Share

Mama Meninggal

"Sudahlah Sayang, mulai saat ini kita berkunjung ke rumah Ibu cukup sebulan sekali aja, gak usah setiap seminggu sekali, bisa panas telingaku." 

Begitu ucap Bagaskara setelah kami meninggalkan rumah mertuaku. Aku langsung mengangguk, tak menutupi rasa panas akibat mulut pedas Kak Hana tadi. 

"Iya, Bang! Begitu jauh lebih baik! Keluargamu julid banget sama aku, Bang!" sahutku setuju sambil menatap wajah sedih suamiku.

"Iya. Dan lagi-lagi Abang dibuat malu dengan keluarga sendiri," kata Bang Bagas dengan lesu.

“Tapi, mereka begitu karena cemburu padamu, Nay.” 

 Aku menelengkan kepala. “Ngapain cemburu sama aku?" 

"Iya, karena keluarga kamu orang terpandang, kamu juga berpendidikan, apalah artinya mereka jika dibandingkan dengan kamu, Nay?" sahut Bang Bagas merendahkan diri.

 Aku mengibas-kibaskan tangan. "Jangan terlalu melebih-lebihkan, Bang! Aku tidak sebaik itu!" jawabku.

 "Kamu menyesal nikah sama Abang, Nay?"

Dahiku kembali merengut mendengar pertanyaannya. “Kenapa sih, itu terus yang Abang tanyakan? Gak ada lagi pertanyaan lain, Pak Bagaskara?" tanyaku mengusap pipinya sambil tersenyum.

Suamiku hanya tersenyum, lalu melingkarkan tangannya di pinggangku, kurasakan detak jantungnya yang berdegup kencang, ia nampak merasakan kegelisahan,  hanya ia alihkan kecemasannya dengan memelukku. Ia juga merasa bersalah, aku dapat merasakannya.

"Kasihan kamu, Nay! Baru aja nikah sama Abang, udah banyak masalah. Orang lain lagi asyik nikmatin jadi pengantin baru, lah kita malah sibuk ngurusin masalah keluarga sama cuan!" keluhnya merenung melihat awan. 

"Yaah, mau dikatakan apa lagi, kenyataannya itu yang kita hadapi saat ini, semangat ya, Bang! Jangan pernah menyerah! Kalau Abang nyerah, aku merasa gak punya kekuatan." Ungkapku menggenggam jemari tangannya.

Beberapa menit kemudian, suara dering ponselku berbunyi. Rupanya, sebuah kabar baik dari Bank Mutiara yang mengatakan jika aku lolos seleksi. Suamiku itu bahkan lebih antusias, menyuruhku membeli semua kebutuhan dengan sisa uang gaji yang kami punya. Namun, kutolak semua sarannya karena mempertimbangkan hari gajian kami bulan depan yang masih jauh.

Bang Bagas kemudian menundukkan pandangan. Raut malu  jelas terlukis di wajah pria yang jadi suamiku. “Maaf ya, aku belum bisa bahagiain kamu, aku malah membiarkan kamu kerja ….”

"Aku kerja karena keinginanku, Bang! Bukan kamu yang suruh kok, aku pengin kamu gak dimarahin Ibu kamu gara-gara telat bayar SPP adik-adikmu!" Kataku.

"Abang kayak ditampar sama kata-kata kamu, Nay!" sahutnya.

Bang Bagas tertunduk malu, perasaan kecewa tersirat di wajahnya, aku sebenarnya tak tega padanya. Dia selalu dibebani soal uang oleh orang tuanya.

"Aku milik suamiku, dan suamiku milik Ibunya, suamiku wajib memberikan bagian dari penghasilannya untuk Ibu, itu juga kalau lagi ada, kalau enggak?" gumamku menatap iba suamiku.

