MasukSuara Sophia menyebut nama ‘Lucas’ dengan bisikan pelan, dan tak didengar oleh siapa pun. Tatapannya benar-benar terpaku, melihat sosok yang sudah lama tak dia lihat. Bukan hanya itu saja, tetapi takdir kembali mempertemukannya dengan sosok pria yang begitu dia rindukan.
Namun, di waktu yang bersamaan Lucas menatap Sophia dengan tatapan terpaku—menunjukkan jelas keterkejutannya. Pria tampan itu bahkan tak berkedip sedikit pun melihat sosok Sophia—yang jauh berbeda dari yang dulu dia kenal.
Keduanya kini membeku dalam waktu. Sophia menahan napasnya, mencoba menstabilkan jantung yang berdetak keras, tetapi tangannya yang sedikit gemetar mengkhianatinya. Sementara Lucas dengan ekspresi wajah yang berusaha untuk bersikap tenang, meski sekarang saling bertatapan dengan Sophia.
Sophia dan Lucas masih terus saling pandang. Mereka diam di tempat masing-masing. Hanya tatapan mereka yang bicara, seolah-olah waktu empat tahun yang terputus itu kini kembali berdesakan, mencoba memenuhi ruang di antara mereka.
Mata Sophia terpaku, sedangkan dada Lucas terasa tertusuk oleh tatapan wanita yang dulu begitu dia kenal luar dalam—dan kini tampak asing sekaligus familiar di waktu yang sama.
Anna, tanpa sadar akan gelombang memori yang saling bertubrukan di antara dua manusia itu, tersenyum santai lalu memperkenalkan dengan suara angggun. “Lucas, ini Sophia, desainer yang akan membantu kita untuk diskusi soal gaun pernikahan.”
Ya, Anna sudah mengenal sosok Sophia dari Margareth. Sebelum mendatangi acara fashion show, Margaret sudah memberi tahu tentang Sophia. Tentu saja itu membuatnya antusias, karena dia ingin gaun pengantinnya nanti akan menjadi gaun pengantin terbaik.
Lucas mengangguk pelan, masih sedikit limbung. “Senang berkenalan dengamu,” ucapnya dingin, sambil mengulurkan tangan ke hadapan Sophia.
Sophia menahan napas sebelum akhirnya menjabat tangan itu—dingin, cepat, lalu dilepaskan secepat mungkin. Seolah-olah telapak itu menyimpan terlalu banyak kenangan yang siap mengoyak jiwa raganya. Itu tidak akan dia biarkan, karena dia tak ingin terlihat lemah.
“Senang bertemu denganmu juga, Tuan,” jawab Sophia, berusaha terdengar tenang, meski suaranya nyaris serak.
Margareth buru-buru mengalihkan fokus, tampaknya tergesa-gesa di kala mengingat sesuatu. “Maaf, aku harus pergi sebentar. Ada urusan dengan koleksi couture di belakang. Kalian bisa mulai diskusi dulu, ya.”
Margareth pergi, dan keheningan kembali hadir …
Lucas menatap wanita yang empat tahun lalu dia tinggalkan dengan luka yang belum pernah dia buka kembali. Namun kini, wanita itu berdiri di depannya dengan aura yang berbeda. Rambut Sophia dulu sebahu, sekarang kini panjang serta berwarna pirang madu. Rambut wanita itu tergerai rapi memberi kesan hangat dan dewasa.
“Aku sudah tidak sabar ingin melihat gaun pengantin yang akan aku kenakan di pesta pernikahaku nanti. Aku ingin melihatnya sekarang. Tolong berikan sample design yang pernah kau buat, Sophia,” ucap Anna yang kini duduk di samping Lucas.
Sophia berusaha tenang, dan langsung meminta salah satu orang untuk mengambilkan iPad-nya. Tepat di kala iPad-nya sudah di tangan, dia segera menyodorkan pada Anna sambil berkata tenang, “Silakan, kau lihat, Nona. Jika ada yang membuatmu tertarik, katakan saja padakku,” ucapnya dengan pelan, dengan senyuman yang dia paksakan.
