Home / Romansa / Menulis Ulang Takdir / Bab 2 - Peringatan

Share

Bab 2 - Peringatan

Author: vitafajar
last update Huling Na-update: 2025-03-18 15:55:01

Mata Lyra semakin membulat ketika melihat seorang gadis muda yang dulu selalu melayaninya. Dulu Lyra sangat tidak menyukainya karena orang tuanya selalu membandingkannya dengan dia. Gadis ini lebih muda dari Lyra tapi sudah tau tata krama ketika bicara dengan orang dewasa. Dia sangat sopan, berbeda dengan Lyra yang berjiwa bebas dan terkadang membuat onar. 

 

Kening Lyra berkerut, berusaha mengingat nama gadis ini. Namun, tak satupun nama yang bisa diingat. Mungkin karena dia tidak menyukainya. Saat itu dia bahkan enggan untuk melihat wajahnya.

 

"Nona?" Pelayan itu kembali memanggil, rambutnya yang terikat rapi sedikit berantakan, menunjukkan sedikit kekhawatiran di balik sikapnya yang selalu terkontrol. "Apa Nona baik-baik saja?"

 

Lyra memperhatikan detail-detail kecil tersebut. Gadis ini memang sopan, bahkan terlalu sopan, dengan tutur katanya yang formal dan terukur, seakan-akan selalu menjaga jarak dan menghindari hal-hal yang bersifat personal. Sikap yang dulu Lyra anggap sebagai sesuatu yang menjengkelkan.

 

"Jika Nona sedang tidak sehat, saya akan bicara dengan Tuan dan Nyonya supaya Nona tidak perlu datang ke universitas," lanjutnya.

 

Mendengar nama orang tuanya disebut, seketika Lyra bangkit sampai membuat pelayan terkejut. Rasa bersalah, penyesalan dan kerinduan bercampur aduk dalam hatinya. Gerakannya terburu-buru dan sedikit gemetar. Dia membuka pintu, berlari menuruni tangga, dia bahkan tidak peduli dengan panggilan gadis tadi yang memintanya berhati-hati. Lyra berlari, seakan terdorong oleh kekuatan yang tak tertahankan, pikirannya hanya tertuju pada satu tujuan, bertemu orang tuanya.

 

Gerakan Lyra terhenti ketika dia sampai di depan sebuah ruang makan. Di sana sudah ada ayah dan ibunya. Melakukan kegiatan pagi seperti yang selama ini mereka lakukan. Napasnya terengah, matanya bergerak liar, memastikan bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. 

 

Perlahan, air berkumpul di sudut matanya dan jatuh begitu saja saat ibunya berkata, "Kamu hanya akan berdiri di sana atau segera bersiap dan sarapan?"

 

Lyra tidak sanggup berkata-kata, gerakannya cepat, dia memeluk tubuh sang ibu yang membeku. Victoria memandang suaminya seolah bertanya tanpa kata, tapi pria itu malah menggeleng. Tanda dia juga tidak mengerti dengan sikap putri mereka.

 

Hubungan mereka sebagai orang tua dan anak tidak bisa dikatakan dekat, bahkan cenderung jauh. Di masa kecil, Lyra selalu haus akan perhatian orang tuanya, namun seiring bertambahnya usia dan kesibukan masing-masing, mereka semakin berjarak. 

 

Pelukan Lyra membuat Victoria terkejut. Dia tidak terbiasa dengan kehangatan seperti itu. Tangannya terangkat, namun ragu untuk membalas. Dia merasa canggung.

 

"Lyra, apa yang terjadi denganmu? Kenapa membuat mama tidak nyaman seperti ini?" Victoria bertanya sambil berusaha melepaskan pelukannya anaknya.

 

"Ma, maafin aku. Aku sungguh menyesal! Maafin aku, Ma!" Lyra menangis sangat kencang seperti seorang anak kecil yang ditinggal oleh ibunya.

 

Victoria melihat suaminya, meminta pria itu segera membantu.

 

"Lyra." Charles memegang lengan Lyra, membuatnya menoleh tanpa melepaskan pelukannya pada sang ibu.

