ログインWaktu menunjukkan pukul lima sore. Sophia kembali ke hotel. Dia melangkah pelan menyusuri lorong menuju kamarnya, masih dengan map proposal dari Margareth di tangan. Sesampainya di dalam, suasana hangat langsung menyambutnya.
“Yeay, Mommy pulang!” seru Caleb dan Chloe di kala melihat Sophia sudah pulang.
Sophia tersenyum bahagia selalu mendapatkan sambutan dari anak-anaknya. Dia membalas pelukan anak kembarnya itu, dan tatapannya teralih pada Joana yang ada di hadapannya.
“Joana? Kau sudah datang?” tanya Sophia cukup terkejut.
Joana tersenyum. “Kejutan. Urusanku di Paris sudah selesai. Jadi, aku bisa langsung ke sini.”
Sophia mendesah kesal. “Kenapa kau tidak bilang padaku?”
“Well, aku ingin memberikan kejutan,” jawab Joana, dengan senyuman di wajahnya, menunjukkan gigi putihnya.
“Bibi Joana sudah datang.” Caleb dan Chloe kini memeluk erat Joana.
Joana kembali tersenyum, dan memeluk kembar tak kalah erat.
Sophia terdiam sebentar. “Caleb, Chloe, bisa kalian ke kamar Amy dulu? Mommy dan Bibi Joana ingin mengobrol.”
“Apa itu obrolan orang dewasa, Mommy?” tanya Caleb polos, seraya menatap Sophia.
Sophia mengangguk, dan membelai pipi bulat Caleb. “Ya, ini adalah obrolan orang dewasa. Kalian ke kamar Amy dulu, oke?”
“Oke, Mommy!” jawab Caleb dan Chloe patuh, lalu mereka memeluk mainan mereka masing-masing, dan melangkah keluar kamar, menuju kamar pengasuh mereka. Kebetulan tadi memang mereka dijaga dengan Joana, sedangkan pengasuh mereka sedang mandi.
“Apa kau ingin membahas tentang Lucas?” tanya Joana di kala Caleb dan Chloe sudah pergi.
Sophoa menghela napas dalam. “Kenapa kau malah tiba-tiba membahas tentang Lucas?” tanyanya dengan nada kesal.
Joana menarik tangan Sophia, membawa temannya itu untuk duduk di sofa terdekat. “Kau sendiri yang bilang padaku kau bertemu dengan Lucas. Sekarang aku menagih cerita. Kau tahu belakangan ini aku sibuk di Paris, jadi aku belum sempat mendengarkan ceritamu.”
Sophia memijat keningnya. “Seperti yang waktu itu aku ceritakan. Aku memiliki klien yang dikenalkan Margareth. Dia bernama Anna Kendrick. Dan fakta baru membuatku terkejut. Ternyata Anna Kendrick adalah calon istri Lucas. Anna sekarang sedang mencari designer terbaik untuk merancangkan gaun pengantinnya.”
“Dan Anna menyukai hasil rancanganmu. Am I right?” todong Joana, yang membaca situasi.
Sophia menganggguk, menanggapi ucapan Joana.
Joana menghela napas dalam. “Aku pernah mendengar Anna Kendrick. Dia adalah anak dari pengusaha ternama di Amerika. Dan kau sekarang dekat dengan Margareth Alford, jadi lingkunganmu pasti bukan orang sembarangan. Aku sudah menduga kelak kau akan bertemu lagi dengan Lucas. Hanya saja aku cukup terkejut, Lucas akan segera menikah.”
Joana adalah orang berperan penting di hidup Sophia. Dulu, ketika titik terendah Sophia, Joana yang berperan penting membantu. Sophia bisa melanjutkan kuliah di Paris atas bantuan Joana yang meminjamkan sejumlah uang untuk Sophia. Tidak hanya itu saja, tapi Joana juga yang membantu Sophia berkenalan dengan Margareth Alford—yang waktu itu kebetulan hadir di acara fashion show di Paris.
“Lucas akan menikah adalah hal yang normal. Dia tampan dan hebat. Dia juga memiliki segalanya. Jadi, sangat wajar kalau dia menikah lagi,” ucap Sophia pelan.
