Share

BAB 6 MEMANCING

Senja tengah mengetik sesuatu di gawainya. Hal itu sudah dia lakukan sejak beberapa jam yang lalu setelah dirinya menangis sejadi-jadinya di dada Asa. Pria tersebut meninggalkannya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan di ruang kerja pribadinya.

“Bagaimana aku menuliskannya, ya?” gumamnya sembari menggigit bibir. Jujur saja, dia kebingungan kali ini. Menulis adegan dewasa bukanlah ranahnya, tetapi dia harus menuliskan hal itu di tulisannya kali ini.

Gadis itu menghela napas. Maniknya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Perutnya berbunyi, tanda jika lambungnya sudah minta diisi. Senja beranjak dari kasur, berniat untuk mengambil atau membuat beberapa makanan di dapur.

Rumah Asa terlihat minimalis dengan desain arsitektur kayu yang membuatnya tampak estetik. Gadis itu menuju dapur dan mendapati sesuatu di dalam kulkas. Namun, gerakannya terhenti saat seseorang mengejutkannya. Senja terkejut dan tidak sengaja menyundul dagu pria di belakangnya.

“Ops, sorry!” Senja meletakkan sebuah kotak makanan di atas kulkas, lalu mengamati Asa yang mengaduh kesakitan. Mereka bersitatap.

“Apa kamu tidak melihatku, huh?” Asa memegangi dagunya—mungkin rahangnya hampir bergeser karena tingkah Senja barusan.

Senja mengernyit. “Hah? Kamu sendiri yang mengagetkanku!”

“Aku?”

“Iya!”

Asa mendengkus. Dia duduk di kursi makan sambil mengelus dagu. Sementara itu, matanya melihat Senja yang sibuk dengan sesuatu. “Sedang apa?” tanyanya.

Senja menoleh sejenak. “Aku lapar,” jawabnya. “Sudah makan?”

Pria itu tidak menjawab. Dia justru berdiri menghampiri Senja, lantas mengaitkan kedua lengannya di pinggang gadis itu. Gadis itu tersentak dan hampir melepaskan lengan Asa, tetapi pria itu menahannya.

“Kita, kan, suami-istri sekarang,” ucap Asa.

Senja memelotot. “A-apa maksudmu? Itu, kan, hanya di kontrak! Bukan seperti ini!”

Asa terkekeh. “Begitukah? Bukannya kamu senang seperti ini?” bisiknya hingga membuat Senja tampak risi.

Sebenarnya, Senja tidak mengelak jika pria setampan Asa memerlakukan hal ini padanya. Namun, tentu saja, lagi-lagi karena status mereka yang hanya kontrak. Senja tidak menganggap hubungan keduanya lebih dari hal itu. Dia belum benar-benar menyukai Asa.

Berbeda dengan Asa. Dia sengaja melakukan hal itu karena inginnya. Menghidu aroma Senja yang mirip dengan mantan kekasihnya membuatnya teringat masa lalu. Kenangan itu kembali berputar dan membuat pria itu melepaskan kaitan lengannya.

Senja yang menyadari hal itu lantas menoleh dan berbalik menatap Asa. Sorot mata pria itu amat sendu dan hampir kosong. “Kenapa?” selisik gadis itu. “Ada apa?”

Asa tersentak. Dia menggeleng. “Tidak. Bukan apa-apa,” katanya. “Aku hanya ….”

“Teringat lagi?” Senja mengulurkan tangan, menyentuhkannya pada dagu Asa, dan membuat mata mereka bertemu. Baginya, mata tidak bisa menyembunyikan kebohongan yang disimpan oleh diri dan dia bisa menemukan kejujuran di sana. “Monica?”

Asa menghela napas dan mengangguk. “Sorry,” lirihnya.

Senja mengangguk. Dia kembali sibuk dengan aktivitas memasaknya.

“Apa kamu sudah melanjutkan kisah itu? Kisah yang kamu tulis kemarin?” tanya Asa mengubah topik.

Gadis di depannya mengangguk.

