Share

Delapan

Penulis: Dewanu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-23 14:19:29

Saat pintu kamarnya terbuka perlahan, seorang staf office boy (OB) berdiri di sana, menatapnya dengan raut khawatir yang tulus. "Maaf, Bu, saya mendapatkan laporan dari kamar sebelah ada suara tangisan yang sedikit mengganggu. Apakah Anda membutuhkan sesuatu?" tanya OB itu dengan sopan, nadanya lembut, seolah tak ingin menambah beban Asih.

Asih tersentak, rasa malu seketika menyerbu karena tangisannya yang tak tertahankan telah terdengar. Wajahnya memerah, bukan hanya karena air mata tapi juga karena rasa terkejut. Ia buru-buru menarik napas, berusaha menormalkan suaranya yang serak. "Oh, maafkan saya, Mas. Saya... saya baik-baik saja. Mungkin saya hanya sedikit kelelahan." Ia memaksakan senyum tipis, berharap OB itu segera pergi, agar ia bisa kembali tenggelam dalam kesendiriannya. OB itu mengangguk penuh pengertian, memberikan senyum simpati, dan pamit undur diri.

Asih menutup pintu, seolah ingin mengunci kerapuhannya di dalam. Lega, karena tak ada yang perlu tahu badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya saat itu. Namun, ia tak menyadari, bahwa di balik dinding kamar sebelahnya, orang yang melaporkan tangisannya adalah Arif Raharja, seorang pengusaha properti terkemuka yang tengah berlibur. Pria itu masih duduk di sofa, membaca koran pagi, dengan kerutan samar di dahinya. Suara tangisan yang baru saja mereda itu sedikit mengusik ketenangannya, meninggalkan jejak pertanyaan dalam benaknya.

Setelah itu, ia menatap lepas ke arah lautan yang biru membentang, pikirannya berkelana jauh, tak lagi sepenuhnya terfokus pada berita di koran. Hatinya merasa gelisah, seolah ada sesuatu yang hilang dari hidupnya.

Asih yang masih syok dengan teguran OB tadi, dan juga oleh kenyataan betapa rapuhnya ia saat itu, beranjak menuju kamar mandi. Ia membasuh wajah, merasakan air dingin sedikit meredakan panas di pipinya. Kemudian, ia mulai melakukan perawatan diri seperti prosedur yang dianjurkan dokter Alisa. Setiap gerakan, setiap tetesan serum, adalah bagian dari komitmennya untuk lebih baik. Ia meresapi setiap momen, dari aroma produk yang menenangkan hingga sensasi kulitnya yang terasa lebih halus. Begitulah Asih terus melakukannya dengan baik, berkonsultasi secara intensif dan melakukan apa yang harus dilakukan demi semua rencananya.

Selama satu pekan penuh, Asih tidak muncul di hadapan Hardi. Ia sengaja menghindari suaminya, menciptakan jarak, dan fokus pada rencana yang telah ia susun matang-matang. Setiap hari, ia merasa kekuatannya perlahan kembali, seiring dengan tekadnya yang semakin menguat. Pesan-pesan dari Hardi yang awalnya hanya berupa sindiran, perlahan berubah menjadi ancaman dan tuntutan yang putus asa.

Pagi ini, ketenangan Asih terusik oleh sebuah pesan di ponselnya. Pesan yang berisi kecaman keras dari suaminya itu.

"Jika kau tak kembali, aku akan lapor polisi telah kehilangan sejumlah uang karena kau bawa pergi."

Benar juga, Asih masih menyimpan separuh pembayaran untuk tanah Hardi, setelah membeli mobil. Ia sengaja menjadikan uang itu jaminan daripada susah minta uang dari Hardi.

Bagi Asih, ancaman itu terdengar seperti gertakan kosong, upaya Hardi untuk mengendalikannya lagi. Itu takkan membuatnya gentar. Ia telah memutuskan untuk tidak lagi menjadi boneka dalam keluarga Hardi. Ia tidak akan keluar dari koridor rencana yang ia susun. Dengan tenang, dan sedikit rasa puas, ia mengetik balasan.

"Baik, aku akan datang, tunggu di lobi dan aku akan segera menemuimu."

Di lobi hotel, Asih melihat Hardi sudah menunggunya dengan cemas. Ekspresi suaminya itu campur aduk antara marah, khawatir, dan kebingungan. Hardi, yang biasanya begitu percaya diri, kini tampak gelisah, mondar-mandir sambil sesekali melirik jam tangan mewahnya.

Dari kejauhan, Asih melangkah dengan anggun. Hardi yang tadinya siap melontarkan sumpah serapah, tiba-tiba terdiam, matanya terpaku pada Asih. Ia sangat pangling dan terkejut dengan penampilan istrinya. Asih yang dulu ia kenal, dengan gamis lusuh dan kerudung sederhana, kini tampak jauh lebih cantik dan menawan, aura percaya diri memancar darinya, seolah telah terjadi transformasi besar dalam seminggu ini. Hardi dilanda rasa penasaran yang kuat: apa yang sebenarnya Asih lakukan?

