LOGINSophia membuka pintu kamar hotel dengan pelan, berusaha tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan anak-anaknya. Embusan udara hangat dari dalam menyambutnya, disertai aroma samar bedak bayi dan susu. Pandangannya langsung tertuju pada dua sosok mungil yang tengah terlelap di atas tempat tidur king-size.
Caleb dan Chloe, tidur dalam posisi miring, dengan bantal kecil di pelukan mereka masing-masing. Pipi mereka tampak merah muda, napas teratur, dan rambut halus mereka sedikit berantakan karena gerakan tidur.
Perasaan haru dan hangat seketika menyelimuti dada Sophia. Satu hari yang melelahkan terbayar hanya dengan pemandangan indah itu. Dia pulang cukup malam, tetapi dia lega melihat dua anaknya tidur pulas, tenang.
“Anak-anak sudah makan, kan?” tanya Sophia pelan kepada Amy, pengasuh pribadi Caleb dan Chloe, yang memang dia tugaskan menjaga si kembar.
Amy menoleh dan tersenyum. “Sudah, Nyonya. Tapi, ada sedikit drama tadi. Mereka terus bertanya kapan Anda pulang. Mereka merindukan Anda. Beruntung, Caleb tidak mengamuk seperti biasanya. Saya ajak mereka menggambar, lalu memberi susu dan memutar lagu tidur.”
Sophia mengangguk sambil tersenyum tipis. “Terima kasih, Amy. Kau boleh istirahat. Malam ini biar aku saja yang menemani mereka.”
Amy membalas anggukkan kecil, lalu berjalan pelan ke arah pintu,menuju kamar di sebelah—di mana Sophia memang memesan dua kamar tidur, dengan ada connection door. Hal itu dilakukan agar Amy mudah dalam menjaga kembar.
Saat Amy sudah keluar kamar. keheningan menyelimuti ruangan, menyisakan suara jam dinding yang berdetak lambat dan dengkuran halus dari kedua anaknya. Tampak Sophia berdiri di sisi tempat tidur, membungkuk perlahan, lalu membelai lembut kepala Chloe yang tidur pulas sambil menggenggam boneka kelinci. Setelah itu, dia membetulkan selimut yang mulai melorot dari badan Caleb.
Tatapan Sophia melembut. Ada cinta yang meluap di matanya, tetapi juga sebuah luka yang selama ini dia sembunyikan. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Namun, dia buru-buru menghapus dengan punggung tangan, lalu menghela napas panjang.
“Aku tidak boleh menangis …,” bisik Sophia lirih, seolah sedang menegur dirinya sendiri. “Bagaimanapun juga, ini adalah keputusanku. Aku memilih membesarkan mereka tanpa memberi tahu Lucas.”
Sophia berjalan pelan ke jendela, menarik sedikit tirai, membiarkan cahaya lampu kota masuk dan menghiasi dinding kamar dengan pola kekuningan. Namun, ketenangan malam justru membuat pikirannya mengembara—menuju sosok yang masih sering muncul dalam mimpinya.
Lucas … nama itu seolah menjadi duri yang terus menusuk hati Sophia. Hari ini, dia baru saja mendapat kabar yang membuat dadanya sesak yaitu Lucas akan segera menikah. Sungguh, itu seperti disambar petir di siang bolong. Pria yang dulu bersumpah akan selalu mencintainya, ternyata bisa dengan mudah menggandeng wanita lain. Cepat sekali pria itu melupakan semua kenangan mereka.
“Jadi, begini rasanya ketika seseorang yang dulu kau cintai kini akan menjadi milik orang lain ...,” gumam Sophia pedih. Namun sebelum dia tenggelam terlalu dalam dalam rasa duka, ponselnya bergetar di atas meja. Nama ‘Margareth’ muncul di layar. Buru-buru, dia menyeka wajahnya, lalu mengambil ponselnya, dan menjawab panggilan itu.
“Halo, Margareth?” sapa Sophia dengan lembut.
