Mag-log inEmpat tahun kemudian …
Paris, Prancis.
Sebuah apartemen modern yang terletak di arondisemen ke-7—tidak jauh dari Champ de Mars—Sophia sedang sibuk mengejar anak laki-lakinya yang berlari-lari keliling ruang tamu dengan kaus dalam setengah terpakai dan celana pendek yang masih digenggam di tangan.
“Caleb! Mommy bilang berhenti!” teriak Sophia sambil menghela napas, rambutnya yang sudah disisir rapi jadi kembali kusut gara-gara kejar-kejaran pagi itu.
Caleb tertawa lepas, kakinya yang mungil dan cepat berlari melintasi sofa, hampir saja menabrak vas bunga yang berdiri anggun di sudut ruangan. Bocah laki-laki itu tampak terlihat sangat aktif.
“Astaga, anak itu!” keluh Sophia sudah mulai lelah melihat kelakuan anak laki-lakinya yang bisa dikatakan kerap membuatnya sakit kepala.
“Caleb! Kalau kau tidak berhenti sekarang juga, kita batal ke New York hari ini!” ancam Sophia dengan suara tegasnya, berharap Caleb mau berhenti dan menurut. Kepalanya sedikit pusing di kala putranya itu ada saja membuatnya kegaduhan.
Bocah laki-laki berusia tiga tahun itu mendadak berhenti, dia menoleh, lalu menghampiri ibunya dengan wajah sedikit merengut sebal. “Jangan batal, Mommy. Aku mau lihat pesawat besar!”
“Kalau begitu, diam, dan pakai bajunya,” ucap Sophia sambil menunduk, kemudian merapikan celana yang akhirnya berhasil dia pakaikan ke tubuh mungil anak laki-lakinya itu.
Sementara itu, dari kamar sebelah, terdengar suara riang gadis kecil yang menyanyikan lagu dalam bahasa Prancis dengan pelafalan nyaris sempurna. Tampak Chloe muncul dari balik pintu kamar, mengenakan dress biru muda dengan pita kecil di rambut pirangnya.
“Astaga, kau cantik sekali hari ini, Sayang,” puji Sophia sambil tersenyum dan menarik Chloe ke dalam pelukannya. Dia menyisir rambut anak perempuannya itu perlahan, memastikan tidak ada helaian kusut yang tersisa.
Chloe, anak perempuan Sophia yang lahir lima menit setelah Caleb, adalah versi kecil dari Sophia sendiri. Hanya saja rambut asli Chloe pirang seperti mendiang ibu Sophia, sedangkan rambut asli Sophia adalah cokelat, meski sekarang rambut Sophia sudah diwarnai menjadi pirang seperti putri kecilnya.
Chloe memiliki paras yang menggemaskan seperti boneka hidup. Gadis kecil itu memiliki tubuh yang berisi. Rambut pirang, mata abu-abu lembut, dan ekspresi wajah penuh rasa ingin tahu, tetapi selalu memancarkan kecerian.
Chloe paling aktif bertanya. Dia selalu bertanya tentang dunia, tentang bintang, tentang mode, dan kadang—tentang ayahnya. Pertanyaan terakhir itu selalu membuat dada Sophia terasa sesak.
Namun, Sophia selalu menjawab bahwa ayah mereka sudah berada di surga. Wanita cantik itu enggan memberi tahu kedua anak mereka tentang Lucas. Sebab menurutnya, kisahnya dan Lucas telah usai, bahkan tidak akan pernah bertemu lagi selamanya.
“Mommy, nanti di New York aku ingin jalan-jalan,” kata Chloe riang.
Sophia tersenyum lembut, menanggapi apa yang dikatakan oleh putrinya itu. “Iya, Sayang. Nanti setelah urusan Mommy selesai, Mommy akan ajak kau dan Caleb jalan-jalan,” balasnya hangat.
“Yeay!” jawab Chloe dengan senyuman di wajahnya.
Pagi itu adalah pagi yang berbeda. Sophia akan terbang ke New York bersama dengan kedua anaknya. Meski jujur, ada sesuatu hal yang menelusup ke dalam diri Sophia di kala harus kembali ke New York. Namun, dia meneguhkan bahwa dirinya kembali bukan untuk mengingat masa lalu, tetapi untuk menata masa depan.
Empat tahun Sophia berada di Paris adalah hal yang luar biasa. Wanita cantik itu banting tulang meraih impiannya menjadi seorang fashion designer. Dia melanjutkan sekolah di salah satu sekolah fashion di Paris berkat bantuan Joana.
