แชร์

Bab 3 - Memulai Dari Awal

ผู้เขียน: vitafajar
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-19 22:57:04

Lyra merasakan berat di kelopak matanya, meski begitu dia tetap berusaha untuk membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah cemas orang tuanya, seketika hatinya menghangat karena ini adalah pertama kalinya dia melihat mereka menampakkan ekspresi wajah mengkhawatirkannya.

 

"Sudah bangun?" 

 

Seketika senyum lemah di wajah Lyra menghilang saat mendengar suara dingin sang ibu. 

 

"Kalau kamu sudah sehat, bangun dan bersiaplah." Victoria melihat jam yang melingkar di tangannya lalu berkata pada Charles, "Aku sudah terlambat. Sampai jumpa nanti malam."

 

Pintu kembali tertutup, menyisakan keheningan di antara Lyra dan ayahnya. Charles masih duduk di tempatnya, tatapannya tak lepas dari Lyra. Suasana tegang terasa menyesakkan. Setelah beberapa saat yang terasa sangat lama, dia akhirnya bertanya, suaranya berat dan rendah, "Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan tadi?"

 

Lyra menutup bibirnya rapat-rapat. Dia sudah mendapatkan peringatan, dia tidak mau kesempatannya hilang. Perlahan bibirnya melengkung, dia menggeleng pelan.

 

"Tidak apa-apa. Papa tidak bekerja?" Buru-buru dia mengalihkan pembicaraan.

 

Charles terdiam sejenak, lalu bangkit mendekati Lyra. Sentuhan hangat tangannya di kepala Lyra terasa begitu menenangkan, seperti embusan angin sepoi-sepoi yang mencairkan lapisan es yang selama ini membungkus hatinya. Lyra merasakan lelehan salju yang lembut di dalam dadanya, menghilangkan rasa dingin dan kesepian yang telah lama menyelimuti jiwanya. Seolah-olah musim semi telah tiba, membawa kehangatan yang selama ini dirindukannya.

 

"Beristirahatlah," ucap Charles lalu pergi dari sana. 

 

Lyra termenung, dia memegang kepala yang tadi disentuh oleh sang ayah. Dia sudah kembali ke masa lalu untuk mengubah masa depan, apa itu artinya sikap ayahnya juga ikut berubah?

 

"Nona, apa Anda baik-baik saja?" 

 

Lyra beralih pada gadis yang dia jumpai pertama kali ketika kembali. Seketika dia mengingat namanya yang telah dilupakan.

 

"Daisy," panggil Lyra. 

 

"I-iya, Nona. Apa ada yang Anda butuhkan?" Ini adalah pertama kali Lyra memanggil namanya. Daisy merasa sangat aneh.

 

"Tolong, siapkan sarapan dan juga mobil!" perintahnya sambil berjalan menuju kamar mandi.

 

"Baik, saya akan meminta Paman Bill untuk mengantarkan Anda."

 

"Tidak perlu. Aku akan pergi sendiri."

 

"Ta-tapi, Nona ...," Daisy terdiam, dia langsung menunduk saat melihat Lyra menatapnya. Nonanya yang pemarah, selalu kesal setiap kali dia menginterupsinya.

 

"Kenapa?" Lyra menatap keheranan.

 

Daisy mengangkat wajah, seketika dia merasa aneh. Ada yang berbeda dari nonanya.

 

"Kenapa kamu diam saja?" tegur Lyra.

 

"Nona, Anda mau kemana? Saya akan menyuruh seseorang mengantarkan Anda."

 

Lyra menghela napas. "Aku sudah bilang, aku akan pergi sendiri. Kamu minta saja dia untuk menyiapkan mobil," kata Lyra kembali berjalan menuju kamar mandi.

 

"Nona, Anda tidak bisa menyetir mobil."

 

Lyra mulai kesal, dia berbalik dan menatap Daisy marah. "Daisy, jangan sampai kamu membuatku mengatakan untuk yang ketiga kali-"

 

Lyra tersentak, sebuah kesadaran menyambarnya. Ini adalah masa ketika dia baru berusia 19 tahun. Tentu saja, dia belum bisa mengemudi. Pertama kali dia menyetir adalah saat usianya 25 tahun. Masih jauh dari masa kini.

