Tiba-tiba salah satu penari mendekati dirinya dan mengajaknya ke tengah untuk ikut menari. Walaupun bingung, Merry tidak menolak ajakan tersebut. Pria itu memberikan contoh gerakan pada Merry untuk diikuti. Merry pun bisa mengikutinya dengan mudah.
“Woohoo, Merry! You go, girl!” teriak Dawn dari meja mereka yang tentu saja terdengar sampai ke telinganya.
Ternyata bukan hanya dirinya, beberapa tamu lain juga ada yang diajak berdansa. Namun tidak semuanya bisa menguasai gerakan yang dicontohkan dengan cepat. Bisa dibilang koordinasi otot tubuhnya sangat baik, sehingga Merry mudah menghapal dan mengikuti gerakan tarian.
Tanpa diduga, Dawn dan Cathy pun ikut terjun ke lantai dansa dan mengikuti gerakan yang dicontohkan. Dawn dengan mudah meniru, sedangkan Cathy kesulitan mengikutinya.
Setelah itu, para tamu di pinggir pun satu per satu mulai ikut terjun ke tengah lantai dansa. Akhirnya mereka semua kompak menarikan gerakan yang sama.
Merry, Dawn dan Cathy tertawa lepas. Andrenalin mereka terpompa maksimal, padahal mereka tidak menelan pil apapun. Di akhir pertunjukkan, musik berhenti, dan mereka melakukan pose bebas sekerennya.
Setelah hening sejenak, tepuk tangan tumpah ruah memenuhi seluruh ruangan club. Tentu saja pertunjukkan ini direkam sejak awal.
Tak lama DJ kembali memainkan musik, dan para tamu yang masih ingin menari tetap berada di lantai dansa, sebagian kembali ke meja mereka masing-masing, termasuk kelompok Merry. Tidak lupa Merry kembali ke meja bar untuk membawa minuman mereka.
“Oh my God, gilak! Malam ini pecah banget!” teriak Dawn dengan napas terengah dan keringat menetes di keningnya. Dia langsung menenggak air mineral sampai setengahnya.
“Keputusan lo tepat banget kita party di sini!” puji Cathy. Dia pun sama bersemangatnya seperti dua teman lainnya.
“Cowoknya juga ganteng-ganteng!” tawa Dawn.
“Lo masih tertarik sama cowok rupanya,” timpal Merry.
“Anjiirr, masih lah! Lo nggak lihat gue udah dandan heboh begini?”
Mereka bertiga pun tertawa lepas. Tiba-tiba ada seorang pria yang menghampiri mereka bertiga.
“Sorry, ladies, if you don’t mind, Nona Syeiley mengajak kalian bergabung di mejanya,” ucap pria itu. Dari penampilannya sepertinya dia pesuruh si nona kaya itu.
Mereka bertiga terkejut dan saling pandang. Sementara pria itu menunggu jawaban mereka dengan sabar. Cathy menyenggol bahu Merry dan memberikan isyarat untuk menerima ajakan itu. Sementara Dawn hanya mengedikkan bahunya.
Akhirnya Merry pun menyetujui ajakan itu. Tak lama, mereka bertiga sudah bergabung di meja milik Nona Syeiley.
“Hey, I’m Syeiley. Saya melihat penampilan kalian tadi. I’m happy that you guys took the initiative to roll on the dance floor, dan membuat suasana pecah bukan main! That’s super cool! I love it.” Wanita yang usianya dua tahun di atas Merry itu berbicara dengan anggun. Ekspresi wajahnya terlihat tulus dan tidak dibuat-buat. “Sebagai ucapan terima kasih, kalian saya undang di pesta ini. Kalian boleh pesan minuman sesuka kalian, dan bill-nya masukan saja atas nama saya!”
“Seriusan?” sambar Merry girang bukan main. Itu kan artinya dia tidak akan keluar duit sama sekali malam ini.
Syeiley mengangguk tegas dan tersenyum tipis.
“Thank you very much! We’re so much appreciate that!” Cathy membalas dengan sopan.
Tentu saja dia merasa sangat bahagia. Namun dia memiliki agenda tersendiri untuk mendekati nona besar ini dan melebarkan relasinya. Sehingga dia harus menjaga sikapnya agar tidak memalukan.
