Aku memandangi ponselku dengan cemas, kenapa Kang Ujang susah sekali dihubungi? Seo sensei juga sama saja.
"Fay?"Aku tersadar dan menoleh, "Kenapa?""Kamu kenapa?" Aku terdiam sejenak dan menggeleng. "Kamu terlihat gelisah dari tadi.""Aku tidak apa-apa.""Fay ... tatap aku ... "Aku menatap Haruka yang duduk di depanku. Kami memang tengah menunggu di sebuah kafe di bandara. "Katakan ada apa denganmu? Kamu dari tadi terlihat gelisah."Aku menghela napas, "Aku tidak bisa menghubungi orang yang akan menjemput kita.""Lalu?""Aku belum mendapat kontak sensei yang harus aku jemput, kalau itu aku masih bisa pakai papan. tapi kalau soal mobil ... ""Ada alternatif lain?""Ada bus bandara menuju Sawargi ... ""Oke, berarti kamu tidak perlu memusingkan hal itu."Aku tidak menanggapi perkataan itu lebih lanjut dan memilih memandangi kertas bertuliskan "Kawata Mi", nama sensei yang akan aku jemput. Kira-kira masih ada setengah jam lagi sebelum jadwal kedatangannya tiba.Kami akhirnya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Haruka dengan pekerjaannya, aku dengan kecemasanku mengenai kepastian penjemputan kami dari bandara. Namun, tanpa sadar tubuhku menyerah kepada rasa kantuk yang menyerang. ===Mataku mengerjap dengan pelan sedangkan tubuhku belum ingin untuk di gerakkan. Aku menghela napas lebar untuk mengumpulkan energi agar aku bangkit. Kepalaku sebenarnya terasa pusing. Pundak serta leherku terasa pegal.
Tunggu ...
Seketika aku bangkit dengan agak terhuyung - huyung. Aku berusaha keras agar melihat pemandangan sekitar dengan jelas. Aku mengedarkan pandang dengan mata menyipit dan dengan masih keadaan lemas aku mengambil ponsel dan melihat waktu.
Ya ampun!
Mendadak aku ingin menangis, air mataku sudah sampai di ujung mata dan kepalaku terasa berat.
"Halo ... "Aku buru-buru berjalan meninggalkan meja menuju kamar mandi lalu menumpahkan semua yang kurasakan di dalam kamar mandi.
Hiks ... Hiks ...
Aku buru-buru mengusap mata dan membuang ingus. Aku tidak punya banyak waktu, dan semua akan menjadi kacau.
Aku berjalan kembali menuju meja dengan gontai ketika menyadari sesuatu. Seorang wanita duduk di kursi antara aku dan Haruka. Aku sebenarnya menyadari ketika hendak menangis, ada seseorang yang mengatakan sesuatu. Sayangnya emosi telah merenggut kesadaranku saat itu.Haru menatapku, “Fay? Kamu tidak apa-apa?”
Aku memandangi perempuan itu dengan ragu ketika perempuan di kursi itu menoleh. Dia rupanya seorang wanita setengah baya, mungkin dua puluh tahun lebih tua dariku.Deg!
Tunggu ... jangan - jangan ...
"Kawata sensei?"
Perempuan itu menoleh dan berdiri, "Halo Faihah, senang bertemu denganmu. Aku Kawata Mi."
Aku seketika membungkuk dengan cepat, "Kawata sensei, maafkan saya! Saya tidak ... !"
Kawata sensei buru-buru memegang pundakku, "Tidak apa-apa, aku sempat tertunda setengah jam karena pesawat mendarat cukup lama. Haruka yang membawaku ke sini. Aku juga lelah karena perjalanan yang panjang, kamu tahu? Jadi aku butuh secangkir kopi."
Aku memandang Haruka sedangkan Kawata sensei kembali ke kursinya. Aku lalu mengecek kalau-kalau ada pesan dari Kang Ujang atau Seo sensei.
Nihil.
Tadi pengurus penginapan, Pak Nanang, sudah bertanya kapan aku akan berangkat ke Sawargi. Makanya aku agak kalut sekarang.
