Mag-log inMenandatangani surat cerai adalah mimpi buruk bagi Sophia. Wanita cantik itu seakan terdampar di tempat yang memberikan luka penyiksaan batin. Dia ingin menjerit sekeras mungkin, tetapi dia sadar bahwa tidak ada yang membantunya. Dia terlalu lemah untuk memperbaiki segala kekacauan meski sebenarnya kekacauan ini muncul, akibat dirinya yang tak mengerti apa sebenarnya rencana takdir.
Sophia pergi meninggalkan mansion Lucas, bukan atas dasar keinginannya sendiri, tetapi karena desakan keadaan—di mana Lucas tak percaya padanya. Berkali-kali dia menjelaskan hasilnya tetap sama yaitu Lucas, tidak mau mendengarkannya sama sekali. Bagi suaminya itu, dia tetaplah seorang pengkhianat. Padahal kejadian yang sebenarnya tidak seperti apa yang dipikirkan oleh suaminya itu.
Beberapa hari setelah meninggalkan mansion, Sophia didatangi oleh asisten pribadi Lucas—yang memberikan surat cerai padanya. Dalam kondisi hati yang berat serta hancur, tidak ada yang bisa dia lakukan selain menyetujui keinginan pria itu. Ya, dia sadar posisinya. Keluaga Lucas pun tak mungkin ada di pihaknya. Jadi, mungkin memang jodohnya dengan Lucas hanya sampai di sini.
Sophia menandatangi surat cerai itu, meski hatinya sangat hancur. Cintanya dengan Lucas harus kandas oleh keadaan yang tak pernah dia kira terjadi. Entah seperti apa takdir merancang kehidupannya. Dia memilih untuk membiarkan semuanya mengalir. Hal yang paling utama adalah dia tak ingin membuat Lucas semakin terluka. Jika berpisah adalah yang terbaik, maka dia melakukan itu meski dia harus hancur sekalipun.
Cinta tak selamanya harus memiliki. Kalimat yang dulu Sophia sangkal. Sebab, menurutnya cinta itu harus memiliki. Cinta sesungguhnya adalah dua insan yang saling berjuang, mempertahankan hubungan. Namun, sekarang dia sadar bahwa banyak cinta yang tak sekuat itu.
Seperti Lucas, yang tak percaya padanya.
Dua minggu telah berlalu sejak perceraian itu disahkan oleh pengadilan. Hidup Sophia berusaha berjalan dengan baik, walau sebenarnya setelah resmi bercerai dari Lucas, dia tak pernah merasakan baik-baik saja. Selalu saja dirinya mendapatkan mimpi buruk. Dia selama ini terbiasa tidur dalam pelukan Lucas. Jika pun harus sendiri, pasti dalam keadaan Lucas yang sedang melakukan perjalanan bisnis. Akan tetapi, sekarang dia harus benar-benar merasakan dinginnya malam sendirian.
Sophia sudah lama tak bertemu dengan Lucas. Dia tak tahu bagaimana kabar pria yang dulu menjadi suaminya, dan sekarang telah resmi menjadi mantan suaminya. Rindu selalu menggerogoti, tetapi dia sadar bahwa rindu ini hanya bisa dia tahan, tanpa bisa diluapkan.
Pagi itu, tepatnya Sophia sedang duduk di apartemen sederhana miliknya. Sebuah apartemen yang dia beli dari uang tabungannya. Dia tak memiliki banyak aset, karena sejatinya yang memiliki banyak harta adalah Lucas, bukand dirinya.
Sophia mengawali hari dengan meminum secangkir kopi hangat dan pandangan kosong ke luar jendela, tetapi kini selalu diawali dengan rasa mual yang menghantam keras lambungnya. Sungguh, dia tak mengerti ada apa dengan dirinya.
Beberapa kali Sophia muntah, bahkan tanpa sempat menyentuh makanan apa pun. Awalnya dia mengira itu hanya akibat stres dan perubahan pola makan. Namun ketika rasa mual itu terus datang, dia mulai curiga.
