Home / Romansa / Menulis Ulang Takdir / Bab 1 - Terbangun di Masa Lalu

Share

Menulis Ulang Takdir
Menulis Ulang Takdir
Author: vitafajar

Bab 1 - Terbangun di Masa Lalu

Author: vitafajar
last update Last Updated: 2025-03-18 15:50:18

Angin menerpa wajah Lyra, dingin menusuk tulang. Dadanya terasa nyeri, adegan pengkhianatan yang diberikan oleh suami dan sahabatnya, terus terbayang di kepala. Mereka membuat luka tak nampak yang sulit untuk disembuhkan. Lyra sama sekali tidak menyangka bahwa dua orang yang sangat dia percaya, tega menusuknya dengan pedang yang ternyata sudah diasah sebelumnya. 

 

Padahal dia memercayakan semuanya pada mereka, bahkan berpikir untuk bangkit bersama. Namun, ternyata harapan itu hancur berkeping-keping di depan matanya. Lyra merasakan dunia di sekelilingnya seolah runtuh. Setiap kenangan indah yang pernah mereka bagi—tawa, canda, dan mimpi-mimpi yang tampaknya tak terpisahkan—sekarang terasa seperti ilusi yang penuh derita.

 

Dengan langkah gontai, Lyra berjalan tanpa arah. Menyusuri trotoar ibu kota yang masih disibukkan dengan para pejalan kaki meski malam kian larut. Dia ingin pulang, dia ingin tidur di kamarnya, di ranjangnya yang hangat dan berharap bahwa semua yang dilalui hari ini, hanya mimpi belaka. Tetapi, dia sudah tidak punya rumah. Orang tuanya sudah tiada, meninggalkan warisan yang dengan bodohnya, Lyra tidak tahu cara mengelolanya, sehingga semua habis dan berakhir dia ditipu oleh dua orang kepercayaannya.

 

"Aku bodoh." Lyra menarik napas dalam, memandang kosong ke arah jalanan yang ramai dengan kendaraan pribadi. "Sangat bodoh! Seharusnya aku mengikuti perkataan Papa, tidak menikah dengan Adrian dan menjauhi Della. Seharusnya aku menuruti Papa untuk belajar bisnis dengan benar."

 

Lyra meneteskan air mata. Sekarang tidak ada satupun yang tersisa selain penyesalan yang membuat lubang besar dalam dadanya. Seandainya dia bisa memutar waktu, dia akan berusaha untuk menulis ulang takdirnya. Dia berjanji akan menjadi anak yang baik, dia berjanji akan menjadi anak yang penurut. Mengikuti semua perkataan ayahnya, menjadi penerus yang bisa membanggakan keluarganya. 

 

Bola matanya bergerak kanan dan kiri, memerhatikan setiap kendaraan yang lewat dengan kecepatan tinggi. Jika dia berlari ke arah sana, mungkinkah semua akan berakhir dengan bahagia? Dia akan bisa kembali bertemu orang tuanya, memohon ampun karena telah menjadi anak yang mengecewakan?

 

Lyra melangkahkan kakinya, bersiap untuk menabrakkan diri ke arah mobil-mobil yang lewat. Namun, belum sempat dia bergerak, seseorang menahan pergelangan tangannya. Lyra menoleh, dia melihat seorang pria asing yang menatapnya terkejut. Pria itu mengenakan jaket berwarna hitam, topi dan masker. Sebuah kacamata bertengger di hidung mancungnya. Jarak mereka sangat dekat sehingga Lyra bisa mencium aroma woody dari tubuhnya.

 

Pria itu menatap Lyra dengan penuh kekhawatiran, dia berbicara lembut namun tegas, "Jangan lakukan itu. Hidupmu berharga."

 

Lyra berkerut bingung, dia baru bertemu dengannya malam ini, tapi kenapa nada bicaranya seolah mengatakan bahwa mereka pernah berjumpa sebelumnya? Selain itu, dia juga bisa merasakan kehangatan yang terpancar dari tatapannya untuk Lyra.