"Kau mau ketemu denganku, Mas?" tanya Asih saat berhadapan langsung dengan Hardi, suaranya tenang, datar, tanpa emosi berlebih. Sebuah kontras yang mencolok dengan Hardi yang jelas-jelas kesal.

"Hei, kemana saja kau selama ini? Kau sengaja melakukannya?" Hardi tak bisa menyembunyikan kekesalannya, nadanya meninggi.

"Kenapa? Kau tidak senang bersama ibu dan calon istrimu?" Asih mengangkat sebelah alisnya, senyum tipis tersungging di bibirnya, sebuah senyum yang sarat makna.

"Sial! Uang itu... kenapa kau tak mengirimkan semuanya saja padaku?" Hardi mengalihkan topik, wajahnya memerah karena malu dan marah.

Asih tidak terprovokasi. Tatapannya tetap tenang, namun tajam. "Jadi, seratus juta itu sudah habis dalam seminggu?" Pertanyaan itu menggantung di udara, menusuk telak harga diri Hardi.

Hardi tak menjawab, tapi tentu saja Asih tahu apa yang Hardi butuhkan.

"Baik, aku akan mengirim lagi seratus juta, cukupkan dengan itu. Bukankah kau mau menikahi Citra? Apa kau mau menikah tanpa uang?"

Hardi termenung, sepertinya Asih bermaksud baik, menyiapkan anggaran yang lebih penting untuknya. Dengan terpaksa iapun menyetujui jumlah itu.

"Ya sudah, cepat kirimkan!"

"Baiklah, aku enggak bawa hp sekarang. Nanti malam aku akan mentransfer uang itu."

Asih membalikkan tubuhnya, hendak meninggalkan Hardi.

"Hei, tunggu dulu!" Hardi berseru, langkahnya panik. Ia maju dan meraih pergelangan tangan Asih, mencengkeramnya erat. Matanya menyorotkan rasa frustrasi, takut, dan kebingungan yang bercampur aduk. "Kau mau ke mana? Setidaknya kau harus memberitahu di mana kau menginap!"

​Asih menghentikan langkahnya. Ia menoleh perlahan, senyum dingin dan penuh kemenangan terukir di bibirnya. Tatapannya kini bukan lagi tatapan Asih yang patuh. Hardi melihat kilatan tajam yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

​"Kenapa, Mas?" suara Asih berbisik pelan, namun menusuk. "Kau takut aku benar-benar menghilang, dan uangmu akan ikut lenyap juga?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sepuluh

    "Maaf, aku tidak akan menyinggung soal pribadi di sini. Meskipun kita adalah keluarga, kau tidak berhak tau urusan keluargaku," jawab Asih lalu berdiri dari duduknya kalau berkata, "Oh ya, aku akan mengantar ibu ke Bandara, jadi aku harus pergi," katanya dan berlalu dari sana. Asih memutuskan untuk cepat pergi dari sana, lalu menuju lobi hotel untuk check out. Keberadaan Arif di sana membuatnya tidak nyaman, ia harus segera pergi dari sana. Asih menjemput keluarga Hardi, sengaja melayani mereka, menunjukkan sebenarnya mereka selalu membutuhkan Asih dalam segala keadaan. Sesampainya di sana, Hardi dan ibunya sudah berdiri cemas di lobi hotel. Begitu juga Citra duduk cemberut di bangku menatap jengah kehadirannya. "Cepat, angkat barang-barangku!" perintah Melly saat Asih sudah dekat. Pandangan Asih langsung tertuju pada tumpukan barang di sudut ruangan. "Kenapa diam saja? Cepat angkat keluar!" Asih melihat ke arah Hardi. "Dia yang laki-laki, kenapa aku yang harus angk

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sembilan

    Hardi tak bisa berkata-kata, saat Asih sedikit keras menepis tangan Hardi dari pergelangan tangannya. Hardi menatap punggung Asih yang menjauh. Ada rasa bangga menyelimuti hatinya. Asih begitu pengertian padanya. Wanita itu kini terlihat semakin cantik dan penuh percaya diri. Hardi lupa bahwa berkas perceraian sudah ditandatangani olehnya. Sesampainya di penginapan, Asih hendak membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba, pintu kamar di sebelahnya terbuka dan seseorang keluar. Mereka saling terpaku, bertatapan mata. Jantung Asih berdegup kencang. Ia tak bisa percaya. Pria di sebelah kamarnya itu ternyata Arif Raharja. Arif tersenyum tipis. "Bukankah kamu Kakak Ipar Helena?" suaranya lembut, namun membuat Asih semakin gugup. Dengan jemari yang mendadak dingin, Asih mengangguk pelan. "Benar. Kamu... ada di sini?" "Kebetulan sekali," ujar Arif, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit Asih baca. "Tapi... di mana Mas Hardi?" "Eh, itu... kami..." Asih tergagap, mencari kata-kata. "Kalian tidak

