Share

Bab 13. Kesempatan Baru

Author: Michaella Kim
last update Last Updated: 2025-11-05 06:15:01

Mobil Jacob berhenti di lobi hotel di mana Sophia menginap selama di New York. Pria tampan itu tampak seakan tak ingin langsung pulang, tetapi dia sadar bahwa keadaan Sophia masih belum sepenuhnya pulih. Wanita itu butuh lebih banyak istirahat. Itu yang membuatnya mengerti.

“Apa kau mau aku antar ke dalam?” tanya Jacob memastikan.

Sophia menggelengkan kepalanya. “Tidak usah, Jacob Biar aku sendiri saja.”

“Kau yakin? Maksudku, aku hanya khawatir kau belum sepenuhnya pulih,” ucap Jacob lembut dengan penuh perhatian. Pandangan pria tampan itu tak lepas dari wajah Sophia yang penuh kehangatan.

Senyum tipis melengkung di bibir Sophia. Lantas, wanita cantik itu menganggukkan kepala dengan pelan. “Terima kasih banyak sudah mengantarku sampai ke hotelku menginap. Kau tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Lagi pula ada keamanan di hotel. Jadi, kalau memang aku kurang sehat, pasti aku akan meminta bantuan keamanan hotel untuk membawaku ke rumah sakit,” ujarnya dengan lembut.

Ya, Sophia tak ingin Jacob melangkah terlalu jauh ke dalam kehidupannya, terlalu dalam hingga bisa melihat dua rahasia paling berharga yang selama ini dia lindungi—Caleb dan Chloe. Kedua anaknya yang masih merahasiakan keberadaan mereka bahkan dari ayah kandung mereka, Lucas.

Sophia masih baru mengenal Jacob. Ada keraguan yang mungkin saja muncul di dalam diri. Itu kenapa dia merasa bahwa belum saatnya Jacob tahu tentang dirinya sudah memiliki anak. Mungki jika memang takdir berkendak Jacob bisa akan tahu. Hal yang pasti adalah tidak sekarang.

Jacob menatap Sophia sejenak, seakan ingin membaca isi hati Sophia lewat bola mata bening wanita itu yang kini sedikit berkabut. Dia menganggukkan kepala perlahan, mencoba memahami meski hatinya berkata lain.

 “Baiklah. Aku menghargai keputusanmu. Tapi, aku ingin kau janji padaku satu hal padaku,” ucap Jacob, dengan nada sungguh-sungguh.

Sophia mengernyitkan kening.  “Apa itu?” tanyanya, penasaran bercampur dengan bingung.

Jacob mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap mata wanita itu dalam-dalam. Ada keheningan sesaat yang menggantung, sebelum akhirnya dia berkata dengan tenang, “Aku mohon hubungi aku jika terjadi sesuatu. Apa pun itu. Jangan mencoba menyelesaikan semuanya sendirian, Sophia.”

Sophia diam sejenak tak menyangka Jacob akan mengatakan demikian padanya. Ada rasa tak enak, khawatir menyusahkan, tetapi melihat ketulusan di wajah Jacob membuat hatinya benar-benar luluh.

Sophia kini mengangguk canggung.  “Terima kasih, Jacob. “

Dengan perlahan, Sophia membuka pintu mobil. Lantas, wanita itu melangkah turun, menarik mantel wol yang membalut tubuhnya agar lebih erat, lalu berjalan menuju pintu masuk hotel.

Jacob tak beranjak dari tempanya. Pria tampan itu terus menatap punggung Sophia yang semakin menjauh. Hatinya ingin menyusul, ingin memaksakan diri ikut sampai ke kamar hanya untuk memastikan semuanya baik-baik saja, tapi dia tahu bahwa Sophia butuh ruang.

Perlahan Jacob mulai melajukan mobilnya, dan Sophia langsung melambaikan tangan. Tepat di kala mobil Jacob mulai lenyap dari pandangannya—wanita itu melangkah menuju kamarnya.

