Aku memasukan ponsel ke dalam tas lalu menoleh dengan perlahan. Mataku tertumbuk dengan seorang pria yang rupanya jauh lebih tinggi dariku. Sejujurnya aku masih belum kembali sadar 100 %. Namun, tanpa ba-bi-bu aku langsung bangkit dan mengambil tas hendak meninggalkan pria itu.
Grab!
Aku kaget ketika pria itu mendadak berada di depanku, membuatku terduduk di atas sofa perpustakaan.
Bruk!
Tasku terlepas dari tangan lalu terjatuh ke bawah. Tatapan mataku terpaku dengan pria itu sampai dia tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Aku refleks mundur, namun ternyata dia mengambil tas yang terjatuh dan menaruhnya di sebelahku dengan perlahan.
“Faihah … “ Tatapanku masih nanar ke depan walaupun tidak menatap matanya.
“Kamu … Yuichi Sensei?”
“Yuichi Haruka, lebih tepatnya.”
Kumpulan emosi dan rasa lelah yang sedari tadi menggerogoti tubuh mulai menggumpal dan mengambang ke atas kepala. Menghasilkan air mata yang mengalir begitu saja dari kepala.
Haruka seperti tersentak, “Fay … “
Tangan kananku reflek mengambil tas dan bangkit menghindari Haruka. Aku berjalan dengan cepat hampir seperti berlari keluar dari perpustakaan kampus. Aku tidak tahu tujuan sampai aku menyadari bahwa aku sedang berjalan menuju taman rumput yang sepi sembari menahan air mataku yang terus keluar secara tidak terkendali.
Aku menjatuhkan diri di depan sebuah pohon dan menyurukkan wajah di antara kedua dengkul dan menangis sesenggukan. Suasana hanya dipenuhi dengan suara tangisku, sampai mereda dan tersisa isakan.
“Maafkan aku, Fay”
Aku mengangkat wajah dan menatap pria yang ternyata sudah berada di depanku. Dia masih menatapku dengan tatapan yang sama ketika pertama kali aku bertemu dengannya di Korea.
Mata yang jika aku tidak mengenalnya, aku akan selalu menganggapnya sebagai orang yang mengerikan dan keras. Aku tidak mengatakan apapun, hanya air mata yang terus mengalir keluar. Aku dengan tangan gemetar mengambil air minum dan meminumnya. Napasku masih terputus-putus karena sesunggukan.Haruka seperti ingin menunjukkan sebuah gelagat tapi tidak jadi. Pria itu justru mengulurkan ponselnya. Ponsel yang sangat familiar dalam ingatanku.
“Ponselku bermasalah terus sejak aku berada di Indonesia.”
Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku, tapi kenapa?
Tiba-tiba air mata kembali mengalir begitu saja, aku buru-buru menutup wajahku dengan tangan dan mengusapnya dengan kasar. Tanganku reflek mengambil tisu di dalam tas dengan kasar.
Ugh, pilek ku kembali kambuh.
Aku memalingkan wajah sembari membuang ingus. Setelah itu, aku memasukannya ke dalam kresek di dalam tas untuk aku buang nanti.
Aku hanya diam, berusaha menenangkan diri. Aku tidak mempedulikan Haruka yang hanya jongkok di depanku. Tiba-tiba ponsel dari dalam tas berbunyi dengan nyaring dan membuat tanganku reflek meraihnya. Aku berusaha menghilangkan bekas menangis barusan. Setelah merasa lebih tenang, aku bangkit untuk mengangkat panggilan tersebut dan menjauh dari Haruka. “Ya, Seo sensei?” Terdengar helaan napas, “Yuanita barusan menghubungiku, katanya ada kegiatan yang tidak bisa dia tinggal.” Nada suara Seo sensei terdengar sangat kesal, “Fay, jemput Kawata sensei dari bandara malam ini.”Aku menghela napas sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh Seo sensei, “Baiklah sensei. Bisakah sensei mengirimkan jadwal kedatangan Kawata sensei?”“Aku akan mengirimkan jadwal, sekaligus tiket kereta bandara. Untuk biaya tambahan, simpan bukti pembayaran untuk di ganti oleh perusahaan.”“Baik sensei.”“Oh, kau sudah bertemu dengan Yuichi sensei?”“Sudah sensei, ini saya sedang bersama Yuichi sensei.”“Baiklah.” Seo sensei terdiam sejenak, “Aku akan mengirimkan Ujang untuk menjemput dari Sawargi. Nanti kamu berkabar saja dengannya, ya?” “Baik sensei.” Tidak lama telepon terputus. Aku lalu kembali menuju tas milikku. Haruka terlihat sedang duduk sembari memegang ponsel.Kriuuuuk …. “Kamu mau makan terlebih dahulu?” Bagus, perutku berbunyi di saat yang tidak tepat. Aku tidak langsung menjawab.Sreet … Klak! “Kamu mau?"Aku menoleh, Haruka menyodorkan kotak makan berisi kimbab, "Aku tidak tahu apakah ini masih enak, tapi aku membuatnya tadi pagi.” Aku memandangi kotak makan itu sejenak. Aku menyerah, tanganku mengambil kimbab itu dan menyuapkan ke dalam mulut.Aku terdiam sejenak ketika merasakan gigitan pertama kimbab itu. Aku buru-buru menutup mulutku, sudah lama ketika terakhir kali aku merasakan masakan Haruka.“Kamu tidak suka?”