Sophia dulu putus kuliah karena biaya, lalu di suatu moment dia bertemu dengan Lucas. Saat itu dia menjadi seorang karyawan di perusahaan property—yang di mana bertemu dengan billionaire hebat seperti Lucas Collins. Ceritanya dan Lucas memang seperti kisah Cinderella.
Sophia bukan berasal dari keluarga yang hebat. Ayahnya adalah seorang penjudi dan bandar narkoba. Ayahnya itu sudah meninggal saat berada di penjara. Sementara ibunya adalah seorang pelacur, yang juga sekarang sudah meninggal dunia.
Sophia biasa hidup berjuang sendiri, sampai akhirnya waktu itu dia bertemu Lucas—sosok pria yang dulu mencintainya tanpa berpikir tentang latar belakang keluarganya. Akan tetapi, semua telah berubah total. Cintanya dan Lucas telah berakhir. Tidak ada lagi hal untuk diperjuangkan.
Alasan kuat Sophia pindah ke Paris adalah ingin menata ulang kehidupannya. Bermodalkan meminjam uang dari Joana. Dia bersyukur memiliki sahabat yang selalu menemaninya. Sungguh, dia tak tahu bagaimana kehidupannya jika tidak ada Joana.
Tidak mudah untuk Sophia membangin semua dari nol hanya sendirian. Banyak air mata yang dia harus keluarkan untuk mencapai segala impiannya. Bahkan dia kerap merasakan kegagalan berkali-kali. Namun, dia tidak berhenti berjuang, karena ada Caleb dan Chloe yang harus dia bahagiakan.
“Ya sudah, ayo kita ke bandara. Kalian sudah sangat tampan dan cantik,” kata Sophia hangat, mengajak anak kembarnya untuk pergi.
Caleb dan Chloe memekik kegirangan sambil bertepuk tangan. Lantas, Sophia kini membawa anak kembar serta pengasuh anak kembarnya untuk menuju mobil yang sudah menunggu.
***
Bandar Udara Internasional John F. Kennedy, New York, USA.
Setelah penerbangan panjang yang diwarnai tangisan ringan, permainan konyol, dan segelas jus tumpah di bangku pesawat, akhirnya Sophia bersama kembar tiba. Sophia tampak lelah, tapi tetap menjaga senyumnya. Ini bukan hanya kunjungan kerja—ini pelariannya yang sesekali perlu dari masa lalu yang berat.
Pagelaran fashion show yang digelar di jantung Manhattan menjadi alasan utama kunjungannya kali ini. Sophia, kini dikenal dengan brand miliknya sendiri Maison de Sophia, diundang untuk menghadiri acara eksklusif bertajuk Elegance Reborn, tempat para perancang dunia memamerkan karya terbaik mereka.
Sophia gaun hitam sederhana, tetapi menunjukkan elegan. Rambutnya diikat rapi, dan sepatu hak medium. Dia tiba di venue fashion show. Anak-anaknya ditinggal bersama pengasuh terpercaya di hotel, agar dia bisa fokus. Sementara Joana akan menyusul besok karena hari ini sahabatnya itu harus bertemu dengan calon kekasihnya terlebih dahulu.
Acara fashion show itu penuh dengan keramaian, sorot kamera, serta aroma parfum mahal langsung menyambutnya. Sophia sudah terbiasa dengan suasana semacam ini, tapi selalu ada kegugupan tersendiri saat menghadiri ajang internasional.
Setelah rangkaian acara utama selesai, seorang wanita paruh baya yang anggun dan tampak memiliki kharisma khas sosialita menghampirinya. Wanita itu adalah Margareth Alford, pemilik butik gaun pengantin paling prestisius di New York—Alford Bridal Couture.
“Sophia, ma chérie, akhirnya kita bertemu lagi!” sapa Margareth sambil memeluknya singkat.
Sophia tersenyum menyapa wanita paruh baya yang masih tampak cantik dan anggun itu. “Senang sekali bisa diundangny, Margareth. Seperti biasa, koleksimu selalu luar biasa,” jawabnya hangat.
“Terima kasih atas pujianmu, Sophia. By the way, aku ingin meminta bantuanmu hari ini. Ada klien istimewa yang ingin bertemu langsung dengan perancang. Namanya Anna Kendrick. Dia akan menikah dalam waktu dekat dengan seorang billionaire ternama. Dia juga ingin memesan gaun pengantin terbaik. Apa kau bisa bantu aku? Mungkin kita bisa bekerja sama dalam memberikan gaun terbaik untuk Anna,” ujar Margareth hangat.
Sophia tersenyum, dan mengangguk. “Ya, tentu aku mau menemanimu.”
