*Kepergian Eyang*
"Eyang sudah pergi, sekarang sudah tidak ada lagi yang menghalangi cinta kita, El." Aku menoleh ke sumber suara, rupanya Mbak Dita sedang bicara dengan Mas Elman.
Aku sedikit terkejut, kok mereka berani ambil resiko. Bicara berdua di taman belakang. Apa nggak takut ketahuan? Sedangkan di sini ada banyak orang. Aku yang berniat ke dapur mengambil minum pun mengurungkan niat, dan memilih berhenti mendengar percakapan mereka. Bukan bermaksud lancang, menguping pembicaraan orang lain, tapi aku berhak tahu, karena Mas Elman suamiku. Posisi mereka saling berhadapan, cukup dekat tapi tidak sampai bersentuhan. Bisa kulihat Mbak Mbak Dita menatap intens Mas Elman, tapi yang ditatap memilih menatap ke arah lain. "Tolong jangan buat keadaanku semakin sulit, Ta," jawab Mas Elman, nada suaranya berat seperti ada beban. "Kamu sendiri yang mempersulit keadaan! Setelah Diana pergi, kenapa tidak mencariku? Kenapa kamu justru menikahi Nira? Yang aku tahu kamu tidak kamu cintai sama sekali," desak Mbak Dita."Ta, please?" ucap Mas Elman frustasi. Kalau aku tidak salah tangkap, Mbak Dita terlihat bernafsu mengejar kembali cinta Mas Elman, tapi yang dikejar merasa jengah.
"Kenapa? Kamu takut istrimu tahu? Ya bagus dong! Kamu tinggal ceraikan dia, lalu kita menikah."Jariku mengepal, Mbak Dita sungguh keterlaluan. Jenazah Eyang baru saja dikebumikan, bisa-bisanya dia mengambil kesempatan, dengan mendekati Mas Elman. Apa dia lupa, kalau mantan kekasihnya itu sudah beristri? Kayak nggak ada laki-laki lain saja, sampai suami orang dikejar-kejar.
"Sudah lah, Ta. Keluarga kami masih berkabung, aku rasa tak pantas kita bicara seperti ini. Kalau ada yang lihat, bisa jadi fitnah." Mas Elman melongok ke arah depan, seperti sedang memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka.
"Tak pantas kenapa? Bertahun-tahun kita memperjuangkan cinta kita, sekarang setelah penghalang terbesar kita pergi, kenapa kamu jadi berubah pikiran gini, El?" desak Mbak Dita, ada nada jengkel dalam suaranya. "Aku masuk dulu, Ta. Nanti Zila nyariin," pungkas Mas Elman, sepertinya dia tidak ingin membahas hubungan mereka lebih lanjut. Terlihat Mas Elman meninggalkan Mbak Dita yang masih berdiri di tempatnya, dan masuk ke rumah, sementara Mbak Dita menatap kesal. Aku cepat-cepat bersembunyi, takut Mas Elman tahu. Sepertinya laki-laki itu tidak menyadari kehadiranku, terlihat dari langkahnya yang lurus, tak menoleh sedikitpun. Setelah merasa aman, aku kembali ketujuanku semula, mengambil minuman di dapur. Mbak Dita dan Mas Elman, dulunya adalah sepasang kekasih. Hubungan mereka kandas terhalang restu orang tua, dan Eyang adalah orang yang paling keras menentang hubungan keduannya. Alasan tepatnya aku tidak tahu, yang jelas demi memisahkan mereka, Mbak Dita dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya, sementara Mas Elman dijodohkan dengan almarhumah Mbak Diana. Padahal Mbak Diana dan Mbak Dita adalah sepupu. Entah mengapa Eyang begitu membenci Mbak Dita dan keluarganya. Mas Elman menikah dengan Mbak Diana dikaruniai seorang putri cantik Syafia Nazila namanya, biasa dipanggil Zila, yang melengkapi kebahagiaan mereka. Tapi sayang itu tidak berlangsung lama, ditahun ketiga pernikahan mereka, Mbak Diana meninggal karena kecelakaan. Meninggalkan Mas Elman dengan putri kecil mereka. Enam bulan setelah Mbak Diana meninggal, Mas Elman menikahiku. Bukan karena cinta, tapi karena hanya aku yang