 

"Kamu mimpi, ya?" tanya Charles yang lebih keheranan dengan sikap putrinya.

 

Bibir Lyra semakin bergetar, air mata kembali mengalir dengan deras, kerutan didahinya semakin dalam, wajahnya kian merah dan tangisan Lyra semakin terdengar memilukan.

 

"Papa!" Terhadap papanya, dia tidak bisa mengatakan apa pun. 

 

Lyra teringat dengan saat terakhir papanya tiada. Ketika kecelakaan itu menimpa orang tuanya, Charles masih dalam keadaan bernapas saat tiba di rumah sakit. Bahkan sudah melakukan operasi untuk menghentikan perdarahannya. Namun, setelah bertahan semalaman di ruang ICU, pria itu juga tidak sanggup menahan rasa sakitnya.

 

Victoria dan Charles saling pandang, kebingungan tergambar jelas di mata keduanya. Victoria yang selama ini dikenal dingin dan kaku pada putrinya, kini merasa tidak mampu melakukan apapun selain menenangkan Lyra. Dengan gerakan kaku, namun dipenuhi ketulusan yang tersembunyi, dia menepuk bahu Lyra, sebuah tindakan tidak terduga dari dirinya.

 

Beberapa saat kemudian, Lyra baru merasa lebih baik. Sesekali dia menyeka air mata sambil terus memandangi wajah orang tuanya. Senyuman terukir di bibir, tidak pernah terbayang dalam dirinya bahwa Lyra bisa kembali ke masa lalu dan bertemu dengan orang tuanya.

 

"Sekarang kamu bisa ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi sampai kamu menangis seperti ini?" Charles bertanya penasaran.

 

Lyra mengangguk, dia membuka mulut, tapi tidak satupun kata-kata keluar dari bibirnya. Dia ingin menceritakan kehidupan yang dijalaninya, tentang pernikahan dan pengkhianatan. Tentang firasat sang ayah tentang Adrian yang ternyata benar. 

 

Namun, kenapa dia malah tidak bisa mengatakannya? Kenapa Lyra seolah kehilangan suaranya? Apa yang terjadi dengannya?

 

Nginggggg!

 

Suara dengung itu memekakkan telinga, menyerbu indra pendengaran Lyra dengan intensitas yang tidak tertahankan. Dia meringkuk, menutup telinga dengan erat, berusaha menghindar dari siksaan itu. Namun, suara itu terus bergema, menyerang kesadarannya hingga pandangannya menjadi gelap gulita. Dunia di sekelilingnya berputar, membuatnya merasa seperti terjebak dalam pusaran suara yang mengerikan.

 

Tiba-tiba cahaya menyilaukan menusuk matanya. Perlahan Lyra berusaha membuka mata, namun tidak ada yang bisa dia lihat selain ruangan serba putih yang membuat jantungnya berdebar. 

 

"Apa ini? Kenapa aku di sini?" 

 

Lyra teringat dengan orang tuanya. Saat itu dia langsung berpikir bahwa Tuhan sedang mempermainkannya. Setelah membiarkan dia bertemu dengan mereka, hidupnya kembali diambil seolah dia memang tidak berhak bahagia.

 

"Kenapa berpikir begitu?"

 

Lyra membelalak, dia melilihat sekeliling tapi dia tidak melihat siapapun selain dirinya.

Suara tanpa wujud itu kembali terdengar, "Lyra Watson, kamu tidak boleh menceritakan tentang masa depan pada orang yang hidup di masa lalu jika ingin kesempatan yang diberikan padamu tidak berakhir sia-sia."

 

Lyra teringat kembali dengan beberapa saat lalu sebelum dia sampai di sini. Ternyata itu sebabnya dia tidak bisa mengeluarkan kata-kata ketika akan bercerita pada orang tuanya.

 

"Tapi, kenapa? Kenapa aku tidak bisa memberitahu mereka tentang apa yang terjadi pada putri mereka di masa depan?" Lyra tidak terima.

 

"Ini adalah peringatan terakhir untukmu, Lyra Watson. Aku akan langsung mengambil kehidupanmu saat ini jika kamu melanggarnya."

