Bab 181"Daripada dia tantrum, tambah repot lagi. Kasihan Maya. Mbak Alifa kan sibuk, lagi pula Mbak Alifa harus fokus dengan kandungan Mbak." Pria itu berucap dengan nada yang datar, nyaris tanpa ekspresi apapun. Dia mendekap Anindita dalam gendongannya. Tubuh mungil itu tampak damai dalam tidur, mungkin dia tengah bermimpi indah, sehingga tak perlu mendengarkan pembicaraan tiga orang dewasa yang tengah membahas dirinya."Ya udah, nggak apa-apa. Yang penting putri kamu itu baik-baik saja, Ta." Aariz menengahi. Dia sudah memprediksi bakal terjadi keributan jika meneruskan meladeni tingkah Atta. Pembicaraan ini sangat sensitif. Jangan sampai Atta dan Alifa merasa tidak enak hati, apalagi Alifa. Jangan sampai istrinya merasa bersalah karena merasa menomor duakan anak susuan yang merupakan putri angkat Atta itu.Sebenarnya Aariz tidak pernah membedakan anak-anaknya, hanya saja memang akhir-akhir ini sejak Anindita disapih, perhatian Alifa memang berkurang, karena lebih sering mengurung
Bab 1"Apa? Saya hamil, Dok?" ulangku lirih. Aku menoleh sekilas kepada pria yang tengah fokus menghadapi alat USG yang terpasang tepat di sisi ranjang yang tengah kutiduri ini."Betul, Bu. Lihatlah, titik kecil ini menandakan sebuah embrio, titik kehidupan baru yang ada di rahim ibu." Pria muda itu menggerakkan kursor dan menunjuk ke titik yang dimaksud, walaupun tentu saja aku tidak mengerti karena bagiku sama saja. Layar di depanku itu hanya berwarna hitam putih dan aku tidak tahu titik yang dimaksud oleh dokter Aariz."Tapi bagaimana mungkin? Bukankah aku sudah lima tahun menikah dan belum juga dikaruniai anak?" Aku menggumam tanpa sadar. Seorang perawat perempuan membantuku bangkit dari pembaringan dan kini aku sudah duduk berhadapan dengan dokter Aariz.Sebenarnya dokter Aariz meresepkan obat pereda mual dan vitamin untukku, tapi sengaja tidak kutebus, karena uang yang kumiliki terbatas. Aku hanya sanggup membayar biaya pemeriksaan. Mungkin nanti aku akan membeli minyak kayu p
Bab 2"Tapi Ma, aku sangat mencintai Alifa. Aku nggak bisa kehilangan Alifa....""Dia itu hanya seorang pelacur. Masa iya kamu mau berbagi istri dengan laki-laki lain? Mikir, Keenan!" Kali ini kembali mbak Rosa yang bersuara."Kamu itu masih muda, masih banyak perempuan yang mau sama kamu. Lagi pula kalian juga tidak punya anak. Siapa tahu aja jika kamu menikah dengan perempuan lain, kamu bisa punya anak," bujuk mbak Yuna pula."Aku nggak peduli, Mbak. Aku nggak peduli apakah Alifa bisa melahirkan keturunanku atau tidak. Aku mencintai Alifa!" Pria itu memekik setelah ia berhasil membuat sang ibu kembali berdiri."Tapi kamu itu anak laki-laki. Kamu perlu seorang pewaris. Siapa yang akan mewarisi perusahaanmu kecuali anakmu nanti? Memangnya kamu mau, perusahaanmu diberikan kepada keponakanmu?" ucap mbak Rosa seolah-olah ia sangat memihak kepada mas Keenan, meskipun aku tahu benar jika selama ini mbak Rosa dan keluarganya hidup bergantung kepada kami. Untung saja mas Keenan adalah seoran
Bab 3 Hari masih sangat gelap. Jalanan masih sepi. Aku melangkah dengan susah payah sembari menahan rasa cemas karena kurasakan darah terus mengucur dari area intimku. Bodohnya aku yang hanya mengenakan pembalut biasa sehingga akhirnya tembus dan cairan merah itu mengotori gamis yang kini kukenakan. "Bu!" Seorang petugas yang berjaga di gerbang depan menangkap tubuhku, sementaranya satu rekannya yang lain berlari ke dalam. Sebuah brankar segera datang dan aku langsung dibaringkan, lalu didorong masuk ke bagian IGD rumah sakit ini. "Maaf, apa ada keluarga ibu yang bisa dihubungi?" tanya seorang perawat perempuan yang barusan membantuku untuk berganti pakaian dengan seragam pasien rumah sakit. Sebelumnya dia juga yang menolong memakaikan popok untukku, supaya pendarahanku tidak mengotori pakaian dan sprei. Sosok mas Keenan melintas begitu saja di benakku, tapi hanya sekilas. Aku langsung menggeleng. Tidak mungkin aku menghubungi pria itu walaupun keadaan sedang genting. Dia sudah