***

Terdengar suara Caleb tertawa kecil, disusul Chloe yang berseru ceria. Anak kembar itu sedang bermain dengan boneka dan mainan kecil yang dibeli kemarin. Suara tawa kembar itu seakan menyambut di kala Sophia memasuki kamar hotel.

“Mommy sudah pulang!” Caleb dan Chloe memeluk Sophia, dan tentu wanita itu membalas pelukan si kembar.

Sophia tersenyum lembut, masalah yang menghamtam pikirannya seakan lenyap di kala mendengar tawa anak-anaknya. “Bagaimana hari kalian?” tanyanya penuh kehangatan.

“Menyenangkan Mommy! Tapi kami rindu Bibi Joana,” kata Caleb mewakili.

“Ya, Mommy. Kami rindu Bibi Joana. Kapan Bibi Joana akan ke sini?” tanya Chloe dengan bibir yang tertekuk.

Sophia membelai pipi bulat anak kembarnya itu. “Bibi Joana masih ada urusan di Paris. Nanti Bibi Joana akan segera menyusul ke sini.”

“Apa akan lama, Mommy?” tanya Caleb lagi.

“No,Honey. Bibi Joana pasti tidak akan mungkin lama. Bibi Joana kan sudah terbiasa di dekat kalian. Jadi, pasti Bibi Joana akan datang,” jawab Sophia lembut.

“Yeay! Aku tidak sabar bermain dengan Bibi Joana,” pekik Caleb dengan raut wajah riang gembira.

“Aku juga tidak sabar bermain dengan Bibi Joana!” pekik Chloe, tak kalah riang.

Sophia tersenyum, melihat kebahagiaan di wajah anak kembarnya. “Caleb, Chloe, tolong kalian bermain di kamar Amy dulu, ya? Mommy ingin istirahat sebentar. Hari ini cukup melelahkan untuk Mommy.”

Caleb dan Chloe mengangguk patuh, mereka langsung keluar kamar sambil memeluk mainan mereka. Pun Amy yang ada di sana segera keluar, mengantar kembar ke kamarnya. Ini adalah salah satu fungsi di mana Sophia menyewa dua kamar—agar ketika dirinya ingin istirahat sejenak, bisa meraskaan ketenangan dan kedamaian.

Sophia meletakan tas dan ponselnya ke atas meja. Pun dia melepaskan mantelnya, meletakan ke lemari. Detik selanjutnya, dia berbaring di ranjang empuk seraya memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya tak lepas memilikirkan Lucas.

Sophia bersyukur kejadian hari ini, dia bisa selamat. Namun, hal yang dia sesali adalah kenapa harus Lucas yang membantunya? Kenapa bukan orang lain? Sungguh, dia tak ingin terus berada di dekat mantan suaminya itu. Akan tetapi, entah kenapa semesta selalu membuatnya berada di dekat Lucas. 

“Rasanya aku ingin sekali kembali ke Paris,” gumam Sophia pelan, tetapi seketika dia mengingat bahwa kariernya di Paris masih belum terlalu bagus. Pun dia bisa dikenal atas bantuan Margareth. Jika saja dia tak dibantu oleh Margareth, entah bagaimana nasibnya. Sebab, selama ini dia selalu bertahan demi anak-anaknya.

***

Keesokan hari. Sophia melangkah keluar dari mobil yang disopiri layanan hotel untuk menemui Margareth di sebuah kafe yang tidak jauh dari hotelnya. Dia melangkah masuk ke dalam sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan SoHo. Kebetulan memang Margareth mengajaknya bertemu, dan karena kondisinya sudah merasa membaik, dia memutuskan menyetujui ajakan Margareth.

 “Margareth,” sapa Sophia sambil berjalan mendekat ke arah Margareth.

 “Bagaimana keadaanmu, Sophia? Apa kau sudah membaik?” tanya Margareth dengan nada ramah, dan penuh perhatian.

Sophia membalas senyuman itu, lalu duduk di hadapan Margareth.  “Ya. Aku baik-baik saja, Margareth. Jangan khawatir.”