Aku tidak langsung menjawab. Kimbab buatan Haruka adalah favoritku. Memakan kembali makanannya setelah sekian lama tanpa terduga membuatku …
Sudah cukup Fay … jangan menangis lagi …
“Fay?”
Aku buru-buru menggeleng dan bangkit, “Ayo kita mencari makan.”
Langkahku tertahan karena Haruka memegang tasku. Aku menoleh, syukurlah aku hanya bisa melihat pundaknya.
“Kamu masih marah kepadaku?”Aku terdiam sejenak, “Aku lelah. Terlunta-lunta karena menunggumu membuatku lelah, dan kita tidak punya banyak waktu, Haru.”Hanya ada suara angin di antara kami berdua.“Maafkan aku Fay.”“Apa kamu akan melakukan hal yang sama kalau orang itu bukan yang kamu kenal?” Tanyaku dengan nada datar.“Aku akan melakukan hal yang sama.”
Aku terdiam, tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di benakku.Apakah kau akan marah seperti ini jika orang yang jemput bukan Haruka?Aku seperti tersentak atas pertanyaan itu. Baru saja hendak menolehkan kepala.“Apa yang bisa aku lakukan Fay?”Aku tidak menjawab hanya menggeleng. Tiba-tiba terdengar suara pemberitahuan dari ponsel. Aku segera membukanya, rupanya tiket dari Seo sensei. Masih ada empat jam lagi sebelum jadwal keberangkatan bandara. Aku mengerutkan dahi ketika Seo sensei mengirimkan pesan lain. Habiskan waktu dengan baik dengan Haruka. Dia dari tadi memaksaku agar tidak terlalu membuatmu bekerja keras. Kalian sudah lama tidak bertemu, bukan?Tek! Sepiring makanan dengan segelas air mendarat di depanku. Aku menatap makanan yang Haruka ambil. “Kamu sering makan di sini?” Aku mengangguk, “Tempatku tinggal dulu di sekitar sini.” “Benarkah?” Lagi-lagi aku hanya mengangguk. “Bisakah kita melewatinya saat menuju stasiun?” Aku menggeleng sebagai jawaban. “Kenapa?” Nada suara Haruka terdengar kecewa. Aku menghentikan suapanku dan memandangi Haruka, “Kenapa kamu terlihat sangat penasaran?” Haruka terdiam sejenak, “Baiklah kalau memang kamu tidak ingin menunjukkannya.” Haruka lalu mulai makan. Suasana di antara aku dan Haruka berubah menjadi hening, walaupun warung tersebut ramai dengan kumpulan mahasiswa yang tengah makan atau nongkrong. “Sudah ke mana saja selama berada di Indonesia?” "Bagaimana kamu tahu?" "Seo sensei yang memberitahuku kalau kamu sudah satu minggu berada di Indonesia." "Ah begitu." Haruka tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari tasnya, yang membuatku terkesiap. Majalah yang aku berikan kepadan
Aku memandangi ponselku dengan cemas, kenapa Kang Ujang susah sekali dihubungi? Seo sensei juga sama saja. "Fay?"Aku tersadar dan menoleh, "Kenapa?""Kamu kenapa?" Aku terdiam sejenak dan menggeleng. "Kamu terlihat gelisah dari tadi.""Aku tidak apa-apa.""Fay ... tatap aku ... "Aku menatap Haruka yang duduk di depanku. Kami memang tengah menunggu di sebuah kafe di bandara. "Katakan ada apa denganmu? Kamu dari tadi terlihat gelisah."Aku menghela napas, "Aku tidak bisa menghubungi orang yang akan menjemput kita.""Lalu?""Aku belum mendapat kontak sensei yang harus aku jemput, kalau itu aku masih bisa pakai papan. tapi kalau soal mobil ... ""Ada alternatif lain?""Ada bus bandara menuju Sawargi ... ""Oke, berarti kamu tidak perlu memusingkan hal itu."Aku tidak menanggapi perkataan itu lebih lanjut dan memilih memandangi kertas bertuliskan "Kawata Mi", nama sensei yang akan aku jemput. Kira-kira masih ada setengah jam lagi sebelum jadwal kedatangannya tiba.Kami akhirnya sibuk de
