Share

Bab 4

Aku memandangi ponselku dengan cemas, kenapa Kang Ujang susah sekali dihubungi? Seo sensei juga sama saja. 

"Fay?"

Aku tersadar dan menoleh, "Kenapa?"

"Kamu kenapa?" Aku terdiam sejenak dan menggeleng. "Kamu terlihat gelisah dari tadi."

"Aku tidak apa-apa."

"Fay ... tatap aku ... "

Aku menatap Haruka yang duduk di depanku. Kami memang tengah menunggu di sebuah kafe di bandara. 

"Katakan ada apa denganmu? Kamu dari tadi terlihat gelisah."

Aku menghela napas, "Aku tidak bisa menghubungi orang yang akan menjemput kita."

"Lalu?"

"Aku belum mendapat kontak sensei yang harus aku jemput, kalau itu aku masih bisa pakai papan. tapi kalau soal mobil ... "

"Ada alternatif lain?"

"Ada bus bandara menuju Sawargi ... "

"Oke, berarti kamu tidak perlu memusingkan hal itu."

Aku tidak menanggapi perkataan itu lebih lanjut dan memilih memandangi kertas bertuliskan "Kawata Mi", nama sensei yang akan aku jemput. Kira-kira masih ada setengah jam lagi sebelum jadwal kedatangannya tiba.

Kami akhirnya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Haruka dengan pekerjaannya, aku dengan kecemasanku mengenai kepastian penjemputan kami dari bandara. Namun, tanpa sadar tubuhku menyerah kepada rasa kantuk yang menyerang.

 

===

Mataku mengerjap dengan pelan sedangkan tubuhku belum ingin untuk di gerakkan. Aku menghela napas lebar untuk mengumpulkan energi agar aku bangkit. Kepalaku sebenarnya terasa pusing. Pundak serta leherku terasa pegal. 

Tunggu ... 

Seketika aku bangkit dengan agak terhuyung - huyung. Aku berusaha keras agar melihat pemandangan sekitar dengan jelas. Aku mengedarkan pandang dengan mata menyipit dan dengan masih keadaan lemas aku mengambil ponsel dan melihat waktu. 

Ya ampun! 

Mendadak aku ingin menangis, air mataku sudah sampai di ujung mata dan kepalaku terasa berat. 

"Halo ... " 

Aku buru-buru berjalan meninggalkan meja menuju kamar mandi lalu menumpahkan semua yang kurasakan di dalam kamar mandi. 

Hiks ... Hiks ... 

Aku buru-buru mengusap mata dan membuang ingus. Aku tidak punya banyak waktu, dan semua akan menjadi kacau.

Aku berjalan kembali menuju meja dengan gontai ketika menyadari sesuatu. 

Seorang wanita duduk di kursi antara aku dan Haruka. 

Aku sebenarnya menyadari ketika hendak menangis, ada seseorang yang mengatakan sesuatu. Sayangnya emosi telah merenggut kesadaranku saat itu. 

Haru menatapku, “Fay? Kamu tidak apa-apa?”

Aku memandangi perempuan itu dengan ragu ketika perempuan di kursi itu menoleh. Dia rupanya seorang wanita setengah baya, mungkin dua puluh tahun lebih tua dariku. 

Deg! 

Tunggu ... jangan - jangan ... 

"Kawata sensei?"

Perempuan itu menoleh dan berdiri, "Halo Faihah, senang bertemu denganmu. Aku Kawata Mi." 

Aku seketika membungkuk dengan cepat, "Kawata sensei, maafkan saya! Saya tidak ... !" 

Kawata sensei buru-buru memegang pundakku, "Tidak apa-apa, aku sempat tertunda setengah jam karena pesawat mendarat cukup lama. Haruka yang membawaku ke sini. Aku juga lelah karena perjalanan yang panjang, kamu tahu? Jadi aku butuh secangkir kopi." 

Aku memandang Haruka sedangkan Kawata sensei kembali ke kursinya. Aku lalu mengecek kalau-kalau ada pesan dari Kang Ujang atau Seo sensei.

Nihil. 

Tadi pengurus penginapan, Pak Nanang, sudah bertanya kapan aku akan berangkat ke Sawargi. Makanya aku agak kalut sekarang. 