Joana menyentuh tangan Sophia. “Kau sudah bisa berdamai dengan semua yang ada, kan?” tanyanya pelan.
Sophia mengangguk. “Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah mulai berdamai dengan segala keadaan yang ada. Sekarang, ada hal yang ingin aku ceritakan padamu. Tapi, ini bukan tentang Lucas.”
Joana menatap Sophia serius. “Ada apa? Kau baik-baik saja, kan? Maksudku tidak ada masalah dengan kariermu, kan?”
“Tadi aku baru saja bertemu Margareth.”
“Okey, then?”
“Aku mendapatkan tawaran khusus. Brand besar ingin bekerja sama denganku. Kerja sama ini membutuhkan waktu mungkin tiga atau empat bulan. Tapi, aku rasa kalau tetap berlanjut, akan bisa berpotensi lebih lama lagi. Menurutmu bagaimana? Itu kabar bagus, kan? Jujur, tadi aku terlalu bahagia, jadi aku langsung menerima tawaran itu,” kata Sophia bercerita.
Mata Joana berbinar bahagia mendengar kabar tersebut. “Itu luar biasa, Sophia! Ini adalah kesempatan yang luar biasa.”
Sophia menunduk. Jari-jarinya memainkan ujung map di pangkuannya. Tampak raut wajahnya menunjukkan sedikit muram. “Aku juga bahagia. Aku bahkan sudah menerima tawaran itu. Tapi, jujur sekarang aku memikirkan kembar.”
Joana mengerutkan kening. “Wait, ada apa dengan kembar?”
Sophia menghela napas gelisah. “Aku memiliki rasa khawatir, Joana. Aku khawatir kalau Lucas tahu tentang kembar. Kau jelas tahu selama ini aku berusaha menutupi kembar darinya. Aku juga sudah bilang pada kembar bahwa Lucas ada di surga. Jujur, aku sangat takut.”
Joana langsung menggenggam tangan Sophia, dan menatapnya dengan lekat. “Sophia, dengarkan aku. Jangan biarkan bayangan masa lalu menghalangi langkahmu ke depan. Kau di sini untuk membangun masa depan. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk kembar. Kau tidak perlu takut. Hal-hal yang belum terjadi tidak perlu kau pikirkan dulu. Nanti akan merusak fokusmu. Jadi, sekarang kau harus tetap bisa tenang.”
Sophia terdiam mendengar ucapan Joana. Wanita cantik itu tidak tahu harus merespons seprti apa, karena hatinya masih diliputi oleh rasa bimbang dan ketakutan yang tidak bisa dia hilangkan begitu saja.
“Sophia, ayo jangan sampai rasa takutmu membuatmu terpuruk,” lanjut Joana lembut. “Bukankah menjadi fashion designer adalah impianmu?”
Sophia mengangguk mantap, dan menatap Joana. “Kau benar. Fokusku adalah Caleb dan Chloe. Dan, ya, menjadi fashion designer adalah impianku. Aku telah berjanji akan membangun impianku demi kembar. Terima kasih, Joana. Terima kasih kau selalu membantuku, dan selalu memberikan masukan yang terbaik di saat aku merasakan kebimbangan.”
Joana tersenyum. “Jangan berterima kasih. Aku adalah sahabatmu. Jadi, tindakan yang aku lakukan sudah sewajarnya.”
Sophia juga ikut tersenyum. “Hm, Joana. Apa kau mau menemaniku melihat-lihat apartemen besok? Aku tidak mungkin terus menerus tinggal di hotel. Biaya akan jauh lebih mahal. Aku harus menghemat uang. Kembar sudah besar sekarang.”
Joana tertawa pelan. “Kau selalu memusingkan uang. Padahal aku bisa selalu membantumu. Selama ini aku juga sudah menganggap kembar sebagai anak-anakku.”
“Kau sudah banyak membantuku, Joana.”
“Baiklah, kau ingin mencari apartemen, kan?”
Sophia mengangguk, menanggapi.
“Oke, besok aku akan menemanimu.”
“Thanks, Joana.”
