Share

BAB 5 KEBENCIAN

Senja membuka kedua mata, mendapati sorot matahari menembus tirai putih yang sedikit menutupi jendela kamar. Dia tersentak usai menyadari sesuatu, lalu mengedarkan pandangan. Ruangan itu sedikit berbeda dengan yang disambanginya semalam. Ini bukan di hotel, bukan juga di kamar indekosnya.

Gadis itu bangun perlahan, mendapati rasa sakit mencekam di antara dua selangkangan serta pinggulnya. Kesadarannya mulai terkumpul sempurna, teringat dengan kejadian miris semalam. Senja menggeleng.

“Tidak, tidak mungkin,” lirihnya mulai terisak.

Seseorang terdengar membuka pintu. Dia pria yang seharusnya bisa melindungi Senja tadi malam. Namun, dengan ketiadaannya di saat detik yang malang itu, kini Asa hanya bisa memberikan tatapan sendu. Dia menghampiri ranjang Senja dan meletakkan nampan berisi sarapan yang dibawanya di nakas. Pria itu duduk di tepi ranjang, lalu mengulurkan tangan, mengusap pelan kepala istri kontraknya tersebut.

Senja yang semula merunduk memeluk kedua lutut yang tertutup selimut, kini mendongak. Mendapati pria yang berada dalam pikirannya semalam dan sekarang telah duduk di dekatnya. Butiran air mata mengalir membasahi pipi, sebelum akhirnya diseka oleh Asa.

“Aku minta maaf,” ucap pria itu. Tidak ada senyum di sana, apalagi raut wajah semringah. Pria itu memeluk Senja dan mencoba mengalirkan energi positif pada gadis tersebut.

Bagaimanapun, meski Asa adalah seorang pria, tetapi dia tahu bagaimana rasanya jika melihat perempuan yang kehilangan keperawanannya dengan cara terpaksa. Pasti menyakitkan, bahkan memberikannya kepada orang yang tidak dicintai. Dalam benaknya, Asa bersumpah akan menghancurkan siapa pun yang sudah merusak wanitanya. Walaupun Senja adalah istri kontrak, bukan berarti gadis itu bukan siapa-siapa baginya. Senja Anindita adalah milik Asa Kanagara sekarang.

***

“Kamu pikir aku akan diam saja?” Asa membentak Wana yang tengah menjadi lawan bicara pada panggilan di ponselnya kini. “Aku belum menyentuh istriku, Wan!”

Wana terdengar tertawa. “Dia istrimu?” ledeknya. “Oh, ayolah, Sa. Kalian cuma terikat kontrak, tidak lebih dari itu.”

Asa mendengkus. Temannya itu benar-benar tidak bisa diajak serius. Dia melirik Senja yang tengah melahap pelan sarapan di kamar, lalu kembali fokus pada lawan bicaranya.

“Kenapa diam?” tanya Wana dengan nada meledek. “Aku benar, ‘kan?”

Pria berahang tegas itu meneguk saliva. “Iya, terserahmu!”

Wana tergelak. “Oke, jadi bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya lagi. “Kamu, kan, tahu kalau aku ini sahabatmu. Aku tidak mungkin membiarkanmu terluka seperti ini, Bruh.”

“Iya, iya.” Asa tampak sudah malas menimpali teman dekatnya itu. Tentu saja, dia kesal setelah Wana mengetahui jika Asa menjalin kontrak dan menjadikan Senja sebagai istrinya, lalu tertawa saat dia memberi pria itu kabar jika Senja telah kehilangan keperawanannya karena ulah pria bejat semalam.

Asa tidak habis pikir, wajar saja Wana menjomlo hingga detik ini. Pria itu sama sekali tidak punya empati pada seorang perempuan. Sialnya, kenapa pula Wana menjadi sahabat Asa? Asa pikir, dia tidak terlalu bodoh ketika menjadikan Wana teman terbaiknya. Namun, kali ini dia mungkin akan berpikir jika dirinya benar-benar bodoh.

“Sa?” Wana memanggil, menyadarkan Asa dari lamunannya. “Bagaimana?”