Untuk selanjutnya, mereka bertiga mulai menikmati suasana, berjoget dan minum-minum. Mereka berbaur dengan tamu-tamu Syeiley, mereka bahkan mengajak Syeiley untuk menari bersama mereka.
“Guys, gue mau ke toilet dulu ya!” teriak Merry setelah dia sudah tidak bisa menahannya. Dawn dan Cathy mengangguk sambil terus asyik meliukkan tubuh mereka mengikuti irama musik.
“Becareful, Mer, you’re drunk right now! Jangan salah jalan pulang!” teriak Dawn. Cewek ini tentu saja masih tidak terlalu mabuk, dia termasuk kuat minum.
Sementara Cathy memang tidak suka terlalu banyak minum minuman beralkohol. Dia tidak suka kehilangan kontrol atas tubuh dan kesadarannya.
Merry berjalan dengan sedikit sempoyongan menuju toilet. Pencahayaan ruangan yang remang dengan kilatan lampu disko berwarna warni membuat pandangannya sedikit kabur. Beberapa kali dia menabrak tubuh orang lain.
“Oops, sorry!” ucapnya dengan wajah yang memerah karena pengaruh alkohol. Dalam hatinya mengutuk, mengapa club ini besar sekali sehingga dia kesulitan mencari toilet?
Akhirnya setelah susah payah mencari, dia berhasil sampai ke toilet perempuan. Namun kondisinya mengenaskan. Ada muntahan di lantai. Merry langsung memalingkan wajahnya untuk menghindari dirinya ikutan muntah detik itu juga.
Dia pun naik ke lantai atas, yang merupakan lantai ruangan VIP. Di lantai atas pasti ada toilet juga, dan seharusnya ruangannya lebih bersih. Dia berjalan menyusuri koridor, membuka pintu satu persatu.
“Oops, sorry, salah ruangan,” dia terkikik geli saat melihat sepasang pria dan wanita sedang saling bercumbu di dalam ruangan itu.
Di ruangan yang lain, dia melihat sekelompok pria sedang berpesta bersama wanita-wanita panggilan, “Maaf, salah ruangan!” teriaknya masih cekikikan.
Di pintu yang ketiga, dia hanya melihat seorang pria duduk seorang diri berwajah muram dengan segelas wine di tangannya.
“Oh, ini juga bukan toilet! Arrgh, kenapa sih bangunan ini gede banget!” keluhnya, “Ah, maaf, sudah mengganggu Anda,” ucapnya tersenyum pada pria tersebut sambil melambaikan tangannya.
Setelah menutup pintu, Merry berpikir sebentar. Pria di dalam sana ganteng, tapi wajahnya suram sekali. Pasti dia sudah lama banget tidak bercinta. Merry terkikik geli dengan pikiran mesumnya.
Mendadak dia ingin bersenandung. Maka, dia pun bernyanyi pelan sambil terus mencari-cari toilet dan terus saja salah membuka pintu, sesekali diselingi ucapan maaf apabila ada penghuninya di dalam ruangan itu.
Sampai akhirnya dia tiba di ruangan yang dicarinya, tepat di ujung koridor di lantai bagian kiri.
Merry masuk ke toilet perempuan, bergegas duduk di atas kloset dan menyalurkan hajatnya.
Tepat dugaannya. Kamar mandi di lantai VIP memang sangat mewah, bernuansa merah maroon. Beda kelas dengan di bawah.
Memang sih, kamar mandi di bawah juga termasuk bagus, kalau saja tidak ada genangan muntahan tak jauh dari pintu masuk.
Setelah mencuci tangannya, Merry memandangi dirinya untuk mengecek penampilannya.
“Ya ampun, Marianne, kenapa sih kamu cantik sekali! Hihihihi!” Namanya juga lagi mabok ya, jadi seringkali meracau tidak jelas. “Tapi kenapa kamu masih jomlo sampai sekarang? Coba jawab, kenapa?” Jemarinya yang lentik menunjuk-nunjuk ke cermin. Persis orang yang lagi ngajakin berantem.