"Kamu mau kemana lagi?" Haruka sepertinya melihat gelagat ku yang akan keluar kafe.
Aku menoleh, "Aku mau mengecek jadwal bus bandara menuju Sawargi ... "
Haruka tiba-tiba bangkit dan menghampiriku, "Ayo".
"Memangnya kamu tahu di mana halte bus berhenti?" tanyaku saat kami berdua berada di depan kafe.
Haruka tidak menjawab, hal itu membuatku kembali melongok kanan - kiri dengan gelisah.
"Faihah!
Aku tersentak mendengar nada suara yang tinggi itu. Seketika badanku bergetar hebat sehingga nyaris terhuyung, namun kembali tegak ketika Haruka hendak memegangiku.
Akibatnya mukaku dan muka Haruka benar - benar sejajar walaupun aku tidak berani menatap matanya. Benar saja, air mata mengalir di wajahku.
Haruka tidak bereaksi apapun, dia sepertinya hanya menunggu air mataku mengalir bahkan ketika aku mulai tersengal - sengal.
"Kamu bisa bernapas? Tatap aku sambil bernapas." Tidak lama Haruka mulai bernapas dengan teratur.
Seperti menyadari sesuatu, aku mulai melakukan apa yang dilakukan oleh Haruka. Aku mulai mengambil dan membuang napas secara perlahan. Tidak lama, aku merasa tenang.
Haruka tidak langsung berkata apapun, matanya seperti benar-benar memastikan aku sudah tenang atau belum. Napasku perlahan mulai teratur.
"Sudah tenang?" Aku perlahan mengangguk.
Haruka masih menatapku beberapa saat, sepertinya dia benar-benar ingin memastikan aku baik - baik saja. Dia lalu menoleh ke arah lain seperti mencari sesuatu.
"Ayo kita ke kursi sebelah sana."
Aku lalu mengikuti Haruka dan duduk di salah satu kursi. Haruka duduk di sebelahku.
"Kamu tidak usah menatap mataku, tapi tatap aku." Alhasil aku menatap kaos yang dia gunakan.
"Apa yang membebanimu sekarang?"
Aku tidak langsung menjawab hanya menatap depan dengan tatapan kosong. Menyadari Haruka masih menunggu, aku mulai menjawab dengan susah payah.
"Aku ... mobil jemputannya belum tiba ... tidak ada yang bisa kuhubungi ... aku tidak bisa memastikan kapan akan sampai, aku ... aku tidak tenang kalau sampai kamu dan Kawata sensei tidak bisa ke Sawargi sesuai waktunya ..."
Kemudian aku terdiam.
"Bernapas dengan perlahan Fay." Aku lalu mengikuti arahan Haruka.
"Kamu sudah mengatakan semuanya?" Aku mengangguk pelan.
"Fay?"
"Su .. dah ..."
"Kamu masih merasa lelah?"
"Masih."
"Sekarang bagaimana? Sudah merasa lebih baik?"
"Sedikit."
"Kalau aku mengatakan kalau aku dan Kawata sensei tidak masalah sampai telat di Sawargi apakah kamu akan merasa tenang?"
Aku terdiam sejenak dan menggeleng pelan, "Aku tidak tahu."
"Fay, lihat aku." Aku mengembalikan pandanganku dengan agak gemetar, "Apa kamu masih takut kepadaku sampai kamu tidak mau menyampaikan apa yang kamu rasakan?"
Aku hanya menggeleng, "Tidak, Haru."
"Kalau begitu, bisakah kamu terbuka kepadaku? Aku tahu kita memang sudah lama tidak bertemu, tapi kita bukan orang asing. Aku tidak ingin membuatmu merasa takut denganku atau Kawata sensei. Aku ingin kamu bekerja dengan nyaman dengan kami berdua."
" Fay, kamu ingatkan apa yang aku katakan kepadamu ... aku tidak ingin menjadi orang yang menakutkan seperti yang kamu pikirkan?"
