Tek!
Sepiring makanan dengan segelas air mendarat di depanku. Aku menatap makanan yang Haruka ambil.
“Kamu sering makan di sini?”
Aku mengangguk, “Tempatku tinggal dulu di sekitar sini.”
“Benarkah?” Lagi-lagi aku hanya mengangguk.
“Bisakah kita melewatinya saat menuju stasiun?” Aku menggeleng sebagai jawaban.
“Kenapa?” Nada suara Haruka terdengar kecewa.
Aku menghentikan suapanku dan memandangi Haruka, “Kenapa kamu terlihat sangat penasaran?”
Haruka terdiam sejenak, “Baiklah kalau memang kamu tidak ingin menunjukkannya.”
Haruka lalu mulai makan. Suasana di antara aku dan Haruka berubah menjadi hening, walaupun warung tersebut ramai dengan kumpulan mahasiswa yang tengah makan atau nongkrong.
“Sudah ke mana saja selama berada di Indonesia?”
"Bagaimana kamu tahu?"
"Seo sensei yang memberitahuku kalau kamu sudah satu minggu berada di Indonesia."
"Ah begitu." Haruka tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari tasnya, yang membuatku terkesiap.
Majalah yang aku berikan kepadanya ketika kami mengunjungi sebuah toko buku di Korea.
“Kamu masih menyimpannya?”Haruka tidak menjawab, dia membuka halaman demi halaman. “Aku pergi ke daerah yang berada di majalah ini. Hanya satu-dua kota.”“Aku iri denganmu,” gumamku
Haruka mengadah, “Kenapa?” Aku hanya menggeleng dan melanjutkan makan.
“Kamu belum pernah ke sini?”.Aku menghentikan makanku, “Belum, mungkin memang aku yang belum beruntung.”“Apa kamu sudah menghabiskan keberuntunganmu dengan pergi ke Korea?”Aku memandangi makanan sambil memegang sendok dengan erat, “Aku tidak berharap demikian. Lagipula ini bukan masalah keberuntungan.”“Aku juga berpikir hal yang sama. Aku yakin akan ada banyak hal baik yang akan menghampirimu, Fay.” Aku hanya mengangguk. Aku tidak yakin akan hal ini, tapi setidaknya aku masih bisa bertahan hidup dengan baik.“Kamu ke sini meninggalkan pekerjaanmu di Korea?”Haruka mengangkat kepalanya, “Aku kembali ke Jepang untuk mengambil sertifikasi pengajar bahasa Jepang. Kemudian Hiro … Seo sensei memberitahuku kalau perusahaan tempat dia bekerja sedang mengadakan kerja sama untuk membuat pelatihan mengajar bahasa Jepang untuk guru sekolah di beberapa kota di Indonesia.”“Termasuk Sawargi?”Haruka mengangguk, “Tapi aku tidak tahu kalau kamu tinggal di sana. Aku juga tidak tahu kalau kamu pernah bekerja dengan Sungkyu dan Hani di sana.”Sungkyu adalah adik Haruka, sedangkan Hani adalah teman Sungkyu. “Kenapa kamu ingin mengambil kesempatan ini?”“Apakah kamu sedang mewawancaraiku?”Aku tidak menjawab. Rentetan peristiwa di antara kami yang terjadi di Korea bermunculan begitu saja dalam benakku. Membuatku tanpa sadar menghela napas dan menghembuskannya dengan cukup keras.“Fay?”Aku menoleh, “Tidak … aku hanya ingin tahu. Atau karena menurutmu Indonesia adalah negara yang potensial bagi negaramu?”Haruka menggeleng perlahan, “Aku tidak bisa menyangkal itu … Kamu tahu, bayaran untuk mengajar proyek ini besar. Aku juga punya potensi untuk tinggal di sini lebih lama. Tapi aku punya alasan lain kenapa aku memutuskan untuk ke sini tapi tidak bisa mengungkapkannya sekarang.”Mendadak aku benci dengan pikiranku.Aku lalu menghabiskan makananku begitu juga dengan Haruka.“Aku sudah membayar, kamu sudah?”
“Belum, aku bayar dulu.”
Haruka bangkit meninggalkanku sedangkan aku membereskan perlengkapanku.
“Fay.”
Aku langsung bangkit dan menghampiri Haruka yang sudah berada di jalan.
“Kita tidak perlu melewati jalan rel tadi 'kan? Jalan rel tadi terlihat mengerikan.” “Sayangnya, aku lebih benci melewati arah sana.” Aku menunjuk arah sebaliknya.“Kenapa??” Aku hanya menggeleng dan kembali berjalan. Haruka memposisikan diri di sebelahku.“Kamu sendiri tidak merasa takut?”Aku akhirnya menoleh, “Tentu saja aku takut. Tapi kamu akan merasa terbiasa."
