LOGIN"Maaf, aku tidak akan menyinggung soal pribadi di sini. Meskipun kita adalah keluarga, kau tidak berhak tau urusan keluargaku," jawab Asih lalu berdiri dari duduknya kalau berkata, "Oh ya, aku akan mengantar ibu ke Bandara, jadi aku harus pergi," katanya dan berlalu dari sana.
Asih memutuskan untuk cepat pergi dari sana, lalu menuju lobi hotel untuk check out. Keberadaan Arif di sana membuatnya tidak nyaman, ia harus segera pergi dari sana. Asih menjemput keluarga Hardi, sengaja melayani mereka, menunjukkan sebenarnya mereka selalu membutuhkan Asih dalam segala keadaan. Sesampainya di sana, Hardi dan ibunya sudah berdiri cemas di lobi hotel. Begitu juga Citra duduk cemberut di bangku menatap jengah kehadirannya. "Cepat, angkat barang-barangku!" perintah Melly saat Asih sudah dekat. Pandangan Asih langsung tertuju pada tumpukan barang di sudut ruangan. "Kenapa diam saja? Cepat angkat keluar!" Asih melihat ke arah Hardi. "Dia yang laki-laki, kenapa aku yang harus angkat?" cibir Asih. "Itulah sebabnya otot Hardi seperti otot gadis anak tetangga, karena kurangnya berlatih." "Apa-apaan kamu ini. Bisa-bisanya kau mengatakan sesuatu yang nggak pantes sebagai istri." Asih pura-pura kaget, "Astaga, benar juga! Ibu benar soal mulut pedasku ini," katanya. "Tapi Bu, selama lima tahun ini ibulah yang selalu rajin mengajariku kata-kata pedas? Bu, aku ini orangnya mudah belajar, cepet pinter." Melly serasa tak bisa menahan amarahnya. Hanya saja mereka berada di tempat umum sehingga iapun menahan emosinya. "Asih, dia ibuku, seharusnya kau menghormatinya." "Mas, selama lima tahun aku bersabar, berharap kita bisa saling memahami. Akan tetapi kalian yang justru membuat aku memahami betapa tidak ada harganya aku ini di mata kalian." Kata-kata itu justru sangat menusuk batin Asih sendiri, karena ia harus menjelaskan kepada suami dan mertuanya itu sebuah kenyataan atas dirinya yang diremehkan. Itu adalah fakta yang harus dijalani selama lima tahun. Tidakkah Hardi tau betapa sulitnya masa itu, berapa sakitnya hati seorang istri. "Kalau saja hatiku ini bukan ciptaan Tuhan, aku tidak tau apakah aku sanggup hidup diantara kalian yang selalu nyinyir dan bermulut pedas," lirihnya lagi dengan tatapan tajam menantang Hardi. Hal itu membuat Hardi gelagapan. "Asih, cuma masalah angkat barang saja kenapa ributnya kemana-mana? Sudahlah, ayo kita angkat sama-sama," ajak Hardi. Asih tersenyum sinis, lalu ia memanggil seorang cleaning service di sana. "Tolong angkat ini ke mobil, dia akan membantumu," kata Asih pada pemuda itu sambil menunjuk ke arah Hardi. "Baik, Bu," jawab pemuda itu. Asih membuka tas kecilnya, lalu mengambil tiga lembar uang ratusan. "Ini buatmu." Pemuda itu berbinar mendapatkan uang tip dalam jumlah besar. "Terimakasih, Bu. Terimakasih," ujarnya sambil menunduk hormat. Berbeda dengan Melly yang melihat hal itu, wajahnya terlihat sangat marah. "Lihatlah itu, uang yang kau pakai buat bayar kan uang Hardi, ternyata sekarang sok jadi orang kaya ya? Kenapa kau kasih dia uang sebanyak itu?" ocehnya. Rasanya kekesalan hatinya semakin menjadi, "Bu, ibu harus tau itu adalah satu contoh saja pekerjaan yang harus dihargai." ketusnya. "Selama menjadi menantu ibu, segala macam pekerjaan yang ku kerjakan nggak pernah ada harganya di mata ibu, padahal bagaimana kalau aku minta bayaran?" "Kau ini istri Hardi, kenapa minta bayaran?" "Huft," Asih mendengus, ia merasa hawa ruangan semakin panas dengan kalimat ibunya yang terakhir