“Sophia. Kenapa kau pulang lebih dulu? Padahal ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” terdengar suara Margareth yang khas—tegas, tapi hangat—dari seberang.
“Maaf, Margareth. Ada telepon dari Paris tadi. Ada kerjaan mendadak yang harus segera aku urus,” jawab Sophia sebisa mungkin, tak mungkin dia bercerita pada Margareth tentang pikirannya yang kacau setelah bertemu Lucas.
“Ah, seperti itu. Baiklah, aku mengerti.” Ada jeda sejenak, sebelum Margareth melanjutkan dengan nada antusias, “Begini, Sophia. Aku baru saja mendapat kabar bahwa ada salah satu artis terkenal di New York yang tertarik dengan gaun yang kau buat. Dia ingin bertemu denganmu besok. Bagaimana? Apa kau punya waktu?” tanyanya to the point.
Mata Sophia langsung berbinar, dan untuk pertama kalinya malam itu, senyum tulus merekah di wajahnya. “Tentu, Margareth. Tentu saja aku ada waktu,” jawabnya cepat dan penuh semangat. “Di mana kita akan bertemu?” tanyanya tak sabar. Ya, kini yang ada di dalam pikiran Sophia hanya karier.
“Di butikku saja. Datang jam 10 pagi. Kau tidak mungkin lupa alamat butikku, kan?”
“Aku ingat, dan tentu aku akan datang. Terima kasih, Margareth.”
Panggilan berakhir. Sophia meletakkan ponsel kembali ke atas meja, lalu menatap pantulan wajahnya di cermin besar di sisi ruangan. Senyum masih bertahan di wajahnya, meskipun matanya sedikit sembab.
Sophia menghela napas pelan, kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena semangat yang mulai tumbuh kembali. Proyek baru, kesempatan baru, dan mungkin—masa depan baru. Tidak ada waktu untuk menoleh ke belakang, karena sejatinya semua telah banyak berubah.
Sophia sadar bahwa semua hal di dunia ini bisa berubah. Termasuk tentang keadaan dan perasaan manusia. Dia tidak bisa menyalahkan waktu yang berubah. Mungkin memang dirinya harus menyesuaikan dengan keadaan yang ada. Meski perih, tetapi dia tetap harus terus melangkah maju.
Sophia perlahan memejamkan mata sebentar, mengingat kembali tujuannya ke New York adalah untuk hal yang berfokuskan tentang karier. Jelas dia tahu bahwa Lucas tinggal di New York, jadi jika dia kembali bertemu dengan pria itu harusnya tidak ada rasa apa pun.
Empat tahun berpisah adalah waktu yang tidak sebentar. Sekarang, Lucas menggandeng wanita lain, tentunya pria itu berhak memiliki masa depan lebih baik. Anna—sangat cantik, dan terlihat hebat—cocok dengan Lucas yang memiliki segalanya. Berbeda dengan dirinya, yang baru-baru ini memulai kehidupan baik.
Sophia harus ingat bahwa perpisahannya dengan Lucas adalah takdir dari semesta, yang memang sudah seharusnya terjadi. Mungkin alasan kuat adalah dirinya tak pantas bersanding dengan sosok Lucas.
Sophia duduk di sisi ranjang, menatap kedua anaknya dengan hati yang perlahan menguat. “Mungkin Lucas sudah melangkah lebih dulu. Tapi, aku juga akan melangkah. Bukan demi balas dendam, tapi demi masa depanku dan anak-anakku,” gumamnya lembut, lalu jemarinya membelai penuh kehangatan anak kembarnya.
***
Brakkk!
Suara keras pintu yang dibanting menggema di dalam apartemen mewah milik Lucas, memantul di antara dinding putih bersih dan langit-langit tinggi yang biasanya memancarkan ketenangan. Namun malam ini, kediaman itu berubah menjadi tempat yang dipenuhi aura kemarahan dan kekacauan batin.
Lucas berjalan dengan langkah besar dan berat menuju kamar tidurnya. Napasnya memburu, seakan paru-parunya tak cukup luas untuk menampung amarah dan kekacauan yang memenuhi dadanya.