bisa meredakan tangis Zila. * * * * *"Nira?" Mbak Dita terlihat kaget melihatku berdiri di depan kulkas. "Eh, iya Mbak, ada apa?" tanyaku pura-pura biasa saja, padahal dalam hatiku ingin memaki-maki perempuan cantik ini. "Nggak pa-pa, hanya sedikit kaget. Kirain nggak ada orang di dapur tadi," ucapnya sedikit canggung. "Sudah lama?" lanjutnya kemudian. "Apanya?" tanyaku sok polos. "Maksudku, kamu sejak kapan di dapur?" Mbak Dita menatap penuh selidik. "Oh, baru saja Mbak. Haus, pengen minum air dingin." Mbak Dita diam, sepertinya dia bingung mau bicara apa. Aku tebak, dia ingin tahu, apa aku melihatnya sedang berdua dengan Mas Elman atau tidak. "Emm, Zila mana? Kok nggak sama kamu?" ucapnya basa-basi, aku tahu bukan Zila yang ingin dia tanyakan, tapi ayahnya, hanya saja dia masih punya sedikit malu untuk bertanya padaku. "Tidur di kamar, Mbak. Sepertinya dia kecapekan nangis." Mbak Dita diam lagi, mungkin bingung mau ngomong apa. Ini pertama kalinya kami bertatap muka. Aku hanya tahu tentang Mbak Dita dari bibir Eyang. Itulah kenapa kami tidak akrab, dan tidak punya bahan obrolan. "Permisi Mbak, saya ke depan dulu Takut Mas Elman atau Zila nyari. Masih banyak tamu juga," pamitku. Karena Mbak Dita hanya diam saja. "Eh i-ya, iya," jawabnya gugup. Tanpa menoleh lagi, aku melangkah menuju ruang tamu, di mana anak cucu eyang berkumpul. Aku rasa ngobrol dengan mereka bisa sedikit menghibur hatiku yang sedang tidak baik-baik saja ini. Jujur ada nyeri di dada, melihat Mas Elman berdua dengan Mbak Dita. Mereka memang hanya bicara, tidak berbuat yang aneh-aneh. Tapi mendengar percakapan mereka, aku seperti kehilangan gairah hidup. Selama ini hanya eyang yang membuatku tetap bertahan di samping Mas Elman, selain Zila tentu saja. Kalau sekarang tiba-tiba muncul Mbak Dita, bagaimana nasib rumah tangga ku nanti? Mbak Dita pernah menguasai hati Mas Elman, sedangkan aku? Hingga saat ini aku belum berhasil merengkuh hati suamiku. "Sabar Ra, semua butuh proses. Batu saja, kalau ditetesi air setiap hari akan berlubang juga, apalagi hati manusia? Aku yakin, Elman akan jatuh cinta padamu seiring perjalanan waktu. Sebentar lagi, kamu hanya butuh sedikit lebih sabar, lebih berusaha," ucap eyang menghiburku, kala kuceritakan sikap dingin Mas Elman saat kami berdua saja. "Elman itu orangnya pendiam, menurutku kamu yang harus memulai lebih dulu, mungkin dia malu, atau mungkin juga tidak percaya diri. Coba kamu bersikap sedikit agresif, tidak apa-apa toh sama suami sendiri," nasehat eyang padaku kala itu. Bukan aku diam saja, berbagai cara kulakukan untuk menarik perhatian ayah satu anak itu. Dandan cantik, tubuh wangi, lingerie seksi, semuanya seperti tak berarti apa-apa. Meski hati lelah dan ingin menyerah, aku tetap berusaha, setidaknya demi Zila. Bahkan aku bertekad untuk tetap mendampingi Mas Elman, meski eyang sudah tidak ada. Tapi setelah mendengar percakapan mereka, aku seperti kehilangan asa. Mbak Dita jelas-jelas masih mencintai suamiku, dan masih berharap bisa kembali bersatu. Sedangkan Mas Elman, meski dia tidak mengutarakan isi hatinya secara gamblang, aku merasa dia juga punya perasaan yang sama. Kalau memang sudah tidak punya perasaan apa-apa, dia pasti bisa bersikap tegas, dan menolak bicara berdua dengan Mbak Dita. Demi menjaga perasaanku. Sekarang aku harus apa? Tetap memperjuangkan cintanya, atau menyerah saja? Sedangkan hati ini sudah terlanjur jatuh cinta padanya.Next?