ini. "Susah kalau ngomong sama orang yang nggak ngerti," gerutunya dan pergi melihat bagaimana pemuda itu menyusun barang di dalam mobil. Melly bisa melihat perlawanan menantunya itu, membuat kemarahannya sampai ubun-ubun. "Lihat saja, Hardi harus ambil semua uang itu supaya enggak melunjak!" Asih hanya menanggapi dengan tersenyum kecil tanpa menghiraukan lagi ibu mertuanya, lalu mendekati Hardi yang sedang menata barang, "Mas, akan kukirim uang sisa sejumlah dua ratus juta. Setelah itu jangan pernah tanya lagi soal uang itu," tegasnya. "Dua ratus? Kok bisa?" Bagi Hardi uang itu seharusnya masih empat ratus juta lebih. "Iya, kalian sudah menghabiskan dua ratus dalam seminggu, ditambah lagi keperluan tiket pesawat bolak balik dan juga penginapan. Jadi aku juga ambil dua ratus bagianku. Sisanya akan segera kutransfer." Hardi benar-benar terkejut, menurutnya Asih terlalu banyak mengambil bagian. "Asih, aku nggak tau ada perempuan serakah kayak kamu," desahnya kecewa.Kekasih gelap Arif Raharja? Pembantu keluarga Hardi? Apa yang mereka maksudkan? Asih merasa ada yang tak beres. Ia menyabarkan dirinya, tidak tergesa-gesa dalam mengungkap kebenaran ucapan mereka. Setelah semua selesai, beberapa pria keluar mencari angin segar dan bersantai di halaman samping. Secara kebetulan Asih berada di sana dan salah seorang dari mereka mendekati Asih. "Hebat ya, kamu. Pembantu tapi sudah jadi terkenal," sindir pria itu, nada suaranya penuh ejekan. "Apa maksudmu?" Asih mengerutkan kening. "Kau enggak tahu? Nih kalau mau tahu, kamu sudah masuk koran nasional dan menjadi terkenal. Jujur, kalau kamu terawat begitu, kau tak terlihat kalau hanya seorang pembantu." Pria itu menyodorkan selembar koran yang sudah terlipat. Asih menerima koran itu dan membacanya. Matanya membelalak, ia akhirnya mengerti sekarang. Helena telah melancarkan rencananya. "Kalau begitu, apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Asih, suaranya tercekat. "Ah tidak, kami cuma mencari
Helena menelan ludah, mencari kejujuran di sorot mata Arif. Ia mulai sangsi dengan dugaannya sendiri, entah mengapa ia menjadi paranoid setelah melihat foto-foto itu. Namun, jika ia berani membahasnya, bukankah itu justru akan membuat Arif mengingat siapa Asih sebenarnya? Sebentar lagi wanita itu (Asih) harus pergi, tak seharusnya ia merusak segalanya. "Sayang, kau pasti tahu perasaan cintaku padamu," sungutnya, nadanya melunak, ada sedikit keputusasaan di sana. "Aku tentu saja bisa salah paham dengan berita aneh ini." Di hadapan semua orang yang di sana, tidak seharusnya Helena mengungkap kehidupan pribadi calon suaminya. Helena lalu melingkarkan tangannya di lengan Arif dan menatap staf media kesal, "Lain kali, kalau mau menerbitkan berita, tolong konfirmasi dulu dengan benar!" bentaknya. Arif mengangguk pada Helena, lalu menatap tajam ke arah staf media. "Benar, kalian ternyata terlalu berani mengusik reputasiku. Kalian seharusnya menanggung konsekuensi dariku." Saat Arif b
Sesaat Asih terkesima dengan semua sikap Arif, mencoba memahami sisi gelap yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Enam tahun lalu, hanya ada sikap manis dan penuh kasih dari pria ini. Namun, Asih sadar, dirinyalah yang telah membuatnya menjadi seperti ini. "Jadi kau inginkan kematianku? Kau ingin aku merasakan apa yang kau alami?" tanya Asih lirih, masih diliputi ketakutan. "Aku bersalah, tapi rumah ini tidaklah bersalah padamu, Arif?" Kedua mata Arif memerah, ada luka yang tengah menyala di sana. Namun, melihat Asih seolah menyerah begitu saja justru membuatnya kesal. "Apa kau sanggup menanggung konsekuensinya?" tanyanya balik, dengan nada mengancam. "Apa yang kau inginkan?" Asih balik bertanya. Tiba-tiba, dari saku pria itu terdengar dering ponsel, memecah ketegangan di antara mereka. Arif mengangkat panggilan itu. "Pak, ada berita buruk," sebuah suara dari seberang membuat Arif mengerutkan dahinya. "Berita buruk apa maksudmu?" Arif menjauh, melangkah meninggalkan Asih
