"Bert, apakah kamu punya waktu sebentar. Ada yang ingin kusampaikan," ujar Jovita kepada Albert setelah rapat rutin koordinasi setiap hari Senin usai. Ini adalah hari pertamanya kembali bekerja sepulang dari Melbourne yang dilanjutkan dengan izin sakit selama seminggu. Jovita memutuskan untuk memberi tahu kepada Albert mengenai kondisi rumah tangga yang sedang dihadapinya kepada partner sekaligus atasannya itu sebagai antisipasi dampak terhadap pekerjaan.
"Tentu. Tentang apa, Jo?" tanya Albert merapikan dokumen di hadapannya.
"Masalah pribadi sih, Bert," sahut Jovita lirih. Ia tidak mau masalah ini diketahui banyak orang.
Albert menatap Jovita. Wajah rekannya ini terlihat serius. "Bagaimana kalau kita membahasnya sambil makan siang di luar. Sekalian aku mau cari kado untuk Karen. Mungkin kamu bisa membantuku. Seleramu kan berk
Jovita mengembuskan napas lega begitu melihat Davina tergopoh-gopoh memasuki Saphire PremiAir Executive Lounge di bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta, ruang tunggu khusus bagi penumpang pesawat jet pribadi. "Maaf, Kak, banyak kerjaan dan jalanan Jumat sore macetnya kebangetan," ujar Davina terengah-engah. "Tidak apa-apa. Aku yang minta maaf karena membuatmu terpaksa menemaniku," sahut Jovita sambil menyodorkan sebotol air mineral bagi adiknya. "Vanya merengek setiap hari, Mami juga merayu untuk pergi bersama, jadi aku terpaksa mengabulkan. Untung kamu bersedia ikut." "Lumayanlah akhir pekan di Bali daripada sendirian di rumah," sahut Davina. Ia lalu menenggak minuman pemberian kakaknya. "Damian tugas ke luar kota?" tanya Jovita. Ia mengajak Davina memasuki ruang tunggu yang
Begitu memasuki kamar, Ezra melihat Jovita duduk di bangku meja rias dengan penuh ketegangan. Ia melemparkan senyum penuh kemenangan. Jovita mendengkus melihat senyum Ezra yang seolah menghina ketidakberdayaannya. "Mommy, sini tidur," ajak Vanya sambil merebahkan badan di tengah-tengah ranjang. Ia meminta ayahnya tidur di sebelah kanannya. Jovita bergeming. "Mommy ...," panggil Vanya, "sini." Ia menepuk bantal di sisi kirinya, meminta ibunya untuk segera tidur. Jovita masih tidak bergerak. Ia masih tidak sudi tidur seranjang dengan Ezra meski ada Vanya di antara mereka. "Jangan egoistis. Singkirkan dulu gengsi demi anak," sindir Ezra seraya memeluk anak
Jovita membuang muka sambil mengembuskan napas sarat kekesalan melihat wajah Claude yang sedang tersenyum jahil padanya. Bagaimana mungkin ia bisa bertemu kembali dengan pria menjengkelkan ini. Pria berambut pirang bergelombang itu meletakkan papan seluncur yang ditentengnya, lalu duduk di samping Jovita. "Ow ya goin?" Jovita tak mau menjawab. Davina diliputi kebingungan, sangat jarang melihat kakaknya bersikap tidak ramah terhadap orang. Ia mengamati pria berlogat Australia yang hanya mengenakan board short, celana pendek yang biasa digunakan untuk berselancar. "Ini benar-benar kebetulan yang indah," ujar Claude menyeringai. Jovita bangkit dari duduknya, menarik tangan Davina hendak mengaj
Setelah matahari terbenam, lampu-lampu di area outdoor mulai menyala dengan iringan house music, menghadirkan suasana hangout ala Ibiza. Ibiza adalah sebuah kota yang dikenal sebagai destinasi favorit untuk para penikmat pesta yang terletak di Pulau Ibiza, Spanyol. Rombongan Jovita pun berpindah ke dalam restoran dengan pintu-pintu kaca yang sengaja dibuka lebar sehingga memberi akses langsung pada area Hedonism Lounge. "Aku ke toilet sebentar, Dav. Tolong awasi Vanya," ucap Jovita. Davina mengangguk. Saat Jovita memasuki toilet, terlihat Kiara sedang meringis di depan wastafel sambil memegangi sikunya. "Kenapa, Kia?" "Tadi terpeleset di tangga
