Bab 110 "Saya akui ini kesalahan saya. Tapi saya nggak menyangka Mas Aariz melakukan hal sejauh ini, padahal seharusnya dia bisa meminta pertanggungjawaban saya. Saya udah bilang berkali-kali kalau mau marah, marahlah kepada saya," ujar Atta seraya menatap dokter Ariana, Dena, dan Arum bergantian. Wajahnya menyiratkan penyesalan. Bagaimana tidak? Gara-gara ulahnya yang ceroboh, dua perempuan ini sampai kehilangan pekerjaan, padahal keduanya begitu mencintai dunia medis. "Semua udah terjadi, Mas. Dan kemungkinan setelah ini kami akan sulit praktek," lirih Dena. Dibandingkan dokter Ariana, Dena lah yang paling cemas dengan kondisi mereka saat ini. Karena ia adalah tulang punggung keluarga, punya ibu yang sudah tua dan tidak bisa bekerja lagi. "Untuk satu atau dua bulan ke depan, sebaiknya kalian istirahat dulu. Anggap saja cuti panjang. Nanti aku pikirkan jalan keluar untuk kalian. Sebagai kompensasi, saya akan membayar gaji kalian sama seperti gaji yang kalian terima sewaktu mas
Bab 111"Mau apa kamu kemari?" sambut Aariz saat perempuan itu sampai di ruangan pribadinya."Aku bosan di rumah, jadi aku bawa anak-anak kemari. Kami ingin bermain di taman," sahut Alifa."Kenapa harus kemari? Seperti tidak ada taman lain saja. Di pusat kota ada taman bermain yang bagus, bahkan di dekatnya ada mall. Kamu bisa bermain sepuasnya di sana dengan anak-anak." Pria itu mendengus, namun ia tidak bisa menolak kedatangan Alifa, atau akan terjadi pertengkaran yang membuat keadaan semakin rumit.Alifa tidak tahu dengan kehebohan yang terjadi di sini, setelah dokter Ariana dan Dena di keluarkan dari rumah sakit ini."Aku hanya ingin bermain di sini. Di taman kota terlalu ramai, sedangkan di sini suasananya lebih adem. Lagi pula....." Alifa menelan ludah, tak melanjutkan kalimat yang mungkin saja akan membuat Aariz salah paham."Kamu ingin dekat denganku?" tebak pria itu.Tuh, kan, benar tebakannya?"Terserah apa asumsi Mas, lagi pula aku tidak akan mengganggu pekerjaan Mas. Kami
Bab 112Dokter Ariana dan Dena memang bersalah, tapi itu tidak adil buat mereka. Gara-gara Atta, mereka sampai kehilangan pekerjaan. Meski nantinya mereka masih bisa praktek di rumah sakit lain, tapi akan sulit sepertinya. Sudah bukan rahasia lagi, jika terdapat kasus yang fatal, maka mereka akan kehilangan kepercayaan dari rumah sakit manapun.Setelah menyelesaikan urusan makan anak-anaknya, Alifa segera menelpon Atta."Dokter Ariana dan Dena dikeluarkan dari RSIA Hermina, Ta. Apakah kamu sudah tahu?" tanya Alifa begitu panggilannya tersambung. Pria itu memang selalu cepat merespon apabila Alifa yang menghubungi. Terbukti hari ini, panggilannya yang langsung tersambung saat ia baru saja memencet tombol berwarna hijau."Malah mereka sudah datang kemari. Katanya disuruh oleh suamimu," tukas pria itu dengan nada santai. "Memangnya kenapa, Mbak Alifa? Apakah ada masalah?""Ini nggak adil untuk mereka. Mereka kan cuma melakukan perintahmu. Kenapa malah mereka yang mendapatkan hukuman? Ken
Bab 113"Memang disengaja. Apa kalian pikir aku sepolos itu?" ujar Alifa santai. Dia membiarkan Gibran dan Anindita di pangkuan baby sisternya masing-masing, karena bajunya yang sudah kotor, takut jika cairan jus itu ikut mengotori baju yang dikenakan oleh anak-anaknya."Kalau Mbak tahu, kenapa nggak protes? Atau minimal Mbak minta ganti rugi kek. Atau bikin dia minta maaf sama Mbak. Padahal suaminya Mbak Alifa kan pemilik rumah sakit itu," saran Naira."Dia udah minta maaf kok. Kalian nggak usah khawatir. Santai saja. Aku memang sengaja bersikap pura-pura nggak tahu di hadapan dia, biar dia puas.""Apa yang Mbak rencanakan?" selidik Naira. Gadis ini tentu tahu karena sudah mengenal Alifa lebih lama daripada Maya."Mas Aariz bilang, aku nggak boleh menanggapi apapun yang terjadi di rumah sakit.""Dokter Aariz bilang begitu?" tanya Naira. Tentu saja dia tak tahu saat Aariz dan Alifa bertemu di ruangan direktur. Dia dan Maya sedang berada di taman bersama dengan anak-anak asuhnya."Iya.