"Kamu mau kemana lagi?" Haruka sepertinya melihat gelagat ku yang akan keluar kafe. 

Aku menoleh, "Aku mau mengecek jadwal bus bandara menuju Sawargi ... " 

Haruka tiba-tiba bangkit dan menghampiriku, "Ayo". 

"Memangnya kamu tahu di mana halte bus berhenti?" tanyaku saat kami berdua berada di depan kafe. 

Haruka tidak menjawab, hal itu membuatku kembali melongok kanan - kiri dengan gelisah. 

"Faihah!

Aku tersentak mendengar nada suara yang tinggi itu. Seketika badanku bergetar hebat sehingga nyaris terhuyung, namun kembali tegak ketika Haruka hendak memegangiku.

Akibatnya mukaku dan muka Haruka benar - benar sejajar walaupun aku tidak berani menatap matanya. Benar saja, air mata mengalir di wajahku.

Haruka tidak bereaksi apapun, dia sepertinya hanya menunggu air mataku mengalir bahkan ketika aku mulai tersengal - sengal.

"Kamu bisa bernapas? Tatap aku sambil bernapas." Tidak lama Haruka mulai bernapas dengan teratur.

Seperti menyadari sesuatu, aku mulai melakukan apa yang dilakukan oleh Haruka. Aku mulai mengambil dan membuang napas secara perlahan. Tidak lama, aku merasa tenang.

Haruka tidak langsung berkata apapun, matanya seperti benar-benar memastikan aku sudah tenang atau belum. Napasku perlahan mulai teratur.

"Sudah tenang?" Aku perlahan mengangguk.

Haruka masih menatapku beberapa saat, sepertinya dia benar-benar ingin memastikan aku baik - baik saja. Dia lalu menoleh ke arah lain seperti mencari sesuatu.

"Ayo kita ke kursi sebelah sana."

Aku lalu mengikuti Haruka dan duduk di salah satu kursi. Haruka duduk di sebelahku.

"Kamu tidak usah menatap mataku, tapi tatap aku." Alhasil aku menatap kaos yang dia gunakan.

"Apa yang membebanimu sekarang?"

Aku tidak langsung menjawab hanya menatap depan dengan tatapan kosong. Menyadari Haruka masih menunggu, aku mulai menjawab dengan susah payah.

"Aku ... mobil jemputannya belum tiba ... tidak ada yang bisa kuhubungi ... aku tidak bisa memastikan kapan akan sampai, aku ... aku tidak tenang kalau sampai kamu dan Kawata sensei tidak bisa ke Sawargi sesuai waktunya ..."

Kemudian aku terdiam. 

"Bernapas dengan perlahan Fay." Aku lalu mengikuti arahan Haruka. 

"Kamu sudah mengatakan semuanya?" Aku mengangguk pelan.

"Fay?"

"Su .. dah ..."

"Kamu masih merasa lelah?"

"Masih."

"Sekarang bagaimana? Sudah merasa lebih baik?"

"Sedikit."

"Kalau aku mengatakan kalau aku dan Kawata sensei tidak masalah sampai telat di Sawargi apakah kamu akan merasa tenang?"

Aku terdiam sejenak dan menggeleng pelan, "Aku tidak tahu."

"Fay, lihat aku." Aku mengembalikan pandanganku dengan agak gemetar,  "Apa kamu masih takut kepadaku sampai kamu tidak mau menyampaikan apa yang kamu rasakan?"

Aku hanya menggeleng, "Tidak, Haru."

"Kalau begitu, bisakah kamu terbuka kepadaku? Aku tahu kita memang sudah lama tidak bertemu, tapi kita bukan orang asing. Aku tidak ingin membuatmu merasa takut denganku atau Kawata sensei. Aku ingin kamu bekerja dengan nyaman dengan kami berdua."

" Fay, kamu ingatkan apa yang aku katakan kepadamu ... aku tidak ingin menjadi orang yang menakutkan seperti yang kamu pikirkan?"

Fay

Aku jujur tidak yakin apakah teknik yang dilakukan oleh Haruka untuk Faihah sudah sesuai atau belum. Sulit sekali membuat kalimat yang bersifat menenangkan seseorang yang mudah panikan. Aku sendiri adalah orang yang panikan, dan sampai sekarang belum ada seseorang yang bisa membantuku mengelola rasa panik itu.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status