 

"Nona?" panggilan Daisy membuat Lyra tersadar. 

 

Lyra berdeham. "Minta Pak Bill juga untuk mengantarku."

 

Lyra langsung pergi menuju kamar mandi. Lain kali, dia harus lebih berhati-hati supaya tidak membuat "orang itu", atau entah siapa, marah dan berakhir dengan mengambil kembali kesempatannya.

 

Setelah selesai bersiap, Lyra langsung pergi menuju universitas. Akar masalah dari kehancuran di masa depan adalah karena dirinya tidak mau belajar dengan benar. Dia selalu mengutamakan kekasih dan melupakan tanggung jawab. Di kehidupan kali ini, dia tidak mau mengulangi kembali kesalahannya.

 

Sebuah gedung universitas yang besar dan kokoh berdiri di hadapan Lyra. Arsitekturnya yang megah dan modern, membuat banyak orang ingin menimba ilmu di sana, namun hanya segelintir orang seperti Lyra berkesempatan masuk. Beasiswa menjadi satu-satunya jalan bagi mereka yang beruntung dan mampu memenuhi kualifikasi ketat yang ditetapkan.

 

"Kamu yakin mau pindah jurusan sekarang?" tanya seorang wanita, memandang Lyra dingin. Mungkin kesal karena pekerjaannya menjadi bertambah dengan Lyra yang tiba-tiba meminta pindah jurusan di hari pertama kegiatan belajar. 

 

Lyra memulai perkuliahan di jurusan seni rupa, memimpikan karier sebagai pelukis. Lukisan baginya adalah segalanya. Namun, pengetahuan masa depan telah mengubah pandangannya terhadap seni lukis, menciptakan pergulatan yang rumit antara impian dan kenyataan.

 

"Iya, saya yakin," ujar Lyra mantap

 

Wanita itu menghela napas. Terhadap gadis di depannya, dia tahu. Lyra adalah anak dari salah satu donatur terbesar universitas. Ayahnya sangat dihormati. Jadi ketika Lyra meminta pindah, dia hanya bisa mengikuti keinginan dan memproses semuanya. 

 

Wanita itu menatap Lyra kemudian menyerahkan sebuah kartu dan kertas yang berisi jadwal mata kuliah tahun pertamanya. Lyra menatap dua benda itu, hatinya terasa berat namun dia mantap untuk memulai babak baru dalam hidupnya.

 

Setelah semua urusan administrasi selesai, Lyra segera keluar dari ruangan itu menuju kelas pertama. Langkahnya berat seolah dia memikul masalah dunia. Rasa cemas dan ketidakpastian memenuhi pikirannya, membuat langkahnya terasa begitu berat dan lamban.

 

"Lyra!" 

 

Lyra tersentak, dia menoleh dan seketika matanya membelalak. Wanita yang mengejutkannya adalah sahabat yang sangat dia percaya dan tega menusuknya. Adegan pengkhianatan itu kembali terbayang, seakan menaburkan garam di luka yang masih terasa menyakitkan.

 

"Lyra," panggilnya lagi. "Lagi mikirin apa, sih?"

 

Lyra mengerjap, perlahan dia memaksakan senyuman kemudian menggelengkan kepala. "Bukan apa-apa," sahutnya. Dia tidak boleh bersikap gegabah dengan menghajar Della saat ini juga.

 

Della mengangguk, lalu pandangannya tidak sengaja jatuh pada kertas yang sedang dibawa Lyra. Seketika ekspresinya berubah. Matanya membulat, menunjukkan keterkejutan yang tidak terduga.

 

"Lyra, apa ini?" Della mengambil kertas itu dan membacanya.

 

Lyra menatap tidak suka, dia kembali merebut kertasnya.

 

Della tidak mengiraukannya. "Kenapa kamu pindah jurusan? Bukannya kamu sangat menyukai lukisan? Kamu bilang kalau kamu ingin menjadi seorang pelukis," racau Della. Terlihat jelas ketidak sukaan di wajahnya.

 

Lyra menyipitkan mata. Tapi dia tidak berniat untuk memperpanjang. "Tidak apa-apa. Hanya berubah pikiran saja. Kenapa? Apa aku tidak boleh belajar bisnis?"

 

Della terkejut, dia langsung menyanggah, "Mana mungkin tidak boleh! Tentu saja kamu boleh belajar apapun yang kamu mau."