Sophia berdiri di depan cermin, menatap dengan tatapan kosong. “Sudah dua bulan ini aku memang telat datang bulan. Tapi, aku yakin itu pasti karena aku stres,” gumamnya sembari menatap wajah pucatnya, mata yang sembab karena kurang tidur.
Dia kemudian meraih kotak kecil dari dalam laci meja rias—alat tes kehamilan yang telah dia beli tiga hari lalu, tetapi belum juga dia gunakan karena takut akan jawaban yang mungkin dia temukan.
Keheningan membentang bercampur dengan sebuah keraguan. Sophia terus memegang alat test kehamilan itu, merasa khawatir dan takut akan hasil yang dia dapatkan nanti.
“Lebih baik aku mencoba. Aku tidak akan tahu jika aku belum mencoba,” gumam wanita cantik itu lagi, lalu dia memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, Sophia keluar dari kamar mandi, dengan test pack yang masih ada di tangannya. Dia masih belum berani melihat hasil test pack itu, tetapi dia mencoba menenangkan diri, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Perlahan, Sophia mulai memfokuskan tatapannya pada test pack yang ada di tangannya. Namun seketika raut wajahnya berubah, dengan sorot mata dalam—menatap dua garis biru yang tegas tampak pada alat itu.
Kaki Sophia begitu lemas di kala melihat hasil test pack yang ada di tangannya. Dia langsung terduduk di ujung ranjang, menatap hasil tes tersebut tanpa berkedip. Kepalanya terasa penuh, seperti diserbu jutaan pertanyaan dan kekhawatiran yang tak tahu harus dijawab dari mana.
“Tidak mungkin …,” ucap Sophia lirih, matanya mulai berkaca-kaca melihat pemandangan di pagi hari yang membuat jantungnya berirama lebih kencang dari biasanya.
Sophia memang mengharapkan kehamilan. Dia tidak bohong akan ini. Namun, dia tak menyangka bahwa dirinya hamil dalam keadaan sudah bercerai dari sang suami. Sungguh, ini sangat ironi, membuatnya benar-benar dilanda kebingungan hebat.
“Kenapa aku baru mengetahui kehamilan ini setelah aku bercerai dengannya,” ucap Sophia lirih dengan tangan memegang perut yang masih rata. “Kenapa ini bisa terjadi, Ya Tuhan?” lanjutnya lagi yang tampak dilanda ketakutan.
Sophia terdiam sejenak saat rasa khawatir semakin mengerogoti dirinya. Dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, tetapi dia bingung tindakan apa yang dia harus lakukan. Sebab dia tahu bahwa anak yang ada di kandungannya jelas anak Lucas. Dia tidak pernah berselingkuh dengan pria mana pun.
“Apa yang harus aku lakukan?” gumam Sophia sembari mengusap wajahnya dengan pelan. “Tidak mungkin aku pergi menemuinya kemudian memberi tahu bahwa aku sedang hamil.” Dia menggeleng lemah.
Pikiran Sophia sangat percuma jika dia memberi tahu Lucas tentang kehamilan ini. Yang ada hanya hinaan yang akan dia terima dari pria itu. Bahkan lebih parahnya penolakan, karena Lucas sudah tidak percaya lagi padanya, sekeras apa pun dia mengatakan bahwa dia sedang hamil anak pria itu.
“Sebaiknya aku pergi ke rumah sakit sekarang.” Sophia kemudian menghubungi sahabatnya, Joana untuk menemaninya ke rumah sakit.
***
“Sophia? Kau sendiri?” Joana—sahabat baik Sophia—menatap sahabatnya itu yang mendekat padanya. Dia pikir Sophia akan datang bersama dengan Lucas. Namun, ternyata sahabatnya itu hanya datang seorang diri.
“Ya, aku sendiri. Dan seterusnya aku akan sendiri,” jawab Sophia tenang.
Joana bingung. “Apa maksud ucapanmu?” tanyanya tak mengerti.