Dalam gerakan frustrasi, pria tampan itu menjambak rambutnya sendiri, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sisi ranjang, tangannya menekan pelipis sementara dadanya naik turun tak teratur.
“Berengsek!” umpat Lucas lantang. Suaranya terdengar serak, penuh amarah yang tertahan terlalu lama.
Mata Lucas kini menatap kosong ke arah lantai, tapi pikirannya berputar kacau. Wajah itu—wajah yang menghantuinya selama bertahun-tahun—tiba-tiba muncul di hadapannya hari ini. Namun, itu bukan wajah yang sama. Penampilannya, auranya, caranya berjalan, semuanya berubah. Elegan, berkelas … dan dingin.
“Kenapa aku harus bertemu denganmu lagi, Sophia?” desis Lucas dingin, dan penuh amarah tertahankan. “Bahkan penampilanmu sangat berubah total! Kau bukan Sophia yang kukenal!” Tangan kirinya meraih dasi yang masih tergantung lepas di leher, lalu ditarik kasar sambil berdiri, dan dasi itu nyaris putus. Dia menjatuhkan benda itu ke lantai dan merogoh ponselnya dengan tangan gemetar. Tanpa pikir panjang, dia menekan nama Axl.
Panggilan langsung tersambung …
“Axl!” seru Lucas, suara masih penuh emosi. “Aku bertemu dengan Sophia di acara fashion show Margareth. Aku ingin kau cari tahu di mana Sophia tinggal selama di sini. Sekarang!” lanjutnya yang merasa bahwa otaknya sekarang tak bisa berhenti berpikir baik.
Ada keheningan sejenak di seberang. Axl terdengar bingung, dan Lucas bisa merasakannya meskipun hanya dari suara napas yang tertahan di telepon.
“Maaf, Tuan …,” jawab Axl pelan, dan sopan. “Kenapa harus mencari tahu tentang Nyonya Sophia? Bukankah Anda sudah memiliki Nona Anna? Maksud saya … Anda akan menikah dengan Nona Anna sebentar lagi.”
Lucas menghela napas panjang. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, sampai buku-buku jarinya memutih. Dia melangkah ke jendela besar di kamar itu, memandangi lampu-lampu kota yang tampak gemerlap di kejauhan. Namun apa yang Lucas lihat bukan pemandangan, melainkan bayangan masa lalu yang kembali menghantui—kenangan akan senyum Sophia, tawa ringannya, serta tatapan kecewa di mata wanita itu sebelum pergi dari hidupnya.
Tangan Lucas yang bebas naik ke kening, memijat pelipis dengan keras, seakan berharap tekanan itu bisa menyingkirkan dilema yang kini menyelimuti pikirannya.
“Aku terpaksa menerima perjodohan ini, Axl. Dan kau tahu itu,” ucap Lucas menekankan, hampir seperti bisikan yang hanya pantas diakui dalam sepi.
Axl menghela napas pelan dari seberang. “Saya tahu, Tuan. Tapi ... jika mencari tahu tentang Nyonya Sophia dalam keadaan seperti ini, hanya akan menimbulkan masalah di hidup Anda.”
“Jadi, menurutmu aku tidak harus mencari tahu tentang Sophia?”
“Tuan, jujur saya terkejut mendengar kabar Anda bertemu dengan Nyonya Sophia. Beberapa tahun ini bahkan saya tidak mendengar nama beliau. Saya tidak tahu ke mana Nyonya Sophia pergi, dan apa yang beliau lakukan, tapi perlu Anda ingat bahwa Anda dan Nyonya Sophia sudah resmi berpisah. Anda harusnya tidak lagi ingin tahu tentang kehidupan Nyonya Sophia. Maaf, jika saya mengatakan ini, Tuan.”
Lucas mengumpat dalam hati mendengar apa yang dikatakan oleh Axl. Pria tampan itu sadar bahwa memang dirinya tak lagi memiliki hak. Dia dan Sophia telah resmi berpisah, tapi pertemuannya kini dengan Sophia menimbulkan sesak—yang membuatnya bahkan tak bisa berpikir jernih.
