Share

BAB 9 DIAM

Senja menutup kasar pintu kamar hingga Asa tidak bisa memasukinya. Pria itu menggedor bilah kecokelatan tersebut dan membuat telinga siapa pun yang mendengarnya akan pengang. Sementara itu, Senja mendengkus. Dia tidak peduli pada apa pun yang terjadi di luar sana.

Asa menghela napas. Tangannya sakit juga lama-kelamaan. Dia menyandarkan diri di pintu, lalu duduk. Pikirannya merumit tentang segala hal yang belum bisa dilupakannya. Ingatannya pun menguar ketika dirinya pergi ke psikiater dan dokter kejiwaan itu mendiagnosa penyakitnya.

“Senja,” panggilnya. “Aku minta maaf.”

***

Pagi ini Senja telah bersiap untuk pergi pekerja. Dia tahu jika dirinya tidak bisa mencampuradukkan antara pekerjaan dengan urusan pribadi. Jadi, ketika alarm di ponselnya berdering, gadis itu segera bangkit dan langsung membersihkan diri.

Senja pelan-pelan membuka pintu kamar. Tidak ada Asa di depan sana. Tungkainya melangkah perlahan, nyaris tanpa suara. Dia berharap jika bisa berangkat terlebih dahulu dari pria tersebut. Namun, saat dirinya hendak menuju pintu utama rumah, suara dehaman sontak menghentikan gerakannya seketika.

Gadis itu berdiri tegap seraya membenahi tas di pundaknya. Sementara itu, Asa berjalan menghampiri.

“Aku sudah membuat sarapan,” ucap pria itu. “Makanlah dahulu.”

Entah kenapa hati Senja berdesir rasanya. Sebenarnya, dia tidak tega meninggalkan Asa, mengingat dia juga masih takut keluar rumah seorang diri. Namun, egonya memaksa untuk segera meninggalkan pria tersebut.

Senja berdiri dalam dilema. Bahkan, ketika Asa hanya berjarak satu langkah di belakangnya sekarang. Pria itu mengulurkan tangan hendak menyentuh pundak Senja, tetapi urung ketika gadis tersebut berbalik ke arahnya.

Senja tidak menimpali. Dia berjalan ke arah meja makan dan duduk di salah satu kursi. Asa yang melihatnya lantas menyusul duduk di kursi lain dan menyodorkan sepiring sandwich kepada gadis itu.

“Kamu … membuatnya—”

“Iya,” sela Asa.

Jawaban itu sudah merepresentasikan betapa kepribadian Asa berubah drastis. Senja hanya melirik pria itu sesekali sambil mulai melahap sandwich miliknya. Asa sendiri hanya diam dan memakan sarapannya dengan cepat seolah sedang diburu sesuatu.

Senja lantas menghentikan makannya. Dia terdiam dan sedikit mengerutkan kening saat melihat tangan pria di depannya itu. Tangan Asa tampak gemetar, bahkan menggenggam sandwich pun seperti orang yang ketakutan. Senja ingin mengulurkan tangannya menyentuh Asa, tetapi gagal karena pria itu telah menyudahi sarapannya.

“Aku tunggu di mobil,” ucap Asa. “Kita berangkat bersama.”

Pria itu mencuci piring miliknya, lalu bergegas menyambar jas serta tas yang sudah disiapkannya. Dia melangkah ke luar rumah.

Senja menghela napas. Tiba-tiba saja dia khawatir dengan kondisi Asa. Bagaimana caranya pria itu bekerja nanti? Apakah dia bisa menghadiri rapat dengan kondisi seperti itu?

Asa bahkan tidak banyak bicara selama di perjalanan menuju kantor. Dia hanya mengiyakan atau menjawab hal yang menurutnya penting—yang dipertanyakan oleh Senja. Sementara itu, Senja yang mengecek jadwal Asa sesekali memandangi pria tersebut. Asa terlihat mengatur ritme napasnya sambil meremas kedua tangan seolah tengah menahan sesuatu.

Sampai di ruangan kerja, pria itu masih terlihat membisu. Ketika dia hendak berjalan menuju meja kerjanya, Senja menahan lengannya. Asa menoleh hingga Senja bisa mendapati raut wajahnya yang tidak bisa dideskripsikan itu.