“Kalau mengalami kesulitan, jangan sungkan untuk bertanya,” ucap Asa seraya memainkan sebuah apel yang diletakkan di piring di atas meja makan.

Senja terdiam. Dia teringat dengan adegan dewasa yang hendak ditulisnya. Namun, bagaimana caranya bertanya pada Asa tentang hal itu? Apa pria itu sudah pernah mengalaminya bersama mantannya dulu?

Gadis itu menoleh. Dia bergumam. “Um … begini.” Dia menatap Asa yang turut melemparkan pandangan ke arahnya. “Aku menuliskan sebuah kisah romansa antara seorang CEO muda dengan istrinya,” ujarnya ragu-ragu. “Ada satu masalah di mana aku tidak bisa menuliskan suatu hal yang belum pernah kualami sebelumnya.”

Asa memandang Senja amat serius. Dia berusaha memahami setiap ucapan gadis tersebut. Sekian menit kemudian, sebuah ceruk terukir di sudut bibirnya. “Apa yang kamu ingin tanyakan?”

Senja tampak kebingungan dengan bola matanya yang menatap ke berbagai arah. “Bagaimana aku menjelaskannya, ya?” gumamnya.

Senyuman Asa makin lebar. Tentu saja dia langsung mengerti ucapan gadis di depannya yang terlihat kelimpungan itu. Dia berjalan makin mendekati Senja, memotong jarak di antara keduanya, hingga ranum mereka bertemu. Selama sekian menit keduanya terdiam, tidak bergerak, bahkan melumat sekali pun. Sampai akhirnya, Asa melepaskan pertemuan tersebut.

“Apa itu yang ingin kamu tuliskan?” tanyanya dengan senyum merekah. Manik cokelatnya tampak berkilat tersorot kilau senja yang menembus jendela dapur.

Senja terdiam, membeku dengan segala hal yang seketika mengunci dirinya untuk sesaat. Dia sedikit tersentak. “Hah? Apa?”

Asa tertawa kecil. “Apa?” Dia kembali maju, menyusut ruang antara dirinya dan gadis tersebut, dan kembali mendaratkan bibirnya ke ranum Senja. Sungguh, baginya bibir Senja sangat menggoda. Seperti buah ceri yang baru saja matang dan dipetik dari pohonnya.

Gadis itu tidak menolak. Tangannya terulur menangkup kedua pipi Asa Kanagara dan makin membawanya dalam lumatan manis dan menyegarkan. Sesuatu dalam dirinya bergejolak dan Senja tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Dia tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun sampai akhirnya dipertemukan Semesta dengan sosok pria yang kini tengah menciumnya.

Asa melepaskan bibirnya, menyisakan serabut saliva yang terlihat mengekang keduanya dalam beberapa detik terakhir. Maniknya menatap Senja begitu lekat seolah tidak akan pernah melepaskan gadis dengan rupa yang sama untuk kedua kalinya.

“Sebut itu dengan ‘melumat buah ceri merah yang hampir jatuh dari ranting’,” bisiknya dengan senyum terukir.

Senja meneguk saliva. Dia membalas tatapan Asa. Kedua tangannya masih saling tertaut di leher pria tersebut.

“Katakan jika kamu meminta yang lebih dari ini,” ucap Asa.

“Apa aku harus memintanya sekarang?”

Asa terdiam. Tangannya menyingkirkan helai rambut yang menutupi pandangan Senja. “Jika saja aku menjadi yang pertama, akan dengan senang hati kulakukan.”

Senja terdiam. Pandangannya berubah sendu, teringat dengan kejadian semalam yang merenggut keperawanannya dalam sekejap mata. Asa menyadari hal itu. Dia mundur, memberi sedikit jarak dengan gadis tersebut. Namun, gerakannya tercekal oleh kedua tangan Senja yang kini justru menariknya mendekati gadis itu lagi. Senja memberinya lumatan ekstra, sementara Asa menerimanya dengan enteng dan justru membiarkan gadis itu melakukannya seorang diri.

“Sudah telanjur,” bisik Senja. “Beri aku yang lebih dari ini.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status