Tanpa berkata apa pun, Lucas memutuskan panggilan telepon itu. Dia melempar ponselnya ke sofa, dan terus meloloskan umpatan. Hal yang dia benci adalah Sophia berbeda dari yang sebelumnya. Dia bahkan nyaris tak mengenali wanita itu.
“Kenapa kau harus muncul!” geram Lucas kesal.
Selama acara tadi, Lucas mencoba bersikap tenang, dan tak peduli. Padahal otak dan hatinya seakan berperang. Dia membenci momen di mana bertemu dengan mantan istrinya—yang bahkan selalu mengusik hati dan pikirannya.
“Ingin minum?” tanya Jacob menawarkan wine pada Sophia, tepat di kala wanita itu sudah selesai berdansa. Meski dia tak menyukai di kala MC mengumumkan pertukaran pasangan saat dansa, tetapi dia harus menghargai acara bibinya itu.Sophia berdeham sebentar, berusaha mengatur emosi dalam dirinya. Dia harus tetap tenang, tak ingin sampai Jacob mengetahui bahwa tadi dia sempat berdebat dengan Lucas. Tidak. Dia tidak akan pernah membiarkan siapa pun tahu tentangnya dengan Lucas.“Tidak, Jacob. Aku sedang tidak ingin minum alkohol,” tolak Sophia lembut, pada Jacob.Jacob mengangguk, menanggapi ucapan Sophia.“Hm, Jacob, apa kau keberatan mengantarku kembali ke hotel sekarang? Aku merasa sedang kurang sehat,” ujar Sophia lembut.“Kau sedang kurang sehat? Apa yang kau keluhkan?” Jacob dengan penuh perhatian, menyentuh kening Sophia. Pria tampan itu menunjukkan jelas rasa cemas yang membentang di dalam diri.Sophia tersenyum lembut. “Aku hanya sedikit pusing. Maaf, aku tidak bisa terlalu lama d
“Sophia? Kenapa wajahmu kesal seperti itu?” tanya Joana di kala melihat Sophia masuk ke dalam kamar. Dia yang sedang berkutat pada iPad-nya langsung meletakan iPad-nya ke atas meja, dan menatap Sophia dnegan tatapan bingung serta terselimuti rasa penasaran yang membentang.Sophia menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth, Joana.”“Kau bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth?” ulang Joana memastikan, dengan raut wajah terkejut.Sophia mengangguk, menanggapi ucapan Joana.Joana terdiam sebentar. “Kau berada di lingkungan kelas atas. Kau berkenalan dengan Margareth Alford yang merupakan designer ternama. Jadi, aku tidak heran kalau kau bertemu dengan ibu Lucas.”Sophia menghela napas dalam. “Ya, menjadi fashion designer adalah impianku. Aku harus menerima segala konsekunsi termasuk kembali bertemu dengan mantan suamiku berseta keluarganya.”Joana menyentuh tangan Sophia. “Tidak banyak yang aku katakan padamu selain kau harus f
Bel pintu apartemen berbunyi nyaring membuat Lucas menghela napasn kasar. Pria tampan itu sejak tadi hanya diam duduk di sofa sembari menatap kosong. Suara ding-dong itu berulang-ulang, semakin membuat kepalanya berdenyut. Dengan napas berat, dia akhirnya bangkit dari sofa dan menyeret kakinya menuju pintu.“Sayang, kau lama sekali membua pintu,” kata Sarah, ibu Lucas, dan langsung masuk ke apartemen putranya itu.Lucas menatap dingin ibunya yang datang ke apartemennya. “Mom tahu dari mana aku ada di sini?” tanyanya dengan nada kesal. Dia sedang malas untuk diganggu, tetapi ibunya malah muncul.“Mommy tadi tanya sekretarismu, dan dia bilang kau kemungkinan di apartemenmu yang ini, Jadi, Mommy langsung datang saja,” jawab Sarah dengan senyuman di wajahnya, tetapi seketika dia menyadari bahwa ada yang tak beres dengan raut wajah putranya. “Sayang? Apa kau sedan gada masalah? Wajahmu sangat kusut sekali,” lanjutnya dengan nada khawatir.Lucas hanya menatap ibunya sekilas, ekspresinya dat