Setelah beberapa saat, dia kembali terkikik geli dengan kekonyolannya, berbicara sendirian di depan cermin.
Setelah sudah puas menatap dirinya di depan cermin, Merry pun keluar kamar mandi, masih dengan langkah terhuyung. Namun, saat dia menutup pintu, Merry terkejut karena ada seorang pria yang menunggunya di luar kamar mandi.
“Oh, my God, kamu mengejutkanku! Apa yang kamu lakukan di sana?” tanyanya mengelus dadanya karena terkejut.
“Sepertinya kamu bukan tamu VIP,” ucap pria itu dengan suaranya yang berat dan kedua lengan bersedekap di depan dadanya. Pria itu bersandar di dinding dan menatap dirinya dengan tajam.
“So what? Aku juga tamu di club ini,” balas Merry cuek.
“No, orang yang boleh ada di lantai ini hanya tamu VIP … dan orang yang diundang oleh tamu VIP.” Pria itu berjalan mendekati dirinya, dengan satu tangan berada di dalam kantung celananya. Setiap langkahnya terdengar begitu mengintimidasi. “Jadi, kamu tamu di ruangan berapa?” lanjut pria itu yang sekarang berdiri menjulang sangat dekat dengan tubuh Merry.
Merry bisa merasakan embusan hangat napasnya yang berbau wine, serta harum musk dan rempah dari tubuh pria itu, feromon menguar kuat darinya. Indera Merry tergelitik, wangi pria di depannya begitu menggoda.
“Aku…,” Merry berusaha menjawab, namun tentu saja dia tidak mengetahui jawabannya.
Dia pernah ke club ini dua sampai tiga kali, itu juga diajak teman sesama model. Namun dia tidak pernah naik ke lantai VIP.
“Aku apa?” ulang pria itu, menundukkan wajahnya sehingga wajah mereka hanya berjarak tiga puluh sentimeter.
“A-aku…,” wajah Merry semakin memerah.
Pria ini terlalu memojokkannya. 'Kumohon, jangan lebih dekat dari ini.' Batinnya putus asa.
“Apa sebaiknya aku panggilkan satpam sekarang? Hhmm?” Pria itu seperti menantang dirinya. Dan sialnya, wajah pria itu malah semakin mendekat dan terus mendekat.
“A-aku…,” Merry benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Tubuhnya makin menempel di dinding belakangnya
Tiba-tiba saja di luar dugaan, bibir pria itu menyambar bibirnya. Melumatnya dengan penuh gairah.
Awalnya Merry tidak tahu bagaimana harus bereaksi, sehingga dia hanya berdiri mematung. Namun hal itu hanya berlangsung selama sekian detik.
Ciumannya begitu nikmat dan menggebu-gebu, membuat Merry tidak bisa menolaknya, sehingga dia pun membuka mulutnya dan menyambut ciuman itu dengan sama bergairahnya.[]
Tangan mereka sibuk saling menjamah. Merry memeluk leher pria itu, sementara sepasang lengan kekar melingkar di pinggangnya, menarik tubuhnya begitu dekat, Merry bisa merasakan bara menguar dari tubuhnya. Kemudian pria itu melepaskan ciumannya. Matanya terlihat gelap, segelap langit malam, menatapnya dengan penuh nafsu. Merry terhuyung, kali ini bukan pusing karena pengaruh alkohol, melainkan ciuman dahsyat yang baru pertama kali dia rasakan sepanjang hidupnya. Tiba-tiba pria itu menggandeng tangannya dan membawanya menuju ruangannya. Setelah menutup pintu, pria itu kembali menghujani Merry dengan ciuman. Bibirnya, pipinya, lehernya, merambat ke belahan dadanya. Merry sudah terlalu terlena dengan kenikmatan yang sedang dirasakan olehnya saat ini. Sehingga dia tidak berdaya menolak. Dia menurut saja seperti sapi yang dicucuk hidungnya saat pria itu merebahkannya ke atas sofa. Kali ini, ciumannya sudah tidak terlalu ganas. Ciumannya sangat lembut namun begitu menuntut. Padahal ruang