Bab 4 Aku tahu jika bayiku memang harus dirawat di ruang anak karena menderita infeksi. Aku tidak tahu itu penyakit apa, tapi menurut informasi yang kudapat, katanya darah merah dan darah putih di tubuh bayiku tidak stabil. Aku kurang paham juga apa maksudnya, tapi mereka meyakinkan jika bayiku akan baik-baik saja. Lalu kenapa sekarang bayiku malah berpulang?Bahkan sebelumnya tidak ada informasi jika bayiku dalam keadaan kritis. "Anakku...." Aku memeluk putraku dengan perasaan hancur. Matanya sudah terpejam. Tubuh mungilnya begitu dingin. Sebelum ini, aku bahkan belum sempat menatap wajahnya karena bayiku langsung dibawa ke ruangan NICU setelah dikeluarkan dari perutku. Kenapa takdir begitu kejam? Aku hanya sempat mendengarkan tangis pertamanya, tapi kenapa keesokan harinya aku hanya bisa memeluk jasadnya saja? Tuhan, aku sudah nggak peduli jika harus kehilangan suami dan semua kasih sayangnya, tapi aku nggak bisa kehilangan anakku juga. Kenapa tidak sekalian saja Kau ambil ny
Bab 5Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui?"Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias."Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung."Ah iya, saya
Bab 6 "Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku. "Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang. Buat apa tersinggung? Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan. "Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak. "Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya. "Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu. "Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, kar
Bab 7 Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini. Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman. Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu ha
Bab 181"Daripada dia tantrum, tambah repot lagi. Kasihan Maya. Mbak Alifa kan sibuk, lagi pula Mbak Alifa harus fokus dengan kandungan Mbak." Pria itu berucap dengan nada yang datar, nyaris tanpa ekspresi apapun. Dia mendekap Anindita dalam gendongannya. Tubuh mungil itu tampak damai dalam tidur, mungkin dia tengah bermimpi indah, sehingga tak perlu mendengarkan pembicaraan tiga orang dewasa yang tengah membahas dirinya."Ya udah, nggak apa-apa. Yang penting putri kamu itu baik-baik saja, Ta." Aariz menengahi. Dia sudah memprediksi bakal terjadi keributan jika meneruskan meladeni tingkah Atta. Pembicaraan ini sangat sensitif. Jangan sampai Atta dan Alifa merasa tidak enak hati, apalagi Alifa. Jangan sampai istrinya merasa bersalah karena merasa menomor duakan anak susuan yang merupakan putri angkat Atta itu.Sebenarnya Aariz tidak pernah membedakan anak-anaknya, hanya saja memang akhir-akhir ini sejak Anindita disapih, perhatian Alifa memang berkurang, karena lebih sering mengurung
Bab 180"Mas...." Alifa mendesah. Dia menggenggam tangan sang suami, lalu mengecup ujung jemari Aariz sekilas. "Kalau aku nggak bisa melahirkan anak laki-laki kayak Mama Wardah, apa Mas Aariz akan menceraikanku atau berpoligami?"Pertanyaan yang membuat Aariz seketika membeku. "Hei... Mas kenapa diam?" Alifa mengibaskan tangannya persis di depan mata sang suami."Apa Mas ingin menjawab jika di dalam keluarga El Fata, setiap generasi wajib memiliki anak laki-laki?" Alifa tentu saja berpikir karena Hasyim El Fata berasal dari negara timur tengah, sama seperti syekh Ishak yang garis keturunannya menginduk ke syekh Sulaiman Al-Qurthubi. Pertemuan singkat dengan Zara sedikit banyaknya mempengaruhi jalan pikiran Alifa saat ini.Soal anak. Dia tidak pernah berpikir jika ada keluarga yang begitu mengagungkan anak laki-laki, terutama bagi keluarga-keluarga yang garis keturunannya ditarik dari pihak laki-laki.Baru ia menyadari sekarang jika bukan tidak mungkin keluarga El Fata akan mengungki