Aku jujur tidak yakin apakah teknik yang dilakukan oleh Haruka untuk Faihah sudah sesuai atau belum. Sulit sekali membuat kalimat yang bersifat menenangkan seseorang yang mudah panikan. Aku sendiri adalah orang yang panikan, dan sampai sekarang belum ada seseorang yang bisa membantuku mengelola rasa panik itu.
"Teteh, ada yang ingin ibu bicarakan ke kamu."Badanku mendadak merinding mendengar perkataan ibuku. Sore ini aku memang mampir ke rumah ibuku sebelum kembali ke rumah kosan. Aku menyebutnya rumah kosan karena itu adalah rumah keluargaku yang dijadikan kosan.Aku yang duduk di kursi meja makan hanya memandang ibu, "Kenapa Bu?"Ibu yang baru saja pulang dari sekolah menghempaskan badan di kursi depanku. "Tadi pengacara keluarga Shireen ke kelas ibu."Deg! Kini aku tahu kemana pembicaraan ini mengarah. "Sebelumnya maafin ibu Teh, ibu gak tahu kalau kamu juga korban di kampus itu ... maafin ibu Teh."Aku paling benci momen seperti ini, karena otomatis ada air mata yang akan keluar. Mendadak aku bangkit dan membawa tas ku keluar dari rumah. "Teteh, mau kemana??"Aku tidak menjawab, hanya memundurkan motor dengan kasar. Tiba-tiba aku kehilangan kendali. Brak!Motor ku terjatuh begitu saja. Aku hanya memandangi motorku dengan tatapan kosong. Aku lalu jongkok dan meletakkan kepala di ba
“Teteh, kata Yuanita kamu lagi dekat dengan yang dulu mengajar Mumtaz di sekolah?” Aku yang tengah menggulir sosial media dalam ponsel menoleh, “Gurunya Mumtaz peserta pelatihan, Bu.” “Kang Rian lebih muda dibanding Teteh tahu bu.” Mumtaz tiba-tiba menyela. “Ya teruuus,” alih-alih malah aku yang menyahut. “Teteh pacaran sama Pak Rian?” “Teteh hanya kenal biasa. Gak usah ngadi-ngadi (mengada-ada) deh.” Malam itu aku sedang menginap di rumah ibuku. Mumtaz sedang memijat pundak ibu. “Tapi Kang Rian orangnya baik kan Taz? Ibadahnya bagus?” “Baik sih Bu, salatnya gak pernah ketinggalan sih … kayaknya mah …” “Kalau kamu sama dia, ibu dukung aja sih Teh ...” Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di balik perkataan ibuku. “Ibu sudah pasrahkan segalanya kepada Allah, kamu juga sudah dewasa hampir 30 tahun, ibu juga serahkan apapun pilihan jodohmu. Tapi ibu harap setidaknya jodohmu harus yang satu iman.” Aku lagi-lagi tidak menjawab. “Apa kamu masih belum bisa memaafka
Pagi ini aku mengantar adikku yang sedang pulang kampung dari kampusnya ke pameran kampus yang diadakan di SMA tempat aku belajar dulu. “Teh Faihah?”Aku seketika menoleh dan menyipit melihat seseorang yang rasanya tidak asing.“Oh A Rian?”A Rian menghampiriku dengan motornya, “Habis antar Mumtaz Teh?”Aku mengangguk, “Iya, A Rian?”“Habis antar ponakan Teh, dia katanya mau lihat-lihat kampus.”Aku mengangguk-angguk. Tiba-tiba sesuatu melintas dalam benakku, tapi aku ragu untuk mengatakannya.“Teh Faihah mau langsung balik?”Aku menggeleng, “A, mau lihat-lihat dalam juga gak? Saya penasaran soalnya mau lihat sekarang pamerannya seperti apa.”“Oh boleh. Parkir di luar aja Teh, di dalam sekolah biasanya susah buat keluar.”“Oke A.”Suasana sekolah ramai dengan anak-anak menggunakan baju bebas dan membawa tas. Di bagian lapangan terdapat beberapa kedai makanan sementara yang padat oleh pengunjung. Aku memandangi kelas-kelas yang ditempel oleh label kampus. “Teh Faihah pernah ke sini