Are you okay?” tanyanya.

Asa terdiam. Dia menghela napas panjang sejenak, lalu mengangguk. “Aku cuma butuh waktu,” ucapnya.

“Untuk apa?”

Pria itu meneguk liur. Tidak mungkin dia memberitahukan kepada Senja perihal penyakitnya. Dia bahkan tidak siap untuk hal itu. Dia tidak ingin Senja mengkhawatirkan dirinya.

Nothing,” jawabnya seraya menggeleng.

Namun, Senja tidak kehabisan akal. Dia masih menahan lengan CEO Kanagara Group tersebut. Sorot matanya yang nampak berkilat itu begitu serius menatap Asa.

“Aku baik-baik saja,” lanjut pria itu. Dia melepaskan cekalan tangan Senja di lengannya, lalu berjalan ke meja kerja.

Senja hanya bisa terdiam. Dia segera duduk di meja kerjanya dan mulai mengerjakan setiap detail tugasnya sebagai asisten Asa. Hari ini tidak ada rapat di daftar pekerjaan, jadi dia bisa mengawasi gerak-gerik pria tersebut selama sehari penuh.

Beberapa menit kemudian, sebagai asisten yang baik dan rajin, Senja membuatkan kopi untuk Asa. Dia tahu karena sejak kemarin dia tinggal di rumah pria itu dan selalu mendapatkan cangkir bekas kopi di dapur. Siapa lagi kalau bukan Asa pelakunya?

Gadis itu memberikan secangkir kopi hangat di meja Asa dan berdiri seraya memperhatikan pria itu bekerja. Asa melirik dan mendapati Senja masih berdiri di tempatnya. Dia mengangkat pandangan.

“Kenapa?” tanyanya.

Senja menggeleng. “Aku membuatkanmu kopi,” ucapnya sambil menyodorkan cangkir kopi di atas piring kecil yang sudah diletakkannya di sisi gawai Asa.

Asa mengangguk. Namun, belum sempat Senja meninggalkan mejanya, tangannya yang hendak memegang pegangan cangkir justru meleset hingga menjatuhkan cangkir keramik tersebut. Bunyi cangkir yang pecah menghantam lantai membuat Senja otomatis menoleh.

“Pak!” Senja menyebut asal panggilan Asa karena dia buru-buru merunduk untuk membereskan noda dan pecahan cangkir.

Namun, Asa sontak menahan gerakan gadis itu. “Tidak, tidak usah. Biar aku saja,” ucapnya.

“No, no, Asa. Biar aku … ah ….”

Asa meringis ketika salah satu pecahan cangkir tidak sengaja menggores jarinya. Sial sekali dirinya hari ini. Sudah menahan panik dalam diri, lalu memecahkan cangkir, dan sekarang malah terluka karena ulahnya sendiri.

“Kamu duduk aja deh mendingan.” Senja menuntun pria itu untuk duduk di sofa, sementara dia membereskan sejenak noda kopi dan pecahan cangkir, lalu membuangnya di tempat sampah.

Senja mengambil kotak P3K yang memang disediakan di ruangan tersebut. Dia duduk di samping Asa dan langsung mencari sesuatu yang bisa menghentikan pendarahan di jari pria tersebut. Asa lantas menahan pergerakan gadis itu lagi.

“Apalagi?” tukas gadis itu dengan nada kesal. “Kamu gak akan bisa bekerja dengan tangan terluka kayak gini.”

Akhirnya, mau tidak mau Asa menurut. Dia menghela napas, lagi-lagi mengatur degup jantungnya yang tidak mau berhenti memburu sejak dirinya bangun tidur hari ini. Pria itu membiarkan gadis di sampingnya mengobati luka di jarinya.

“Senja,” panggilnya.

Senja menoleh dan berdeham. Dia sibuk menyelesaikan pekerjaan terakhirnya melilitkan perban di jari pria tersebut.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” ucap Asa.

Gerakan gadis itu terhenti. Dia menatap pria berambut hitam di depannya. “Soal?” tanyanya.

Asa lantas menghela napas. Ritme napasnya dirasa sudah cukup rileks kali ini dan dia bisa memberitahukan perihal penyakitnya kepada Senja.

“Ini soal penyakitku.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status