“Ashton!” panggilnya setengah berbisik agar tidak memancing perhatian yang lain. Dia melambaikan tangannya pada pria itu, sangat berharap Ashton melihat dirinya. Radar pria itu memang peka. Ashton menghentikan langkahnya saat ingin membuka pintu ruangannya dan menoleh melihat dirinya. “Hei, Merry!” bisiknya juga dari kejauhan, membalas lambaian tangan juniornya di kampus. “Baru masuk?” ucapnya tanpa mengeluarkan suara. Merry mengangguk dengan bahagia karena pria itu menyadari keberadaannya. Ashton langsung memberi dua buah ibu jari dan menyemangati dirinya. “Ehm, ibu Merry, sedang apa? Mari saya akan mengantar ke ruangan untuk junior sekretaris?” tegur staf SDM itu. Merry tersadar dan segera membetulkan posisi tubuhnya, “I-iya, maaf, bu,” jawab Merry. Dia bergegas menyusul wanita itu. Ternyata ruangan sekretaris ada di lantai lain, tepatnya tiga lantai di atas ruangan khusus keuangan dan manajer. Ashton merupakan manajer di perusahaan ini. Sayangnya mereka akan berbeda lantai. M
Sepanjang rapat, Merry sama sekali tidak bisa fokus. Tentu saja disebabkan sosok Ashton yang tepat duduk di seberang dirinya. Sehingga setiap dia mengangkat matanya, wajah pertama yang terlihat adalah wajah pria itu. "Untuk proposal keuangan proyek sambal botolan, saya masih merasa kurang detail. Saya meminta tim satu yang bertanggung jawab pada proyek ini untuk mengajukan proposal budget sampai dengan siang nanti," ucap Ashton dengan ekspresi wajah serius. Merry mendesah demi melihat sisi lain Ashton yang baru kali ini disaksikan olehnya. Biasanya dia melihat Ashton sebagai mahasiswa yang santai dan murah senyum. Baru kali ini dia melihat Ashton berwajah serius, namun entah mengapa hal itu malah menjadi nilai tambah pesona dirinya. Dan sepertinya, bukan dirinya saja yang saat ini sedang terpesona pada pria yang satu itu. Beberapa karyawan perempuan lainnya bahkan secara terang-terangan menatap pria itu tanpa berkedip dengan tatapan nakal. Membuat Merry jijik melihatnya. Ah, ya amp
"Tugas dari Liam? Tugas apa?" tanya Ashton merasa tertarik mendengarnya. Sebenarnya, jabatan junior sekretaris yang saat ini dipegang oleh Merry tidak selamanya kosong. Sebelumnya, pernah ada beberapa sekretaris junior lainnya, hanya saja selama ini Liam tidak pernah memberikan tugas secara langsung pada sekretaris juniornya, dia pasti hanya akan berbicara pada Susan. "Gue harus membelikan makan siang untuk Pak Liam," jawab Merry apa adanya. Untuk beberapa saat, Ashton tidak menjawab ucapan Merry. Dia masih menunggu Merry selesai berbicara. Namun, setelah Merry terdiam cukup lama, Ashton baru menyadari kalau perempuan itu sudah selesai berbicara. "Makan siang? Oke, dia mau makan siang apa?" ucap Ashton kembali. Merry menggelengkan kepalanya putus asa, "Itu masalahnya. Pak Liam nggak memberi tahu sedang selera makan apa. Bu Susan juga nggak mengatakan apa-apa, hanya memberikan petunjuk yang sangat sedikit. Pak Liam nggak suka ikan dan makanan manis, di mana jenis menu seperti itu
Merry mengetuk kembali pintu ruangan bosnya. Tapi kali ini tanpa menunggu jawaban, dia sudah mendorong pintunya terbuka. "Anda ada perlu dengan saya lagi, Pak?" tanya Merry. Dilihatnya saat ini Liam sudah duduk di sofa tengah yang biasa dipakai untuk menerima tamu atau rapat kecil. "Duduklah!" perintah Liam. Merry tidak menolak. Bagaimana mungkin dia menolak perintah dari bosnya? Dia pun duduk tepat berhadapan dengan Liam. "Ada apa, Pak?" tanya Merry benar-benar polos. "Kamu tahu apa yang salah dengan kotak makan yang ada di atas meja?" tanya Liam. Merry menatap menu tersebut dengan terheran-heran. Rupanya Liam sudah mengeluarkan dua kotak itu dari kantongnya. Merry menatap kedua kotak makan tersebut dan sama sekali tidak tahu di mana letak kesalahannya. "Ada dua kotak makanan, Pak. Yang satu isinya lasagna, yang satu spageti," jawab Merry dengan suara pelan karena tidak yakin dengan jawabannya. "Lasagna dan spageti? Jadi ada dua menu?" Merry mengangguk masih kebingungan.