Bab 114"Kenapa jadi begini? Kenapa mereka sampai bisa punya anak??!" Gigi-gigi perempuan itu gemertak. Dia bahkan langsung mengurangi kecepatan laju mobil. Emosinya sudah naik ke ubun-ubun.Ini fakta baru yang ia temukan dari Winda saat perempuan itu datang ke resepsi pernikahan Alifa dengan Aariz. Begitu rapatnya Atta menyimpan rahasia itu hingga setahun kemudian baru terungkap.Eliana tidak menyangka jika saat itu Alifa tengah hamil dan perempuan itu ternyata tidak memberitahu Keenan sama sekali. Seandainya dia tahu lebih awal, mungkin ia akan langsung melenyapkan bayi itu sejak masih dalam kandungan. Dia tidak sudi jika warisan Keenan nanti jatuh ke tangan anak dari istri pertama Keenan. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin, mati-matian agar bisa hamil, termasuk dengan cara minta dihamili oleh Roger. Eliana tidak suka anak-anak, tapi jika begini caranya, sepertinya dia mulai putar haluan. Dia akan mengambil kembali Sherina untuk mengalihkan perhatian Keenan pada istri pertamany
Bab 115"Awas hati-hati, Mbak!" peringati Ina saat Donita mencoba menggendong Sherina. Bobot tubuh Sherina cukup berat, apalagi saat ini wanita itu tengah hamil dan perutnya sudah membuncit."Its, oke. Nggak masalah," ujar Donita. Wanita itu tersenyum. Tak ada penolakan dari balita mungil itu. Malah tangan kecilnya melingkar di leher Donita."Ma ma," ocehnya riang. Lalu tertawa-tawa."Ya ampun... kamu menggemaskan sekali sih." Wanita itu balas ketawa. Dia membawa Sherina berjalan menuju pintu utama lantaran suara bel di depan pintu terdengar.Nampaknya ada tamu untuk mereka.Tanpa memeriksa siapa yang datang dari kaca kecil yang berada di tengah-tengah pintu, Donita langsung membuka pintu begitu saja. "Bu Eli." Refleks wanita itu mengeratkan gendongannya."Apakah kamu kaget jika aku datang kemari? Apakah kamu mengira, jika saya tidak tahu di mana tempat tinggal kalian sekarang?" Terlihat sekali jika Eliana tengah memindai penampilan Donita saat ini.Donita hanya mengenakan dress over
Bab 116"Tidak mungkin! Kamu pasti bohong, kan? Anakku bernama Zaid, dan dia sudah meninggal dunia!""Dan kamu percaya begitu saja?!" sinisnya. Eliana memang memilih untuk memberitahu Keenan dan Donita, supaya Keenan berpikir untuk merebut kembali Alifa dari dokter Aariz. Dan ia akan mengambil kesempatan itu untuk mendekati pria kaya raya itu. Kebetulan dia sendiri sudah cukup kenal dengan dokter Aariz. Bukankah dokter Aariz yang menanganinya saat melahirkan Sherina? Itu akan menjadi jalan yang cukup mudah untuknya bisa meraih simpati pria itu.Dia tidak peduli jika drama rumah tangga ini akan terus berlanjut, yang jelas dia akan mengambil sesuatu yang dirasa lebih menguntungkan untuknya, lagi pula apa gunanya mengemis rujuk dengan Keenan? Yang ada, dia harus dipaksa untuk menerima Sherina yang jelas-jelas dia tidak suka, sementara dokter Aariz tidak punya anak. Itu yang ada di dalam pikirannya sekarang.Soal bagaimana respon bu Wardah, itu akan di pikirkannya nanti."Apa mungkin mas