Margareth mengangguk pelan, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan sedikit kekhawatiran. Dia lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, berbisik seolah menyampaikan gosip.

“Aku dengar dari Jacob, kau tidak ingin ditemani sampai ke kamarmu. Dia tampak cemas, kau tahu? Dia bilang takut kau pingsan lagi seperti kemarin,” ucap Margareth sambil menyesap kopi di tangannya.

Sophia terdiam sejenak, lalu tersenyum penuh rasa canggung. Wanita cantik itu akhirnya mengalihkan pandangan ke luar jendela, seolah mencari cara untuk menjauh dari topik itu.  “Jacob memang terlalu perhatian.”

 “Bukan hanya perhatian, tapi juga peduli,” kata Margareth cepat, dengan nada yang mengandung pesan tersembunyi. “Tapi aku tidak akan ikut campur urusan hati Tenang saja. Meski jujur aku senang kau dekat dengan Jacob, tapi aku tidak akan memaksa,” lanjutnya dengan senyuman di wajahnya.

Sophia hanya membalas dengan senyum simpul. Lantas dia meraih cangkir cappuccino yang baru diantar pelayan. Dia hanya bisa memberikan senyuman, karena dia takt ahu harus menjawab apa dari ucapan Margareth barusan.

Margareth tampaknya bisa membaca suasana hati Sophia, sehingga dia segera mengubah arah pembicaraan. Dia segera membuka map cokelat yang dibawanya, lalu menyodorkan beberapa dokumen ke hadapan Sophia.

 “Baiklah, kita langsung saja ke topik utama. Aku mengajakmu bertemu, karena membawa kabar bagus. Beberapa brand fashion ternama di New York—termasuk Valdena, Ophelia Noir, dan Bellamonte—ingin bekerja sama denganmu untuk proyek kolaborasi desain dan promosi. Ini akan berlangsung selama tiga hingga empat bulan ke depan,” ucap Margareth dengan nada serius.

Mata Sophia melebar sejenak terkejut akan ucapan Margareth. Tangannya terhenti sebelum menyentuh kertas itu. “B-Brand ternama itu mengajakku untuk kolaborasi?” tanyanya tak percaya. Otaknya mencoba mencerna ini semua, khawatir bahwa apa yang dia dengar adalah salah.

Margareth mengangguk, tanpa sama sekali ragu. “Ya, dan ini peluang besar, Sophia. Aku yakin namamu bisa besar lewat proyek ini.”

Sophia mengalihkan pandangannya ke dokumen di meja. Lantas, dengan gerap sedikit cepat, dia mulai membuka halaman pertama, membaca sekilas poin-poin kerja sama, lalu menutupnya perlahan—dengan raut wajah memancarkan jelas adanya harapan.

“Margareth, ini sangat luar biasa! Aku tidak mungkin menolak. Aku setuju,” jawab Sophia, dengan nada antusias.

Margareth tersenyum. “Good. Keputusan yang tepat. Ah, ya, selama di New York, kau tinggal di hotel, kan?” tanyanya memastikan. 

Sophia mengangguk. “Ya, aku tinggal di hotel, Margareth.”

“Menurutku akan lebih hemat jika kau menyewa apartemen. Bagaimana?” tawar Margareth, memberikan saran.

Sophia terdiam mendengar saran dari Margareth. Tak menampik bahwa apa yang disarankan oleh Margareh ada benarnya. Pun jika menyewa apartemen, akan membuatnya merasakan jauh lebih hemat. Dia tak mungkin lupa akan di mana dirinya harus pandai mengatur keuangan. Kembar sudah semakin besar, membutuhkan banyak biaya.

“Aku akan pikirkan itu, Margareth.”

“Jika kau mau, aku akan meminta team-ku membantumu mencari apartemen yang nyaman.”

“Hmm, nanti aku akan mengabarimu. Sementara ini mungkin aku akan mencari sendiri dulu. Nanti kalau memang aku membutuhkan bantuamu, aku akan bilang padamu. Sekali lagi terima kasih, Margareth.”