Lalu aku duduk di kursi rias dan bercermin membersihkan wajahku dengan cleanser, kulihat raut wajah suamiku dari cermin, "Untung saja kamu baik, kalau tidak! Apa yang bisa aku harapkan dari pernikahan konyol ini!" batinku terus memantau suamiku yang tengah merenung memandang langit-langit di kamarku sambil memegang sebatang rokok yang dikepit jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Bang, aku kerja bukan karena aku ingin bermewahan mengejar materi. Tapi karena aku tahu bagaimana rasanya hidup susah." Kataku santai sembari membubuhkan masker ke wajahku.

"Iya, Abang juga faham, gak usah terlalu banyak mikirin soal biaya sekolah, nanti kamu capek sendiri, Nay! Biar itu urusan Abang." Sahut suamiku menyesap sebatang rokok di tangannya.

"Bukan itu, Bang! Maksudku, kepinginnya aku tuh, Ibu ngertiin kita dong, kalau kita lagi gak ada, jangan memaksa." Tuturku merebut rokok yang sedang disesapnya lalu kubuang dengan kesal.

"Hey! Kamu ini, rokok Abang kok dibuang, Nay?" tanyanya kesal.

"Sudah jangan merokok terus, jadi gak nyambung diajak bicara!" ketusku.

Beberapa menit kemudian, dering ponselku berbunyi kembali. Kali ini Papa memberiku pesan.

[Papa: Naya! Lekas pulang, Nak! Mamamu masuk Rumah Sakit dan dia terus menanyakanmu!]

 Aku lekas membalas pesan papaku, meminta beliau mengirimkan alamat rumah sakit tempat mama dirawat.

"Kenapa Sayang?" tanya Bagaskara.

 Aku menatapnya dengan sorot kepanikan. "Mama masuk Rumah Sakit, Bang! Ayo kita belok arah ke Rumah Sakit Sejahtera."

 Aku dan Bang Bagas pergi menuju Rumah sakit, aku cemas dan khawatir akan kesehatan Mama. Sesampainya di sana, aku dan Bang Bagas berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit yang luas ini. Dengan hati yang tenang dan fokus, akhirnya kami menemukan ruangan tempat Mama dirawat. Ketika sampai di ruang inapnya … Mama begitu lemah.

‘Ya Tuhan, mengapa kali ini mengapa perasaanku berbeda?’ batinku menangis melihat Mama yang terbaring lemah.

"Pa, kenapa Mama sampai begini? Apa Bi Marni gak datang ke rumah bantu-bantu kerjaan di rumah? Atau Mama kepikiran sesuatu terlalu dalam?” tanyaku begitu melang dengan keadaan Mama. 

"Mamamu memikirkan kamu juga suamimu, Nay. Dia juga bertanya, bagaimana Ibu mertua dan iparmu, apakah mereka baik padamu? Papa bilang saja mereka baik dan sayang padamu.” Papa menundukkan pandangannya. Kesedihan begitu nyata terlihat dari wajahnya. “Yang aneh … Mama bilang, Mama bisa pergi dengan tenang setelah pertanyaan itu Papa jawab.”

Tak lama, semua firasat … dari gelagat Mama yang aneh, juga perasaanku yang buruk itu terjawab dengan kabar dokter yang menyatakan Mama telah berpulang. Bagaskara memberitahu Ibunya bahwa Mama sudah tiada. Kami pulang membawa jenazah Mama ke rumah untuk segera mengurus prosesi pemakamannya.

Melihat Papa yang begitu berduka, perasaan sedih dan terpukulku perlahan berkurang. Bagaimana pun, posisi Papa di sini lebih butuh dukunganku. Papa tak hanya kehilangan seorang istri, melainkan seorang kekasih, seorang teman hidup yang biasa menemaninya dalam suka dan duka. Aku jadi berpikir sendiri … kira-kira, bagaimana kalau aku yang ada di posisi Mama? Apa Bagaskara akan seterpukul itu kehilanganku?

Lalu, tiba-tiba pikiranku teringat satu hal. Kupanjangkan leher untuk mengitari pandangan, mencari sosok atau perwakilan keluarga mertuaku. Saat tamu masih berdatangan untuk melayat, tak kutemukan satu pun dari mereka berjejal di antaranya.

‘Ke mana perginya mertua dan ipar-iparku??’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status