Terima nasibmu ajalah, Mel… kali aja si Fino lagi cosplay jadi jelangkung yang hadirnya selalu tak dijemput dan pulang tak di antar, wkwkkwk… Yang belum FOLLOW akunku segera FOLLOW dulu yaa
"Kopi atau rotinya nggak cocok sama selera kamu?" tanya Mas Hanif ketika kami berdua duduk bersebelahan di dalam mobilnya.Sore ini aku mengiyakan tawaran Mas Hanif yang berniat mengantarku pulang karena kedua sahabatku yang lain, Anin dan Nathan melanjutkan kencannya dengan pasangan masing-masing. Daripada aku menjadi nyamuk di antara mereka lebih baik aku pulang saja kan? Berteman dengan bantal dan kasur sepanjang malam minggu sepertinya bukan ide buruk untuk dicoba."Eh gimana maksudnya, Mas?"Tak langsung menjawab, Mas Hanif malah tersenyum tipis saat sekilas menoleh padaku. "Kamu jadi lebih pendiam sejak balik dari coffee shop. Saya kira karena rasanya kurang cocok sama selera kamu.""Oh..." aku paham maksudnya. "Bukan karena itu kok, rotinya super duper enak. Kopinya juga," imbuhku sambil mengangkat paper bag berisi roti dan beberapa kue lain yang dibawakan oleh Mas Hanif untukku. Tak hanya untukku sebenarnya, Anin dan Nathan juga mendapat bingkisan serupa. Kata Mas Hanif untuk
“Untungnya hatiku baik-baik saja sejauh ini,” jawabku mencari aman. Padahal kalau mau jujur, aku bisa saja mengatakan hatiku sedang hancur terkoyak karena kenyataan kini Bang Fino sudah menjadi suami dari atasanku di kantor. “Kalau baik-baik saja, kenapa harus berbohong?” “Bohong?” ulangku mengerutkan kening. Bang Fino tertunduk sambil tersenyum miring. “Bohong tentang suami pecemburu kamu. Kamu bohong kan waktu itu? karena yang aku dengar … kamu sendiri saat ini?” Aku memejam sejenak, menggali ingatan saat makan siang beberapa waktu lalu. Ketika teman-temanku tanpa sengaja membahas tentang kesendirianku setelah berpisah dengan Bayu, lalu … terkuaklah semuanya. Nathan sialan! Sambil mengulur waktu aku meraih gelas tinggi yang berisi leci mojito dan menyesapnya pelan. “Ya begitulah,” balasku pelan lantas merebahkan punggung pada sandaran kursi. Bang Fino menatapku tanpa putus. Namun ia juga bungkam seribu bahasa seolah sedang membaca gerak tubuhku dalam pikirannya. “Sejak kapan?”
"Astaga, Bu Boss, butek banget sih, itu muka atau air kobokan basi sih?" goda Nathan begitu aku melewati meja kerjanya."Sialan! gue kepret juga lo ya...""Heh, jangan judes-judes, ntar jodohnya jauh baru tau rasa ya!" sambung Nathan masih punya nyali.Aku mendelik sambil berkacak pinggang di sebelah mejanya. "Kadang gue heran deh sama Windy, kenapa dia bisa ketipu sama cowok mulut ember kayak lo, Nath?"Bukannya tersinggung, Nathan justru tergelak kencang sampai beberapa staff lain menoleh ke arah kami. Aku sontak melempar satu buah stabilo dan tepat mengenai keningnya."Elo serem kalau lagi banyak deadline, Mel. Kacau ya meeting tadi, sampe bikin lo sensitif gini?" Nathan bergidik saat mengambil stabilo yang kulemparkan tadi."Bukan karena deadline atau meeting tadi sih," gumamku lantas menarik kursi di depan meja sahabatku ini."Terus karena apa?" Kali ini wajah Nathan berubah menjadi mimik yang lebih serius.'Karena mantan pacar yang kini jadi suami atasan muncul lagi!' teriak bat
Ternyata benar, bercerita bisa membuat beban pikiran kita berkurang secara drastis. Terbukti dengan entengnya pikiran dan hatiku setelah berkeluh kesah panjang kali lebar dengan Nathan kemarin sore. Meski akhirnya sahabatku itu malah kalap setelah mendengar semua ceritaku, terutama tentang pertemuan-pertemuan kebetulanku dengan Bang Fino. Entah itu saat di area parkir kantor, di coffee shop Mas Hanif atau di apartemen yang kutinggali. Kata Nathan aku harus super duper hati-hati dengan pria beristri yang punya gelagat seperti Bang Fino. "Kalau sampai seorang pria beristri mendadak deketin mantannya lagi, kemungkinan besar perselingkuhan akan terjadi di antara mereka. Hati-hati, Meli." Begitu pesan Nathan sesaat sebelum kami berpisah karena dia melanjutkan sesi makan dan jalan-jalan dengan Windy. Sedangkan aku langsung beranjak pulang karena merasa kekenyangan. Aku hanya tergelak saat mendengar Nathan mewanti-wanti. Ya kali, aku mau dijadikan selingkuhan dari suami boss sendiri, diih .