“Aku dan Lucas sudah berpisah,” jawab Sophia lagi, berusaha untuk tegar.
“Apa? Berpisah? Bagaimana bisa?” tanya Joana meminta penjelasan lebih dalam.
Sophia tersenyum tipis. “Aku belum bisa cerita lengkap sekarang, Joana. Nanti aku akan bercerita semuanya. Tapi, tidak sekarang.”
Joana yang penasaran, tetapi memilih menghargai privacy Sophia. Dia pun mengangguk, sebagai bentuk dirinya mendukung. “Kita tunggu perawat memanggilmu. Aku sudah mendaftarkanmu tadi.”
Sophia kembali tersenyum, dan mengangguk menanggapi ucapan Joana.
Tidak lama setelahnya, seorang perawat memanggil nama Sophia. Detik itu juga, Sophia dan Joana berdiri dan berjalan memasuki ruangan dokter.
Dokter wanita paruh baya dengan kacamata tipis menyambut mereka dengan hangat. Setelah menyapa dan menanyakan beberapa hal, dokter segera melakukan pemeriksaan USG.
“Selamat, Nyonya Carter. Dari hasil USG ini, usia kandungan Anda sudah mencapai delapan minggu,” ujar dokter sambil menunjuk layar monitor di samping tempat tidur.
Sophia membeku di tempatnya dengan raut wajah menunjukkan jelas keterkejutan. Detik seakan melambat. Tatapannya terpaku pada layar, tepatnya pada lingkaran kecil yang tampak berdenyut di sana—begitu mungil, begitu hidup.
“S-sudah dua bulan?” gumam Sophia lirih.
“Ya, dan detak jantung janin Anda sangat baik. Ini adalah kabar bahagia,” tambah sang dokter sambil tersenyum.
Sophia tampak bingung, reaksi apa yang harus dia perlihatkan untuk saat ini. Namun, akhirnya dia membuang perasaan campur aduk itu dan menatap dokter yang ada di sampingnya itu.
“Dokter, apakah kandungan ini kuat? Maksudku, temanku belakangan ini memiliki masalah cukup besar yang memicu emosionalnya. Dan dengan kondisi emosional yang Sophia alami tidak stabil belakangan ini, apa semua akan baik-baik saja?” tanya Joana hati-hati, pada sang dokter.
Dokter menganggukkan kepalanya, dan tersenyum. “Selama Nyonya Carter bisa menjaga pola makan dan istirahat, serta mengurangi stres, kehamilan ini akan berjalan dengan baik. Dan seperti yang Anda lihat, kondisi janinnya sangat baik. Tumbuh normal, detak jantung stabil.”
Sophia menghela napas panjang. Ada sedikit kelegaan yang merembes di balik kecamuk pikirannya. Setidaknya, untuk saat ini, anak itu baik-baik saja. Itu lebih dari cukup untuknya—untuk menjadi alasan bertahan, walau hatinya sendiri sedang hancur berkeping.
Beberapa menit kemudian, Sophia berterima kasih pada sang dokter, lalu melangkah keluar dari ruang pemeriksaan bersama dengan Joana yang selalu bersamanya.
Joana berjalan sedikit di belakang Sophia, memperhatikan bahu sahabatnya yang tampak turun naik, seolah sedang menahan sesuatu yang berat. Hatinya terasa perih melihat Sophia seperti ini—rapuh, tapi berusaha tampak tegar.
“Kau harus memberi tahu Lucas, Sophia. Dia adalah ayah dari anak yang sedang kau kandung,” ucap Joana pelan, berharap Sophia mau mendengar saran darinya.
Langkah kaki Sophia mendadak terhenti. Dia berdiri mematung di depan lift yang belum juga tiba. Lantas, dia menoleh perlahan ke arah Joana, menatap sahabatnya dengan sorot mata sendu yang penuh luka.
Sophia menggelengkan kepala pelan. “Kali ini aku tidak bisa,” ucapnya dengan nada lemah. “Aku dan dia sudah berpisah. Bagaimana mungkin dia akan menerima kehamilanku?”