Margareth tersenyum. “Sophia, sejak awal aku mengenalmu saat fashion show di Paris, aku sudah tahu kau adalah designer berbakat. Aku yakin, kau bisa memiliki masa depan yang cerah jika kau sabar dalam segala prises. Trust me, tidak ada orang sukses yang instan.”

Sophia membalas senyuman Margareth. “Aku adalah orang yang percaya bahwa kerja keras bercampur dengan kerja cerdas akan menuaikan hasil. Tentang kesabaran, kau tenang saja. Aku selama ini selalu berusaha sabar, dan tidak terburu-buru dalam hidup.”  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 20. Penuh Rahasia

    Matahari mulai muncul di ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang menyelimuti garis langit kota New York. Saat sinar pertama menyentuh permukaan kaca gedung pencakar langit yang menjulang, jalanan mulai berdenyut dengan kehidupan. Udara terasa segar, membawa aroma kopi yang baru diseduh dari kafe di sudut jalan, berpadu dengan wangi manis bunga sakura yang mekar di Central Park.Pelari, mengenakan pakaian berwarna cerah, melintasi jalur setapak, langkah mereka berirama, bergema di tengah kicauan burung yang ceria. Tampak seorang musisi jalanan mengalunkan melodi lembut dengan gitarnya, nada-nada itu melayang di udara seperti bisikan harapan. Pun dari kejauhan, siluet ikonik Patung Liberty berdiri megah, mengingatkan akan ketahanan dan kebebasan.Pagi yang indah di New York, membawa kedamaian jiwa. Sophia duduk di kursi taman bersama dengan Joana. Dia memperhatikan khusus kembar yang bermain dengan anak-anak yang baru dikenal. Ada Amy yang selalu setia menemani kembar.Ya, hari ini

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 19. Tinggal di Apartemen Baru

    “Ingin minum?” tanya Jacob menawarkan wine pada Sophia, tepat di kala wanita itu sudah selesai berdansa. Meski dia tak menyukai di kala MC mengumumkan pertukaran pasangan saat dansa, tetapi dia harus menghargai acara bibinya itu.Sophia berdeham sebentar, berusaha mengatur emosi dalam dirinya. Dia harus tetap tenang, tak ingin sampai Jacob mengetahui bahwa tadi dia sempat berdebat dengan Lucas. Tidak. Dia tidak akan pernah membiarkan siapa pun tahu tentangnya dengan Lucas.“Tidak, Jacob. Aku sedang tidak ingin minum alkohol,” tolak Sophia lembut, pada Jacob.Jacob mengangguk, menanggapi ucapan Sophia.“Hm, Jacob, apa kau keberatan mengantarku kembali ke hotel sekarang? Aku merasa sedang kurang sehat,” ujar Sophia lembut.“Kau sedang kurang sehat? Apa yang kau keluhkan?” Jacob dengan penuh perhatian, menyentuh kening Sophia. Pria tampan itu menunjukkan jelas rasa cemas yang membentang di dalam diri.Sophia tersenyum lembut. “Aku hanya sedikit pusing. Maaf, aku tidak bisa terlalu lama d

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 18. Perlawanan Sophia Carter

    “Sophia? Kenapa wajahmu kesal seperti itu?” tanya Joana di kala melihat Sophia masuk ke dalam kamar. Dia yang sedang berkutat pada iPad-nya langsung meletakan iPad-nya ke atas meja, dan menatap Sophia dnegan tatapan bingung serta terselimuti rasa penasaran yang membentang.Sophia menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth, Joana.”“Kau bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth?” ulang Joana memastikan, dengan raut wajah terkejut.Sophia mengangguk, menanggapi ucapan Joana.Joana terdiam sebentar. “Kau berada di lingkungan kelas atas. Kau berkenalan dengan Margareth Alford yang merupakan designer ternama. Jadi, aku tidak heran kalau kau bertemu dengan ibu Lucas.”Sophia menghela napas dalam. “Ya, menjadi fashion designer adalah impianku. Aku harus menerima segala konsekunsi termasuk kembali bertemu dengan mantan suamiku berseta keluarganya.”Joana menyentuh tangan Sophia. “Tidak banyak yang aku katakan padamu selain kau harus f