"Jangan terlalu pede deh, yang ada tuh kantor mendadak damai sejahtera saat lo kemaren cuti, Nin." Terdengar suara Nathan yang kembali menginspeksi kubikel Anin. Dua orang ini kalau sering-sering bertemu bisa hancur dunia. Berisiknya luar biasa."Jadi, gue ketinggalan berita apa?" Aku mendekati meja Anin dan menarik kursi yang biasa aku duduki sebelum masuk ruanganku sendiri. Menghabiskan aku cup kopi di meja orang lain rasanya lebih seru."Nathan tuh, Mel. Kayaknya gak dikasih jatah deh sama Windy, pagi-pagi udah ngedumel aja sama gue," jawab Anin tersungut-sungut saat menutup tutup bekalnya. Gadis ini memang dikenal paling 'rumahan' di antara kami, karena seringnya membawa bekal dari rumah. Entah untuk sarapan atau makan siang."Bilang aja lo sirik karena Dion berani lamar gue kan!?" sambung Anin mengerucutkan bibir sebal ke arah Nathan. Hal yang justru dibalas gelak tawa oleh pria kurus itu."Diiih, ngapain sirik? Windy belum siap aja kali.""Salah sendiri pacaran sama ABG alay," s
Aku sudah memprediksi akan banyak mendapat pertanyaan dari Anin atau Nathan terkait nekatnya Bang Fino pagi ini. Bukan hanya mengirimkan kopi dan makanan ringan untuk seluruh staff, tapi dia juga terang-terangan masuk ke ruanganku pagi tadi. Meski hanya beberapa menit, tetap saja berpotensi akan menimbulkan tanya, terutama bagi kedua sahabatku itu. Namun satu hal yang tak pernah aku prediksi sebelumnya, reaksi Bu Nadia. Sepanjang meeting aku memang tak terlalu fokus sampai-sampai Anin harus menyikut lenganku beberapa kali untuk mengingatkan. Akan tetapi sepertinya bukan karena itu aku dipanggil ke ruangannya siang ini. Ini pasti ada kaitannya dengan ulah suaminya tadi pagi. "Bu Nadia panggil saya?" tanyaku begitu masuk ruang kerja Bu Nadia. Pintunya hanya sedikit tertutup, jadi aku langsung setelah mengetuk pintu. "Duduk dulu, Mel," seru Bu Nadia dengan nada tak biasa. Nada suaranya kali ini terdengar sangat ... tidak ramah. Wajar kalau aku merasa waswas kan? Baru dua bulan lebih a
Aku sengaja mengambil lembur beberapa jam. Menuntaskan tumpukan pekerjaan menjadi satu-satunya pelarian dari beban pikiran seharian ini. Atau bisa juga pekerjaanku yang sudah tuntas ini melancarkan rencana resignku dari Gayatri. Pengalamanku bertahun-tahun bergelung dengan naskah berbahasa Indonesia maupun terjemahan pasti membuatku cepat mencari pekerjaan pengganti. Apalagi ini ibukota, di mana persaingan bisnis bisa saja menguntungkan bagi pencari kerja berpengalaman sepertiku.Tepat pukul tujuh malam, aku memutuskan merapikan barang-barangku dan bersiap pulang. Hingga beberapa menit setelahnya aku sudah ada di parkiran basement, Anin menitipkan mobilnya padaku karena sore tadi mendadak saja ia dijemput Dion. Daripada harus repot memesan taksi online di jam sibuk, aku menyetujui tawaran Anin untuk membawa pulang kendaraannya ke apartment.Akan tetapi, hal yang tak pernah aku duga adalah Bang Fino ternyata sudah ada di parkiran gedung saat aku keluar dari lift. Aku tak mau besar kepa
Kami memilih keluar dari restoran saat memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan. Topiknya terlalu berat jika harus dilanjutkan di bawah tatapan orang asing yang jadi pengunjung restoran. Dan aku kurang nyaman menjadi pusat perhatian. Separuh cerita dari Bang Fino saja sudah berhasil membuatku sesak, apalagi kalau ia menyelesaikan seluruh kisahnya, bisa-bisa aku pingsan di tempat kan? Bang Fino menawarkan apartmen miliknya untuk kami bicara, tapi aku menolak tegas. Berduaan dengan pria yang masih belum bisa aku lupakan di ruangan tertutup bisa membuatku luluh bahkan khilaf, pokoknya jangan sampai itu terjadi. Jadi Bang Fino akhirnya melanjutkan ceritanya di tepian jalan ketika mengantarku pulang. "Kenapa Abang baru cerita?" tanyaku dengan jantung masih berdentam kencang. “Karena kita baru bertemu, Lisa. Sejak kamu datang ke resepsi waktu itu, kamu sengaja menghilangkan jejak kan?" Iya benar! "Kamu sengaja ganti nomor bahkan mengnonaktifkan semua sosial media kamu kan?" Kali ini Ban