Sebuah selebrasi sederhana untuk mengapresiasi kerja keras karyawan, menghargai segala bentuk kontribusi bagi kemajuan perusahaan, dan sekaligus memperkuat keterikatan antara karyawan dengan organisasi menjadi acara rutin yang diselenggarakan oleh manajemen Starrific untuk menutup tahun dalam balutan kebersamaan. Kegiatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan optimisme menghadapi tantangan tahun mendatang. Ekspresi kegembiraan terpancar dari wajah semua orang yang hadir menyaksikan paparan pencapaian kinerja tahun ini. "Jo, kamu sehat, kan?" tanya Rania saat acara pertemuan usai. Sejak tadi ia memerhatikan wajah Jovita yang tidak sesegar biasanya. "Kupikir cuma perasaanku saja, bahkan sejak beberapa hari terakhir ini kamu terlihat tidak fit," timpal Monica. Perhatian Rania dan Monica membuat Jovita terharu. Ia menoleh ke arah
Jovita sedang mengambil susu pasteurisasi dari lemari pendingin dan hendak meletakkan ke dalam troli belanja ketika sebuah suara yang tidak asing lagi di telinga menegurnya. "Tumben jam segini sudah pulang." Jovita mendengkus. Tanpa perlu melihat, dia sudah tahu siapa empunya suara. "Kamu juga tumben mampir ke supermarket. Supermarket dekat kantorku pula," balasnya ketus. "Itu karena aku memang ingin menemuimu," sahut Ezra. Jovita tetap pada gerakannya mengambil beberapa kotak susu kesukaan Vanya, lalu mendorong troli menyisir deretan makanan beku. "Untuk apa menemuiku? Tidak bisa sampaikan lewat telepon?" "Kamu tidak pernah mau membalas pesan, apalagi mengangkat teleponku. Jadi aku terpaksa menemuimu langsung," jawab Ezra
Suasana tegang sangat terasa di ruang keluarga kediaman Irwan Hengkara malam itu. Sofa berbentuk huruf U berwarna krem dipenuhi oleh beberapa orang yang semua menampilkan air muka penuh ketegangan. Jovita diapit oleh Davina dan ibunya duduk di bagian tengah sofa yang membelakangi jendela kaca besar dengan bingkai kayu jati berpelitur cokelat. Sisi kiri sofa diduduki oleh Bayu dan Arifin, pengacara perceraian Jovita, sedangkan di sisi kanan Damian – suami Davina – dan Irwan duduk berdampingan. Jovita memeluk cushion bermotif Bohemian yang senada dengan permadani Turki yang menghampar di lantai. Berbagai emosi berkecamuk, tidak lagi mampu diidentifikasikannya satu-persatu semenjak Monica memperlihatkan video 'Fifty Shades of Bule Hunter' yang sedang beredar luas di dunia maya. Sebuah video yang berisi foto dan hubungan intim beberapa pasangan perempuan Indonesia dengan pria kaukasia.
Pintu diketuk setelah 5 menit Jovita menangis di ruangan kerjanya. Sosok Rania dan Monica terlihat berdiri di balik pintu kaca sandblast. Keduanya masuk setelah melihat anggukan kepala dari Jovita. Jovita menghapus sisa air mata di pipi, berusaha menahan isak yang tersisa. "Ada apa?" "Jo, apa tidak lebih baik beristirahat di rumah saja? Kamu tidak perlu masuk sampai masalah ini reda dengan sendirinya," usul Rania sambil menarik kursi di hadapan Jovita. "Jangan pikirkan pekerjaan, Jo. Kami bisa mengatasinya. Fokuslah dulu dengan kondisimu, habiskan waktu sesering mungkin bersama Vanya," saran Monica yang duduk di samping Rania. Jovita menarik napas panjang. "Entahlah. Di satu sisi, aku tidak sanggup bertemu dengan orang-orang nyinyir, tapi di sisi lain, aku perlu keg