputusasaan di sana. "Aku tentu saja bisa salah paham dengan berita aneh ini." Di hadapan semua orang yang di sana, tidak seharusnya Helena mengungkap kehidupan pribadi calon suaminya. Helena lalu melingkarkan tangannya di lengan Arif dan menatap staf media kesal, "Lain kali, kalau mau menerbitkan berita, tolong konfirmasi dulu dengan benar!" bentaknya. Arif mengangguk pada Helena, lalu menatap tajam ke arah staf media. "Benar, kalian ternyata terlalu berani mengusik reputasiku. Kalian seharusnya menanggung konsekuensi dariku." Saat Arif b
Sesaat Asih terkesima dengan semua sikap Arif, mencoba memahami sisi gelap yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Enam tahun lalu, hanya ada sikap manis dan penuh kasih dari pria ini. Namun, Asih sadar, dirinyalah yang telah membuatnya menjadi seperti ini. "Jadi kau inginkan kematianku? Kau ingin aku merasakan apa yang kau alami?" tanya Asih lirih, masih diliputi ketakutan. "Aku bersalah, tapi rumah ini tidaklah bersalah padamu, Arif?" Kedua mata Arif memerah, ada luka yang tengah menyala di sana. Namun, melihat Asih seolah menyerah begitu saja justru membuatnya kesal. "Apa kau sanggup menanggung konsekuensinya?" tanyanya balik, dengan nada mengancam. "Apa yang kau inginkan?" Asih balik bertanya. Tiba-tiba, dari saku pria itu terdengar dering ponsel, memecah ketegangan di antara mereka. Arif mengangkat panggilan itu. "Pak, ada berita buruk," sebuah suara dari seberang membuat Arif mengerutkan dahinya. "Berita buruk apa maksudmu?" Arif menjauh, melangkah meninggalkan Asih
"Asih, apakah kau akan menyerah sekarang? Sepertinya takdir tidak berpihak padamu," suara tajam itu, yang hanya menggema di benaknya, mencekiknya. Dada Asih terasa sesak. Ia merasa seperti mempertaruhkan segalanya, menjual satu-satunya peninggalan berharga demi martabat dirinya, namun kini ia malah terhempas begitu saja. Apalagi yang bisa diharapkan? Asih menepuk dadanya kuat-kuat, berusaha mengumpulkan akal sehat yang tersisa untuk menegakkan tubuhnya. Ya, hanya dengan akal sehat, semua ini akan teratasi. "Aku tidak akan menyerah, Arif. Kalau perlu, kau harus hancur bersama mereka," bisik Asih, suaranya bergetar menahan gejolak amarah dan kepedihan yang membuatnya tak kuasa menahan air mata. Perlahan, butiran bening itu meluncur membasahi pipinya. Dengan tekad yang membara di balik tangisnya, Asih tetap berkehendak untuk mengambil gambar setiap detail rumah. Kecuali satu sudut: tempat dulu ia selalu bertemu Arif. Ya, entah mengapa, kini ia membenci setiap kenangan di sana, memb
Bagas akhirnya menghubungi Asih. Hari ini adalah waktu serah terima sertifikat vila miliknya. Pagi itu, semangat Asih membuncah. Ia mengenakan gamis peach dan hijab berwarna salem, warnanya kontras menawan dengan kulit kuning langsatnya. Riasan tipis yang memulas wajahnya membuat Asih terlihat berseri, memancarkan aura kegembiraan. Asih segera menuju lokasi yang Bagas sebutkan: sebuah restoran lesehan di pinggir kota. "Kau harus menemuinya tepat waktu, Asih. Maklum saja, dia orang sibuk. Itulah sebabnya tidak bisa menemuimu tempo hari," pesan Bagas tadi pagi. "Enggak masalah, Gas. Aku akan sampai di sana lebih dulu," jawab Asih penuh percaya diri. Ia pun menemukan restoran itu. Tampilannya sangat asri, dengan berbagai macam ukiran indah menghiasi setiap sudut. Asih mengagumi detailnya. Selama ini, ia terlalu banyak berdiam di rumah, sehingga tak menyadari ada tempat sebagus ini di kota kelahirannya. Dua pramusaji menyambutnya dengan senyum ramah. "Meja atas nama Ibu Asih ada di
"Sombong!" dengan suara menggelegar Melly membentaknya keras. "Bersih-bersih toko saja sudah nggak mau. Kau ini semakin banyak membangkang!" Asih bangkit dari duduknya, hendak pergi. "Kalau nggak ada yang lain, sepertinya saya harus pulang." "Lihatlah, sama ibu mertuanya saja nggak punya sopan santun!" "Bu, Helena yang punya toko, biar dia yang bersih-bersih, itu kan toko calon suaminya, pasti Helena lebih pantas untuk membersihkannya." Asih hanya melirik sekilas Arif dan Helena lalu beranjak dari sana. Hardi segera memanggilnya, "Asih, duduklah dulu, kita belum selesai membicarakan penjualan tokonya." Akhirnya Asih duduk kembali. Di dalam surat itu, Hardi mendapatkan pembagian tujuh puluh persen dari harga toko. Akan tetapi hanya tersisa sepuluh persen saja setelah dikurangi hak Helena atas tanah tepi pantai. Pemilik sah toko adalah Arif Raharja. "Ayo tanda tangani sebagai saksi," perintah Arif. Dengan berat, Asih akhirnya menandatangani surat itu. Pertemuan







