Share

Mama Meninggal

Author: saffaghania
last update Last Updated: 2023-03-09 04:09:47

"Sudahlah Sayang, mulai saat ini kita berkunjung ke rumah Ibu cukup sebulan sekali aja, gak usah setiap seminggu sekali, bisa panas telingaku." 

Begitu ucap Bagaskara setelah kami meninggalkan rumah mertuaku. Aku langsung mengangguk, tak menutupi rasa panas akibat mulut pedas Kak Hana tadi. 

"Iya, Bang! Begitu jauh lebih baik! Keluargamu julid banget sama aku, Bang!" sahutku setuju sambil menatap wajah sedih suamiku.

"Iya. Dan lagi-lagi Abang dibuat malu dengan keluarga sendiri," kata Bang Bagas dengan lesu.

“Tapi, mereka begitu karena cemburu padamu, Nay.” 

 Aku menelengkan kepala. “Ngapain cemburu sama aku?" 

"Iya, karena keluarga kamu orang terpandang, kamu juga berpendidikan, apalah artinya mereka jika dibandingkan dengan kamu, Nay?" sahut Bang Bagas merendahkan diri.

 Aku mengibas-kibaskan tangan. "Jangan terlalu melebih-lebihkan, Bang! Aku tidak sebaik itu!" jawabku.

 "Kamu menyesal nikah sama Abang, Nay?"

Dahiku kembali merengut mendengar pertanyaannya. “Kenapa sih, itu terus yang Abang tanyakan? Gak ada lagi pertanyaan lain, Pak Bagaskara?" tanyaku mengusap pipinya sambil tersenyum.

Suamiku hanya tersenyum, lalu melingkarkan tangannya di pinggangku, kurasakan detak jantungnya yang berdegup kencang, ia nampak merasakan kegelisahan,  hanya ia alihkan kecemasannya dengan memelukku. Ia juga merasa bersalah, aku dapat merasakannya.

"Kasihan kamu, Nay! Baru aja nikah sama Abang, udah banyak masalah. Orang lain lagi asyik nikmatin jadi pengantin baru, lah kita malah sibuk ngurusin masalah keluarga sama cuan!" keluhnya merenung melihat awan. 

"Yaah, mau dikatakan apa lagi, kenyataannya itu yang kita hadapi saat ini, semangat ya, Bang! Jangan pernah menyerah! Kalau Abang nyerah, aku merasa gak punya kekuatan." Ungkapku menggenggam jemari tangannya.

Beberapa menit kemudian, suara dering ponselku berbunyi. Rupanya, sebuah kabar baik dari Bank Mutiara yang mengatakan jika aku lolos seleksi. Suamiku itu bahkan lebih antusias, menyuruhku membeli semua kebutuhan dengan sisa uang gaji yang kami punya. Namun, kutolak semua sarannya karena mempertimbangkan hari gajian kami bulan depan yang masih jauh.

Bang Bagas kemudian menundukkan pandangan. Raut malu  jelas terlukis di wajah pria yang jadi suamiku. “Maaf ya, aku belum bisa bahagiain kamu, aku malah membiarkan kamu kerja ….”

"Aku kerja karena keinginanku, Bang! Bukan kamu yang suruh kok, aku pengin kamu gak dimarahin Ibu kamu gara-gara telat bayar SPP adik-adikmu!" Kataku.

"Abang kayak ditampar sama kata-kata kamu, Nay!" sahutnya.

Bang Bagas tertunduk malu, perasaan kecewa tersirat di wajahnya, aku sebenarnya tak tega padanya. Dia selalu dibebani soal uang oleh orang tuanya.

"Aku milik suamiku, dan suamiku milik Ibunya, suamiku wajib memberikan bagian dari penghasilannya untuk Ibu, itu juga kalau lagi ada, kalau enggak?" gumamku menatap iba suamiku.

Lalu aku duduk di kursi rias dan bercermin membersihkan wajahku dengan cleanser, kulihat raut wajah suamiku dari cermin, "Untung saja kamu baik, kalau tidak! Apa yang bisa aku harapkan dari pernikahan konyol ini!" batinku terus memantau suamiku yang tengah merenung memandang langit-langit di kamarku sambil memegang sebatang rokok yang dikepit jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Bang, aku kerja bukan karena aku ingin bermewahan mengejar materi. Tapi karena aku tahu bagaimana rasanya hidup susah." Kataku santai sembari membubuhkan masker ke wajahku.