"Asih, apakah kau akan menyerah sekarang? Sepertinya takdir tidak berpihak padamu," suara tajam itu, yang hanya menggema di benaknya, mencekiknya. Dada Asih terasa sesak. Ia merasa seperti mempertaruhkan segalanya, menjual satu-satunya peninggalan berharga demi martabat dirinya, namun kini ia malah terhempas begitu saja. Apalagi yang bisa diharapkan? Asih menepuk dadanya kuat-kuat, berusaha mengumpulkan akal sehat yang tersisa untuk menegakkan tubuhnya. Ya, hanya dengan akal sehat, semua ini akan teratasi. "Aku tidak akan menyerah, Arif. Kalau perlu, kau harus hancur bersama mereka," bisik Asih, suaranya bergetar menahan gejolak amarah dan kepedihan yang membuatnya tak kuasa menahan air mata. Perlahan, butiran bening itu meluncur membasahi pipinya. Dengan tekad yang membara di balik tangisnya, Asih tetap berkehendak untuk mengambil gambar setiap detail rumah. Kecuali satu sudut: tempat dulu ia selalu bertemu Arif. Ya, entah mengapa, kini ia membenci setiap kenangan di sana, memb
Bagas akhirnya menghubungi Asih. Hari ini adalah waktu serah terima sertifikat vila miliknya. Pagi itu, semangat Asih membuncah. Ia mengenakan gamis peach dan hijab berwarna salem, warnanya kontras menawan dengan kulit kuning langsatnya. Riasan tipis yang memulas wajahnya membuat Asih terlihat berseri, memancarkan aura kegembiraan. Asih segera menuju lokasi yang Bagas sebutkan: sebuah restoran lesehan di pinggir kota. "Kau harus menemuinya tepat waktu, Asih. Maklum saja, dia orang sibuk. Itulah sebabnya tidak bisa menemuimu tempo hari," pesan Bagas tadi pagi. "Enggak masalah, Gas. Aku akan sampai di sana lebih dulu," jawab Asih penuh percaya diri. Ia pun menemukan restoran itu. Tampilannya sangat asri, dengan berbagai macam ukiran indah menghiasi setiap sudut. Asih mengagumi detailnya. Selama ini, ia terlalu banyak berdiam di rumah, sehingga tak menyadari ada tempat sebagus ini di kota kelahirannya. Dua pramusaji menyambutnya dengan senyum ramah. "Meja atas nama Ibu Asih ada di
"Sombong!" dengan suara menggelegar Melly membentaknya keras. "Bersih-bersih toko saja sudah nggak mau. Kau ini semakin banyak membangkang!" Asih bangkit dari duduknya, hendak pergi. "Kalau nggak ada yang lain, sepertinya saya harus pulang." "Lihatlah, sama ibu mertuanya saja nggak punya sopan santun!" "Bu, Helena yang punya toko, biar dia yang bersih-bersih, itu kan toko calon suaminya, pasti Helena lebih pantas untuk membersihkannya." Asih hanya melirik sekilas Arif dan Helena lalu beranjak dari sana. Hardi segera memanggilnya, "Asih, duduklah dulu, kita belum selesai membicarakan penjualan tokonya." Akhirnya Asih duduk kembali. Di dalam surat itu, Hardi mendapatkan pembagian tujuh puluh persen dari harga toko. Akan tetapi hanya tersisa sepuluh persen saja setelah dikurangi hak Helena atas tanah tepi pantai. Pemilik sah toko adalah Arif Raharja. "Ayo tanda tangani sebagai saksi," perintah Arif. Dengan berat, Asih akhirnya menandatangani surat itu. Pertemuan







