Share

Menyerah
Menyerah
Penulis: Muzdalifah Muthohar

Kepergian Eyang

*Kepergian Eyang*

"Eyang sudah pergi, sekarang sudah tidak ada lagi yang menghalangi cinta kita, El." Aku menoleh ke sumber suara, rupanya Mbak Dita sedang bicara dengan Mas Elman.

Aku sedikit terkejut, kok mereka berani ambil resiko. Bicara berdua di taman belakang. Apa nggak takut ketahuan? Sedangkan di sini ada banyak orang. 

Aku yang berniat ke dapur mengambil minum pun mengurungkan niat, dan memilih berhenti mendengar percakapan mereka. Bukan bermaksud lancang, menguping pembicaraan orang lain, tapi aku berhak tahu, karena Mas Elman suamiku. 

Posisi mereka saling berhadapan, cukup dekat tapi tidak sampai bersentuhan. Bisa kulihat Mbak Mbak Dita menatap intens Mas Elman, tapi yang ditatap memilih menatap ke arah lain. 

"Tolong jangan buat keadaanku semakin sulit, Ta," jawab Mas Elman, nada suaranya berat seperti ada beban. 

"Kamu sendiri yang mempersulit keadaan! Setelah Diana pergi, kenapa tidak mencariku? Kenapa kamu justru menikahi Nira? Yang aku tahu kamu tidak kamu cintai sama sekali," desak Mbak Dita. 

"Ta, please?" ucap Mas Elman frustasi. Kalau aku tidak salah tangkap, Mbak Dita terlihat bernafsu mengejar kembali cinta Mas Elman, tapi yang dikejar merasa jengah. 

"Kenapa? Kamu takut istrimu tahu? Ya bagus dong! Kamu tinggal ceraikan dia, lalu kita menikah."

Jariku mengepal, Mbak Dita sungguh keterlaluan. Jenazah Eyang baru saja dikebumikan, bisa-bisanya dia mengambil kesempatan, dengan mendekati Mas Elman. Apa dia lupa, kalau mantan kekasihnya itu sudah beristri? Kayak nggak ada laki-laki lain saja, sampai suami orang dikejar-kejar. 

"Sudah lah, Ta. Keluarga kami masih berkabung, aku rasa tak pantas kita bicara seperti ini. Kalau ada yang lihat, bisa jadi fitnah." Mas Elman melongok ke arah depan, seperti sedang memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka. 

"Tak pantas kenapa? Bertahun-tahun kita memperjuangkan cinta kita, sekarang setelah penghalang terbesar kita pergi, kenapa kamu jadi berubah pikiran gini, El?" desak Mbak Dita, ada nada jengkel dalam suaranya. 

"Aku masuk dulu, Ta. Nanti Zila nyariin," pungkas Mas Elman, sepertinya dia tidak ingin membahas hubungan mereka lebih lanjut. Terlihat Mas Elman meninggalkan Mbak Dita yang masih berdiri di tempatnya, dan masuk ke rumah, sementara Mbak Dita menatap kesal. 

Aku cepat-cepat bersembunyi, takut Mas Elman tahu. Sepertinya laki-laki itu tidak menyadari kehadiranku, terlihat dari langkahnya yang lurus, tak menoleh sedikitpun. Setelah merasa aman, aku kembali ketujuanku semula, mengambil minuman di dapur. 

Mbak Dita dan Mas Elman, dulunya adalah sepasang kekasih. Hubungan mereka kandas terhalang restu orang tua, dan Eyang adalah orang yang paling keras menentang hubungan keduannya. 

Alasan tepatnya aku tidak tahu, yang jelas demi memisahkan mereka, Mbak Dita dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya, sementara Mas Elman dijodohkan dengan almarhumah Mbak Diana. Padahal Mbak Diana dan Mbak Dita adalah sepupu. Entah mengapa Eyang begitu membenci Mbak Dita dan keluarganya. 

Mas Elman menikah dengan Mbak Diana dikaruniai seorang putri cantik Syafia Nazila namanya, biasa dipanggil Zila, yang melengkapi kebahagiaan mereka. Tapi sayang itu tidak berlangsung lama, ditahun ketiga pernikahan mereka, Mbak Diana meninggal karena kecelakaan. Meninggalkan Mas Elman dengan putri kecil mereka. 

Enam bulan setelah Mbak Diana meninggal, Mas Elman menikahiku. Bukan karena cinta, tapi karena hanya aku yang bisa meredakan tangis Zila. 