Anna tak sabar mengambil iPad milik Sophia. Tampak wanita itu begitu senang di kala melihat hasil rancangan designer itu. Dia tenggelam fokus pada rancangan gaun pengantin yang sudah pernah dibuat oleh Sophia. Dia bahkan tak sadar ada sesuatu di antara Sophia dan Lucas.
“Seperti yang Margareth bilang. Gaun buatanmu sangat bagus. Aku jadi bingung harus memilih yang mana,” ucap Anna mencairkan kebisuan yang sempat terjadi. “Sayang. Bisakah kau memilihkan gaun yang cocok untukku? Semuanya bagus dan aku bingung memilihnya,” lanjutnua bicara pada sang calon suami.
“Kau saja yang memilih. Kau juga yang akan menggunakannya,” ucap Lucas dingin, dan datar.
Anna mengerucutkan bibirnya mendengar penolakan dari calon suaminya itu. Namun, tidak lama kemudian dering ponselnya berbunyi. Dia langsung mengambil ponsel dari dalam tasnya itu.
“Sayang, ibumu menelpon.” Anna kemudian menerima panggilan tersebut. Namun, sayangnya suaranya terputus-putus dan akhirnya dia memutuskan untuk keluar sebentar—menimbulkan kecanggungan antara Sophia dan Lucas.
Sophia dan Lucas saling menatap lagi. Tatapan yang memiliki banyak jutaan arti khusus. Mereka seakan tenggelam akan tatapan yang mereka ciptakan. Tatapan yang sudah lama tak terjadi.
“Rambutmu ...,” gumam Lucas akhirnya, menatap Sophia dari atas ke bawah. “Kau banyak berubah,” lanjutnya dengan sorot mata dingin.
Sophia tersenyum, berusaha untuk menunjukkan ketegaran di dalam dirinya. “Sudah empat tahun berlalu. Semua orang pasti akan berubah. Aku senang kau akan segera menikah.”
Lucas tak menanggapi kalimat itu. Pandangannya masih terpaku pada rambut yang tak lagi cokelat, warna yang dulu selalu membuatnya terpikat, telah diubah menjadi warna pirang.
“Kenapa kau mewarnai rambutmu?” tanya Lucas dingin, seolah-olah pertanyaan itu lebih penting dari apa pun. Padahal sebenarnya banyak hal yang dia tak sangka termasuk tak menyangka Sophia menjadi seorang fashion designer.
Sophia menarik napas panjang sebelum menjawa dengan nada yang tenang, dan damai, “Karena aku suka warna ini. Dan aku merasa ... warna ini lebih cocok denganku sekarang.”
Lucas mengangguk pelan. “Ah, ya. Kau benar. Orang bisa berubah dengan mudah.”
“Sama seperti hidup,” balas Sophia datar. “Aku hanya sedang menata ulang hidupku, Lucas. Semua orang pasti pernah melakukannya.”
Napas Lucas memberat, kepalanya terisikan begitu banyak pertanyaan yang mengoyak dirinya. “Aku tidak menyangka kau akan menjadi seorang fashion designer.”
Sophia tersenyum tipis. “Seperti yang kau bilang, aku berubah.”
Lucas melirik Sophia secara refleks. Reaksi wanita itu tenang. Terlalu tenang hingga justru menyakitkan perasaannya. Seolah-olah Sophia telah benar-benar melupakannya. Fakta ini sialnya membuatnya kesal. Namun, dia sadar bahwa dirinya dan Sophia memang telah selesai.
Tak lama kemudian, Anna kembali dan duduk di samping Lucas, dengan raut wajah yang memancarkan jelas kebahagiaan di dalam dirinya. “Sayang. ibumu mengajak kita makan malam setelah pulang dari sini.”
