Erna menyiapkan beberapa menu dalam satu keranjang, yang nantinya akan kubawa. Ya, semoga saja nanti akan terjual banyak. Hari pertama berjualan, rasanya hatiku deg-degan. Aneh.
"Aku siap-siap dulu, ya," pamitku."Iya, jangan lupa bawa payung, takut hujan." Langit hari ini tidak secerah sebelumnya, semoga saja hujan tidak turun.Sesampainya di rumah, Nyonya besar itu sudah tidak ada. Tentu saja, mertuaku pasti sudah mengantarkan anak kesayangannya. Kebetulan, hari ini mereka sengaja tidak membeli sayur. Semoga saja jualanku habis.Setelah semua siap, aku menggendong Fito dengan kain panjang. Membawa bekal minum dan payung. Saat ini, baru jam delapan pagi, ingin pamit dengan Mas Bo'eng pun percuma. Ia tidak akan bangun ataupun membutuhkan tenagaku. Lagian, hari ini aku ingin memberikan mereka semua pelajaran."Mau ke mana, tuh?" tanya Rian dengan mata fokus ke layar ponselnya tanpa menoleh ke arahku. Ia sedang rebahan di sofa ruang tamu sambil memakan cemilan. Ternyata, yang semalam membuang bungkus makanan ini adalah Rian."Heh! Budek, ya?" umpatnya. Mungkin dia kesal pertanyaannya tidak aku jawabAku pergi begitu saja, tanpa memedulikan ucapannya. Tak lupa menutup pintu belakang, dan melewatinya kembali. Memang, jika lewat dari pintu depan, rumah Erna lebih jauh. Karena harus memutar. Tak apalah."Woy! Bisu lu, ya!" Terus mengumpat hingga suaranya terdengar semakin samar, ketika pintu telah tertutup sempurna.***Hari ini adalah hari pertama aku menjajakan sayuran matang, dari rumah ke rumah. Tidak ada rasa malu lagi yang terselip. Jika aku malu, kami tidak akan makan hari ini.Sepertinya, Tuhan sedang memayungi kami. Mentari seakan sedang bersembunyi hari ini, setelah keluar dari gang kontrakan, tujuan awalku adalah ke sekolahan PAUD dekat sini. Semoga saja, ibu-ibu yang tidak sempat memasak, mau membelinya.Benar saja, ibu-ibu muda tengah mengobrol, mungkin untuk sekedar menghilangkan jenuh. Aku memberanikan diri untuk menjajakan jualanku, selintas rasa malu hadir begitu saja."Permisi, Mbak. Ada yang mau beli sayur matang?" tanyaku dengan sedikit gemetar. Mereka menyambut dengan ramah.Sayur matang Erna, siapa yang tidak kenal. Ternyata, mereka pun berlangganan. Lumayan untuk hari pertama. Menjadi semangat lagi mencari rejeki di esok hari."Besok ke sini lagi, ya, Mbak. Jadi kita gak perlu ke dalam lagi," ucap salah satu dari mereka. Tentu saja aku tambah semangat jualan. Maksud Mbak itu adalah, mereka tak perlu repot-repot lagi untuk ke rumah Erna."Iya, Mbak. Terima kasih banyak, ya, sebelumnya.""Sama-sama. Anaknya kenapa dibawa-bawa, Mbak? Kasian, loh." Wanita bercadar itu, begitu ramah pada kami. Terlihat, ia yang paling menonjol dan cantik di antara ibu-ibu muda lainnya."Iya, di rumah tidak ada yang menjaga," jawabku dengan sopan."Ayahnya ke mana?" Pertanyaan datang dari yang lainnya. Satu persatu aku menjawab dengan sedikit menutupi keburukan suamiku. Tentu saja aku tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya kepada mereka."Kerja, Mbak," ucapku berbohong.Setelah kurasa selesai, aku meminta pamit kepada mereka semua. Untuk melanjutkan jualanku kembali. Tak disangka, wanita bercadar itu bernama Sisy, memberikan Fito lembaran uang berwarna biru. Tentu