“Kalau begitu kenapa kamu mau lewat sana?”
“Karena itu adalah jalan tercepat menuju tempat ini.”
Kami berdua kembali melewati rel yang hanya dijaga oleh seorang relawan. Syukurlah saat itu belum ada kereta yang melintas. Kami berdua lalu melewati perlintasan itu dan masuk ke dalam kawasan kampus.“Fay”Aku menoleh, “Ada apa.”“Aku ingin tur kampusmu sebelum kita berangkat ke stasiun bandara boleh?”Aku terdiam sejenak dan mengingat-ingat, “Tapi seingatku jadwal beroperasi bus kampus untuk hari ini hanya sampai pukul 5 sore.”Aku menatap raut wajah Haruka yang kecewa, “Waktumu di sini masih cukup panjang, tidak perlu khawatir.”Kami berdua menyusuri jalur pejalan kaki sampai ke kereta dengan diam. Kereta cukup ramai karena anak-anak dari kampus. Namun aku dan Haruka masih bisa duduk bersebelahan.Aku menatap di balik jendela yang terlihat gelap. Masih ada tiga stasiun lagi yang harus kami lewati sebelum sampai di tempat tujuan.
“Fay?”
Aku menoleh, “Kenapa?”
“Peranmu sebenarnya apa?”
“Macam-macam.”
"Kamu tidak lelah?"
Aku hanya mengangkat bahu, “Aku butuh uang.”
“Maaf.”Aku menoleh, “kenapa?”“Aku membuatmu terlunta-lunta. Tapi selain ponselku yang terus bermasalah … kamu tahu kan, aku buta arah. Makanya aku mengirimkan foto itu kepadamu”Aku menghela napas mendengar perkataan Haruka, “Kamu sedang berada di mana saat itu?”“Taman kota.”Aku menoleh sambil melotot, “Yang benar saja?! Lokasi itu lumayan jauh dari kampus!”Haruka terlihat salah tingkah, “Aku tidak berpikir kalau lokasinya cukup jauh.”“Terus kamu tinggal lebih dekat dari kampus atau taman kota?”“Kampus.”“Kalau begitu kamu kenapa ke sana?”“Aku berusaha mencari tempat reparasi ponsel, tapi aku tersasar ke sana.”Aku memijat dahiku, bingung harus mengatakan apa.“Kereta ini akan berhenti di Stasiun …”
Aku langsung bangkit, “Sudah sampai.”
Kami berdua menghampiri orang-orang yang berkumpul di pintu. Aku nyaris tidak bisa keluar karena terhalang orang-orang yang hendak masuk.
“Kasih jalan buat yang keluar dulu ooy!”
Aku akhirnya berhasil melangkah menuju peron dan menghampiri Haruka yang sudah menunggu. Aku menatap ponselku, masih ada waktu satu jam.
“Aku mau salat dulu.”
Kami berdua turun menuju lantai dua dan berhenti di depan musola.
“Kau mau menunggu di mana?” Haruka menunjuk kursi.
“Jangan ke mana-mana.” Haruka memberikan isyarat seperti memberi hormat.
Aku berjalan menuju musola dan menunaikan sholat isya. Namun, aku tidak langsung keluar setelah menunaikan ibadah karena Tasya, temanku, tiba-tiba menelepon.
“Fay, lu beneran gak jadi ke kosan gua?”
“Iya” Jawabku. "Ntar gue telpon lagi. Ngejar kereta bandara nih gue, harus jemput sensei yang satu lagi. Eh, lu udah kirim prosedur naik kereta bandara?”
“Udeh, baca aja.”
“Oke, makasih yak.”
Percakapan terputus. Aku membereskan ponselku dan membawa tas ke luar musola.