Lucas menghela napasnya. Pria tampan itu tidak bisa menolak jika ibunya sudah mengajaknya makan malam bersama Anna. Meski membuatnya tidak nyaman, tetapi dia harus tetap ikut dalam makan malam tersebut.
Sophia tersenyum datar. “Kalian tampak serasi.”
Anna tersipu malu mendengar ucapan Sophia. “Terima kasih, Sophia. Jujur, aku sudah tidak sabar ingin memakai gaun pernikahanku. Tapi, aku masih bingung memilih gaun yang indah dan cocok untukku.”
“Aku rasa kau cocok pakai gaun ini.” Sophia akhirnya memutuskan untuk memberikan rekomendasi yang pas untuk lekuk tubuh Anna dan menurutnya akan cocok dikenakan nanti. Dia tetap berusaha keras untuk bersikap professional.
“Kau memang designer yang hebat. Aku juga ingin memilih yang ini, dan kau merekomendasikan ini juga. Baiklah, aku pilih yang ini.” Anna menunjuk gaun pengantin yang cukup elegan dan mewah yang ditunjuk oleh Sophia.
“Semoga acaranya berjalan lancar,” ucap Sophia pelan, dan berusaha untuk tetap tegar. Ada semburat rasa pahit di balik suaranya, meski dia berusaha keras menutupinya dengan profesionalitas.
Lucas memandang wajah Sophia dengan tatapan datar dan dinginnya. Pertemuan itu singkat dan canggung. Sebuah pertemuan yang sama sekali tidak dia sangka akan terjadi. Tidak ada pembicaraan mendalam, hanya basa-basi yang kering dan hambar.
Hingga saat tiba waktunya untuk pulang, Sophia berdiri dengan anggun, merapikan tas tangannya, lalu tersenyum sopan. “Maaf, aku harus pergi. Ada banyak pekerjaan yang menungguku di butik,” katanya, berusaha menyisipkan nada netral dalam suaranya.
“Kau tidak menunggu Margareth?” tanya Anna sambil menatap Sophia.
“Nanti aku akan menghubunginya,” jawab Sophia tenang.
Anna mengangguk, dengan senyuman di wajahnya. “Baik, hati-hati di jalan, Sophia,” balasnya—dan direspon anggukkan singkat di kepala Sophia.
Sophia pergi meninggalkan tempat itu, tetapi tetap menunjukkan raut wajah anggun. Tampak Lucas masih dengan ekspresi yang tak berubah. Pria tampan itu tetap duduk, menatap punggung Sophia saat wanita itu mulai lenyap dari pandangannya.
Begitu keluar dari tempat itu, Sophia menarik napas panjang. Langkah kakinya menjasdi cepat, sepatu hak tingginya beradu dengan lantai marmer, menciptakan suara ritmis yang menandakan bahwa dia ingin segera menjauh dari masa lalunya.
Alih-alih langsung kembali ke hotel, Sophia memilih berjalan ke sebuah café kecil yang berada di sudut jalan. Wanita itu memesan secangkir kopi latte dengan sentuhan kayu manis, minuman favoritnya yang selalu berhasil menenangkan pikiran.
Sambil menunggu pesanan, Sophia duduk di bangku dekat jendela, memandangi lalu-lalang orang-orang di luar. Hatinya terasa aneh. Hampa sekaligus penuh. Dia meraih ponsel dari dalam tas dan mencari nama yang sudah sangat akrab di dalam daftar kontaknya.
“Joana. Cepatlah datang. Ada banyak hal yang ingin aku beri tahu padamu,” ucap Sophia lirih setelah sambungan tersambung.
“Ada apa, Sophia? Apa fashion show-nya tidak berjalan lancar?” tanya Joana dengan nada khawatir, dari seberang sana.
“Tidak, tidak. Fashion show berjalan lancar. Ini tentang Lucas. Aku bertemu dengannya di acara fashion show.”