“Aku percaya padamu, kau pasti akan membuat kagum klienku ini, karena rancangan indah yang kau buat nanti, Sophia,” balas Margareth dengan sneyuman di wajahnya.
“Kita lihat dulu nanti, Margareth. Semoga klienmu suka setelah melihat beberapa sample yang telah kubuat.”
“Aku yakin seratus persen klienku suka, Sophia. Aku sudah merekomendasikanmu sebelumnya padanya. Dan dia ingin bertemu denganmu secara langsung untuk bertanya-tanya.”
“Baiklah kalau begitu.” Sophia menganggukkan kepalanya, lalu duduk di lounge eksklusif yang disediakan di belakang panggung.
Beberapa menit berlalu, seorang asisten masuk dan membisikkan pada Margareth bahwa tamu telah datang.
“Ah, mereka sudah tiba,” ucap Margareth sambil berdiri dan menoleh ke arah pintu. “Itu dia Anna.” Dia mengangkat tangannya dan menyapa wanita cantik bernama Anna, dengan senyum ramah di bibirnya.
Sophia lantas menoleh secara refleks, kemudian berdiri sopan, siap menyambut calon pengantin dan pasangannya itu. Namun saat matanya menangkap sosok pria yang berdiri di samping Anna—tubuhnya mendadak kaku. Napasnya menjadi tercekat. Otaknya bahkan tak mampu berpikir jernih. Semua seakan menjadi blank.
Wanita bernama Anna Kendrick itu mengenakan gaun berwarna putih gading seraya menggamit lengan seorang pria berpostur tubuh tinggi, dan gagah. Pria itu memiliki paras yang luar biasa tampan, dan dibalut dengan jas berwarna abu-abu. Mereka terlihat begitu mesra.
Rambut hitam pria tampan itu, garis rahang tegas, dan sorot mata yang tidak mungkin Sophia lupakan. Ya, dunia Sophia seakan berhenti di sini. Sosok yang sudah lama tak dia lihat sekarang kembali muncul.
“Lucas …?”
“Ingin minum?” tanya Jacob menawarkan wine pada Sophia, tepat di kala wanita itu sudah selesai berdansa. Meski dia tak menyukai di kala MC mengumumkan pertukaran pasangan saat dansa, tetapi dia harus menghargai acara bibinya itu.Sophia berdeham sebentar, berusaha mengatur emosi dalam dirinya. Dia harus tetap tenang, tak ingin sampai Jacob mengetahui bahwa tadi dia sempat berdebat dengan Lucas. Tidak. Dia tidak akan pernah membiarkan siapa pun tahu tentangnya dengan Lucas.“Tidak, Jacob. Aku sedang tidak ingin minum alkohol,” tolak Sophia lembut, pada Jacob.Jacob mengangguk, menanggapi ucapan Sophia.“Hm, Jacob, apa kau keberatan mengantarku kembali ke hotel sekarang? Aku merasa sedang kurang sehat,” ujar Sophia lembut.“Kau sedang kurang sehat? Apa yang kau keluhkan?” Jacob dengan penuh perhatian, menyentuh kening Sophia. Pria tampan itu menunjukkan jelas rasa cemas yang membentang di dalam diri.Sophia tersenyum lembut. “Aku hanya sedikit pusing. Maaf, aku tidak bisa terlalu lama d
“Sophia? Kenapa wajahmu kesal seperti itu?” tanya Joana di kala melihat Sophia masuk ke dalam kamar. Dia yang sedang berkutat pada iPad-nya langsung meletakan iPad-nya ke atas meja, dan menatap Sophia dnegan tatapan bingung serta terselimuti rasa penasaran yang membentang.Sophia menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth, Joana.”“Kau bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth?” ulang Joana memastikan, dengan raut wajah terkejut.Sophia mengangguk, menanggapi ucapan Joana.Joana terdiam sebentar. “Kau berada di lingkungan kelas atas. Kau berkenalan dengan Margareth Alford yang merupakan designer ternama. Jadi, aku tidak heran kalau kau bertemu dengan ibu Lucas.”Sophia menghela napas dalam. “Ya, menjadi fashion designer adalah impianku. Aku harus menerima segala konsekunsi termasuk kembali bertemu dengan mantan suamiku berseta keluarganya.”Joana menyentuh tangan Sophia. “Tidak banyak yang aku katakan padamu selain kau harus f