"Iya, Abang juga faham, gak usah terlalu banyak mikirin soal biaya sekolah, nanti kamu capek sendiri, Nay! Biar itu urusan Abang." Sahut suamiku menyesap sebatang rokok di tangannya.

"Bukan itu, Bang! Maksudku, kepinginnya aku tuh, Ibu ngertiin kita dong, kalau kita lagi gak ada, jangan memaksa." Tuturku merebut rokok yang sedang disesapnya lalu kubuang dengan kesal.

"Hey! Kamu ini, rokok Abang kok dibuang, Nay?" tanyanya kesal.

"Sudah jangan merokok terus, jadi gak nyambung diajak bicara!" ketusku.

Beberapa menit kemudian, dering ponselku berbunyi kembali. Kali ini Papa memberiku pesan.

[Papa: Naya! Lekas pulang, Nak! Mamamu masuk Rumah Sakit dan dia terus menanyakanmu!]

 Aku lekas membalas pesan papaku, meminta beliau mengirimkan alamat rumah sakit tempat mama dirawat.

"Kenapa Sayang?" tanya Bagaskara.

 Aku menatapnya dengan sorot kepanikan. "Mama masuk Rumah Sakit, Bang! Ayo kita belok arah ke Rumah Sakit Sejahtera."

 Aku dan Bang Bagas pergi menuju Rumah sakit, aku cemas dan khawatir akan kesehatan Mama. Sesampainya di sana, aku dan Bang Bagas berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit yang luas ini. Dengan hati yang tenang dan fokus, akhirnya kami menemukan ruangan tempat Mama dirawat. Ketika sampai di ruang inapnya … Mama begitu lemah.

‘Ya Tuhan, mengapa kali ini mengapa perasaanku berbeda?’ batinku menangis melihat Mama yang terbaring lemah.

"Pa, kenapa Mama sampai begini? Apa Bi Marni gak datang ke rumah bantu-bantu kerjaan di rumah? Atau Mama kepikiran sesuatu terlalu dalam?” tanyaku begitu melang dengan keadaan Mama. 

"Mamamu memikirkan kamu juga suamimu, Nay. Dia juga bertanya, bagaimana Ibu mertua dan iparmu, apakah mereka baik padamu? Papa bilang saja mereka baik dan sayang padamu.” Papa menundukkan pandangannya. Kesedihan begitu nyata terlihat dari wajahnya. “Yang aneh … Mama bilang, Mama bisa pergi dengan tenang setelah pertanyaan itu Papa jawab.”

Tak lama, semua firasat … dari gelagat Mama yang aneh, juga perasaanku yang buruk itu terjawab dengan kabar dokter yang menyatakan Mama telah berpulang. Bagaskara memberitahu Ibunya bahwa Mama sudah tiada. Kami pulang membawa jenazah Mama ke rumah untuk segera mengurus prosesi pemakamannya.

Melihat Papa yang begitu berduka, perasaan sedih dan terpukulku perlahan berkurang. Bagaimana pun, posisi Papa di sini lebih butuh dukunganku. Papa tak hanya kehilangan seorang istri, melainkan seorang kekasih, seorang teman hidup yang biasa menemaninya dalam suka dan duka. Aku jadi berpikir sendiri … kira-kira, bagaimana kalau aku yang ada di posisi Mama? Apa Bagaskara akan seterpukul itu kehilanganku?

Lalu, tiba-tiba pikiranku teringat satu hal. Kupanjangkan leher untuk mengitari pandangan, mencari sosok atau perwakilan keluarga mertuaku. Saat tamu masih berdatangan untuk melayat, tak kutemukan satu pun dari mereka berjejal di antaranya.

‘Ke mana perginya mertua dan ipar-iparku??’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Wanita Yang Bersama Arkan

    "Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Cinta Tak Harus Memiliki

    "Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Dia datang lagi dan lagi

    Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Cinta Lama Bersemi Lagi

    "E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Dia yang Tiba-tiba Datang

    "Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Ibu Marah

    "Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status