Sophia menutup pintu kamar hotel dengan cukup kencang, suara pintu tertutup cukup bergema di lorong hotel—menggema seperti jeritan hatinya sendiri. Lantas, tanpa sempat melepas sepatu atau merapikan dirinya, wanita itu berjalan cepat ke arah tempat tidur.Begitu mencapai ranjang, tubuh Sophoa terjatuh dengan lemas. Kepalanya terbenam ke bantal, dan pelan—bahunya mulai bergetar. Tangis itu, yang sejak tadi hanya bergetar di dada, akhirnya pecah kembali.“Kenapa dia harus datang lagi?” bisik Sophia lirih di sela isakan. “Kenapa dia harus menciumku seperti itu, seolah aku ini adalah miliknya.”Sophia menutup wajahnya dengan kedua tangan, jari-jarinya gemetar. Tubuhnya mengejang, seperti tak mampu lagi menahan tekanan yang menumpuk. Ada rasa marah. Ada rasa dipermalukan. Ada luka lama yang terkoyak tanpa ampun. Lucas—pria yang dulu dia cintai, yang telah menceraikannya, dengan tanpa dosanya menciumnya secara brutal dan panas.Hati Sophia benar-benar hancur, dan remuk. Dia merasa diinjak,
Sophia menatap ke cermin, berusaha mengatur napasnya. Sungguh, dia merasa tak nyaman berada di sana. Ingin rasanya dia berlari sekencang mungkin. Namun, di sisi lain, dia ingin fokus pada kariernya. Hanya saja dia membenci lingkungannya yang mengharuskan dirinya kerap bertemu dengan Lucas. Entah, harus sampai kapan dia terus menerus bertemu dengan mantan suaminya itu. Perasaan tak nyaman selalu kerap masuk ke dalam diri, meski dia berusaha selalu mengendalikan dirinya.Sophia membasuh matanya dengan air bersih, lalu dia berbalik dan hendak bermaksud meninggalkan toilet, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ternyata Lucas berdiri di ambang pintu toilet. Ya, dia jelas ingat bahwa dirinya masuk ke dalam toilet wanita. Namun, kenapa bisa Lucas ada di sini? Otaknya benar-benar sekarang menjadi blank.“Lucas, k-kau kenapa di sini?” bisik Sophia, dengan suara yang pelan nyaris tidak terdengar, tapi cukup untuk memotong udara dingin yang memenuhi ruangan kecil itu.Lucas dengan santai
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Sophia kembali ke hotel. Dia melangkah pelan menyusuri lorong menuju kamarnya, masih dengan map proposal dari Margareth di tangan. Sesampainya di dalam, suasana hangat langsung menyambutnya.“Yeay, Mommy pulang!” seru Caleb dan Chloe di kala melihat Sophia sudah pulang.Sophia tersenyum bahagia selalu mendapatkan sambutan dari anak-anaknya. Dia membalas pelukan anak kembarnya itu, dan tatapannya teralih pada Joana yang ada di hadapannya.“Joana? Kau sudah datang?” tanya Sophia cukup terkejut.Joana tersenyum. “Kejutan. Urusanku di Paris sudah selesai. Jadi, aku bisa langsung ke sini.”Sophia mendesah kesal. “Kenapa kau tidak bilang padaku?”“Well, aku ingin memberikan kejutan,” jawab Joana, dengan senyuman di wajahnya, menunjukkan gigi putihnya.“Bibi Joana sudah datang.” Caleb dan Chloe kini memeluk erat Joana.Joana kembali tersenyum, dan memeluk kembar tak kalah erat.Sophia terdiam sebentar. “Caleb, Chloe, bisa kalian ke kamar Amy dulu? Mommy dan