*Kita Sama-sama BerusahaMbak Dita membaur dengan kerabat, dan keluarga besar Eyang yang masih berkumpul di ruang tamu. Meski asik ngobrol dengan mereka, aku lihat beberapa kali dia mencuri pandang ke arah Mas Elman yang duduk di sampingku, menemui teman kantornya. Kulirik Mas Elman, dia sama sekali tidak menoleh ke arah Mbak Dita, padahal Mbak Dita ada di seberang kami. Mas Elman lebih memilih fokus pada obrolannya sendiri. Entah karena ada aku, atau memang Mas Elman tak lagi tertarik pada wanita cantik itu. Hingga menjelang malam, Mbak Dita masih betah di rumah ini, dia bahkan ikut acara tahlilan hingga selesai. Aku jadi mikir, sebesar itu cintanya Mbak Dita pada Mas Elman. Dia rela berlama-lama di sini, padahal dari tadi keluarga besar eyang bersikap kurang bersahabat padanya. "El, aku pulang dulu ya? Sudah malam, acaranya juga sudah selesai," pamit Mbak Dita pada Mas Elman, setelah semua tamu-tamu pulang. Sepertinya Mbak Dita sengaja pulang terakhir. Mencari kesempatan lagi mung
Bab 3*AgresifTak terasa seminggu sudah eyang meninggalkan kami, acara tahlilan tujuh hari pun usai digelar. Tenda, kursi, karpet dan semua peralatan acara sudah dibereskan. Rumah jadi kembali bersih dan terlihat lega. Sekarang tinggal kami bertiga, aku jadi merasa kesepian. Di rumah ini hanya eyang temanku ngobrol, zila hanya anak kecil, tak bisa diajak berkeluh kesah. Sementara Mas Elman, aku masih canggung ngobrol dengannya. "Mas, pagi ini sarapan seadanya ya? Aku panasin lauk semalam, nggak pa-pa kan? " tanyaku pada Mas Elman yang tengah bersiap pergi bekerja. Mas Elman bukan tipe penuntut, apapun yang kumasak, pasti dimakannya. Suami idaman memang, tapi sayang aku bukan istri idamannya. "Iya," jawabnya singkat, sembari tangannya sibuk membetulkan dasi. Badannya tegap, tidak gemuk tidak juga kurus. Meski tidak atletis, tapi cukup proporsional menurutku. Kulitnya sawo matang, khas kulit pria Indonesia. Hidungnya mancung, tatap matanya teduh. Memang tidak setampan artis-artis
Bab 4*Maksudnya Apa? "Ra, mana catatan belanjanya?" Tahu-tahu Mas Elman sudah berdiri di ambang pintu kamar Zila. "Catatan belanja?" tanyaku bingung. Otakku blank, karena dari tadi sibuk memikirkan nasib pernikahanku, yang sedang berada di ujung tanduk karena kedatangan Mbak Dita. "Katamu tadi, stock makanan kita habis?" Aku menepuk keningku sendiri, kenapa aku jadi pelupa begini? Padahal Mas Elman tadi minta catatan belanja. "Oh, itu? Nggak usah aja deh, Mas. Biar aku belanja sendiri, kalau belanjanya ke supermarket aku bisa ajak Zila, kok," tolakku halus. Bukannya aku menolak kebaikan suami yang ingin menolong istri, aku hanya ingin membiasakan diri, hidup tanpa bantuannya. Takut diri ini merasa nyaman, dan akan merasa terluka lebih dalam, bila suatu hari nanti Mas Elman memutuskan kembali pada Mbak Dita. "Ya sudah, kalau begitu nanti siang aku jemput. Sekalian kita makan di luar, sudah lama kita nggak keluar bertiga, kan," ucapnya sambil berjalan mendekat. Diciumnya Zila yang
"Aduh El .... Kamu ngapain aja sih? Aku WA nggak dibalas, ditelfon nggak diangkat. Aku ke kantormu, katanya kamu ada perlu di luar. Untung lokasimu nyala, jadi aku bisa menemukan kamu di sini."Aku dan Mas Elman saling tatap, bisa ku lihat suamiku ini merasa tidak nyaman dengan kehadiran Mbak Dita di antara kami. Tapi aku masih menunggu, bagaimana reaksi Mas Elman, apa yang akan dia katakan pada Mbak Dita? Mas Elman meletakkan sendok di atas piring, aktivitas menyuapi Zila dia hentikan. "Hm!" Mas Elman berdehem, lalu dia menatapku beberapa saat, seperti minta persetujuan. " Telfon sengaja aku silence. Lagi pengen quality time sama anak istri," jawab Mas Elman datar. Mbak Dita menghempaskan pantatnya di kursi sebelah Mas Elman, lalu berkata, "tapi nggak harus matiin HP juga, kan? Bukan acara penting, ini." Wajah Mbak Dita merengut, bibirnya mengerucut. Lagaknya sok manja, harusnya dia tahu sikapnya itu tidak pantas dilakukan oleh perempuan seumuran dia, apalagi pada suami orang.Tak