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Delapan

    Saat pintu kamarnya terbuka perlahan, seorang staf office boy (OB) berdiri di sana, menatapnya dengan raut khawatir yang tulus. "Maaf, Bu, saya mendapatkan laporan dari kamar sebelah ada suara tangisan yang sedikit mengganggu. Apakah Anda membutuhkan sesuatu?" tanya OB itu dengan sopan, nadanya lembut, seolah tak ingin menambah beban Asih. Asih tersentak, rasa malu seketika menyerbu karena tangisannya yang tak tertahankan telah terdengar. Wajahnya memerah, bukan hanya karena air mata tapi juga karena rasa terkejut. Ia buru-buru menarik napas, berusaha menormalkan suaranya yang serak. "Oh, maafkan saya, Mas. Saya... saya baik-baik saja. Mungkin saya hanya sedikit kelelahan." Ia memaksakan senyum tipis, berharap OB itu segera pergi, agar ia bisa kembali tenggelam dalam kesendiriannya. OB itu mengangguk penuh pengertian, memberikan senyum simpati, dan pamit undur diri. Asih menutup pintu, seolah ingin mengunci kerapuhannya di dalam. Lega, karena tak ada yang perlu tahu badai emosi

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Tujuh

    Berfoya-foya? Hardi benar-benar terperangah. Asih adalah istri yang sangat hemat, kenapa dia mau berfoya-foya? "Oh tidak, aku tidak bisa menurutimu." "Tapi Mas, aku sudah terlanjur memesan tiket pesawat untuk kita berempat." "Berempat?" Hardi tentu saja tidak langsung setuju. "Makin kesini kau ini makin melunjak," cibirnya pedas. "Memangnya kau keberatan kalau aku mengatakan ini sebagai permintaanku yang terakhir?" katanya dengan wajah yang sendu, seolah sedang menyesali sesuatu. "Aku... pengen perpisahan denganmu sekaligus mengajak ibu dan Citra." "Hah? Kau... serius?" Wanita itu mengangguk. Hardi mengerutkan keningnya. Permintaan terakhir Asih sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Transportasi ke Bali juga tidak mahal. Selain itu setelah ini ia akan kembali ke rumah ibu setelah Helena menikah. Jadi dia cuma butuh Citra mau menikah dengannya. "Oke, kita ke Bali." ### Setelah mendapatkan jadwal penerbangan, Asih mengirim bukti pemesanan tiket ke nomor Hardi dan

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Enam

    "Kau... serius bisa menjual dengan harga dua miliar?" Asih menatap Hardi, sorot mata itu adalah sorot mata pasrah karena tidak ada pilihan lain. "Aku akan usahakan, Mas. Kalau kau percaya padaku, dan memberikan toko itu sebagai komisi, maka aku akan membantumu." Bagi Asih, motivasi terbesarnya saat ini adalah membalikkan keadaan. Hinaan, cemoohan, dan perlakuan kasar mereka selama ini harus ada harga yang harus dibayar oleh suaminya itu. Mengambil satu persatu aset Hardi akan menjadi hiburan yang menyenangkan. "Eh... kau janji kan?" Asih cepat mengangguk. "Baiklah, aku setuju. Bukankah aku sudah tandatangani semua yang kau butuhkan?" Asih tersenyum manis pada suaminya, senyum termanis yang harus Hardi ingat untuk selamanya. Setelah Hardi lelap dalam tidurnya, Asih menatap tanda tangan Hardi di atas kertas. Bibirnya membentuk senyum tipis yang tak terlihat. Di ponselnya, suara Bagas terdengar terkejut, "Kau benar-benar menjual vilamu pada hanya untuk membeli tanah Hard

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   lima

    "Aku takut kau menyesal bercerai dariku, Asih," tiba-tiba Hardi bersuara. Rupanya saat menandatangani berkas itu pikirannya berkutat pada sikap Asih yang sangat tenang. Apa maksudmu, Mas? Kita putuskan saja untuk bercerai. Dengan begitu Citra akan senang dan segera menerima lamaran darimu." Sedikit ragu, Hardi terus membubuhi tanda tangan. Beberapa berkas kertas yang Hardi sendiri tak yakin apa yang ada di dalamnya. Hardi harus menandatangani berkas itu sebelum Asih berubah pikiran. Asih tersenyum menang, meskipun hatinya sangat sakit ia merasa terbebas sekarang, ia berharap rencananya akan berjalan mulus. "Mas, surat ini adalah surat wewenang penjualan tanah tepi pantai, dan yang ini adalah berkas pengajuan perceraian. Adapun selain itu, kau akan tau nanti," terang Asih seolah semua itu hanya berkas sepele. Iapun mengambil dari hadapan Hardi, mengumpulkan menjadi satu dalam sebuah map. Hardi mengerutkan dahi, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tadinya ia mengira ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status