“Kau hari ini terlalu banyak mengucapkan terima kasih, Sophia.”
Dua wanita cantik itu saling melemparkan senyuman, dan kini mereka memutuskan untuk menyusul kembar yang ada di kamar Amy.
***
Berkeliling New York, mencari apartemen adalah hal yang menyenangkan. Tampak Sophoia dan Joana berjalan menelusuri trotoar kota yang sibuk, dengan suara klakson sesekali memecah percakapan ringan mereka. Sophia menoleh ke kanan dan kiri, melihat gedung-gedung tinggi menjulang, jendela-jendela besar yang memantulkan sinar matahari, serta orang-orang yang lalu lalang dalam kesibukan masing-masing. Kota ini besar dan terasa menyimpan banyak kenangan, tetapi dia harus menemukan tempat untuk menancapkan akarnya—meski hanya untuk sementara.
Joana masih memegang brosur salah satu apartemen yang barusan dai dan Sophia kunjungi. Dia mengamati lembaran itu dengan serius, lalu menatap sahabatnya yang kini sedang melamun kecil.
“Apartemen tadi sebenarnya cukup bagus,” ujar Joana dengan pelan, dan lembut. “Pencahayaannya bagus, jendela besar, dan harga sewanya juga tidak terlalu tinggi. Lokasinya juga cukup strategis.”
Sophia hanya mengangguk dengan pelan. Mata wanita cantik itu menerawang jauh, seolah pikirannya terbang ke tempat lain.
“Tapi, aku tidak merasakan apa-apa di sana. Seolah-olah tempat itu bukan untukku. Tidak hangat. Dan tidak menyambut dengan baik,” jawab Sophia memberikan pendapat.
Kalimat itu membuat langkah Joana melambat. Dia menatap sahabatnya dengan campuran iba dan frustrasi. Dia tahu Sophia sedang tidak mencari sekadar apartemen—dia sedang mencari tempat yang bisa membuatnya merasa aman, merasa pulang. Namun, dunia nyata tidak selalu menyediakan keajaiban semudah itu.
“Ini sudah apartemen keempat hari ini yang kita kunjungi, Sophia,” ujar Joana sambil menatap Sophia dalam. “Kau tahu kau harus segera pindah, bukan? Kau sendiri yang bilang tidak mungkin kau terus tinggal di hotel, menyewa kamar dengan tarif semahal itu setiap malam.”
Sophia menggembungkan pipinya, lalu mengembuskan napas keras-keras, menunjukkan raut wajah lelah. “Aku hanya belum menemukan yang tepat. Masih ada dua referensi lagi, Joana. Aku harap salah satunya cocok, dan kita bisa langsung deal hari ini. Aku juga lelah.”
Sophia kini menepuk pelan pundak Joana, mencoba menunjukkan bahwa dia menghargai semua bantuan sahabatnya. Tampak Joana hanya mengangguk kecil, dan menyunggingkan senyum tipis.
Sophia dan Joana baru saja melangkah keluar dari lobi apartemen kelima ketika ponsel Sophia berdering dari dalam tasnya. Dia segera merogohnya, dan layar menampilkan nama yang sangat dikenalnya yaitu Margareth.
“Halo, Margareth?” sapa Sophia dengan lembut.
“Sophia. Apa aku mengganggumu?” suara Margareth terdengar lembut di seberang sana.
“Tidak, Margareth. Aku hanya sedang melihat-lihat apartemen untuk tempat tinggalku sementara selama di New York.” Sophia menjawab dengan nada santai. “Ada apa, Margareth? Katakan saja.”
Ada jeda hening sebelum Margareth menjawab, “Oh, baiklah. Aku ingin kau datang ke butik. Ada sesuatu yang ingin aku bahas denganmu, Sophia. Tidak bisa ditunda. Apa kau bisa?”
Sophia diam sejenak mencoba mencerna. Suara Margareth terlalu serius untuk diabaikan. “Baiklah. Aku akan datang setengah jam lagi.”
Sophia kemudian menutup telepon dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Tatapan wanita itu kemudian beralih pada Joana, yang sudah tahu bahwa sesuatu terjadi hanya dari raut wajahnya.