"Kasihan?" Mas Elman mengangguk. "Kasihan Dita, dia menjadi korban --- " ucapan Mas Elman menggantung. Seperti ada sesuatu yang berat, yang membuatnya sulit berkata. "Korban? Korban apa? Nggak usah nyari alasan, untuk membenarkan kesalahan kalian," sahutku ketus. Menurutku Mas Elman hanya mengada-ada, masa wanita dewasa seperti Mbak Dita perlu dikasihani. Dia cantik, mandiri, karir cemerlang, segalanya dia punya, kurang apalagi? "Dengar dulu, jangan nyela! Aku tahu kamu nggak suka sama Dita, tapi setelah kamu mendengar ceritaku, pandanganmu berubah.""Iya, iya.""Aku kenal Dita di kampus, dia gadis yang enerjik dan menarik. Meski beda prodi, itu menyurutkan keinginanku untuk mendekatinya. Singkat kata, kami menjalin hubungan. Setelah beberapa bulan pacaran, aku membawanya ke rumah, untuk berkenalan dengan Eyang. Awalnya Eyang menyambutnya dengan baik, dan ramah. Tapi setelah Dita menceritakan siapa kedua orang tuanya, Eyang tiba-tiba berubah sikap. Keramahan yang tadi ditunjukkan h
Tut ... Tut ... tiba-tiba ponsel Mas Elman berdering. Wajahnya berubah panik saat mendengar suara dari seberang. "Siapa Mas?""Dita ... " Mas Elman bangkit dari duduknya, kemudian buru-buru berjalan ke kamar, tak lama kemudian keluar, sambil memakai jaketnya. Wajahnya paniknya nampak makin menjadi. "Mas, mau kemana?" tanyaku bingung. "Dita kecelakaan, aku ke rumah sakit sekarang!" Tanpa menunggu jawabanku, Mas Elman berlalu. Tak lama kemudian terdengar suara mobilnya meninggalkan rumah. Aku mengerang kecewa, katanya nggak punya perasaan apa-apa, tapi mendengar Mbak Dita kecelakaan, paniknya luar biasa. Akhirnya aku memutuskan kembali ke kamar Zila, setelah mengunci pintu dan pagar. Meski tidak mengantuk, tetap kupaksa mata ini agar terpejam. Azan subuh membangunkan tidurku, gegas aku bangkit, untuk menjalani kewajibanku. Saat kulihat kamar Mas Elman, maksudku kamar kami berdua, kosong. Mas Elman tidak ada. Pun di tempat lain, tak kutemukan keberadaan suamiku itu. Mencoba berfik
"Kalian dari mana saja? Aku sampai panik, bangun-bangun kalian udah nggak ada," ucap Mas Elman menyambut kedatanganku. Ada sorot khawatir dalam tatapannya, tulus, tidak dibuat-buat. "Aku dari daycare, Papa." Zila yang menjawab, bukan aku. Mas Elman berjongkok, menyamai tinggi putrinya. "Dari daycare?" Gadis berambut kepang itu mengangguk antusias. "Seneng dong? Tadi di sana ketemu siapa?" tanya Mas Elman kemudian. "Tante Lianti, sama temen-temen Zila," jawab Zila, dengan gaya bicara khas anak kecil. Mas Elman memeluk dan mencium pipi Zila. "Zila, ke kamar dulu ya? Papa mau bicara sama bunda sebentar." Gadis itu mengangguk lalu berlari. "Kenapa nggak pamit dulu?" ucap Mas Elman lembut. "Kan kamu tidur, Mas. Aku nggak berani ganggu, kayaknya kamu capek banget," jawabku datar. "Ya kalau hanya untuk pamitan, kan nggak pa-pa Ra. Daripada aku kebingungan, mana telfonnu nggak bisa dihubungi lagi. Aku sampai mikir yang enggak-enggak tadi, takut kalau terjadi sesuatu sama kalian.""Tel
#Merengkuh_Hati_Suamiku 9Alunan ayat suci yang biasa dilantunkan sebelum azan mengusik tidurku, perasaan baru tidur sebentar, tiba-tiba saja sudah mau subuh. Perlahan kubuka mata, aku sedikit terkejut mendapati diri ini tidur dalam pelukan Mas Elman. Apalagi saat melihat tubuh polos kami di bawah selimut yang sama. Aku jadi tersenyum sendiri, mengingat aktivitas kami sebelum terlelap. Nggak nyangka, aku sudah menjadi istri sepenuhnya. Perlahan ku singkirkan tangan Mas Elman yang melingkar di perutku, bermaksud turun dari tempat tidur. Aku butuh membersihkan diri."Mau kemana? Masih pagi ini, tidur aja lagi," ucap Mas Elman dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Tanpa membuka mata. "Aku mau mandi, Mas. Sudah mau subuh." Bukannya melepaskan, Mas Elman justru semakin mempererat pelukannya. "Mas .... Lepas dong! Aku mau mandi, badanku rasanya lengket semua," rengekku manja. "Aku masih belum bisa move on, Sayang. Lagi yuk!" Duh, kenapa Mas Elman jadi mesum begini, padahal biasan