 

Pria itu melepaskan tangan Lyra saat dirasa Lyra bisa berdiri sendiri. Lyra tidak bisa melihat ekspresi wajahnya tapi dia bisa melihat matanya melengkung seperti bulan sabit seolah sedang tersenyum. "Mungkin kamu tidak percaya, tapi percayalah, di luar sana, masih ada orang yang menyayangimu," sambungnya, menatap Lyra sebentar lalu pergi dari sana.

 

Lyra menatap punggung pria itu yang perlahan menjauh darinya. Mengingat kata-kata terakhirnya, seketika tawa kecil muncul dari celah bibirnya. Siapa yang akan menyayanginya sementara dua orang yang dia harapkan sudah mengkhianatinya? Hanya orang tuanya yang terbukti tulus mencintainya, namun mereka sudah tidak ada lagi di dunia. Dia langsung berpikir bahwa pria itu hanya membual supaya membuat Lyra tidak lagi berniat mengakhiri hidupnya. 

 

Lyra berdecak, dia melihat sekeliling dan terlalu ramai untuk mengakhiri hidupnya. Jika dia tetap nekat, besar kemungkinan akan gagal. Mungkin bukan karena pria tadi, tapi karena orang lain yang akan mencegahnya. 

 

Lyra menarik napas dalam. Pikirannya berputar-putar namun dia hanya tersenyum tipis, menutupi kekecewaanya. Dia hanya terus melangkah tanpa peduli dengan tujuannya. Hingga sampailah dia di sebuah rumah duka, tempat abu jenazah orang tuanya bersemanyam. Dia melangkah, langkahnya teguh, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Di sana, di tengah kesunyian dan kesedihan, dia akan memohon ampun sampai diijinkan untuk menjumpai orang tuanya.

 

"Ma, Pa," panggilnya lirih. "Maaf karena aku tidak mendengarkan kalian."

 

Lyra menggigit bibirnya, menahan tangis yang hendak keluar. Dia adalah penyebab hancurnya keluarga mereka, dia merasa tidak pantas untuk bersedih.

 

"Apa karena aku sudah menjadi anak yang pembangkang, kalian sampai meninggalkanmu sendirian seperti ini?"

 

Lyra menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya terpejam erat, air mata langsung mengalir deras tanpa suara. Menyesal pun percuma, permintaan maaf tidak berguna. Di tengah keheningan, dada Lyra semakin terasa sesak.

 

"Kembalilah," bisik Lyra. "Kembali dan hukum aku seperti yang biasa kalian lakukan dulu. Marahi aku, tapi jangan tinggalkan aku sendirian."

 

Lyra mengangkat tangannya, menyentuh sebuah foto keluarga dimana ada dirinya yang masih kecil. Hanya foto itu yang mereka punya, lebih tepatnya adalah yang tersisa dari semua harta yang sudah hilang. 

 

Lyra membuka mulutnya, namun kata-kata yang sudah berada di ujung lidah, seakan kembali tertelan oleh gelombang emosi yang menerjangnya. Kepalanya tertunduk, tubuhnya mendadak lemas, lututnya seolah tak mampu lagi menopang beban berat yang selama ini dipikulnya. Lyra terjatuh begitu keras, tubuhnya membentur lantai dengan bunyi debum yang kencang, menyerupai runtuhnya benteng pertahanan terakhirnya.

 

Dalam keheningan itu, Lyra menangis begitu kencang. Suaranya bergema, menguncang ruangan dan jiwanya sendiri. Tangisannya adalah pelepasan, adalah keputusasaan, adalah harapan yang sirna.

 

Lyra meringkuk sambil terus menangis, hingga tiba-tiba dia merasakan cahaya yang menyilaukan sampai membuatnya tidak sanggup membuka mata. Tubuhnya mendadak terasa ringan, dia seolah merasakan nyawanya terlepas dari tubuhnya. Saat itulah dia berpikir bahwa ini adalah akhir hidupnya.

 

Lyra tersenyum tipis, ternyata tanpa harus mengakhiri hidup, dia bisa pergi tanpa rasa sakit seperti ini.

Ketika cahaya yang menyilaukan itu sudah tidak lagi menganggu matanya. Lyra membuka mata. Namun bukan langit-langit rumah duka yang dia lihat, melainkan sebuah kamar yang terasa sangat tidak asing baginya.

 

"Apa ini surga?"

