Share

Makanan dari Ibunya Safira

"Ibu bicara apa, sih?" Sadam mulai kesal dengan sikap ibunya kepada sang istri. 

"Memang istrimu seperti itu, 'kan? Maunya hidup enak dan senang. Bisanya menghabiskan uang saja, heh," cetus wanita yang memakai daster selutut dan lengan pendek itu.

"Aku katakan sekali lagi, ya, Bu. Saat pulang kerja kadang aku merasa lelah sekali, tetapi masih harus mengurus cucian dan pekerjaan rumah lainnya," tukas Safira.

"Diam! Beraninya kau bicara lancang padaku," timpal Mirah.

Safira pun terdiam, menghela napas kasar dan wajahnya berubah cemberut. Senyuman yang menghiasi wajahnya kini berubah seketika. Perasaan senang setelah bertemu kedua orang tua kini berubah kembali menjadi kesediaan dan sakit hati yang teramat.

Ia benar-benar merasa sangat lelah dan butuh bantuan orang lain. Selama ini Mirah tak pernah sedikit pun membantunya. Setidaknya kalau tak ingin membantu, biarkan orang lain saja.

Namun, justru keinginan Safira dan Sadam sangat ditentang oleh Mirah. Safira dicibir terus-menerus oleh mertuanya sendiri. Lubang besar menganga di hati Safira, terasa sangat sakit meskipun tak berdarah. Semakin lama ucapan yang keluar dari mulut Mirah semakin beracun untuk perempuan berkulit putih itu. 

Mirah menolak mentah-mentah keinginan Safira untuk mencari asisten rumah tangga. Wanita dengan bola mata cokelat itu menganggap bahwa membayar tenaga asisten rumah tangga adalah suatu pemborosan. Padahal dari penghasilan mereka bertiga sangat mampu untuk membayar seorang asisten rumah tangga. 

Selera makan Safira menurun hingga ia tak mau melanjutkan menyantapnya. Keputusan mertuanya tak bisa diganggu, sekali tak ada asisten rumah tangga berarti tak akan pernah ada dan Safira tetap harus mengerjakan semuanya sendiri. 

Terasa sangat sesak dada Safira. Ingin sekali ia mencomot bibir merah ibu mertuanya itu, membantu pun tak pernah dan sekarang tak mengizinkan memakai jasa orang. Padahal Safira sedikit pun tak akan pernah meminta mertuanya itu untuk membayar gaji orang yang membantunya itu.

Mirah tak hentinya nyerocos menjelek-jelekkan menantunya. Belum sedikit pun ia menyendok makanan yang ada di atas piringnya karena mulutnya sibuk ngoceh.

Safira sudah kehilangan selera makannya dan hanya mengaduk-aduk makanannya sendiri. Wajahnya menjadi tak enak dipandang sedangkan Sadam masih melanjutkan makan malamnya seraya mendengarkan ocehan sang ibu.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Safira pun bangkit dan berjalan ke arah ruang tamu, membukakan pintu. Ternyata kakak ipar dan kedua keponakannya yang datang.

Safira sangat senang dengan kedatangan kakak ipar dan kedua keponakannya. Ia menyambutnya dengan senyuman dan raut wajah gembira seraya memeluk sang kakak ipar. 

Istri Sadam itu langsung mempersilakan kakak iparnya masuk dan mengajaknya makan malam bersama meskipun selera makan Safira sudah hilang gara-gara mertuanya tadi. 

"Ya ampun anakku, Ibu senang kau datang. Ibu rindu sekali."

Mirah bangkit dari duduknya menyambut anak pertama dan kedua cucunya. Wajahnya yang masam dan cemberut kini berubah riang. Ia memeluk erat Nala, anak pertamanya, lalu mencium pipi kedua cucunya yang masih kecil-kecil. 

"Apa kabar, Mbak?" tanya Sadam, menoleh ke arah kakaknya seraya tersenyum.

"Baik, kabarmu gimana?" Nala menghampiri Sadam dan berjabat tangan. 

"Baik juga, Mbak. Ayo, makan dulu," ajak Sadam.

Sementara itu berbeda dengan ibu dan kakaknya, Zafar malah tak menghiraukan kedatangan Nala. Ia bersikap tak acuh dan melanjutkan makan malamnya, hanya tersenyum kecut saat Nala menyapa adik bungsunya itu. Sudah tak aneh bagi Nala dan Sadam dengan sikap adik mereka yang selalu tidak pernah peduli karena Zafar merasa kalau sang ibu lebih menyayangi kedua kakaknya.

Zafar berdiri dan mengambil piring kotornya. Kemudian, berlalu menaruh piring tersebut di wastafel tanpa mencucinya. Ia kembali masuk ke kamar setelah makan malamnya selesai. Pemuda yang masih menimba ilmu di perguruan tinggi itu lebih suka menghabiskan waktu sendiri di dalam kamar. Sikapnya pun sangat dingin dan tak acuh. 

Ia selalu merasa kalau Mirah kurang menyayangi dan tak menganggapnya. 

Memang Mirah selalu membedakan apa pun antara Sadam dan Zafar. Wanita yang mempunyai tiga anak itu memang lebih menyayangi Sadam dibanding anak bungsunya, selalu Sadam yang diutamakan. Jadi, timbul kecemburuan dalam hati Zafar.

"Zafar, kakakmu baru datang malah pergi. Hey!" panggil Mirah yang tak dihiraukan anak bungsunya itu.

"Tuli kau!" cela Mirah kesal tak dipedulikan oleh Zafar.

"Sudah, Bu, biarkan saja. Mungkin Zafar sedang ingin istirahat," kata Nala mendudukkan kedua anaknya di kursi makan masing-masing.

"Anak itu memang selalu bersikap dingin sama Ibu. Ia selalu bilang kalau Ibu lebih sayang ke kalian. Padahal Ibu menyayanginya, juga." Mirah menghela napas panjang. 

Mirah tak pernah sadar dengan sikapnya yang selalu mengutamakan Sadam. Ia selalu mengelak dan sudah merasa adil kepada semua anaknya.

Safira mulai melanjutkan menyantap makan malamnya. Ia teringat sang ibu yang sudah lelah memasak untuknya, hatinya terenyuh dan mulai menyuapkan makanannya. Lagi pula kedatangan kakak iparnya membuat suasana hati Safira membaik. Sementara itu Sadam sedang menikmati sepotong kue sebagai makanan penutupnya. 

"Cuih, ih."

Tiba-tiba Mirah memuntahkan makanan yang baru sesendok dimasukan ke mulut. Wajahnya kembali memerah.

"Kenapa, Bu?" tanya Nala yang malah sudah menikmati makanannya.

Safira tercekat melihat makanan yang dimasak ibunya malah dimuntahkan oleh sang mertua di depan wajahnya sendiri. Ia melongo tak bisa berkata-kata, tubuhnya terpaku di kursi yang ia duduki.

"Ibumu bisa masak atau tidak, hah?" Bola mata Mirah melotot di balik kacamatanya.

Gemetar tangan Safira memasukkan sendok ke mulutnya, mencicipi masakan yang dibawa dari rumah sang ibu tadi. Lidah Safira tak merasakan ada yang aneh di makanannya.

"Kenapa, sih, Bu?" tanya Sadam yang mulai lelah dengan mulut Mirah yang selalu saja memulai pertengkaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status