Bab 117 "Kamu ingin aku menjadi suamimu seutuhnya, Alifa? Kamu ingin aku memberikan nafkah batin untukmu?" tebaknya, yang sialnya tebakan itu memang benar. Pria itu kembali menggeser tubuhnya dan kini kami kembali merapat. "Kalau itu adalah kemauanmu, baiklah. Aku akan memberimu nafkah batin. Bukankah seorang pria tidak memerlukan perasaan jika ingin melakukan hubungan intim?" "Kamu salah paham, Mas. Bukan itu maksudku." Aku merasa mas Aariz seperti meledekku. Kenapa aku jadi terlihat seperti wanita murahan yang menuntut untuk dibelai meski itu oleh pasangan halalku? "Aku tidak sedang salah paham. Jika memang seperti itu yang kamu inginkan, maka aku akan memenuhi semua keinginanmu, tapi dengan syarat, kamu nggak boleh minta cerai," ujarnya seolah bernegosiasi. "Bagaimana mungkin Mas bisa melakukannya? Mas tidak mencintaiku, kan? Pernikahan ini Mas lakukan hanya karena ingin menyenangkan hati Mama." Aku memejamkan mata, berusaha menahan air mata ini. Aku malu seandainya harus
Bab 181"Daripada dia tantrum, tambah repot lagi. Kasihan Maya. Mbak Alifa kan sibuk, lagi pula Mbak Alifa harus fokus dengan kandungan Mbak." Pria itu berucap dengan nada yang datar, nyaris tanpa ekspresi apapun. Dia mendekap Anindita dalam gendongannya. Tubuh mungil itu tampak damai dalam tidur, mungkin dia tengah bermimpi indah, sehingga tak perlu mendengarkan pembicaraan tiga orang dewasa yang tengah membahas dirinya."Ya udah, nggak apa-apa. Yang penting putri kamu itu baik-baik saja, Ta." Aariz menengahi. Dia sudah memprediksi bakal terjadi keributan jika meneruskan meladeni tingkah Atta. Pembicaraan ini sangat sensitif. Jangan sampai Atta dan Alifa merasa tidak enak hati, apalagi Alifa. Jangan sampai istrinya merasa bersalah karena merasa menomor duakan anak susuan yang merupakan putri angkat Atta itu.Sebenarnya Aariz tidak pernah membedakan anak-anaknya, hanya saja memang akhir-akhir ini sejak Anindita disapih, perhatian Alifa memang berkurang, karena lebih sering mengurung
Bab 180"Mas...." Alifa mendesah. Dia menggenggam tangan sang suami, lalu mengecup ujung jemari Aariz sekilas. "Kalau aku nggak bisa melahirkan anak laki-laki kayak Mama Wardah, apa Mas Aariz akan menceraikanku atau berpoligami?"Pertanyaan yang membuat Aariz seketika membeku. "Hei... Mas kenapa diam?" Alifa mengibaskan tangannya persis di depan mata sang suami."Apa Mas ingin menjawab jika di dalam keluarga El Fata, setiap generasi wajib memiliki anak laki-laki?" Alifa tentu saja berpikir karena Hasyim El Fata berasal dari negara timur tengah, sama seperti syekh Ishak yang garis keturunannya menginduk ke syekh Sulaiman Al-Qurthubi. Pertemuan singkat dengan Zara sedikit banyaknya mempengaruhi jalan pikiran Alifa saat ini.Soal anak. Dia tidak pernah berpikir jika ada keluarga yang begitu mengagungkan anak laki-laki, terutama bagi keluarga-keluarga yang garis keturunannya ditarik dari pihak laki-laki.Baru ia menyadari sekarang jika bukan tidak mungkin keluarga El Fata akan mengungki
Bab 179 Barulah Alifa maklum. Dia memang benar pernah mendengar tentang tokoh besar yang sangat terkenal di negeri ini. Dan ternyata suaminya Zara adalah salah satu keturunan dari tokoh itu. Keharusan memiliki anak laki-laki yang membuat pria itu memaksa istrinya untuk hamil lagi anak ke-4 dan berharap jika anak keempat adalah laki-laki, padahal kondisi rahim Zara sudah tidak memungkinkan. "Kita tidak bisa memaksakan takdir, Bu. Anak laki-laki atau anak perempuan mutlak ketentuan Tuhan." "Tapi