Kriiiingg .... Tanganku reflek mengambil ponsel, lalu mengangkatnya begitu melihat nama si pengirim. "Ya?" "Aku menganggumu?" "Aku baru bangun tidur, kenapa? Maksudku, aku ketiduran." "Aku butuh beberapa perlengkapan pribadi dan perlengkapan untuk mengajar. Kamu bisa mengantarku?" "Memangnya perusahaan tidak menyediakannya?" "Aku rasa lebih baik aku mencari barang bersamamu saja." Sontak aku menghela napas, Haruka memang agak banyak mau kalau soal seperti ini. "Hmm ... Kapan? Kalau untuk alat tulis aku tidak yakin karena tokonya pasti sebentar lagi akan tutup" "Kamu kapan bisa pergi?" Aku menatap jam di ponselku. "Aku siap-siap dulu, mungkin setengah jam kemudian aku akan menjemputmu." "Baiklah." :) Aku memandangi Haruka yang tengah mendorong kereta belanja. Pandanganku berganti-ganti dengan rak yang memajang produk-produk untuk makanan luar negeri seperti Korea dan Jepang. Sesuatu menarik perhatian, membuatku berdiri di depan produk itu dan memandanginya erat-erat. “Eee
“Mbak yang perwakilan dari pelatihan pengajar bahasa Jepang PT Naruyama?” Aku yang tengah berada di kantor subag akademik menoleh, seorang pria paruh baya menghampiriku.“Iya Pak, ada apa?”“Ini tadi kata Pak Dekan suruh ambilin meja di gudang buat depan kelas. Saya kira yang ke sini laki-laki, tahu-tahu perempuan. Sebentar ya Mbak.”Aku hanya mengangguk dan membiarkan bapak tersebut pergi. Beberapa menit kemudian aku menganga melihat meja yang diangkut.Meja mahasiswa yang cukup untuk meja dua orang.Aku buru-buru membantu bapak tersebut dan seorang janitor yang agak kesulitan membawa meja tersebut.“Udah mbak, gak usah.”Aku awalnya bingung untuk apa meja tersebut, kemudian aku menemukan jawabannya. ========= Aku ingin menghela napas menghadapi tumpukan berkas. Hari ini adalah hari pertama pelatihan dengan agenda tes penempatan kemampuan mengajar dan bahasa Jepang. Tentu saja ada berkas yang harus dikumpulkan. Aku menatap seorang ibu yang kutaksir usianya sekitar 30-an. Aku sebena
“Nasi padaangg … yash … “ aku dengan antusias membuka bungkusan tersebut. Aku membeli nasi padang dengan menu rendang. Aku sudah lama ingin makan nasi padang, tapi karena alasan umur aku sudah mengurangi konsumsinya sejak lama. “Halo, boleh bergabung?” Aku dan Kang Ujang serentak menoleh, “Silahkan sensei!” Kawata sensei lalu duduk di sebelahku. “Faihah, kenapa menumu berbeda?” “Aku hanya diberi uang makan sensei, karena aku hanya bagian dari proyek ini,” jawabku. “Oh, tapi aku ingin makanan seperti milikmu. Aku rindu makanan Indonesia.” Kawata sensei pernah tingal di Indonesia selama lima tahun untuk belajar bahasa Indonesia, dan sering mendapat murid bahasa Jepang dari Indonesia. “Yuichi sensei sedang bersama Yuanita, Sensei?” “Iya, Yuanita bilang ada beberapa hal yang ingin ditanyakan mengenai materi dan jadwal pengajaran, karena kedepannya kelas akan diadakan di sore hari. Aku tidak mau pusing-pusing karena sudah tua, jadi biarkan saja Haru yang masih muda untuk me