 

"Apa? Apa maksudnya?" Lyra merasa tidak adil. Bagaimana bisa dia mengubah masa depan tanpa memberitahu orang tuanya? Orang tuanya adalah seseorang yang sangat penting dan dia ingin mereka berada di masa depan yang sama dengannya. 

 

"Siapa kamu?" tanya Lyra marah. "Kenapa kamu bersembunyi? Kenapa kamu tidak menampakkan diri dan bicara langsung denganku dengan bertatap muka?"

 

Suara tanpa wujud itu tidak memedulikan pertanyaan Lyra. Dia kembali berkata, "Kamu sudah kuberikan kesempatan untuk menulis ulang takdirmu. Lakukan semua hal yang membuatmu bisa mengubah masa depan, tapi kamu tidak boleh membocorkan rahasia masa depan pada orang lain termasuk orang tuamu."

 

"Tapi, aku ...."

 

"Ingat, Lyra Watson. Jika kamu melanggarnya, aku tidak akan memberikanmu kesempatan lagi."

 

***

Bersambung~

 

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 37 - Perjamuan Para Pengkhianat

    Layar raksasa di aula Sektor Kaelum memproyeksikan rekaman hitam-putih sepuluh tahun silam. Sosok Arthur Hawkins muda terlihat menekan tuas pengunci udara Sektor Empat dengan ketenangan mengerikan.Di layar, Thomas Hawkins menggedor pintu baja, mulutnya menyebut nama "Arthur" sebelum gas saraf merenggut nyawanya. Suara desis gas yang bergema menciptakan kesunyian yang memuakkan.Della membeku; tabung Echo Genesis di tangannya terasa seberat dosa masa lalu Hawkins. Di belakangnya, Adrian tampak seperti mayat hidup, wajah sombongnya luntur menjadi ketakutan murni yang menggetarkan lututnya."Ini … ini tidak mungkin," gumam Adrian, suaranya pecah di tengah ruangan yang kedap suara. "Arthur bilang Thomas mati karena kecerobohannya sendiri dalam protokol eksperimen. Dia bilang dia mencoba menyelamatkannya—""Dia berbohong padamu, Adrian. Sama seperti dia berbohong pada seluruh dunia selama sepuluh tahun ini," William memotong dengan suara yang setajam silet, membelah kesunyian.Ia melangka

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 36 - Gerbang Sektor Kaelum

    Sektor Kaelum menjulang sebagai benteng baja di tengah kabut Hutan Nox, sebuah wilayah anomali di mana hukum Grup Hawkins tak lagi berlaku. Dinding betonnya memancarkan gelombang pengacak sinyal, mengisolasi tempat itu dari radar dunia luar. Di zona bayangan ini, otoritas korporat hancur dan informasi menjadi satu-satunya mata uang yang lebih berharga daripada nyawa.William mematikan mesin perahu saat mereka mendekati dermaga tersembunyi yang dijaga oleh pria-pria berpakaian taktis tanpa lencana. Lyra membantu dia memapah Dr. Vance yang masih tidak sadarkan diri, tubuh dokter itu terasa sangat ringan dan rapuh di pundaknya.Lyra gemetar, bukan hanya karena angin danau yang menusuk tulang, tetapi karena bayangan wajah Della yang terus menghantui setiap langkahnya."Kau gemetar," gumam William tanpa menoleh, seolah ia memiliki mata di belakang kepalanya untuk membaca ketakutan Lyra."Aku memikirkan dia," bisik Lyra, suaranya parau karena amarah yang berusa

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 35 - Pijar di Hutan Nox

    Lorong-lorong beton Project Chimerakini dipenuhi oleh suara mekanis alarm yang memekakkan telinga. Cahaya merah yang berputar memberikan kesan distopia pada wajah William yang tetap tenang, kontras dengan Lyra yang jantungnya berpacu hebat.Di belakang mereka, Peter telah menghilang ke arah koridor utama, menjadi tameng hidup yang didorong oleh dendam sedekade.William tidak berhenti untuk menoleh. Ia memegang ujung tandu Dr. Vance dengan kekuatan yang tidak proporsional untuk seorang pria yang telah berjam-jam tidak tidur.Lyra di sisi lain, berusaha mengimbangi langkah lebar William sambil membawa laptop yang masih terhubung ke jaringan keamanan internal."William, perhatikan!" teriak Lyra secara spontan, suaranya melengking di atas bunyi alarm. "Dua unit taktis baru saja mendarat di atap sektor utara. Mereka tidak masuk lewat pintu depan, mereka melakukan infiltrasi vertikal!"William menghentikan langkahnya tepat di depan persimpangan men