“Margareth memintaku datang ke butik sekarang,” ucap Sophia pelan.
Joana menatap sahabatnya itu, lalu mengangguk pelan. “Pergilah. Kita bisa lanjut melihat dua apartemen itu nanti setelah urusanmu selesai. Pekerjaanmu harus tetap yang utama.”
Sophia membalas anggukkan itu dengan senyum tipis. “Maafkan aku, Joana. Aku tahu kau pasti lelah.”
“Jangan khawatirkan aku. Kau harus fokus mencari tempat tinggal dan urus semua yang harus kau urus,” ujar Joana sambil merapikan brosur di tangannya.
“Kau tidak apa-apa pulang ke hotel sendiri, kan, Joana?” tanya Sophia memastikan.
“Come on, Sophia. Aku bukan anak kecil. Aku bisa menjaga diriku dengan baik. Kau urus saja pekerjaanmu,” jawab Joana lembut.
Hati Sophia lega, karena memiliki teman seperti Joana. Detik selanjutnya, dia memesan taksi online. Lantas, tak lama kemudian taksi datang. Dia segera masuk ke dalam taksi, dan sang sopir taksi mulai meninggaljan tempat itu. Tampak Joana melambaikan tangannya pada taksi yang kini membawa Sophia.
***
Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk Sophia tiba di butik milik Margareth. Wanita cantik itu itu, membayar taksi, dan kini berdiri di depan butik mewah milik Margareth. Pintu butik terbuka pelan, dan suara lonceng kecil berdenting lembut saat Sophia melangkah masuk. Ruangan itu terasa hangat seperti biasa—aroma mawar dan kain mahal membaur menjadi satu.
Tak lama, tirai dari ruang pribadi butik tersibak, dan muncul sosok Margareth dengan senyum hangat yang sudah sangat dikenalnya. Wanita paruh baya itu selalu tampil anggun, dengan rambut rapi dan bibir merah muda yang memberi kesan ramah.
“Terima kasih sudah datang, Sophia,” ucap Margareth seraya menghampiri dan meraih tangan Sophia dengan lembut.
Sophia membalas senyum itu. “Ada apa, Margereth? Kau bilang ingin membicarakan sesuatu yang penting.”
Margareth menatap wajah Sophia sejenak, lalu menyentuh lengannya penuh perhatian. “Pihak brand besar sangat bersemangat bekerja sama denganmu. Kau benar-benar akan menerima proyek kerja sama ini, kan?”
Sophia mengangguk. “Ya, aku akan menerima proyek kerja sama ini.”
Margareth menghela napas lega. “Aku senang mendengarnya. Mungkin sekarang yang aku bisa minta adalah kau mulai mengumpulkan rancangan-rancangan terbaikmu. Atau kalau kau memiliki waktu dan ide lebih, kau bisa merancang gaun baru.”
“Aku akan mencoba saranmu, Margareth,” jawab Sophia lembut.
Bel butik kembali berdenting. Suara langkah kaki yang mantap menyusul masuk ke dalam ruangan. Detik itu juga, Sophia dan Margareth menoleh hampir bersamaan—seorang wanita anggun masuk, mengenakan mantel putih dengan scarf sutra melilit lehernya. Di sebelahnya, berdiri seorang pria tinggi dengan jas gelap, wajahnya tenang, tampan, dan sangat dikenali oleh Sophia.
Lucas. Pria tampan itu kembali datang bersama dengan Anna.
Dada Sophia mencelos seketika. Pandangannya membeku dalam sepersekian detik. Jantungnya seakan memukul tulang rusuk begitu keras, seolah ingin meneriakkan sesuatu yang bahkan belum bisa didefinisikan. Sungguh, dia malas kembali melihat Lucas apalagi bersama dengan Anna. Ah, sial! Mood-nya menjadi tidak baik. Padahal dia dan Margareth sedang membahas pekerjaan, tapi malah Anna muncul bersama dengan Lucas.
“Anna! Lucas! Kalian datang juga rupanya,” seru Margareth yang langsung memberikan pelukan pada Anna dan Lucas.