“Fay, ayo ikut.” Aku yang tengah merapihkan berkas menoleh, “Seo sensei? Ikut ke mana?” “Makan bersama,” jawab Seo sensei. Tidak lama Kawata sensei keluar, diikuti dengan Haruka dan Yuanita dari ruangan sebelah. Seo sensei menoleh ke arah Yuanita, “Yuanita, saya sudah mengecek tempat kuliner yang kamu rekomendasikan, sepertinya enak. Hari ini saya ingin mengajak kalian dan para sensei ke sana.” Yuanita mengangguk dengan antusias, “Ayo sensei!” Tanpa sadar aku menatap Yuanita dan merasa penasaran, tempat apa yang dimaksud oleh Yuanita? === Aku merapatkan bibir melihat sebuah durian yang sudah terbelah menjadi tiga. Diam-diam aku ingin menghela napas panjang. Aku tidak bisa makan durian. “Kamu tidak makan, Fay?” Aku menoleh, “Saya tidak bisa makan durian, Sensei.” Seo sensei mengerutkan dahi, “Tahu begitu, kamu pilih saja buah yang lain.” Aku bengong ketika Seo sensei mengeluarkan sebuah kartu, “Pakai kartu ini untuk membayarnya.” Aku menerimanya dengan agak canggung dan bang
Aku mengehela napas di atas motor. Ini sudah rumah ketiga yang aku dan Haruka datangi. Tidak ada lagi rumah yang akan dikontrakan di dalam lingkungan rumah. Haruka lalu menghampiriku. Haruka menghampiriku dan mengerutkan dahi, “Kamu kenapa?” “Sekarang kamu mau ke mana lagi?” Haruka terdiam sejenak, “Kamu lelah?” Aku hanya mengangguk, “Aku ingin rebahan dan istirahat. Sudah malam juga." Haruka tiba-tiba tertawa, “Jangan terlalu sering rebahan, punggungmu bisa keropos nanti.” Suasana hening sejenak. “Kamu mau makan dulu sebelum antar aku pulang?” Aku mengerutkan dahi, “Tadi belum cukup?” “Kamu pikir itu makan sore? Kita hanya makan buah.” Aku hanya bisa mengangguk, “Benar sih.” “Ayo kamu makan di mana? Aku yang traktir.” Aku tersenyum lebar mendengar perkataan Haruka. === Tek! Dua piring nasi dengan lauk makanan laut tersaji di atas meja. "Kamu yakin bisa menghabiskannya?" "Aku yakin kamu bisa membantuku menghabiskannya, Fay." "Ish!" aku melotot sedangkan Haruka terkeke
“Faihah sensei.”Aku sontak menoleh ke arah suara dan mengangguk, “Eh iya Bu.”Aku lalu menoleh dengan canggung ke sekeliling akibat disapa secara tidak terduga oleh beberapa peserta pelatihan. Aku lalu menghampiri tukang minuman untuk membeli segelas teh hangat.“Bu saya duluan ya.”“Iya sensei.”Sebenarnya orang-orang yang aku panggil ibu kebanyakan dari mereka usianya sepantar atau hanya berbeda beberapa tahun saja. Bedanya mereka semua sudah menikah, dan aku rasa kebanyakan dari sudah punya anak, karena aku sering tanpa sengaja mendengar percakapan mereka.Cuma entah kenapa aku jadi merasa canggung ketika mengobrol dengan mereka walaupun hanya sekedar percakapan ringan. Rasanya seperti berinteraksi dengan orang dari berbeda dunia. Mungkin karena aku adalah orang yang aneh.“Sensei?”Kawata sensei yang sepertinya baru sampai dikelas menoleh, “Oh Fay, masuk!”Aku mengambil kursi meja dan duduk di depan Kawata sensei.“Kamu sendirian? Kemana yang lain?”“Mungkin belum sampai, sensei.”