 

Lyra melihat sekeliling, barulah dia menyadari ini adalah kamarnya. Kamarnya ketika dia masih tinggal bersama dengan orang tuanya. Kamarnya saat dia masih berusia 19 tahun, saat dia baru akan masuk universitas. 

 

"Tidak mungkin!" 

 

Lyra langsung bangkit, gerakannya masih gemetar, dan berjalan menuju meja riasnya. Matanya membelalak, bukan hanya karena melihat wajahnya yang masih sangat muda di cermin, tetapi juga karena kenyataan yang begitu tak terduga dan sulit dipercaya.

 

"Aku pasti sedang mimpi," gumamnya lagi. 

 

Lyra mencubit lengannya, namun yang dirasa malah kesakitan. Dia kembali memandangi wajahnya di cermin, melihatnya dengan teliti. Dia baru saja akan menampar wajahnya kembali ketika tiba-tiba pintu terbuka, suara seorang wanita langsung pikirannya.

 

"Nona, apa yang Anda lakukan? Kenapa menyakiti tubuh Anda seperti itu?"

 

Lyra semakin terkejut. Apa dia sudah kembali ke masa lalu?

 

***

Bersambung~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 37 - Perjamuan Para Pengkhianat

    Layar raksasa di aula Sektor Kaelum memproyeksikan rekaman hitam-putih sepuluh tahun silam. Sosok Arthur Hawkins muda terlihat menekan tuas pengunci udara Sektor Empat dengan ketenangan mengerikan.Di layar, Thomas Hawkins menggedor pintu baja, mulutnya menyebut nama "Arthur" sebelum gas saraf merenggut nyawanya. Suara desis gas yang bergema menciptakan kesunyian yang memuakkan.Della membeku; tabung Echo Genesis di tangannya terasa seberat dosa masa lalu Hawkins. Di belakangnya, Adrian tampak seperti mayat hidup, wajah sombongnya luntur menjadi ketakutan murni yang menggetarkan lututnya."Ini … ini tidak mungkin," gumam Adrian, suaranya pecah di tengah ruangan yang kedap suara. "Arthur bilang Thomas mati karena kecerobohannya sendiri dalam protokol eksperimen. Dia bilang dia mencoba menyelamatkannya—""Dia berbohong padamu, Adrian. Sama seperti dia berbohong pada seluruh dunia selama sepuluh tahun ini," William memotong dengan suara yang setajam silet, membelah kesunyian.Ia melangka

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 36 - Gerbang Sektor Kaelum

    Sektor Kaelum menjulang sebagai benteng baja di tengah kabut Hutan Nox, sebuah wilayah anomali di mana hukum Grup Hawkins tak lagi berlaku. Dinding betonnya memancarkan gelombang pengacak sinyal, mengisolasi tempat itu dari radar dunia luar. Di zona bayangan ini, otoritas korporat hancur dan informasi menjadi satu-satunya mata uang yang lebih berharga daripada nyawa.William mematikan mesin perahu saat mereka mendekati dermaga tersembunyi yang dijaga oleh pria-pria berpakaian taktis tanpa lencana. Lyra membantu dia memapah Dr. Vance yang masih tidak sadarkan diri, tubuh dokter itu terasa sangat ringan dan rapuh di pundaknya.Lyra gemetar, bukan hanya karena angin danau yang menusuk tulang, tetapi karena bayangan wajah Della yang terus menghantui setiap langkahnya."Kau gemetar," gumam William tanpa menoleh, seolah ia memiliki mata di belakang kepalanya untuk membaca ketakutan Lyra."Aku memikirkan dia," bisik Lyra, suaranya parau karena amarah yang berusa

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 35 - Pijar di Hutan Nox

    Lorong-lorong beton Project Chimerakini dipenuhi oleh suara mekanis alarm yang memekakkan telinga. Cahaya merah yang berputar memberikan kesan distopia pada wajah William yang tetap tenang, kontras dengan Lyra yang jantungnya berpacu hebat.Di belakang mereka, Peter telah menghilang ke arah koridor utama, menjadi tameng hidup yang didorong oleh dendam sedekade.William tidak berhenti untuk menoleh. Ia memegang ujung tandu Dr. Vance dengan kekuatan yang tidak proporsional untuk seorang pria yang telah berjam-jam tidak tidur.Lyra di sisi lain, berusaha mengimbangi langkah lebar William sambil membawa laptop yang masih terhubung ke jaringan keamanan internal."William, perhatikan!" teriak Lyra secara spontan, suaranya melengking di atas bunyi alarm. "Dua unit taktis baru saja mendarat di atap sektor utara. Mereka tidak masuk lewat pintu depan, mereka melakukan infiltrasi vertikal!"William menghentikan langkahnya tepat di depan persimpangan men