Bel pintu apartemen berbunyi nyaring membuat Lucas menghela napasn kasar. Pria tampan itu sejak tadi hanya diam duduk di sofa sembari menatap kosong. Suara ding-dong itu berulang-ulang, semakin membuat kepalanya berdenyut. Dengan napas berat, dia akhirnya bangkit dari sofa dan menyeret kakinya menuju pintu.“Sayang, kau lama sekali membua pintu,” kata Sarah, ibu Lucas, dan langsung masuk ke apartemen putranya itu.Lucas menatap dingin ibunya yang datang ke apartemennya. “Mom tahu dari mana aku ada di sini?” tanyanya dengan nada kesal. Dia sedang malas untuk diganggu, tetapi ibunya malah muncul.“Mommy tadi tanya sekretarismu, dan dia bilang kau kemungkinan di apartemenmu yang ini, Jadi, Mommy langsung datang saja,” jawab Sarah dengan senyuman di wajahnya, tetapi seketika dia menyadari bahwa ada yang tak beres dengan raut wajah putranya. “Sayang? Apa kau sedan gada masalah? Wajahmu sangat kusut sekali,” lanjutnya dengan nada khawatir.Lucas hanya menatap ibunya sekilas, ekspresinya dat
Sophia menutup pintu kamar hotel dengan cukup kencang, suara pintu tertutup cukup bergema di lorong hotel—menggema seperti jeritan hatinya sendiri. Lantas, tanpa sempat melepas sepatu atau merapikan dirinya, wanita itu berjalan cepat ke arah tempat tidur.Begitu mencapai ranjang, tubuh Sophoa terjatuh dengan lemas. Kepalanya terbenam ke bantal, dan pelan—bahunya mulai bergetar. Tangis itu, yang sejak tadi hanya bergetar di dada, akhirnya pecah kembali.“Kenapa dia harus datang lagi?” bisik Sophia lirih di sela isakan. “Kenapa dia harus menciumku seperti itu, seolah aku ini adalah miliknya.”Sophia menutup wajahnya dengan kedua tangan, jari-jarinya gemetar. Tubuhnya mengejang, seperti tak mampu lagi menahan tekanan yang menumpuk. Ada rasa marah. Ada rasa dipermalukan. Ada luka lama yang terkoyak tanpa ampun. Lucas—pria yang dulu dia cintai, yang telah menceraikannya, dengan tanpa dosanya menciumnya secara brutal dan panas.Hati Sophia benar-benar hancur, dan remuk. Dia merasa diinjak,
Sophia menatap ke cermin, berusaha mengatur napasnya. Sungguh, dia merasa tak nyaman berada di sana. Ingin rasanya dia berlari sekencang mungkin. Namun, di sisi lain, dia ingin fokus pada kariernya. Hanya saja dia membenci lingkungannya yang mengharuskan dirinya kerap bertemu dengan Lucas. Entah, harus sampai kapan dia terus menerus bertemu dengan mantan suaminya itu. Perasaan tak nyaman selalu kerap masuk ke dalam diri, meski dia berusaha selalu mengendalikan dirinya.Sophia membasuh matanya dengan air bersih, lalu dia berbalik dan hendak bermaksud meninggalkan toilet, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ternyata Lucas berdiri di ambang pintu toilet. Ya, dia jelas ingat bahwa dirinya masuk ke dalam toilet wanita. Namun, kenapa bisa Lucas ada di sini? Otaknya benar-benar sekarang menjadi blank.“Lucas, k-kau kenapa di sini?” bisik Sophia, dengan suara yang pelan nyaris tidak terdengar, tapi cukup untuk memotong udara dingin yang memenuhi ruangan kecil itu.Lucas dengan santai
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Sophia kembali ke hotel. Dia melangkah pelan menyusuri lorong menuju kamarnya, masih dengan map proposal dari Margareth di tangan. Sesampainya di dalam, suasana hangat langsung menyambutnya.“Yeay, Mommy pulang!” seru Caleb dan Chloe di kala melihat Sophia sudah pulang.Sophia tersenyum bahagia selalu mendapatkan sambutan dari anak-anaknya. Dia membalas pelukan anak kembarnya itu, dan tatapannya teralih pada Joana yang ada di hadapannya.“Joana? Kau sudah datang?” tanya Sophia cukup terkejut.Joana tersenyum. “Kejutan. Urusanku di Paris sudah selesai. Jadi, aku bisa langsung ke sini.”Sophia mendesah kesal. “Kenapa kau tidak bilang padaku?”“Well, aku ingin memberikan kejutan,” jawab Joana, dengan senyuman di wajahnya, menunjukkan gigi putihnya.“Bibi Joana sudah datang.” Caleb dan Chloe kini memeluk erat Joana.Joana kembali tersenyum, dan memeluk kembar tak kalah erat.Sophia terdiam sebentar. “Caleb, Chloe, bisa kalian ke kamar Amy dulu? Mommy dan