Anna tersenyum anggun. “Margareth, bagaimana gaun pengantin yang aku minta kau dan Sophia buat? Jujur, aku benar-benar tidak sabar ingin melihat gaun pengantinku. Aku yakin rancanganmu luar biasa.”
Anna meminta secara khusus Margareth dan Sophia menyiapkan beberapa gaun pengantin. Sebab, wanita cantik itu tidak hanya memakai satu gaun pengantin saja di hari pentingnya. Dia ingin tampil benar-benar sempurna.
“Ada beberapa gaun rancanganku dan Sophia yang bisa kau coba. Mungkin jika memang kau tidak sabar, kau bisa mencoba dulu sample yang ada. Bagaimana?” tawar Margareth hangat.
“Boleh. Aku setuju,” jawab Anna dengan senyuman di wajahnya.
Sophia memaksakan senyum. Entah kenapa, dia merasa ruangan itu menyempit, seolah udara tiba-tiba tertarik keluar. Napasnya tercekat. Sorot mata Lucas tertuju padanya, terlalu lama untuk bisa dianggap kebetulan. Ada kekosongan dan kesedihan yang terselip di balik tatapan tajam itu.
Sophia tak sanggup membalasnya. “Maaf semuanya,” gumamnya memecah keheningan. “Aku permisi ke toilet sebentar.”
Tanpa menunggu jawaban, Sophia menghilang di balik lorong menuju toilet, langkahnya terburu-buru, seperti hendak melarikan diri. Memang itu yang ingin dia lakukan. Dia sudah tahu bahwa pasti Anna tak sabar akan menikah dengan Lucas, tetapi melihat reaksi Anna yang terlalu antusias, membuat Sophia benar-benar tak nyaman.
Lucas berdiri diam. Hanya saja mata pria tampan itu bergerak, mengikuti arah kepergian Sophia, sampai akhirnya tubuh mungil itu menghilang dari pandangan. Tatapannya tersirat memiliki jutaan arti.
Saat Sophia sudah pergi, Anna mulai bercerita dengan riang soal konsep pernikahannya, warna bunga, tema pesta, dan undangan yang sedang dicetak. Tampak Margareth merespons dengan penuh antusias, bahkan mulai menunjukkan sketsa beberapa gaun pernikahan. Sebab, Anna mengatakan ingin memilih beberapa gaun pengantin, jadi Margareth menyiapkan banyak pilihan.
“Ah, ya, Margareth. Aku ingin tanya sesuatu,” kata Anna, menunjukkan aura wajah penasaran.
“Ya, Anna? Kau ingin tanya apa?” tanya Margareth lembut.
“Jacob Alford itu keponakanmu, kan? Kalau tidak salah aku pernah beberapa kali tidak sengaja bertemu dengannya di rumah sakit, dan juga acara jamuan makan malan,” jawab Anna.
Margareth mengangguk. “Kau benar. Jacob adalah keponakanku. Dia itu dokter. Jadi, wajar kalau kau melihatnya di rumah sakit.”
“Hm, aku lihat dia sangat peduli pada Sophia. Apa Jacob dan Sophia menjalin hubungan?” tanya Anna tiba-tiba, dan sontak membuat raut wajah Lucas berubah.
Margareth tersenyum. “Jujur, aku suka sekali kalau Jacob dan Sophia menjalin hubungan. Sophia cantik, berbakat, baik, dan pekerja keras. Sangat cocok dengan keponakanku. Aku tidak bisa berbicara banyak. Aku hanya bisa mendoakan mereka berjodoh.”
Anna mengangguk setuju. “Semoga doamu terwujud, Margareth.”
Lucas menoleh dengan cepat, seolah tubuhnya tersengat Listrik mendengar ucapan Margareth tadi. Ekspresinya berubah. Matanya menajam. Rahangnya mengeras perlahan, dan tangan kirinya mengepal tanpa sadar.
“Jacob itu sopan, cerdas, dan tidak akan menyakiti wanita seperti Sophia,” lanjut Margareth membanggakan keponakannya. “Dia tipe pria yang bisa membuat wanita merasa dicintai dan dihargai.”