“What? Kau bertemu dengan mantan suamimu? Lalu, bagaimana dengan si kembar? Apa dia bertemu dengan ayahnya?” tanya Joana tak sabar, seperti biasa—penuh rasa ingin tahu.
“Tidak. Aku harap mereka tidak bertemu,” jawab Sophia pelan, kemudian menghela napas panjang, dengan sorot mata lurus ke depan menyimpan banyak hal. “Lucas, dia akan segera menikah. Aku tidak ingin mengganggu kehidupannya,” lanjutnya dengan nada tenang, dan tegar.
“Ingin minum?” tanya Jacob menawarkan wine pada Sophia, tepat di kala wanita itu sudah selesai berdansa. Meski dia tak menyukai di kala MC mengumumkan pertukaran pasangan saat dansa, tetapi dia harus menghargai acara bibinya itu.Sophia berdeham sebentar, berusaha mengatur emosi dalam dirinya. Dia harus tetap tenang, tak ingin sampai Jacob mengetahui bahwa tadi dia sempat berdebat dengan Lucas. Tidak. Dia tidak akan pernah membiarkan siapa pun tahu tentangnya dengan Lucas.“Tidak, Jacob. Aku sedang tidak ingin minum alkohol,” tolak Sophia lembut, pada Jacob.Jacob mengangguk, menanggapi ucapan Sophia.“Hm, Jacob, apa kau keberatan mengantarku kembali ke hotel sekarang? Aku merasa sedang kurang sehat,” ujar Sophia lembut.“Kau sedang kurang sehat? Apa yang kau keluhkan?” Jacob dengan penuh perhatian, menyentuh kening Sophia. Pria tampan itu menunjukkan jelas rasa cemas yang membentang di dalam diri.Sophia tersenyum lembut. “Aku hanya sedikit pusing. Maaf, aku tidak bisa terlalu lama d
“Sophia? Kenapa wajahmu kesal seperti itu?” tanya Joana di kala melihat Sophia masuk ke dalam kamar. Dia yang sedang berkutat pada iPad-nya langsung meletakan iPad-nya ke atas meja, dan menatap Sophia dnegan tatapan bingung serta terselimuti rasa penasaran yang membentang.Sophia menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth, Joana.”“Kau bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth?” ulang Joana memastikan, dengan raut wajah terkejut.Sophia mengangguk, menanggapi ucapan Joana.Joana terdiam sebentar. “Kau berada di lingkungan kelas atas. Kau berkenalan dengan Margareth Alford yang merupakan designer ternama. Jadi, aku tidak heran kalau kau bertemu dengan ibu Lucas.”Sophia menghela napas dalam. “Ya, menjadi fashion designer adalah impianku. Aku harus menerima segala konsekunsi termasuk kembali bertemu dengan mantan suamiku berseta keluarganya.”Joana menyentuh tangan Sophia. “Tidak banyak yang aku katakan padamu selain kau harus f
Bel pintu apartemen berbunyi nyaring membuat Lucas menghela napasn kasar. Pria tampan itu sejak tadi hanya diam duduk di sofa sembari menatap kosong. Suara ding-dong itu berulang-ulang, semakin membuat kepalanya berdenyut. Dengan napas berat, dia akhirnya bangkit dari sofa dan menyeret kakinya menuju pintu.“Sayang, kau lama sekali membua pintu,” kata Sarah, ibu Lucas, dan langsung masuk ke apartemen putranya itu.Lucas menatap dingin ibunya yang datang ke apartemennya. “Mom tahu dari mana aku ada di sini?” tanyanya dengan nada kesal. Dia sedang malas untuk diganggu, tetapi ibunya malah muncul.“Mommy tadi tanya sekretarismu, dan dia bilang kau kemungkinan di apartemenmu yang ini, Jadi, Mommy langsung datang saja,” jawab Sarah dengan senyuman di wajahnya, tetapi seketika dia menyadari bahwa ada yang tak beres dengan raut wajah putranya. “Sayang? Apa kau sedan gada masalah? Wajahmu sangat kusut sekali,” lanjutnya dengan nada khawatir.Lucas hanya menatap ibunya sekilas, ekspresinya dat