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 34 - Kebenaran Paling Pahit

    Udara di sekitar kompleks Project Chimeraterasa mati, seolah-olah pepohonan pinus di Hutan Nox pun enggan bernapas. William masih menggenggam amplop tua itu, jemarinya memutih karena tekanan yang kuat.Lyra berdiri terpaku, matanya menatap amplop berpudar itu dengan ribuan pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya."William," Lyra memulai, suaranya hampir tidak terdengar di tengah desiran angin hutan. "Tadi kau bilang itu surat kematian asli ayah Peter. Tapi…bukankah kalian bersaudara? Bukankah ayah kalian adalah Arthur Hawkins?"Ini … sangat berbeda dari pengetahuan masa depannya.William tidak langsung menjawab. Ia memasukkan kembali amplop itu ke balik jaketnya, lalu menatap lurus ke arah bangunan beton di depan mereka. Ia menyentuh bekas luka lama di telapak tangannya, sebuah gestur yang menyiratkan rasa sakit yang bukan berasal dari masa sekarang, melainkan sisa-sisa trauma yang terbawa melampaui waktu.

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 33 - Pecahnya Aliansi Berdarah

    Keheningan di dalam gudang tua di pinggiran Hutan Nox terasa menyesakkan setelah pesan singkat itu terkirim. Tiga kata dalam pesan itu adalah sumbu pendek yang baru saja dinyalakan Lyra untuk meledakkan kestabilan Grup Hawkins.Di luar, langit mulai berubah menjadi ungu kebiruan, menandakan fajar yang dingin telah tiba.William masih berdiri di belakang Lyra. Tangannya yang berada di bahu wanita itu terasa panas, kontras dengan udara fajar yang menggigit. Dia tidak segera menjauhkan tangannya.Alih-alih terkejut dengan betapa cepatnya Lyra mengeksekusi rencana penghancuran mantan tunangannya, William justru mengetuk-ngetukkan jarinya di bahu Lyra dalam irama yang sangat spesifik.Irama itu menyerupai kode transmisi kuno yang pernah digunakan oleh divisi intelijen Hawkins, sebuah detail yang seharusnya tidak diingat oleh William jika ia tidak membawa beban dari kehidupan sebelumnya."Pesan itu sudah terkirim ke saluran pribadi Arthur melalui server terenkripsi Zyrtec," bisik Lyra."Del

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 32 - Memburu Pengkhianat Ganda

    Fajar telah menyingsing penuh, membanjiri gudang dengan cahaya abu-abu yang dingin, tetapi William dan Lyra tidak menyadarinya. Fokus mereka terpusat pada ponsel satelit. Kepanikan yang disebabkan oleh pesan Marcus Chen.[Adrian telah menarik dana dan melarikan diri]Dan itu mengubah seluruh strategi mereka."Dia tahu," kata Lyra, memegang ponsel itu erat-erat. "Adrian tahu aku akan datang. Dia tidak peduli tentang flash drive Arthur, atau Vance. Dia hanya ingin melarikan diri dengan uang sebanyak mungkin sebelum aku bisa menjebaknya."William tersenyum, senyum yang dingin dan berbahaya. Senyumnya bukan tawa kekalahan, melainkan pengakuan bahwa ia telah memprediksi keserakahan mutlak Adrian."Adrian selalu tahu cara melompat dari kapal yang tenggelam. Dia tidak mengkhianati Arthur, dia hanya berinvestasi pada dirinya sendiri. Dia pengkhianat gand dan itu membuatnya menjadi aset yang jauh lebih berharga bagi kita dan Arthur."Prioritas utama mereka kini adalah melacak jalur pelarian Ad

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status