“Wah, hebat sekali,” kata Anna dengan senyuman di wajahnya.
Margareth tertawa ringan. “Aku pernah membayangkan kalau kelak Sophia dan Jacob menikah. Mereka pasti akan memiliki anak-anak yang tampan dan cantik.”
Lucas tak sanggup mendengarnya lagi. Kata-kata itu menusuknya, satu per satu, dengan cara yang tak bisa dijelaskan. Hatinya terasa panas, bukan karena cemburu semata, tapi karena kesadaran pahit—dia telah melepas sesuatu yang tak seharusnya dilepas.
“Maaf,” ucap Lucas dengan suara dingin. “Aku ingin ke toilet.”
Tanpa menunggu jawaban, Lucas berjalan cepat meninggalkan Margareth dan Anna—yang masih membahas tentang Sophia dan Jacob. Kenyataannya pembahasan itu telah membuat Lucas tak nyaman. Namun, tentu Margareth dan Anna tak menyadari bahwa Lucas tak nyaman akan percakapan itu.
Matahari mulai muncul di ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang menyelimuti garis langit kota New York. Saat sinar pertama menyentuh permukaan kaca gedung pencakar langit yang menjulang, jalanan mulai berdenyut dengan kehidupan. Udara terasa segar, membawa aroma kopi yang baru diseduh dari kafe di sudut jalan, berpadu dengan wangi manis bunga sakura yang mekar di Central Park.Pelari, mengenakan pakaian berwarna cerah, melintasi jalur setapak, langkah mereka berirama, bergema di tengah kicauan burung yang ceria. Tampak seorang musisi jalanan mengalunkan melodi lembut dengan gitarnya, nada-nada itu melayang di udara seperti bisikan harapan. Pun dari kejauhan, siluet ikonik Patung Liberty berdiri megah, mengingatkan akan ketahanan dan kebebasan.Pagi yang indah di New York, membawa kedamaian jiwa. Sophia duduk di kursi taman bersama dengan Joana. Dia memperhatikan khusus kembar yang bermain dengan anak-anak yang baru dikenal. Ada Amy yang selalu setia menemani kembar.Ya, hari ini
“Ingin minum?” tanya Jacob menawarkan wine pada Sophia, tepat di kala wanita itu sudah selesai berdansa. Meski dia tak menyukai di kala MC mengumumkan pertukaran pasangan saat dansa, tetapi dia harus menghargai acara bibinya itu.Sophia berdeham sebentar, berusaha mengatur emosi dalam dirinya. Dia harus tetap tenang, tak ingin sampai Jacob mengetahui bahwa tadi dia sempat berdebat dengan Lucas. Tidak. Dia tidak akan pernah membiarkan siapa pun tahu tentangnya dengan Lucas.“Tidak, Jacob. Aku sedang tidak ingin minum alkohol,” tolak Sophia lembut, pada Jacob.Jacob mengangguk, menanggapi ucapan Sophia.“Hm, Jacob, apa kau keberatan mengantarku kembali ke hotel sekarang? Aku merasa sedang kurang sehat,” ujar Sophia lembut.“Kau sedang kurang sehat? Apa yang kau keluhkan?” Jacob dengan penuh perhatian, menyentuh kening Sophia. Pria tampan itu menunjukkan jelas rasa cemas yang membentang di dalam diri.Sophia tersenyum lembut. “Aku hanya sedikit pusing. Maaf, aku tidak bisa terlalu lama d
“Sophia? Kenapa wajahmu kesal seperti itu?” tanya Joana di kala melihat Sophia masuk ke dalam kamar. Dia yang sedang berkutat pada iPad-nya langsung meletakan iPad-nya ke atas meja, dan menatap Sophia dnegan tatapan bingung serta terselimuti rasa penasaran yang membentang.Sophia menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth, Joana.”“Kau bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth?” ulang Joana memastikan, dengan raut wajah terkejut.Sophia mengangguk, menanggapi ucapan Joana.Joana terdiam sebentar. “Kau berada di lingkungan kelas atas. Kau berkenalan dengan Margareth Alford yang merupakan designer ternama. Jadi, aku tidak heran kalau kau bertemu dengan ibu Lucas.”Sophia menghela napas dalam. “Ya, menjadi fashion designer adalah impianku. Aku harus menerima segala konsekunsi termasuk kembali bertemu dengan mantan suamiku berseta keluarganya.”Joana menyentuh tangan Sophia. “Tidak banyak yang aku katakan padamu selain kau harus f