Aku memandangi ponselku dengan cemas, kenapa Kang Ujang susah sekali dihubungi? Seo sensei juga sama saja. "Fay?"Aku tersadar dan menoleh, "Kenapa?""Kamu kenapa?" Aku terdiam sejenak dan menggeleng. "Kamu terlihat gelisah dari tadi.""Aku tidak apa-apa.""Fay ... tatap aku ... "Aku menatap Haruka yang duduk di depanku. Kami memang tengah menunggu di sebuah kafe di bandara. "Katakan ada apa denganmu? Kamu dari tadi terlihat gelisah."Aku menghela napas, "Aku tidak bisa menghubungi orang yang akan menjemput kita.""Lalu?""Aku belum mendapat kontak sensei yang harus aku jemput, kalau itu aku masih bisa pakai papan. tapi kalau soal mobil ... ""Ada alternatif lain?""Ada bus bandara menuju Sawargi ... ""Oke, berarti kamu tidak perlu memusingkan hal itu."Aku tidak menanggapi perkataan itu lebih lanjut dan memilih memandangi kertas bertuliskan "Kawata Mi", nama sensei yang akan aku jemput. Kira-kira masih ada setengah jam lagi sebelum jadwal kedatangannya tiba.Kami akhirnya sibuk de
Kriiiingg .... Tanganku reflek mengambil ponsel, lalu mengangkatnya begitu melihat nama si pengirim. "Ya?" "Aku menganggumu?" "Aku baru bangun tidur, kenapa? Maksudku, aku ketiduran." "Aku butuh beberapa perlengkapan pribadi dan perlengkapan untuk mengajar. Kamu bisa mengantarku?" "Memangnya perusahaan tidak menyediakannya?" "Aku rasa lebih baik aku mencari barang bersamamu saja." Sontak aku menghela napas, Haruka memang agak banyak mau kalau soal seperti ini. "Hmm ... Kapan? Kalau untuk alat tulis aku tidak yakin karena tokonya pasti sebentar lagi akan tutup" "Kamu kapan bisa pergi?" Aku menatap jam di ponselku. "Aku siap-siap dulu, mungkin setengah jam kemudian aku akan menjemputmu." "Baiklah." :) Aku memandangi Haruka yang tengah mendorong kereta belanja. Pandanganku berganti-ganti dengan rak yang memajang produk-produk untuk makanan luar negeri seperti Korea dan Jepang. Sesuatu menarik perhatian, membuatku berdiri di depan produk itu dan memandanginya erat-erat. “Eee
“Mbak yang perwakilan dari pelatihan pengajar bahasa Jepang PT Naruyama?” Aku yang tengah berada di kantor subag akademik menoleh, seorang pria paruh baya menghampiriku.“Iya Pak, ada apa?”“Ini tadi kata Pak Dekan suruh ambilin meja di gudang buat depan kelas. Saya kira yang ke sini laki-laki, tahu-tahu perempuan. Sebentar ya Mbak.”Aku hanya mengangguk dan membiarkan bapak tersebut pergi. Beberapa menit kemudian aku menganga melihat meja yang diangkut.Meja mahasiswa yang cukup untuk meja dua orang.Aku buru-buru membantu bapak tersebut dan seorang janitor yang agak kesulitan membawa meja tersebut.“Udah mbak, gak usah.”Aku awalnya bingung untuk apa meja tersebut, kemudian aku menemukan jawabannya. ========= Aku ingin menghela napas menghadapi tumpukan berkas. Hari ini adalah hari pertama pelatihan dengan agenda tes penempatan kemampuan mengajar dan bahasa Jepang. Tentu saja ada berkas yang harus dikumpulkan. Aku menatap seorang ibu yang kutaksir usianya sekitar 30-an. Aku sebena
“Nasi padaangg … yash … “ aku dengan antusias membuka bungkusan tersebut. Aku membeli nasi padang dengan menu rendang. Aku sudah lama ingin makan nasi padang, tapi karena alasan umur aku sudah mengurangi konsumsinya sejak lama. “Halo, boleh bergabung?” Aku dan Kang Ujang serentak menoleh, “Silahkan sensei!” Kawata sensei lalu duduk di sebelahku. “Faihah, kenapa menumu berbeda?” “Aku hanya diberi uang makan sensei, karena aku hanya bagian dari proyek ini,” jawabku. “Oh, tapi aku ingin makanan seperti milikmu. Aku rindu makanan Indonesia.” Kawata sensei pernah tingal di Indonesia selama lima tahun untuk belajar bahasa Indonesia, dan sering mendapat murid bahasa Jepang dari Indonesia. “Yuichi sensei sedang bersama Yuanita, Sensei?” “Iya, Yuanita bilang ada beberapa hal yang ingin ditanyakan mengenai materi dan jadwal pengajaran, karena kedepannya kelas akan diadakan di sore hari. Aku tidak mau pusing-pusing karena sudah tua, jadi biarkan saja Haru yang masih muda untuk me