 

Senyuman Della begitu tulus, jika Lyra tidak melihat bagaimana akhir hidupnya, mungkin dia akan tertipu dengan muslihatnya. 

 

"Tapi, Lyra. Memang apa yang membuatmu ingin mengambil kuliah bisnis? Apa kamu benar-benar ingin melupakan mimpimu menjadi seorang pelukis?"

 

Lyra menarik napas dalam. Alasan dia belajar bisnis, adalah karena dia tidak ingin mereka berdua semakin membodohinya. Jika dia tahu cara kerjanya, dia bisa menyingkirkan mereka berdua dari hidupnya. 

 

Lyra kembali melangkah menuju ruang kelas sambil menjawab, "Aku hanya merasa, sudah seharusnya aku belajar bisnis."

 

"Lalu bagaimana dengan mimpimu?"

 

Tepat di depan ruang kelas, mereka berhenti. Lyra menoleh, memandang Della yang penuh rasa ingin tahu terhadapnya. 

 

Belum sempat Lyra menjawab, tiba-tiba seorang pria menghampiri mereka dan berkata, "Lyra, apa yang kamu lakukan di sini?"

 

***

 

Bersambung~

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 37 - Perjamuan Para Pengkhianat

    Layar raksasa di aula Sektor Kaelum memproyeksikan rekaman hitam-putih sepuluh tahun silam. Sosok Arthur Hawkins muda terlihat menekan tuas pengunci udara Sektor Empat dengan ketenangan mengerikan.Di layar, Thomas Hawkins menggedor pintu baja, mulutnya menyebut nama "Arthur" sebelum gas saraf merenggut nyawanya. Suara desis gas yang bergema menciptakan kesunyian yang memuakkan.Della membeku; tabung Echo Genesis di tangannya terasa seberat dosa masa lalu Hawkins. Di belakangnya, Adrian tampak seperti mayat hidup, wajah sombongnya luntur menjadi ketakutan murni yang menggetarkan lututnya."Ini … ini tidak mungkin," gumam Adrian, suaranya pecah di tengah ruangan yang kedap suara. "Arthur bilang Thomas mati karena kecerobohannya sendiri dalam protokol eksperimen. Dia bilang dia mencoba menyelamatkannya—""Dia berbohong padamu, Adrian. Sama seperti dia berbohong pada seluruh dunia selama sepuluh tahun ini," William memotong dengan suara yang setajam silet, membelah kesunyian.Ia melangka

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 36 - Gerbang Sektor Kaelum

    Sektor Kaelum menjulang sebagai benteng baja di tengah kabut Hutan Nox, sebuah wilayah anomali di mana hukum Grup Hawkins tak lagi berlaku. Dinding betonnya memancarkan gelombang pengacak sinyal, mengisolasi tempat itu dari radar dunia luar. Di zona bayangan ini, otoritas korporat hancur dan informasi menjadi satu-satunya mata uang yang lebih berharga daripada nyawa.William mematikan mesin perahu saat mereka mendekati dermaga tersembunyi yang dijaga oleh pria-pria berpakaian taktis tanpa lencana. Lyra membantu dia memapah Dr. Vance yang masih tidak sadarkan diri, tubuh dokter itu terasa sangat ringan dan rapuh di pundaknya.Lyra gemetar, bukan hanya karena angin danau yang menusuk tulang, tetapi karena bayangan wajah Della yang terus menghantui setiap langkahnya."Kau gemetar," gumam William tanpa menoleh, seolah ia memiliki mata di belakang kepalanya untuk membaca ketakutan Lyra."Aku memikirkan dia," bisik Lyra, suaranya parau karena amarah yang berusa