“Miss Ningsih!” Aku sontak menoleh mendengar suara yang tidak asing.Hari ini sekolah tempat ibuku mengajar mengadakan sebuah open house untuk semua unit sekolah dari TK sampai SMA. Aku sedang membantu temanku semasa SMA menjaga stand makanan di open house tersebut. “Ooh, Kak Yuanita. Gak bareng sama Kak Sherin?”Aku nyaris saja mengumpat dan buru-buru duduk di belakang Tari, temanku sekaligus pemilik stand makanan, agar tidak terlihat. Padahal jelas-jelas dia lebih pendek dariku.Tari seketika menoleh, “Lu ngapain deh?” Aku tidak langsung menjawab. “Teteh? Faihah?”“Tuh, Mak lu manggil!”“Ini gue berkata kasar bisa gak sih.”Mau tidak mau aku bangkit dan keluar dari stand lalu menghampiri kedua orang itu.“Teh Faihah?”Aku tidak tahu harus menyapa seperti apa, syukurlah ibuku menyelanya.“Kamu kenal sama Yuanita, Teh?”“Iya Miss, aku sama Teh Faihah lagi bareng satu proyek.”“Oh, yang program pengajar bahasa Jepang itu?”“Iya Miss.”“Ya sudah kak, Miss tinggal dulu ya. Nanti kalau k
“Menurutmu bagaimana performa mengajar Pak Nandang?”Tanganku memegang kemudi dengan erat karena berpapasan dengan truk yang lumayan besar, membuatku tidak bisa langsung menjawab pertanyaan Kawata sensei. “Jika saya berada di posisi sebagai murid, penyampaiannya sudah cukup baik, sensei.”"Ah begitu." Suasana hening sejenak. "Aku dengar Nandang-san termasuk populer. Semua orang membicarakan tentangnya.""Saya tidak begitu tahu, Sensei. Namun, dari berkasnya saya rasa bukan orang yang main-main. Hanya beliau yang punya sertifikat JLPT N2, Sensei.""Benarkah? Tidak heran dia bisa masuk kelas Haruka. Dia awalnya akan dimasukkan ke dalam kelasku, tapi karena kemampuan bahasa Jepang dia sudah tinggi, kami putuskan dia akan masuk ke kelas Haruka."Aku berusaha keras mendengarkan perkataan Kawata sensei sembari menyetir. Ini bukan jalanan yang biasa aku lewati, dan banyak sawah di pinggir jalan kanan dan kiri. "Tapi sensei akan mempertimbangkan hasil wawancara dia tadi?""Hmmm ... aku belu
“Bu Faihah?”Lamunanku buyar. Padahal aku berharap yang memanggilku janitor, rupanya tidak sesuai harapan. Aku kembali menatap para guru di depanku.“Untuk apa yang terjadi di masa lalu itu adalah urusan Yuichi sensei.” Akhirnya aku mulai angkat bicara, “Yuichi sensei tidak akan menjadi pengajar jika tidak berkompeten, baik itu dari kinerja atau dari cara dia dalam mengelola emosi. Perusahaan cukup ketat dalam menyeleksi, apalagi ini menyangkut nama baik perusahaan juga.”Aku terdiam, bingung ingin melanjutkan dengan apa. “Mengenai keterangan Kang Ujang, memang benar saya mengenal Yuichi sensei sebelum proyek ini berlangsung. Yuichi sensei sebenarnya tidak semenakutkan yang ibu atau bapak pikirkan.” Tiba-tiba aku menatap Pak Peter, “Seperti Pak Peter lah, kelihatannya garang padahal hatinya hello kitty.”Pak Peter tiba-tiba tersipu dan menatap ke arah Pak Salim, “Pak Haji! Benarkan kata Teh Faihah, Saya itu badannya saja yang sangar, aslinya saya nih …” tangan Pak Peter mendadak berge