“Fay, ayo ikut.” Aku yang tengah merapihkan berkas menoleh, “Seo sensei? Ikut ke mana?” “Makan bersama,” jawab Seo sensei. Tidak lama Kawata sensei keluar, diikuti dengan Haruka dan Yuanita dari ruangan sebelah. Seo sensei menoleh ke arah Yuanita, “Yuanita, saya sudah mengecek tempat kuliner yang kamu rekomendasikan, sepertinya enak. Hari ini saya ingin mengajak kalian dan para sensei ke sana.” Yuanita mengangguk dengan antusias, “Ayo sensei!” Tanpa sadar aku menatap Yuanita dan merasa penasaran, tempat apa yang dimaksud oleh Yuanita? === Aku merapatkan bibir melihat sebuah durian yang sudah terbelah menjadi tiga. Diam-diam aku ingin menghela napas panjang. Aku tidak bisa makan durian. “Kamu tidak makan, Fay?” Aku menoleh, “Saya tidak bisa makan durian, Sensei.” Seo sensei mengerutkan dahi, “Tahu begitu, kamu pilih saja buah yang lain.” Aku bengong ketika Seo sensei mengeluarkan sebuah kartu, “Pakai kartu ini untuk membayarnya.” Aku menerimanya dengan agak canggung dan bang
Aku mengehela napas di atas motor. Ini sudah rumah ketiga yang aku dan Haruka datangi. Tidak ada lagi rumah yang akan dikontrakan di dalam lingkungan rumah. Haruka lalu menghampiriku. Haruka menghampiriku dan mengerutkan dahi, “Kamu kenapa?” “Sekarang kamu mau ke mana lagi?” Haruka terdiam sejenak, “Kamu lelah?” Aku hanya mengangguk, “Aku ingin rebahan dan istirahat. Sudah malam juga." Haruka tiba-tiba tertawa, “Jangan terlalu sering rebahan, punggungmu bisa keropos nanti.” Suasana hening sejenak. “Kamu mau makan dulu sebelum antar aku pulang?” Aku mengerutkan dahi, “Tadi belum cukup?” “Kamu pikir itu makan sore? Kita hanya makan buah.” Aku hanya bisa mengangguk, “Benar sih.” “Ayo kamu makan di mana? Aku yang traktir.” Aku tersenyum lebar mendengar perkataan Haruka. === Tek! Dua piring nasi dengan lauk makanan laut tersaji di atas meja. "Kamu yakin bisa menghabiskannya?" "Aku yakin kamu bisa membantuku menghabiskannya, Fay." "Ish!" aku melotot sedangkan Haruka terkeke
“Faihah sensei.”Aku sontak menoleh ke arah suara dan mengangguk, “Eh iya Bu.”Aku lalu menoleh dengan canggung ke sekeliling akibat disapa secara tidak terduga oleh beberapa peserta pelatihan. Aku lalu menghampiri tukang minuman untuk membeli segelas teh hangat.“Bu saya duluan ya.”“Iya sensei.”Sebenarnya orang-orang yang aku panggil ibu kebanyakan dari mereka usianya sepantar atau hanya berbeda beberapa tahun saja. Bedanya mereka semua sudah menikah, dan aku rasa kebanyakan dari sudah punya anak, karena aku sering tanpa sengaja mendengar percakapan mereka.Cuma entah kenapa aku jadi merasa canggung ketika mengobrol dengan mereka walaupun hanya sekedar percakapan ringan. Rasanya seperti berinteraksi dengan orang dari berbeda dunia. Mungkin karena aku adalah orang yang aneh.“Sensei?”Kawata sensei yang sepertinya baru sampai dikelas menoleh, “Oh Fay, masuk!”Aku mengambil kursi meja dan duduk di depan Kawata sensei.“Kamu sendirian? Kemana yang lain?”“Mungkin belum sampai, sensei.”
“Sensei, di sini kosong?” Aku yang tengah makan siang yang terlambat sontak menoleh, dua perempuan yang aku kenali sebagai peserta kelas pengajar bahasa Jepang berdiri di depan meja yang aku tempati. “Eh … silahkan Teh!” keduanya lalu duduk di depanku. "Kok jam segini udah datang, Teh?" Jadwal kelas memang akan dimulai satu jam lagi alias pukul 3 sore. "Iya sensei, kebetulan saya sama Sarah gak ada jadwal ngajar habis zuhur, jadi mending nunggu di sini aja." Aku hanya mengangguk mendengar jawaban salah satu dari mereka. “Sensei namanya siapa?” tanya perempuan yang menggunakan hijab panjang sepertiku. “Faihah, teteh? Eh ngomong-ngomong aku panitia loh, bukan pengajar!” “Oh iya-iya Teh, hehe. Aku Siti.” “Aku Nurul.” “Oh iya Teh Siti, Teh Nurul. Salam kenal. Ngajar di sekolah mana?” Tanpa diduga percakapan kami mengalir cukup lancar, sampai sebuah suara menginterupsi kami. “Di sini kosong?” Kedua orang di depanku menoleh ke belakang punggungku, “Gak kang, akang gak boleh ja