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 35 - Pijar di Hutan Nox

    Lorong-lorong beton Project Chimerakini dipenuhi oleh suara mekanis alarm yang memekakkan telinga. Cahaya merah yang berputar memberikan kesan distopia pada wajah William yang tetap tenang, kontras dengan Lyra yang jantungnya berpacu hebat.Di belakang mereka, Peter telah menghilang ke arah koridor utama, menjadi tameng hidup yang didorong oleh dendam sedekade.William tidak berhenti untuk menoleh. Ia memegang ujung tandu Dr. Vance dengan kekuatan yang tidak proporsional untuk seorang pria yang telah berjam-jam tidak tidur.Lyra di sisi lain, berusaha mengimbangi langkah lebar William sambil membawa laptop yang masih terhubung ke jaringan keamanan internal."William, perhatikan!" teriak Lyra secara spontan, suaranya melengking di atas bunyi alarm. "Dua unit taktis baru saja mendarat di atap sektor utara. Mereka tidak masuk lewat pintu depan, mereka melakukan infiltrasi vertikal!"William menghentikan langkahnya tepat di depan persimpangan men

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 34 - Kebenaran Paling Pahit

    Udara di sekitar kompleks Project Chimeraterasa mati, seolah-olah pepohonan pinus di Hutan Nox pun enggan bernapas. William masih menggenggam amplop tua itu, jemarinya memutih karena tekanan yang kuat.Lyra berdiri terpaku, matanya menatap amplop berpudar itu dengan ribuan pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya."William," Lyra memulai, suaranya hampir tidak terdengar di tengah desiran angin hutan. "Tadi kau bilang itu surat kematian asli ayah Peter. Tapi…bukankah kalian bersaudara? Bukankah ayah kalian adalah Arthur Hawkins?"Ini … sangat berbeda dari pengetahuan masa depannya.William tidak langsung menjawab. Ia memasukkan kembali amplop itu ke balik jaketnya, lalu menatap lurus ke arah bangunan beton di depan mereka. Ia menyentuh bekas luka lama di telapak tangannya, sebuah gestur yang menyiratkan rasa sakit yang bukan berasal dari masa sekarang, melainkan sisa-sisa trauma yang terbawa melampaui waktu.

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 33 - Pecahnya Aliansi Berdarah

    Keheningan di dalam gudang tua di pinggiran Hutan Nox terasa menyesakkan setelah pesan singkat itu terkirim. Tiga kata dalam pesan itu adalah sumbu pendek yang baru saja dinyalakan Lyra untuk meledakkan kestabilan Grup Hawkins.Di luar, langit mulai berubah menjadi ungu kebiruan, menandakan fajar yang dingin telah tiba.William masih berdiri di belakang Lyra. Tangannya yang berada di bahu wanita itu terasa panas, kontras dengan udara fajar yang menggigit. Dia tidak segera menjauhkan tangannya.Alih-alih terkejut dengan betapa cepatnya Lyra mengeksekusi rencana penghancuran mantan tunangannya, William justru mengetuk-ngetukkan jarinya di bahu Lyra dalam irama yang sangat spesifik.Irama itu menyerupai kode transmisi kuno yang pernah digunakan oleh divisi intelijen Hawkins, sebuah detail yang seharusnya tidak diingat oleh William jika ia tidak membawa beban dari kehidupan sebelumnya."Pesan itu sudah terkirim ke saluran pribadi Arthur melalui server terenkripsi Zyrtec," bisik Lyra."Del

  • Menulis Ulang Takdir   BAB 32 - Memburu Pengkhianat Ganda

    Fajar telah menyingsing penuh, membanjiri gudang dengan cahaya abu-abu yang dingin, tetapi William dan Lyra tidak menyadarinya. Fokus mereka terpusat pada ponsel satelit. Kepanikan yang disebabkan oleh pesan Marcus Chen.[Adrian telah menarik dana dan melarikan diri]Dan itu mengubah seluruh strategi mereka."Dia tahu," kata Lyra, memegang ponsel itu erat-erat. "Adrian tahu aku akan datang. Dia tidak peduli tentang flash drive Arthur, atau Vance. Dia hanya ingin melarikan diri dengan uang sebanyak mungkin sebelum aku bisa menjebaknya."William tersenyum, senyum yang dingin dan berbahaya. Senyumnya bukan tawa kekalahan, melainkan pengakuan bahwa ia telah memprediksi keserakahan mutlak Adrian."Adrian selalu tahu cara melompat dari kapal yang tenggelam. Dia tidak mengkhianati Arthur, dia hanya berinvestasi pada dirinya sendiri. Dia pengkhianat gand dan itu membuatnya menjadi aset yang jauh lebih berharga bagi kita dan Arthur."Prioritas utama mereka kini adalah melacak jalur pelarian Ad

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status