Bab 179 Barulah Alifa maklum. Dia memang benar pernah mendengar tentang tokoh besar yang sangat terkenal di negeri ini. Dan ternyata suaminya Zara adalah salah satu keturunan dari tokoh itu. Keharusan memiliki anak laki-laki yang membuat pria itu memaksa istrinya untuk hamil lagi anak ke-4 dan berharap jika anak keempat adalah laki-laki, padahal kondisi rahim Zara sudah tidak memungkinkan. "Kita tidak bisa memaksakan takdir, Bu. Anak laki-laki atau anak perempuan mutlak ketentuan Tuhan." "Tapi masih ada jalan, kan? Setidaknya itu menurut versi mereka." Zara tersenyum kecut. "Setiap ikhtiar tentu diperbolehkan, tapi bukan berarti harus mengabaikan keselamatan nyawa istri sendiri." "Asal Ibu tahu, saat ini ada seorang perempuan yang berasal dari keturunan mereka siap untuk menjadi istri kedua suami saya." Mata perempuan itu mengerjap. Zara sudah tidak lagi menangis, bahkan ia menghapus sisa-sisa lembab di wajahnya dengan tisu yang disodorkan oleh Alifa. "Bagaimana jika wanita itu
Bab 178Keenan bukan pria yang pelit. Jika kepada keluarganya sendiri terkesan hitung-hitungan, dia hanya sekedar memberikan pelajaran. Mencari uang bukan hal yang gampang, dan dia bukan ATM berjalan.Meski ada beberapa orang yang bergantung hidup kepadanya, dan ia biayai selama ini. Dia sengaja membiarkan ibu dan kedua kakak perempuannya bertahan dengan uang bulanan pas-pasan, agar mereka mau belajar menghargai pemberiannya. Jangan mentang-mentang Keenan adalah anggota keluarga mereka, mereka bisa seenaknya.Itulah kenapa dia terlihat begitu royal dengan Alifa. Alifa diratukan saat menjadi istrinya, bahkan sebelum itu, karena Alifa itu perempuan yang tulus. Bukan cuma sekedar tulus, tapi dia juga berjuang untuk keberlangsungan perusahaan. Rasanya wajar jika Keenan memberikan timbal balik. Alifa tidak sekedar cuma bisa menadahkan tangan, tetapi dia berjuang dan terjun langsung mengurus perusahaan. Para karyawannya hafal betul siapa Alifa.Alifa berbeda dengan ibu dan kedua kakak pere
Bab 177"Yeah.... Yang mau ketemuan sama duda plus papanya anak asuh...." Maya mengerjap gemas melihat tingkah Naira yang kedapatan berkali-kali mengecek penampilannya di cermin yang ada di kamar anak-anak.Maya dan Naira memang tinggal sekamar dengan anak-anak, karena mereka full menjaga anak-anak itu. Gibran dan Anindita yang sedang aktif-aktifnya."Siapa bilang? Ikatan pada rambutku kendor nanti kalau lepas malah kelihatannya nggak rapi. Kamu kayak nggak tahu gimana aktifnya Gibran kalau sudah di luar ruangan," balas Naira. Gadis itu terlihat salah tingkah. Berkali-kali ia malah melirik arlojinya. Gibran sudah ia siapkan sejak pagi sekali. Dan seperti mendukung keinginan papa dan pengasuhnya untuk bertemu, ia sama sekali tidak rewel untuk dibangunkan. Mandi dan berpakaian rapi. Semua perlengkapan Gibran juga sudah siap. Naira pun sudah menyuapi Gibran untuk sarapan."Bentar lagi," gumam gadis itu tak sadar jika suaranya bisa didengarkan oleh Maya."Iya, sabar dikit kenapa sih?" go