* * * * *

"Nira?" Mbak Dita terlihat kaget melihatku berdiri di depan kulkas. 

"Eh, iya Mbak, ada apa?" tanyaku pura-pura biasa saja, padahal dalam hatiku ingin memaki-maki perempuan cantik ini. 

"Nggak pa-pa, hanya sedikit kaget. Kirain nggak ada orang di dapur tadi," ucapnya sedikit canggung. "Sudah lama?" lanjutnya kemudian. 

"Apanya?" tanyaku sok polos. 

"Maksudku, kamu sejak kapan di dapur?" Mbak Dita menatap penuh selidik. 

"Oh, baru saja Mbak. Haus, pengen minum air dingin." Mbak Dita diam, sepertinya dia bingung mau bicara apa. Aku tebak, dia ingin tahu, apa aku melihatnya sedang berdua dengan Mas Elman atau tidak. 

"Emm, Zila mana? Kok nggak sama kamu?" ucapnya basa-basi, aku tahu bukan Zila yang ingin dia tanyakan, tapi ayahnya, hanya saja dia masih punya sedikit malu untuk bertanya padaku. 

"Tidur di kamar, Mbak. Sepertinya dia kecapekan nangis." Mbak Dita diam lagi, mungkin bingung mau ngomong apa. Ini pertama kalinya kami bertatap muka. Aku hanya tahu tentang Mbak Dita dari bibir Eyang. Itulah kenapa kami tidak akrab, dan tidak punya bahan obrolan. 

"Permisi Mbak, saya ke depan dulu Takut Mas Elman atau Zila nyari. Masih banyak tamu juga," pamitku. Karena Mbak Dita hanya diam saja. 

"Eh i-ya, iya," jawabnya gugup. 

Tanpa menoleh lagi, aku melangkah menuju ruang tamu, di mana anak cucu eyang berkumpul. Aku rasa ngobrol dengan mereka bisa sedikit menghibur hatiku yang sedang tidak baik-baik saja ini. 

Jujur ada nyeri di dada, melihat Mas Elman berdua dengan Mbak Dita. Mereka memang hanya bicara, tidak berbuat yang aneh-aneh. Tapi mendengar percakapan mereka, aku seperti kehilangan gairah hidup. 

Selama ini hanya eyang yang membuatku tetap bertahan di samping Mas Elman, selain Zila tentu saja. Kalau sekarang tiba-tiba muncul Mbak Dita, bagaimana nasib rumah tangga ku nanti? Mbak Dita pernah menguasai hati Mas Elman, sedangkan aku? Hingga saat ini aku belum berhasil merengkuh hati suamiku. 

"Sabar Ra, semua butuh proses. Batu saja, kalau ditetesi air setiap hari akan berlubang juga, apalagi hati manusia? Aku yakin, Elman akan jatuh cinta padamu seiring perjalanan waktu. Sebentar lagi, kamu hanya butuh sedikit lebih sabar, lebih berusaha," ucap eyang menghiburku, kala kuceritakan sikap dingin Mas Elman saat kami berdua saja. 

"Elman itu orangnya pendiam, menurutku kamu yang harus memulai lebih dulu, mungkin dia malu, atau mungkin juga tidak percaya diri. Coba kamu bersikap sedikit agresif, tidak apa-apa toh sama suami sendiri," nasehat eyang padaku kala itu. 

Bukan aku diam saja, berbagai cara kulakukan untuk menarik perhatian ayah satu anak itu. Dandan cantik, tubuh wangi, lingerie seksi, semuanya seperti tak berarti apa-apa. Meski hati lelah dan ingin menyerah, aku tetap berusaha, setidaknya demi Zila. Bahkan aku bertekad untuk tetap mendampingi Mas Elman, meski eyang sudah tidak ada. Tapi setelah mendengar percakapan mereka, aku seperti kehilangan asa. 

Mbak Dita jelas-jelas masih mencintai suamiku, dan masih berharap bisa kembali bersatu. Sedangkan Mas Elman, meski dia tidak mengutarakan isi hatinya secara gamblang, aku merasa dia juga punya perasaan yang sama. Kalau memang sudah tidak punya perasaan apa-apa, dia pasti bisa bersikap tegas, dan menolak bicara berdua dengan Mbak Dita. Demi menjaga perasaanku. 

Sekarang aku harus apa? Tetap memperjuangkan cintanya, atau menyerah saja? Sedangkan hati ini sudah terlanjur jatuh cinta padanya. 

Next? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status