masih ada jalan, kan? Setidaknya itu menurut versi mereka." Zara tersenyum kecut. "Setiap ikhtiar tentu diperbolehkan, tapi bukan berarti harus mengabaikan keselamatan nyawa istri sendiri." "Asal Ibu tahu, saat ini ada seorang perempuan yang berasal dari keturunan mereka siap untuk menjadi istri kedua suami saya." Mata perempuan itu mengerjap. Zara sudah tidak lagi menangis, bahkan ia menghapus sisa-sisa lembab di wajahnya dengan tisu yang disodorkan oleh Alifa. "Bagaimana jika wanita itu
Bab 178Keenan bukan pria yang pelit. Jika kepada keluarganya sendiri terkesan hitung-hitungan, dia hanya sekedar memberikan pelajaran. Mencari uang bukan hal yang gampang, dan dia bukan ATM berjalan.Meski ada beberapa orang yang bergantung hidup kepadanya, dan ia biayai selama ini. Dia sengaja membiarkan ibu dan kedua kakak perempuannya bertahan dengan uang bulanan pas-pasan, agar mereka mau belajar menghargai pemberiannya. Jangan mentang-mentang Keenan adalah anggota keluarga mereka, mereka bisa seenaknya.Itulah kenapa dia terlihat begitu royal dengan Alifa. Alifa diratukan saat menjadi istrinya, bahkan sebelum itu, karena Alifa itu perempuan yang tulus. Bukan cuma sekedar tulus, tapi dia juga berjuang untuk keberlangsungan perusahaan. Rasanya wajar jika Keenan memberikan timbal balik. Alifa tidak sekedar cuma bisa menadahkan tangan, tetapi dia berjuang dan terjun langsung mengurus perusahaan. Para karyawannya hafal betul siapa Alifa.Alifa berbeda dengan ibu dan kedua kakak pere
Bab 177"Yeah.... Yang mau ketemuan sama duda plus papanya anak asuh...." Maya mengerjap gemas melihat tingkah Naira yang kedapatan berkali-kali mengecek penampilannya di cermin yang ada di kamar anak-anak.Maya dan Naira memang tinggal sekamar dengan anak-anak, karena mereka full menjaga anak-anak itu. Gibran dan Anindita yang sedang aktif-aktifnya."Siapa bilang? Ikatan pada rambutku kendor nanti kalau lepas malah kelihatannya nggak rapi. Kamu kayak nggak tahu gimana aktifnya Gibran kalau sudah di luar ruangan," balas Naira. Gadis itu terlihat salah tingkah. Berkali-kali ia malah melirik arlojinya. Gibran sudah ia siapkan sejak pagi sekali. Dan seperti mendukung keinginan papa dan pengasuhnya untuk bertemu, ia sama sekali tidak rewel untuk dibangunkan. Mandi dan berpakaian rapi. Semua perlengkapan Gibran juga sudah siap. Naira pun sudah menyuapi Gibran untuk sarapan."Bentar lagi," gumam gadis itu tak sadar jika suaranya bisa didengarkan oleh Maya."Iya, sabar dikit kenapa sih?" go
Bab 176"Kasihan gimana? Memangnya kamu pikir Mas akan mempermainkan Naira?!"Setiap akhir pekan Naira rutin mendampingi Gibran untuk bertemu dengannya, berakhir dengan menginap di apartemen. Meski gadis itu sering terlihat tidak nyaman saat bersamanya, tetapi Keenan berhasil membuat suasana kembali mencair, sehingga tak ada kecanggungan yang kentara, apalagi saat mereka berada di hadapan ibunya Ina yang bernama Rima itu, bahkan perempuan setengah baya itu benar-benar mengira jika Naira adalah calon istri Keenan. Kebersamaannya dengan Gibran perlahan mulai menumbuhkan rasa keterikatan dalam diri bocah kecil itu. Meski sampai saat ini Keenan masih tetap mengajarkan kepada Gibran untuk memanggilnya Om, demi memenuhi janjinya kepada Alifa. Namun itu tidak mengurangi keakraban di antara mereka. Entah sampai kapan. Mungkin sampai putranya dewasa, barulah bisa mengerti alasan dibalik perpisahan kedua orang tuanya. Tapi meski begitu, Keenan juga tidak bisa menjamin apakah Gibran bisa mener
