Share

Bab 2

Aku memasukan ponsel ke dalam tas lalu menoleh dengan perlahan. Mataku tertumbuk dengan seorang pria yang rupanya jauh lebih tinggi dariku. Sejujurnya aku masih belum kembali sadar 100 %. Namun, tanpa ba-bi-bu aku langsung bangkit dan mengambil tas hendak meninggalkan pria itu. 

Grab! 

Aku kaget ketika pria itu mendadak berada di depanku, membuatku terduduk di atas sofa perpustakaan. 

Bruk! 

Tasku terlepas dari tangan lalu terjatuh ke bawah. Tatapan mataku terpaku dengan pria itu sampai dia tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Aku refleks mundur, namun ternyata dia mengambil tas yang terjatuh dan menaruhnya di sebelahku dengan perlahan. 

“Faihah … “ Tatapanku masih nanar ke depan walaupun tidak menatap matanya. 

“Kamu … Yuichi Sensei?” 

“Yuichi Haruka, lebih tepatnya.” 

Kumpulan emosi dan rasa lelah yang sedari tadi menggerogoti tubuh mulai menggumpal dan mengambang ke atas kepala. Menghasilkan air mata yang mengalir begitu saja dari kepala. 

Haruka seperti tersentak, “Fay … “ 

Tangan kananku reflek mengambil tas dan bangkit menghindari Haruka. Aku berjalan dengan cepat hampir seperti berlari keluar dari perpustakaan kampus. Aku tidak tahu tujuan sampai aku menyadari bahwa aku sedang berjalan menuju taman rumput yang sepi sembari menahan air mataku yang terus keluar secara tidak terkendali. 

Aku menjatuhkan diri di depan sebuah pohon dan menyurukkan wajah di antara kedua dengkul dan menangis sesenggukan. Suasana hanya dipenuhi dengan suara tangisku, sampai mereda dan tersisa isakan. 

“Maafkan aku, Fay” 

Aku mengangkat wajah dan menatap pria yang ternyata sudah berada di depanku. Dia masih menatapku dengan tatapan yang sama ketika pertama kali aku bertemu dengannya di Korea.

Mata yang jika aku tidak mengenalnya, aku akan selalu menganggapnya sebagai orang yang mengerikan dan keras. 

Aku tidak mengatakan apapun, hanya air mata yang terus mengalir keluar. Aku dengan tangan gemetar mengambil air minum dan meminumnya. Napasku masih terputus-putus karena sesunggukan. 

Haruka seperti ingin menunjukkan sebuah gelagat tapi tidak jadi. Pria itu justru mengulurkan ponselnya. Ponsel yang sangat familiar dalam ingatanku.

“Ponselku bermasalah terus sejak aku berada di Indonesia.” 

Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku, tapi kenapa?

Tiba-tiba air mata kembali mengalir begitu saja, aku buru-buru menutup wajahku dengan tangan dan mengusapnya dengan kasar. Tanganku reflek mengambil tisu di dalam tas dengan kasar. 

Ugh, pilek ku kembali kambuh. 

Aku memalingkan wajah sembari membuang ingus. Setelah itu, aku memasukannya ke dalam kresek di dalam tas untuk aku buang nanti.

Aku hanya diam, berusaha menenangkan diri. Aku tidak mempedulikan Haruka yang hanya jongkok di depanku. 

Tiba-tiba ponsel dari dalam tas berbunyi dengan nyaring dan membuat tanganku reflek meraihnya. Aku berusaha menghilangkan bekas menangis barusan. Setelah merasa lebih tenang, aku bangkit untuk mengangkat panggilan tersebut dan menjauh dari Haruka. 

“Ya, Seo sensei?” 

Terdengar helaan napas, “Yuanita barusan menghubungiku, katanya ada kegiatan yang tidak bisa dia tinggal.” Nada suara Seo sensei terdengar sangat kesal, “Fay, jemput Kawata sensei dari bandara malam ini.”

Aku menghela napas sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh Seo sensei, “Baiklah sensei. Bisakah sensei mengirimkan jadwal kedatangan Kawata sensei?”

“Aku akan mengirimkan jadwal, sekaligus tiket kereta bandara. Untuk biaya tambahan, simpan bukti pembayaran untuk di ganti oleh perusahaan.”

“Baik sensei.”

“Oh, kau sudah bertemu dengan Yuichi sensei?”

“Sudah sensei, ini saya sedang bersama Yuichi sensei.”

“Baiklah.” Seo sensei terdiam sejenak, “Aku akan mengirimkan Ujang untuk menjemput dari Sawargi. Nanti kamu berkabar saja dengannya, ya?” 

“Baik sensei.” Tidak lama telepon terputus. 

Aku lalu kembali menuju tas milikku. Haruka terlihat sedang duduk sembari memegang ponsel.

Kriuuuuk …. 

“Kamu mau makan terlebih dahulu?” 

Bagus, perutku berbunyi di saat yang tidak tepat. 

Aku tidak langsung menjawab.

Sreet … Klak! 

“Kamu mau?"

Aku menoleh, Haruka menyodorkan kotak makan berisi kimbab, "Aku tidak tahu apakah ini masih enak, tapi aku membuatnya tadi pagi.” 

Aku memandangi kotak makan itu sejenak. Aku menyerah, tanganku mengambil kimbab itu dan menyuapkan ke dalam mulut.

Aku terdiam sejenak ketika merasakan gigitan pertama kimbab itu. Aku buru-buru menutup mulutku, sudah lama ketika terakhir kali aku merasakan masakan Haruka. 

“Kamu tidak suka?” 

Aku tidak langsung menjawab. Kimbab buatan Haruka adalah favoritku. Memakan kembali makanannya setelah sekian lama tanpa terduga membuatku … 

Sudah cukup Fay … jangan menangis lagi … 

“Fay?” 

Aku buru-buru menggeleng dan bangkit, “Ayo kita mencari makan.” 

Langkahku tertahan karena Haruka memegang tasku. Aku menoleh, syukurlah aku hanya bisa melihat pundaknya.

“Kamu masih marah kepadaku?”

Aku terdiam sejenak, “Aku lelah. Terlunta-lunta karena menunggumu membuatku lelah, dan kita tidak punya banyak waktu, Haru.”

Hanya ada suara angin di antara kami berdua.

“Maafkan aku Fay.”

“Apa kamu akan melakukan hal yang sama kalau orang itu bukan yang kamu kenal?” Tanyaku dengan nada datar. 

“Aku akan melakukan hal yang sama.”

Aku terdiam, tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di benakku.

Apakah kau akan marah seperti ini jika orang yang jemput bukan Haruka?

Aku seperti tersentak atas pertanyaan itu. Baru saja hendak menolehkan kepala.

“Apa yang bisa aku lakukan Fay?”

Aku tidak menjawab hanya menggeleng. Tiba-tiba terdengar suara pemberitahuan dari ponsel. Aku segera membukanya, rupanya tiket dari Seo sensei. Masih ada empat jam lagi sebelum jadwal keberangkatan bandara. Aku mengerutkan dahi ketika Seo sensei mengirimkan pesan lain. 

Habiskan waktu dengan baik dengan Haruka. Dia dari tadi memaksaku agar tidak terlalu membuatmu bekerja keras. Kalian sudah lama tidak bertemu, bukan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status