Bab 176"Kasihan gimana? Memangnya kamu pikir Mas akan mempermainkan Naira?!"Setiap akhir pekan Naira rutin mendampingi Gibran untuk bertemu dengannya, berakhir dengan menginap di apartemen. Meski gadis itu sering terlihat tidak nyaman saat bersamanya, tetapi Keenan berhasil membuat suasana kembali mencair, sehingga tak ada kecanggungan yang kentara, apalagi saat mereka berada di hadapan ibunya Ina yang bernama Rima itu, bahkan perempuan setengah baya itu benar-benar mengira jika Naira adalah calon istri Keenan. Kebersamaannya dengan Gibran perlahan mulai menumbuhkan rasa keterikatan dalam diri bocah kecil itu. Meski sampai saat ini Keenan masih tetap mengajarkan kepada Gibran untuk memanggilnya Om, demi memenuhi janjinya kepada Alifa. Namun itu tidak mengurangi keakraban di antara mereka. Entah sampai kapan. Mungkin sampai putranya dewasa, barulah bisa mengerti alasan dibalik perpisahan kedua orang tuanya. Tapi meski begitu, Keenan juga tidak bisa menjamin apakah Gibran bisa mener
Bab 175Plak plak plak!Tiga tamparan keras cukup membuat tubuh Tanti terjengkang. Wanita paruh baya itu malah berguling-guling di lantai. Untung saja lantai ruang dilapisi oleh karpet tebal, sehingga tidak membuat Tanti menderita cedera otak."Mama!" pekik Winda. Perempuan itu berlari dan langsung meraih ibunya. Tak lupa dia menangkap kaki sang ayah, agar kaki itu urung mendaratkan tendangan di tubuh ibunya.Lelaki paruh baya itu langsung terjengkang, lantaran tidak memiliki kewaspadaan. Dia tidak menyangka jika Winda muncul dari dalam dan mencegah tindakannya.Kemunculan putrinya membuatnya melupakan keinginannya untuk menghajar Tanti barang sejenak.Winda membantu ibunya untuk bangkit, sehingga perempuan itu kini bisa duduk, meskipun kepalanya terasa berputar-putar. Dia memejamkan mata sejenak, lalu kembali menatap sang suami yang juga sudah kembali berdiri, sembari berkacak pinggang."Itu pelajaran bagi seorang wanita yang mau enaknya saja. Dari dulu aku sudah terlalu sabar mengha
Bab 174"Setidaknya beri mereka pelajaran. Bukan soal Mbak Winda, tapi juga keluarganya yang sejak dulu selalu merongrong keluarga ini." Alifa angkat bicara setelah mereka terdiam beberapa saat."Balasan setiap perbuatan adalah hal yang setimpal, tapi tidak mungkin juga kan kita balas dengan melakukan percobaan pembunuhan kepada Winda, misalnya," ujar Atta blak-blakan yang disambut pelototan mata oleh kakaknya.Bagaimanapun, Winda adalah mantan istrinya, orang yang pernah ia cintai setengah mati. Walaupun sedikit, masih tersisa rasa cinta kepada perempuan yang pernah singgah di hatinya dan pernah menjadi ibu dari mendiang putranya, Zaid. Dia masih merasa berat hati jika Winda harus berakhir di tangan keluarganya sendiri, walaupun Winda sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan baginya tidak bisa termaafkan."Atta," tegur ibunya."Nggak, Ma. Mana mungkin aku tega membunuh mantan ayang." Pria itu nyengir yang disambut tabokan keras oleh Aariz di bahu kirinya."Sudah, sudah, jangan
Bab 173"Tolong kasih saya penjelasan. Kalian ini sebenarnya siapa, dan disuruh siapa? Kenapa mau menolong saya? Saya perlu alasan yang logis. Tidak mungkin kalian mau bertaruh nyawa untuk menyelamatkan seseorang yang tidak kalian kenal seperti saya."Akhirnya setelah mendaftarkan ibunya untuk dirawat di sebuah rumah sakit, Lisa kembali mendekati salah seorang diantara mereka, seseorang yang memboncengnya saat dari lokasi penculikan sampai ke kampung halamannya.Pria itu menghela nafas. Dia sejenak merapikan kemejanya yang kusut. Mungkin tak sadar, karena perjalanan mereka yang menegangkan barusan, di tambah lagi harus mengantar ibunya Lisa ke rumah sakit."Kenalkan, nama saya Abi. Sebenarnya kami diperintahkan oleh Mas Atta untuk mengawal Mbak Lisa sampai ke kampung halaman." "Mas Atta?! Mas Atta yang menyuruh kalian?" Lisa malah menepuk jidat, lalu menutup telinga dengan kedua telapak tangannya."Nggak usah segitunya juga kagetnya, Mbak," tegur pria itu. Abi menarik dengan lembut t