Joana menghela napasnya menatap sang sahabat penuh rasa iba. “Tentu dia akan menerima. Itu kan darah dagingnya. Aku rasa dia berhak tahu, Sophia. Cobalah dulu, jangan langsung menyerah seperti itu.”
Sophia tersenyum getie, menunjukkan kerapuan. Dia melangkah menjauh dari lift, lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding lorong dan menghela napasnya dengan panjang.
“Dia tidak akan percaya. Dia membenciku,” kata Sophia dengan nada pelan, dan terdengar tak ada harapan. “Sejak perceraian itu, bahkan wajahku pun enggan dia lihat. Baginya, aku sudah selesai. Jika aku bilang aku hamil, dia pasti mengira aku hanya mencari perhatian atau lebih buruk—berbohong.” Matanya kini berkaca-kaca. Sekilas bayangan wajah Lucas muncul dalam benaknya, dengan tatapan dingin dan penuh kebencian
“Aku akan membesarkan anak ini sendiri, Joana. Tanpa Lucas, aku mampu membesarkan anak yang ada di dalam kandunganku,” kata Sophia pada akhirnya dengan nada cukup tegas, memberikan keputusan final yang dia buat secara teguh.
***
Waktu terus berjalan. Hari-hari dilalui Sophia dengan berbagai perubahan fisik dan emosional. Wanira cantik itu mulai membaca buku tentang kehamilan, mengubah pola makan. Beruntung,Joana tetap setia mendampinginya, menjadi tempat bersandar saat kelelahan maupun sedih menyerangnya.
Pada suatu pagi ketika usia kandungannya telah memasuki bulan keempat, Sophia kembali datang ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin. Kali ini, dia datang sendiri. Joana sedang menghadiri konferensi luar kota, dan Sophia merasa cukup kuat untuk menjalani semuanya sendiri.
Di ruang periksa, dokter yang sama menyambutnya. Pemeriksaan dilakukan seperti biasa, tetapi kali ini ekspresi dokter terlihat sedikit berbeda saat melihat layar monitor.
“Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan pada Anda, Nyonya Carter,” ujar dokter sambil tersenyum kecil, membuat raut wajah Sophia berubah menunjukkan kecemasan.
“Apakah ... ada masalah, Dokter?” tanya Sophia dengan cepat.
“Tidak, justru sebaliknya. Ini kabar baik,” jawab sang dokter, dengan senyuman yang masih bertengger di wajahnya.
“Kabar baik? Kabar baik apa, Dokter?” tanya Sophia, penasaran ingin tahu apa yang akan dikatakan sang dokter.
Sang dokter menunjuk layar monitor, dan berkata dengan nada tenang serta hangat. “Selamat, Nyonya Carter, dari hasil pemeriksaan hari ini, ternyata Anda mengandung bayi kembar.”
Raut wajah Sophia berubah menunjukkan keterkejutannya, mendengar apa yang dikatakan sang dokter. Otaknya mencerna semua dengan baik. Apa yang dulu dia doakan memiliki anak terwujud. Bahkan Tuhan mengabulkan doanya langsung memiliki dua anak sekaligus.
“K-kembar? Kau tidak salah, Dok?” tanya Sophia lagi, meminta sang dokter untuk menjawab.
Sang dokter tersenyum. “Nyonya, saya tidak mungkin salah. Terlihat jelas ada dua janin di rahim Anda. Selamat, Nyonya. Anda akan menjadi ibu dari dua anak sekaligus. Anda dan suami Anda pasti sangat bahagia.”
Lagi dan lagi, Sophia membeku tak bisa berkata apa pun. Tadi dia pikir, dirinya hanya bermimpi saja. Namun sekarang sudah jelas, bahwa dirinya memang mengandung anak kembar. Menikah dengan Lucas baru satu tahun, dan sejak di mana dia resmi menikah dirinya selalu berdoa bisa memberikan keturunan untuk Lucas.
