Kenapa semua orang ingin mengetahui apa yang Sinta tinggalkan? Kenapa begitu peduli. Apalagi Abah. Kenapa sampai harus mengumpulkan keluarga bibi Ratih dan keluarganya Janah? Bukannya aku mau menyalahkan Abah. Hanya saja selama ini mereka termasuk orang-orang yang sangat tidak menyukai Sinta.Takutnya mereka hanya ingin membuatku terpojok dan melakukan sesuatu hal yang tidak kuinginkan."Emangnya kenapa, Bah?" tanyaku balik dengan tetap tenang.Jika aku memberitahukan masalah ini kepada Abah, apakah Janah dan keluarganya akan langsung ditendang dari sini?Tapi firasatku mengatakan hal lain. Semoga yang tidak kuinginkan tidak terjadi."Karena Abah harap, apapun yang Sinta tinggalkan tidak ada pengaruh apapun terhadap pernikahan kamu dengan Janah," jelas Abah dengan lantang dan tegas.Apa maksud Abah? Apa artinya tidak akan ada tindakan yang kita lakukan? Apa kita tinggal menunggu kehancuran keluarga kita?Apa Abah sekaligus menyuruhku untuk menjadi ayah dari anak yang dikandung oleh J
Aku terduduk lesu usai mendengar percakapan mereka."Ini semua adalah jalan kehidupan yang harus Antum lalui," ucap ustadz Rahman."Saya sangat menyayangkan sikapku selama ini kepada Sinta. Kenapa ada orang yang begitu bodoh sepertiku. Aku harus membuka surat itu, Tadz.""Harus. Bacalah surat itu perlahan. Itu adalah isi hati dari Sinta. Semoga kedepannya bisa menjadi pelajaran untuk Antum.""Saya izin ke aula lagi. Siapa tahu Abah masih menunggu di sana," pamitku dan ustadz Rahman hanya mengangguk."Bacalah surat itu secepatnya. Siapa tahu ada informasi di dalamnya yang di tinggalkan Sinta," pesannya dan kini aku yang mengangguk.Apa kira-kira yang ditulis oleh Sinta? Apa aku akan sanggup membacanya?Sesampainya di aula, aku tidak melihat orang lain selain Abah dan Umi."Yang lain kemana, Bah?" tanyaku heran."Semuanya sudah Abah minta untuk pergi dan berkumpul lagi besok, setelah sholat subuh. Hanya saja Abah merasa ada yang aneh. Kenapa ustadz Hanafi memaksa Abah agar kamu mau memb
”Kita akan segera menjadi besan mulai Minggu depan, Bah," ucap Pak Gani, ayahnya Gilman.Tidak. Semua ini salah. Pernikahan ini tidak boleh terjadi. Tapi apa yang harus aku lakukan?"Iya, Pak. Terimakasih sudah mau menerima Diyah dengan segala kekurangannya,” ucap Abah yang membuatku diam."Justru saya yang bersyukur, Pak. Saya harap dengan Gilman menjadi menantu bapak, bisa memperbaiki wataknya,” ucap Pak Gani penuh harap dan bibirnya tersenyum lebar.Aku tersenyum getir mendengar percakapan mereka.”Bapak bisa saja. Saya juga bersyukur karena dari berjalan pun Diyah belum bisa seperti kaki normal biasanya.""Itu bukan masalah, Bah. Bagi Saya yang terpenting anak-anak bahagia dan saling mencintai meskipun dijodohkan,” ungkap Pak Gani tertawa renyah.Dadaku terasa ngilu mendengar harapan Pak Gani. Siapa yang harus aku percayai?Tidak mungkin Sinta berbohong. Tapi apakah benar anak yang dikandung Janah anaknya Gilman?"Eh, Nak Fahmi. Apa kabar?" sapa Pak Gani padaku. Ternyata dia melih
"Kecantikan seorang wanita itu tidak terletak pada kecantikannya ataupun namanya, tapi terletak pada hati dan akhlak," lirihku.Janah sepertinya tidak terima dengan ucapanku, dia terdengar menggertakan giginya dan menghampiriku, "Awas kalau mau coba-coba dekat dengan Zara," ucapnya mengancam."Aku merasa kau seperti orang yang berbeda dari dua tahun yang lalu,” lirihku padanya."Aku–aku.." jawabnya terbata-bata tapi tidak meneruskan ucapannya.Aku memilih untuk meninggalnya yang terpaku dan pergi istirahat.***”Kau hanyalah seorang pecundang, Mas," kesal Sinta yang mencoba untuk menghentikan langkahku, tapi aku tetap saja melangkah tanpa memperdulikan ocehannya."Kamu sudah melanggar janji, Mas," ocehannya lagi, namun aku masih setiap dalam langkahku."Bagaimana jika kau akan langsung mengalami apa yang aku alami?" ucapnya lagi yang berhasil menghentikan langkahku.”Tidak mungkin," jawabku cepat."Tidak ada yang tidak mungkin, Mas. Selama yang maha kuasa menginginkan," ucapnya lagi.