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 34 - Kebenaran Paling Pahit

    Udara di sekitar kompleks Project Chimeraterasa mati, seolah-olah pepohonan pinus di Hutan Nox pun enggan bernapas. William masih menggenggam amplop tua itu, jemarinya memutih karena tekanan yang kuat.Lyra berdiri terpaku, matanya menatap amplop berpudar itu dengan ribuan pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya."William," Lyra memulai, suaranya hampir tidak terdengar di tengah desiran angin hutan. "Tadi kau bilang itu surat kematian asli ayah Peter. Tapi…bukankah kalian bersaudara? Bukankah ayah kalian adalah Arthur Hawkins?"Ini … sangat berbeda dari pengetahuan masa depannya.William tidak langsung menjawab. Ia memasukkan kembali amplop itu ke balik jaketnya, lalu menatap lurus ke arah bangunan beton di depan mereka. Ia menyentuh bekas luka lama di telapak tangannya, sebuah gestur yang menyiratkan rasa sakit yang bukan berasal dari masa sekarang, melainkan sisa-sisa trauma yang terbawa melampaui waktu.

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 33 - Pecahnya Aliansi Berdarah

    Keheningan di dalam gudang tua di pinggiran Hutan Nox terasa menyesakkan setelah pesan singkat itu terkirim. Tiga kata dalam pesan itu adalah sumbu pendek yang baru saja dinyalakan Lyra untuk meledakkan kestabilan Grup Hawkins.Di luar, langit mulai berubah menjadi ungu kebiruan, menandakan fajar yang dingin telah tiba.William masih berdiri di belakang Lyra. Tangannya yang berada di bahu wanita itu terasa panas, kontras dengan udara fajar yang menggigit. Dia tidak segera menjauhkan tangannya.Alih-alih terkejut dengan betapa cepatnya Lyra mengeksekusi rencana penghancuran mantan tunangannya, William justru mengetuk-ngetukkan jarinya di bahu Lyra dalam irama yang sangat spesifik.Irama itu menyerupai kode transmisi kuno yang pernah digunakan oleh divisi intelijen Hawkins, sebuah detail yang seharusnya tidak diingat oleh William jika ia tidak membawa beban dari kehidupan sebelumnya."Pesan itu sudah terkirim ke saluran pribadi Arthur melalui server terenkripsi Zyrtec," bisik Lyra."Del

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 32 - Memburu Pengkhianat Ganda

    Fajar telah menyingsing penuh, membanjiri gudang dengan cahaya abu-abu yang dingin, tetapi William dan Lyra tidak menyadarinya. Fokus mereka terpusat pada ponsel satelit. Kepanikan yang disebabkan oleh pesan Marcus Chen.[Adrian telah menarik dana dan melarikan diri]Dan itu mengubah seluruh strategi mereka."Dia tahu," kata Lyra, memegang ponsel itu erat-erat. "Adrian tahu aku akan datang. Dia tidak peduli tentang flash drive Arthur, atau Vance. Dia hanya ingin melarikan diri dengan uang sebanyak mungkin sebelum aku bisa menjebaknya."William tersenyum, senyum yang dingin dan berbahaya. Senyumnya bukan tawa kekalahan, melainkan pengakuan bahwa ia telah memprediksi keserakahan mutlak Adrian."Adrian selalu tahu cara melompat dari kapal yang tenggelam. Dia tidak mengkhianati Arthur, dia hanya berinvestasi pada dirinya sendiri. Dia pengkhianat gand dan itu membuatnya menjadi aset yang jauh lebih berharga bagi kita dan Arthur."Prioritas utama mereka kini adalah melacak jalur pelarian Ad

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status