Bab 175Plak plak plak!Tiga tamparan keras cukup membuat tubuh Tanti terjengkang. Wanita paruh baya itu malah berguling-guling di lantai. Untung saja lantai ruang dilapisi oleh karpet tebal, sehingga tidak membuat Tanti menderita cedera otak."Mama!" pekik Winda. Perempuan itu berlari dan langsung meraih ibunya. Tak lupa dia menangkap kaki sang ayah, agar kaki itu urung mendaratkan tendangan di tubuh ibunya.Lelaki paruh baya itu langsung terjengkang, lantaran tidak memiliki kewaspadaan. Dia tidak menyangka jika Winda muncul dari dalam dan mencegah tindakannya.Kemunculan putrinya membuatnya melupakan keinginannya untuk menghajar Tanti barang sejenak.Winda membantu ibunya untuk bangkit, sehingga perempuan itu kini bisa duduk, meskipun kepalanya terasa berputar-putar. Dia memejamkan mata sejenak, lalu kembali menatap sang suami yang juga sudah kembali berdiri, sembari berkacak pinggang."Itu pelajaran bagi seorang wanita yang mau enaknya saja. Dari dulu aku sudah terlalu sabar mengha
Bab 174"Setidaknya beri mereka pelajaran. Bukan soal Mbak Winda, tapi juga keluarganya yang sejak dulu selalu merongrong keluarga ini." Alifa angkat bicara setelah mereka terdiam beberapa saat."Balasan setiap perbuatan adalah hal yang setimpal, tapi tidak mungkin juga kan kita balas dengan melakukan percobaan pembunuhan kepada Winda, misalnya," ujar Atta blak-blakan yang disambut pelototan mata oleh kakaknya.Bagaimanapun, Winda adalah mantan istrinya, orang yang pernah ia cintai setengah mati. Walaupun sedikit, masih tersisa rasa cinta kepada perempuan yang pernah singgah di hatinya dan pernah menjadi ibu dari mendiang putranya, Zaid. Dia masih merasa berat hati jika Winda harus berakhir di tangan keluarganya sendiri, walaupun Winda sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan baginya tidak bisa termaafkan."Atta," tegur ibunya."Nggak, Ma. Mana mungkin aku tega membunuh mantan ayang." Pria itu nyengir yang disambut tabokan keras oleh Aariz di bahu kirinya."Sudah, sudah, jangan
Bab 173"Tolong kasih saya penjelasan. Kalian ini sebenarnya siapa, dan disuruh siapa? Kenapa mau menolong saya? Saya perlu alasan yang logis. Tidak mungkin kalian mau bertaruh nyawa untuk menyelamatkan seseorang yang tidak kalian kenal seperti saya."Akhirnya setelah mendaftarkan ibunya untuk dirawat di sebuah rumah sakit, Lisa kembali mendekati salah seorang diantara mereka, seseorang yang memboncengnya saat dari lokasi penculikan sampai ke kampung halamannya.Pria itu menghela nafas. Dia sejenak merapikan kemejanya yang kusut. Mungkin tak sadar, karena perjalanan mereka yang menegangkan barusan, di tambah lagi harus mengantar ibunya Lisa ke rumah sakit."Kenalkan, nama saya Abi. Sebenarnya kami diperintahkan oleh Mas Atta untuk mengawal Mbak Lisa sampai ke kampung halaman." "Mas Atta?! Mas Atta yang menyuruh kalian?" Lisa malah menepuk jidat, lalu menutup telinga dengan kedua telapak tangannya."Nggak usah segitunya juga kagetnya, Mbak," tegur pria itu. Abi menarik dengan lembut t