Doa terkabul. Bahkan Tuhan memberikan dua anak sekaligus. Namun, keadaan sekarang berbeda. Sophia dan Lucas kini telah berpisah. Jika kehamilan ini terjadi sebelum malapetaka, pasti dirinya dan Lucas akan sangat bahagia. Sementara sekarang, meski dia bahagia, tetapi ada luka dalam yang tak akan mudah dia sembuhkan.
‘Lucas, lebih baik kau tidak perlu tahu tentang anak-anakmu,’ batin Sophia dengan sorot mata lurus ke depan, menatap kosong dan terlihat berkaca-kaca seakan menunjukkan menahan kuat air matanya.
“Ingin minum?” tanya Jacob menawarkan wine pada Sophia, tepat di kala wanita itu sudah selesai berdansa. Meski dia tak menyukai di kala MC mengumumkan pertukaran pasangan saat dansa, tetapi dia harus menghargai acara bibinya itu.Sophia berdeham sebentar, berusaha mengatur emosi dalam dirinya. Dia harus tetap tenang, tak ingin sampai Jacob mengetahui bahwa tadi dia sempat berdebat dengan Lucas. Tidak. Dia tidak akan pernah membiarkan siapa pun tahu tentangnya dengan Lucas.“Tidak, Jacob. Aku sedang tidak ingin minum alkohol,” tolak Sophia lembut, pada Jacob.Jacob mengangguk, menanggapi ucapan Sophia.“Hm, Jacob, apa kau keberatan mengantarku kembali ke hotel sekarang? Aku merasa sedang kurang sehat,” ujar Sophia lembut.“Kau sedang kurang sehat? Apa yang kau keluhkan?” Jacob dengan penuh perhatian, menyentuh kening Sophia. Pria tampan itu menunjukkan jelas rasa cemas yang membentang di dalam diri.Sophia tersenyum lembut. “Aku hanya sedikit pusing. Maaf, aku tidak bisa terlalu lama d
“Sophia? Kenapa wajahmu kesal seperti itu?” tanya Joana di kala melihat Sophia masuk ke dalam kamar. Dia yang sedang berkutat pada iPad-nya langsung meletakan iPad-nya ke atas meja, dan menatap Sophia dnegan tatapan bingung serta terselimuti rasa penasaran yang membentang.Sophia menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth, Joana.”“Kau bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth?” ulang Joana memastikan, dengan raut wajah terkejut.Sophia mengangguk, menanggapi ucapan Joana.Joana terdiam sebentar. “Kau berada di lingkungan kelas atas. Kau berkenalan dengan Margareth Alford yang merupakan designer ternama. Jadi, aku tidak heran kalau kau bertemu dengan ibu Lucas.”Sophia menghela napas dalam. “Ya, menjadi fashion designer adalah impianku. Aku harus menerima segala konsekunsi termasuk kembali bertemu dengan mantan suamiku berseta keluarganya.”Joana menyentuh tangan Sophia. “Tidak banyak yang aku katakan padamu selain kau harus f
Bel pintu apartemen berbunyi nyaring membuat Lucas menghela napasn kasar. Pria tampan itu sejak tadi hanya diam duduk di sofa sembari menatap kosong. Suara ding-dong itu berulang-ulang, semakin membuat kepalanya berdenyut. Dengan napas berat, dia akhirnya bangkit dari sofa dan menyeret kakinya menuju pintu.“Sayang, kau lama sekali membua pintu,” kata Sarah, ibu Lucas, dan langsung masuk ke apartemen putranya itu.Lucas menatap dingin ibunya yang datang ke apartemennya. “Mom tahu dari mana aku ada di sini?” tanyanya dengan nada kesal. Dia sedang malas untuk diganggu, tetapi ibunya malah muncul.“Mommy tadi tanya sekretarismu, dan dia bilang kau kemungkinan di apartemenmu yang ini, Jadi, Mommy langsung datang saja,” jawab Sarah dengan senyuman di wajahnya, tetapi seketika dia menyadari bahwa ada yang tak beres dengan raut wajah putranya. “Sayang? Apa kau sedan gada masalah? Wajahmu sangat kusut sekali,” lanjutnya dengan nada khawatir.Lucas hanya menatap ibunya sekilas, ekspresinya dat