Sophia menutup pintu kamar hotel dengan cukup kencang, suara pintu tertutup cukup bergema di lorong hotel—menggema seperti jeritan hatinya sendiri. Lantas, tanpa sempat melepas sepatu atau merapikan dirinya, wanita itu berjalan cepat ke arah tempat tidur.Begitu mencapai ranjang, tubuh Sophoa terjatuh dengan lemas. Kepalanya terbenam ke bantal, dan pelan—bahunya mulai bergetar. Tangis itu, yang sejak tadi hanya bergetar di dada, akhirnya pecah kembali.“Kenapa dia harus datang lagi?” bisik Sophia lirih di sela isakan. “Kenapa dia harus menciumku seperti itu, seolah aku ini adalah miliknya.”Sophia menutup wajahnya dengan kedua tangan, jari-jarinya gemetar. Tubuhnya mengejang, seperti tak mampu lagi menahan tekanan yang menumpuk. Ada rasa marah. Ada rasa dipermalukan. Ada luka lama yang terkoyak tanpa ampun. Lucas—pria yang dulu dia cintai, yang telah menceraikannya, dengan tanpa dosanya menciumnya secara brutal dan panas.Hati Sophia benar-benar hancur, dan remuk. Dia merasa diinjak,
Sophia menatap ke cermin, berusaha mengatur napasnya. Sungguh, dia merasa tak nyaman berada di sana. Ingin rasanya dia berlari sekencang mungkin. Namun, di sisi lain, dia ingin fokus pada kariernya. Hanya saja dia membenci lingkungannya yang mengharuskan dirinya kerap bertemu dengan Lucas. Entah, harus sampai kapan dia terus menerus bertemu dengan mantan suaminya itu. Perasaan tak nyaman selalu kerap masuk ke dalam diri, meski dia berusaha selalu mengendalikan dirinya.Sophia membasuh matanya dengan air bersih, lalu dia berbalik dan hendak bermaksud meninggalkan toilet, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ternyata Lucas berdiri di ambang pintu toilet. Ya, dia jelas ingat bahwa dirinya masuk ke dalam toilet wanita. Namun, kenapa bisa Lucas ada di sini? Otaknya benar-benar sekarang menjadi blank.“Lucas, k-kau kenapa di sini?” bisik Sophia, dengan suara yang pelan nyaris tidak terdengar, tapi cukup untuk memotong udara dingin yang memenuhi ruangan kecil itu.Lucas dengan santai
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Sophia kembali ke hotel. Dia melangkah pelan menyusuri lorong menuju kamarnya, masih dengan map proposal dari Margareth di tangan. Sesampainya di dalam, suasana hangat langsung menyambutnya.“Yeay, Mommy pulang!” seru Caleb dan Chloe di kala melihat Sophia sudah pulang.Sophia tersenyum bahagia selalu mendapatkan sambutan dari anak-anaknya. Dia membalas pelukan anak kembarnya itu, dan tatapannya teralih pada Joana yang ada di hadapannya.“Joana? Kau sudah datang?” tanya Sophia cukup terkejut.Joana tersenyum. “Kejutan. Urusanku di Paris sudah selesai. Jadi, aku bisa langsung ke sini.”Sophia mendesah kesal. “Kenapa kau tidak bilang padaku?”“Well, aku ingin memberikan kejutan,” jawab Joana, dengan senyuman di wajahnya, menunjukkan gigi putihnya.“Bibi Joana sudah datang.” Caleb dan Chloe kini memeluk erat Joana.Joana kembali tersenyum, dan memeluk kembar tak kalah erat.Sophia terdiam sebentar. “Caleb, Chloe, bisa kalian ke kamar Amy dulu? Mommy dan