“Cek CCTV hotel dan jangan lupa pada tugasmu kemarin,” titah CEO Kanagara Group tersebut. “Aku tidak bisa ke kantor sekarang. Jadi, kumohon, tolong awasi beberapa proyek yang sedang berjalan di sana.”

“Oke, Bruh!”

Panggil ditutup sekian detik kemudian. Asa kembali masuk ke kamar, mendapati Senja yang belum menghabiskan sarapannya. Pria itu duduk di depan Senja dan menatap lekat perempuan tersebut.

Sementara itu, Senja membalas tatapan Asa. Raut sendu pria itu tidak bisa menipu dirinya. Entah sedih karena ada orang lain yang merebut keperawanan istri kontraknya atau apa yang jelas Senja tidak mengerti.

“Kenapa?” tanya perempuan itu sedikit lirih.

Asa hanya terdiam. Helaan napasnya jelas terlihat oleh Senja. “Kamu tidak perlu khawatir,” ucapnya. “Aku akan mengantarkanmu pergi ke dokter—”

“Untuk?” sela Senja. Maniknya menatap lurus ke arah Asa, lalu meredup. “Kamu tidak perlu melakukan itu. Kalau aku ham—”

“Kamu tidak hamil,” potong pria tersebut. “Kalau kamu hamil, kamu bisa menggugurkannya.”

Senja sontak melebarkan netranya. “Mudah sekali,” ucapnya. “Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”

Saliva Asa tertelan. Rahangnya menegang. Dia tahu, mungkin saja perkataannya barusan salah dan menyakiti Senja. “Aku minta ma—”

“Kenapa kamu bisa berkata begitu?” Senja membentak. “Apa karena kamu pria dan kamu bisa seenaknya mengotori perempuan yang kamu temui!”

“Sen—”

“Apa! Kenapa!” Senja makin geram. Perempuan itu hampir menyentak nampan di atas lututnya, sebelum akhirnya Asa meletakkan nampan itu di nakas. Asa memposisikan diri mendekatinya sejenak. “Jangan dekat-dekat!”

Gerakan pria itu terhenti. Dia lalu mengambil jarak yang tidak begitu jauh dari Senja, tetapi masih sanggup menjangkau perempuan itu dengan uluran tangannya. “Aku yang salah,” ucapnya kemudian. Sorot matanya tidak berubah sejak tadi. “Harusnya aku menjemputmu semalam.”

Tidak. Kepribadian Asa yang selembut itu tidak bisa ditolak begitu saja oleh seorang Senja Anindita. Hati perempuan itu seperti habis disiram air dingin seketika. Tatapan Asa juga benar-benar tulus dan pria itu tidak berbohong padanya kini.

Rasa menyakitkan itu kembali menyambangi diri Senja. Kali ini, dirinya salah. Semalam pun juga karena kesalahannya. Andai saja dia menuruti perkataan Asa untuk segera pulang, maka kejadian itu tidak akan menimpanya. Andaikan dia tidak keras kepala. Andai saja ….

“Maaf,” isak Senja yang langsung merunduk memeluk kedua lututnya. “Maaf.”

Asa benar-benar tidak kuasa melihat Senja seperti ini. Senja memang baru ditemuinya, tetapi bukan berarti perempuan itu bukan apa-apa. Senja memiliki rupa Monica, kekasihnya dulu, dan Asa tidak ingin mengukir kesedihan yang sama pada rupa perempuan di depannya sekarang.

Pria itu mendekatkan diri, merengkuh penuh tubuh Senja. Tangannya mengusap lembut punggung dan kepalanya. Senja tidak memberontak. Dia membiarkan Asa mengalirkan energi positif sambil merutuki kesalahan yang dilakukannya semalam. Sementara itu, manik Asa terarah pada jendela yang terbuka. Tirai berembus lembut diterpa angin pagi ini. Geram masih dirasakan pria tersebut hingga mungkin saja dia bisa memecahkan kaca dan merobek tirai sutra itu sekarang.

Siapa pun kamu … jangan berharap bisa hidup lagi setelah ini,” gertaknya dalam batin.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status