Sophia menutup pintu kamar hotel dengan cukup kencang, suara pintu tertutup cukup bergema di lorong hotel—menggema seperti jeritan hatinya sendiri. Lantas, tanpa sempat melepas sepatu atau merapikan dirinya, wanita itu berjalan cepat ke arah tempat tidur.Begitu mencapai ranjang, tubuh Sophoa terjatuh dengan lemas. Kepalanya terbenam ke bantal, dan pelan—bahunya mulai bergetar. Tangis itu, yang sejak tadi hanya bergetar di dada, akhirnya pecah kembali.“Kenapa dia harus datang lagi?” bisik Sophia lirih di sela isakan. “Kenapa dia harus menciumku seperti itu, seolah aku ini adalah miliknya.”Sophia menutup wajahnya dengan kedua tangan, jari-jarinya gemetar. Tubuhnya mengejang, seperti tak mampu lagi menahan tekanan yang menumpuk. Ada rasa marah. Ada rasa dipermalukan. Ada luka lama yang terkoyak tanpa ampun. Lucas—pria yang dulu dia cintai, yang telah menceraikannya, dengan tanpa dosanya menciumnya secara brutal dan panas.Hati Sophia benar-benar hancur, dan remuk. Dia merasa diinjak,
Sophia menatap ke cermin, berusaha mengatur napasnya. Sungguh, dia merasa tak nyaman berada di sana. Ingin rasanya dia berlari sekencang mungkin. Namun, di sisi lain, dia ingin fokus pada kariernya. Hanya saja dia membenci lingkungannya yang mengharuskan dirinya kerap bertemu dengan Lucas. Entah, harus sampai kapan dia terus menerus bertemu dengan mantan suaminya itu. Perasaan tak nyaman selalu kerap masuk ke dalam diri, meski dia berusaha selalu mengendalikan dirinya.Sophia membasuh matanya dengan air bersih, lalu dia berbalik dan hendak bermaksud meninggalkan toilet, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ternyata Lucas berdiri di ambang pintu toilet. Ya, dia jelas ingat bahwa dirinya masuk ke dalam toilet wanita. Namun, kenapa bisa Lucas ada di sini? Otaknya benar-benar sekarang menjadi blank.“Lucas, k-kau kenapa di sini?” bisik Sophia, dengan suara yang pelan nyaris tidak terdengar, tapi cukup untuk memotong udara dingin yang memenuhi ruangan kecil itu.Lucas dengan santai
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Sophia kembali ke hotel. Dia melangkah pelan menyusuri lorong menuju kamarnya, masih dengan map proposal dari Margareth di tangan. Sesampainya di dalam, suasana hangat langsung menyambutnya.“Yeay, Mommy pulang!” seru Caleb dan Chloe di kala melihat Sophia sudah pulang.Sophia tersenyum bahagia selalu mendapatkan sambutan dari anak-anaknya. Dia membalas pelukan anak kembarnya itu, dan tatapannya teralih pada Joana yang ada di hadapannya.“Joana? Kau sudah datang?” tanya Sophia cukup terkejut.Joana tersenyum. “Kejutan. Urusanku di Paris sudah selesai. Jadi, aku bisa langsung ke sini.”Sophia mendesah kesal. “Kenapa kau tidak bilang padaku?”“Well, aku ingin memberikan kejutan,” jawab Joana, dengan senyuman di wajahnya, menunjukkan gigi putihnya.“Bibi Joana sudah datang.” Caleb dan Chloe kini memeluk erat Joana.Joana kembali tersenyum, dan memeluk kembar tak kalah erat.Sophia terdiam sebentar. “Caleb, Chloe, bisa kalian ke kamar Amy dulu? Mommy dan