Bel pintu apartemen berbunyi nyaring membuat Lucas menghela napasn kasar. Pria tampan itu sejak tadi hanya diam duduk di sofa sembari menatap kosong. Suara ding-dong itu berulang-ulang, semakin membuat kepalanya berdenyut. Dengan napas berat, dia akhirnya bangkit dari sofa dan menyeret kakinya menuju pintu.“Sayang, kau lama sekali membua pintu,” kata Sarah, ibu Lucas, dan langsung masuk ke apartemen putranya itu.Lucas menatap dingin ibunya yang datang ke apartemennya. “Mom tahu dari mana aku ada di sini?” tanyanya dengan nada kesal. Dia sedang malas untuk diganggu, tetapi ibunya malah muncul.“Mommy tadi tanya sekretarismu, dan dia bilang kau kemungkinan di apartemenmu yang ini, Jadi, Mommy langsung datang saja,” jawab Sarah dengan senyuman di wajahnya, tetapi seketika dia menyadari bahwa ada yang tak beres dengan raut wajah putranya. “Sayang? Apa kau sedan gada masalah? Wajahmu sangat kusut sekali,” lanjutnya dengan nada khawatir.Lucas hanya menatap ibunya sekilas, ekspresinya dat
Sophia menutup pintu kamar hotel dengan cukup kencang, suara pintu tertutup cukup bergema di lorong hotel—menggema seperti jeritan hatinya sendiri. Lantas, tanpa sempat melepas sepatu atau merapikan dirinya, wanita itu berjalan cepat ke arah tempat tidur.Begitu mencapai ranjang, tubuh Sophoa terjatuh dengan lemas. Kepalanya terbenam ke bantal, dan pelan—bahunya mulai bergetar. Tangis itu, yang sejak tadi hanya bergetar di dada, akhirnya pecah kembali.“Kenapa dia harus datang lagi?” bisik Sophia lirih di sela isakan. “Kenapa dia harus menciumku seperti itu, seolah aku ini adalah miliknya.”Sophia menutup wajahnya dengan kedua tangan, jari-jarinya gemetar. Tubuhnya mengejang, seperti tak mampu lagi menahan tekanan yang menumpuk. Ada rasa marah. Ada rasa dipermalukan. Ada luka lama yang terkoyak tanpa ampun. Lucas—pria yang dulu dia cintai, yang telah menceraikannya, dengan tanpa dosanya menciumnya secara brutal dan panas.Hati Sophia benar-benar hancur, dan remuk. Dia merasa diinjak,
Sophia menatap ke cermin, berusaha mengatur napasnya. Sungguh, dia merasa tak nyaman berada di sana. Ingin rasanya dia berlari sekencang mungkin. Namun, di sisi lain, dia ingin fokus pada kariernya. Hanya saja dia membenci lingkungannya yang mengharuskan dirinya kerap bertemu dengan Lucas. Entah, harus sampai kapan dia terus menerus bertemu dengan mantan suaminya itu. Perasaan tak nyaman selalu kerap masuk ke dalam diri, meski dia berusaha selalu mengendalikan dirinya.Sophia membasuh matanya dengan air bersih, lalu dia berbalik dan hendak bermaksud meninggalkan toilet, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ternyata Lucas berdiri di ambang pintu toilet. Ya, dia jelas ingat bahwa dirinya masuk ke dalam toilet wanita. Namun, kenapa bisa Lucas ada di sini? Otaknya benar-benar sekarang menjadi blank.“Lucas, k-kau kenapa di sini?” bisik Sophia, dengan suara yang pelan nyaris tidak terdengar, tapi cukup untuk memotong udara dingin yang memenuhi ruangan kecil itu.Lucas dengan santai