"Apakah kamu sedang merayu saya?" Liam mengulang pertanyaannya kembali. Sesuai dugaan Liam, perempuan di depannya saat ini duduk dengan salah tingkah. Mudah sekali untuk menggoda perempuan itu. Entah kenapa Liam merasa penasaran untuk terus menggodanya. Dan sebenarnya, yang merasakan hal itu tidak hanya Merry. Sejak pagi saat Merry pertama kali muncul di ruangannya, Liam sudah merasa tidak asing dengan wajah perempuan itu. Tentu saja Liam teringat kejadian Sabtu malam sebelumnya, di mana dia sudah melewatkan malam yang panas dan penuh gairah, yang berhasil mengantarkannya pada kepuasan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Namun pagi harinya, dia hanya mendapati kesendirian di dalam ruangan itu. Liam merasa sangat marah dan terhina. Bisa diduga sepanjang sisa akhir pekan dilaluinya dengan suasana hati yang sangat buruk dan ingin terus mengamuk. Siapa yang menyangka kalau wajah itu akan muncul kembali di hadapannya, tepat di dalam ruangan kantornya sebagai sekretarisnya. Ah, tak
Hari kedua bekerja, Merry sudah tiba di kantor pukul setengah delapan pagi. Malam sebelumnya, dia dan kedua sahabatnya menyudahi makan malam ketika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Merry sudah terbiasa tidur larut malam namun pagi harinya sudah harus berangkat bekerja. Untungnya dia tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi walau malam sebelumnya pulang larut. Merry menutup mulutnya saat menguap, dia berjalan menuju lift dan melihat ada banyak orang yang sudah menunggu. Untung saja dia tidak sedang terburu-buru jadi dia tidak perlu memaksakan diri untuk masuk ke dalam lift yang penuh. Dia membiarkan dua lift lewat karena malas berdesakan. "Kalau lo nunggu sampai lift kosong, lo mungkin bakalan telat sampao di ruangan lo," tegur seorang pria yang suaranya sudah sangat dihapalnya. Merry terkejut saat Ashton muncul di sebelahnya. "Oh, Kakak." "Atau lo lagi nunggu seseorang?" tanya Ashton. Merry menggelengkan kepalanya, "Nggak, kok! Gue pikir yang lain lebih sedang terb
Saat Susan masuk ke dalam ruangan, Liam masih sibuk memeriksa laptopnya. Bahkan kelihatannya pria itu sama sekali tidak menyadari cangkir kopi dan kukis di atas pisin. Susan sama sekali tidak merasa heran. Sebenarnya dia sangat mengetahui kalau kesalahan Merry bukan hal yang fatal. Namun Susan sengaja tidak memberitahukannya pada Merry. Susan berdiri di sebelah meja Liam dan menunggu sampai pria itu selesai memeriksa email. Tak lama, Liam sudah mengangkat wajahnya. "Batalkan janji dengan Pak Robert. Sebagai gantinya, buat janji dengan Pak Marco," ucap Liam menyebutkan dua nama calon partner bisnis. "Baik, Pak," jawab Susan dengan sigap. Setelah itu, Susan menjelaskan beberapa dokumen yang harus ditanda-tangani oleh Liam. "Berapa besar kontrak yang berhasil kita dapatkan?" tanya Liam. "Lima milyar, Pak." "Hmm, saya pikir lima belas milyar. Ternyata saya salah sebut ya. Jauh sekali dari target," gumam Liam mengerutkan alisnya, berpikir dalam mempertimbangkan surat kontrak tersebut