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 17. Sifat Tegas Sophia Carter

    Bel pintu apartemen berbunyi nyaring membuat Lucas menghela napasn kasar. Pria tampan itu sejak tadi hanya diam duduk di sofa sembari menatap kosong. Suara ding-dong itu berulang-ulang, semakin membuat kepalanya berdenyut. Dengan napas berat, dia akhirnya bangkit dari sofa dan menyeret kakinya menuju pintu.“Sayang, kau lama sekali membua pintu,” kata Sarah, ibu Lucas, dan langsung masuk ke apartemen putranya itu.Lucas menatap dingin ibunya yang datang ke apartemennya. “Mom tahu dari mana aku ada di sini?” tanyanya dengan nada kesal. Dia sedang malas untuk diganggu, tetapi ibunya malah muncul.“Mommy tadi tanya sekretarismu, dan dia bilang kau kemungkinan di apartemenmu yang ini, Jadi, Mommy langsung datang saja,” jawab Sarah dengan senyuman di wajahnya, tetapi seketika dia menyadari bahwa ada yang tak beres dengan raut wajah putranya. “Sayang? Apa kau sedan gada masalah? Wajahmu sangat kusut sekali,” lanjutnya dengan nada khawatir.Lucas hanya menatap ibunya sekilas, ekspresinya dat

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 16. Tak Bisa Mengendalikan Diri

    Sophia menutup pintu kamar hotel dengan cukup kencang, suara pintu tertutup cukup bergema di lorong hotel—menggema seperti jeritan hatinya sendiri. Lantas, tanpa sempat melepas sepatu atau merapikan dirinya, wanita itu berjalan cepat ke arah tempat tidur.Begitu mencapai ranjang, tubuh Sophoa terjatuh dengan lemas. Kepalanya terbenam ke bantal, dan pelan—bahunya mulai bergetar. Tangis itu, yang sejak tadi hanya bergetar di dada, akhirnya pecah kembali.“Kenapa dia harus datang lagi?” bisik Sophia lirih di sela isakan. “Kenapa dia harus menciumku seperti itu, seolah aku ini adalah miliknya.”Sophia menutup wajahnya dengan kedua tangan, jari-jarinya gemetar. Tubuhnya mengejang, seperti tak mampu lagi menahan tekanan yang menumpuk. Ada rasa marah. Ada rasa dipermalukan. Ada luka lama yang terkoyak tanpa ampun. Lucas—pria yang dulu dia cintai, yang telah menceraikannya, dengan tanpa dosanya menciumnya secara brutal dan panas.Hati Sophia benar-benar hancur, dan remuk. Dia merasa diinjak,

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 15. Ciuman Pakasaan

    Sophia menatap ke cermin, berusaha mengatur napasnya. Sungguh, dia merasa tak nyaman berada di sana. Ingin rasanya dia berlari sekencang mungkin. Namun, di sisi lain, dia ingin fokus pada kariernya. Hanya saja dia membenci lingkungannya yang mengharuskan dirinya kerap bertemu dengan Lucas. Entah, harus sampai kapan dia terus menerus bertemu dengan mantan suaminya itu. Perasaan tak nyaman selalu kerap masuk ke dalam diri, meski dia berusaha selalu mengendalikan dirinya.Sophia membasuh matanya dengan air bersih, lalu dia berbalik dan hendak bermaksud meninggalkan toilet, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ternyata Lucas berdiri di ambang pintu toilet. Ya, dia jelas ingat bahwa dirinya masuk ke dalam toilet wanita. Namun, kenapa bisa Lucas ada di sini? Otaknya benar-benar sekarang menjadi blank.“Lucas, k-kau kenapa di sini?” bisik Sophia, dengan suara yang pelan nyaris tidak terdengar, tapi cukup untuk memotong udara dingin yang memenuhi ruangan kecil itu.Lucas dengan santai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status