Sinta Pengucapan talak tiga yang dilakukan Mas Fahmi membuatku merasa seperti bukan wanita. Mungkin aku wanita pertama yang ditalak oleh suaminya langsung talak tiga.Mereka yang kusangka baik padaku, ternyata hanya kedok. Aku memang seorang anak mafia, tapi Ayah tidak pernah mengajariku untuk menyakiti orang lain.Sejahat apapun orangtua, pasti menginginkan anaknya menjadi anak yang memiliki sikap mulia.Kupandangi foto pernikahanku dengan Mas Fahmi dua tahun yang lalu. Tidak terasa air mataku menetes membasahi bingkainya.Tidak kusangka rumah tanggaku yang sudah dua tahun kujalani seketika hancur didepan mata.Ragaku seakan kosong ketika orangtua Mas Fahmi menjodohkan suamiku dengan wanita lain. Bahkan dengan mudahnya Mas Fahmi menyetujui itu yang membuatku semakin tidak tahu arah jalan.Sengaja aku merahasiakan status tes kesuburan yang menyatakan Mas Fahmi tidak bisa memiliki keturunan dan digantikan dengan namaku, agar namanya tidak tercemar.Tapi di sisi lain aku juga ingin men
Aku dan ustadz Rahman masih diam mematung di tempat. "Lihatlah betapa besarnya hati pemuda itu. Meskipun sudah dihina keluargamu, dia tetap mempertahankan tanggung jawabnya sebagai donatur. Kalau aku sudah malas," ucap ustadz Rahman bicara dengan santainya.”Sama sepertinya cintanya pada Sinta. Walaupun wanita pujaannya telah menikah denganmu, dia tetap mencintainya sepenuh hati. Ini baru cinta sejati,” lanjutnya lagi.Sementara aku yang mendengarnya semakin pusing. Kenapa semua orang hanya bisa mencemooh tanpa tahu yang sebenarnya.'Bukankah Sinta sangat mencintaiku? Apa dia mau kembali padaku.' batinku tiba-tiba merasa percaya diri dengan besarnya perasaan cinta Sinta padaku selama ini kini membuatku tersenyum lebar sendiri.Benar, Sinta pasti mau kembali padaku. Buktinya surat perceraiannya sampai sekarang belum sampai di tanganku, berarti dia memang berharap aku melamarnya kembali. Aku hanya harus menghadirkan Muhallil, agar kami bisa kembali bersama."Antum kenapa?" tanya ustadz
"Mas, sudah malam. Jangan senyum-senyum sendiri terus," protes Janah yang melihat tanganku membolak-balikkan kitab tapi bibirku senyum-senyum sendiri."Ini hak Mas, Janah. Kalau kamu ngantuk, ya, tidur duluan, saja. Mas tak apa," ucapku pelan.Berhubung nuansa hatiku juga sedang baik, jadi aku akan bersikap baik. Meskipun sama wanita ular, seperti Janah.”Aku istrimu, Mas. Lagian tidak baik juga untukku,” ucapnya kesal."Ya, sudah. Sana istirahat," ucapku dengan mata yang masih melihat kitab.Sebenarnya aku bukan sedang mengkaji kitab, tapi mengingat kenangan saat aku mengajari Sinta. Duh, lucunya Sinta waktu itu.Bentuk wajahnya yang panjang dan kulit putih bersihnya membuatku tidak bisa menatap wanita lain. Dialah yang paling cantik, bidadariku.Entah kenapa selembar surat bisa menggoyahkan niatku untuk menjadikan dia satu-satunya ratu yang ada dalam hatiku.Aku memang pantas dijuluki sebagai lelaki bodoh. Paling bodoh. Kini aku tahu artinya penyesalan, meskipun sebentar.Karena tid
"Maaf, tapi tuan rumah memerintahkan kita untuk menanyakan maksud dan kedatangan ustadz kesini," ucap salah satu pengawal yang baru saja keluar dari rumah megah itu.Walaupun pernah menjadi menantu keluarga ini, aku tidak pernah menginap di sini. Semua rangkaian acara pernikahan juga diadakan di pondok. Entah kenapa aku merasa tidak nyaman.Kami tertegun mendengar perkataan pengawal itu. Bagaimana tidak, biasanya kami langsung disambut oleh tuan rumah, Pak Adam sendiri.Kini hanya disambut beberapa pengawal. Itu pun dengan harus menyampaikan tujuan kita terlebih dahulu. Padahal Sinta ada di depan kita bersama beberapa maid.Aku tersenyum menatapnya, berharap dia akan membalas. Hatiku seakan menari-nari ketika dia juga tidak melepaskan tatapannya dariku."Bagaimana ini?" tanya ustadz Zen yang membuatku terpaksa berhenti menatapnya."Sampaikan kepada Pak Adam, Saya ada perlu yang sangat penting," ucapku sambil mencoba untuk tersenyum. Terpaksa. Karena harus berhenti menatapnya.”Dosa An