saja, aku menolaknya dengan halus. Bukan sok menolak, tetapi aku malu."Adik, ini untuk beli jajan, ya." Seraya memberikan uang tersebut ke tangan Fito, ia tersenyum cantik sekali."Mbak, maaf. Jangan, ini saya kembalikan," ujarku seraya mengembalikan uang lima puluh ribu ke tangan putihnya."Ambillah. Insyaallah, aku ikhlas." Mbak Sisy tetap menyuruhku untuk mengambilnya."Terima kasih banyak, Mbak. Semoga Tuhan membalas kebaikan Mbak, ya." Hampir saja aku menangis. Ada rasa haru dan malu bercampur menjadi satu. Uang ini, akan aku gunakan untuk keperluan Fito.Dengan menutupi rasa malu, aku mengambilnya dan tak lupa berterima kasih padanya. Ibu-ibu itu pun menyuruhku untuk tidak menolak rejeki yang datang.****Masih tersisa tujuh bungkus lagi, dari lima belas bungkus. Aku harus menjualnya habis, lumayan untuk menabung pikirku.Sinar matahari mulai menyoroti tubuhku, gegas membuka payung agar Fito tidak kepanasan. Dari ujung jalan, aku melihat mertuaku dengan motornya. Buru-buru aku memutar arah, takut jika dia tahu aku berjualan. Pasti akan mengacaukan nantinya."Loh, July? Mau ke mana?" tegur Tante Yola, tetanggaku. Kaget yang kurasakan."Eh, Tante mau ke mana?" Gugup membuatku balik bertanya."Mau beli pulsa, kamu sendiri?" jawabnya kemudian. Matanya tak lepas melihat keranjang di tangan kananku."Oh, ini ... Tante, tolong jangan kasih tau Mami, ya," jawabku dengan takut."Kamu jualan? Kok, Fito dibawa-bawa?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan dariku.Tante Yola adalah teman mertuaku. Hampir setiap hari, mereka selalu bertandang bergantian. Selain Tante Yola, juga ada beberapa lagi. Mereka datang bermain kartu sambil bergosip. Itulah salah satu kerjaan mertuaku jika bersama teman-temannya."Iya, takut nangis. Mas Bo'eng belum bangun soalnya," ucapku. Sontak, aku menutup mulut dengan tangan kiri sambil memegang payung. Hampir saja muka Fito kena."Baiklah, hati-hati, semoga abis." Kami berpisah, tatapannya masih denganku."Amin, Tante."Sesekali aku berhenti di gardu siskamling, memberi Fito minum dan beristirahat sebentar. Lelah juga, mungkin ini sudah jam sepuluh. Pasti Nyonya besar itu sibuk mencari. Setelah beberapa menit beristirahat, aku kembali menjajakan jualanku ke bedengan tak jauh dari sini.Akhirnya, sayur matang yang kubawa habis terjual. Bersyukur banget bisa membeli sesuatu untuk Fito hari ini. Aku mempercepat langkah, tak sabar ingin segera melapor kepada Erna. 15 bungkus habis. Senyum mengurai, aku puas dan bahagia rasanya.Setelah memulangkan keranjang dan membayar dagangan tadi, aku langsung pamit kepada Erna. Takut Mas Bo'eng mencariku. Meskipun aku tahu, ia pasti belum bangun. Tak lupa, uang pemberian Mak Sisy tadi telah aku pisahkan di saku lain.Pintu pagar digembok dari dalam. Aku mencoba memanggil mertuaku dan Rian berulang kali. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang membukakan pintu. Sebelum pamit tadi, aku sempat melirik jam di rumah Erna. Sudah pukul dua belas siang. Matahari semakin tinggi menampakkan diri."Mi ...! Riaaan!" jeritku sekali lagi. Tetap tidak ada yang keluar. Entah sudah gedoran yang ke berapa kalinya."Sabar, ya, Fito." Aku pasrah dan memutar ke rumah Erna, berharap pintu belakang terbuka.Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pelan pintu yang tertutup itu."Mami, Rian ...," panggilku. Tidak ada yang menjawab. Apakah mereka pergi?"Mas Bo'eng! Mas! Tolong bukakan pintu!" jeritku kembali. Namun, tetap saja pintu tidak terbuka.Kamarku dekat dengan dapur, pasti Mas Bo'eng dengar gedoran pintu ini. Sepertinya, mereka sengaja tidak mau membukakan pintu untuk kami. Atau mungkin, memang tidak ada orang di rumah? Baiklah, aku akan menunggu di rumah Erna saja."Ada apa?" Rupanya Erna dari tadi melihatku."Gak ada yang bukain pintu," jawabku lemas."Memang keterlaluan mereka, sini suapi anakmu dulu," ujarnya. Aku menurut, berjalan menghampirinya."Mungkin pada pergi beli makan kali," jawabku menenangkan hati. Meskipun aku tahu, Mas Bo'eng pasti ada di dalam."Tapi, dari pagi tadi, pintu belakang gak dibuka-buka, kok." Erna memberiku sepiring nasi dengan beberapa potong nugget untuk Fito, lalu menyuapinya sambil memandang pintu belakang rumah mertuaku."Sudah di sini dulu aja. Abis itu, kamu makan sana." Aku hanya tersenyum menutupi kekesalanku pada mereka.Apa mereka ingin membalaskan kekesalannya kemarin? Atau mereka sengaja mengunciku? Entahlah, aku hanya bisa menunggu pintu terbuka.Fito makan dengan lahap, nugget ayam buatan Erna memang enak dan gurih. Sama seperti nugget instan yang mahal itu. Setelah selesai, aku sedikit membantu mencuci piring. Akan tetapi, Erna melarangnya.Aku pun mengutarakan ingin membawa jualan lagi untuk besok, semangatku memuncak ketika menghitung hasil untung meski tidak seberapa itu.Dua jam sudah aku dan Fito berada di rumah Erna, rasa cemas begitu bergelayut dalam hati. Takut, jika Mas Bo'eng bangun dan mencari makanan. Karena hari ini, Nyonya besar itu tidak membeli sayur. Pasti ia akan seperti orang gila. Terkadang, aku malu bila bertemu dengan tetangga. Mereka semua menjadi pendengar setia, jika teriakan suami ataupun mertuaku mulai meninggi. Makanya, aku lebih memilih untuk mengalah dan diam."Kamu kenapa, sih? Dari tadi, kok, gelisah?" tanya Erna.Aku membantunya menyiangi sayuran untuk menu besok, tanganku membantu tapi pikiranku ada di rumah itu. Suara Mas Bo'eng pun belum terdengar, apakah sudah sesore ini dia belum juga bangun? Ke mana mereka?"Ah, gak apa-apa. Cuma takut Mas Bo'eng nyariin, karena hari ini gak masak," terangku. Walaupun suamiku kasar dan tidak memedulikan aku, hati ini masih ada rasa kasihan kepadanya. Biar bagaimanapun juga, dia masih suamiku, Ayah dari Fito.Erna memberiku segelas teh manis hangat, "Dia pasti bakal
Setelah mendengar alasannya, Erna menyuruhku untuk membantunya sementara. Hitung-hitung, untuk tabungan. Meski sedikit, lama-lama akan terkumpul banyak."Ya sudah, untuk sementara ini, kamu jualan seperti tadi aja? Biar Fito bermain sama Mita, selama kamu berjualan. Kasihan kalau diajak, gimana?" tanyanya. Tentu saja aku langsung mengiyakan."Apa gak terlalu merepotkan?" tanyaku masih sesenggukan."Fito, kan, sudah gak digendong-gendong lagi? Jadi, gak merepotkan pastinya." Erna menepuk-nepuk pundakku dengan lembut. Ada kekuatan baru mengalir begitu saja."Aku pulang dulu, ya. Takut mereka kunci lagi," pamitku pada Erna. Fito masih tertidur, gegas menggendongnya dengan hati-hati. Hati ini telah menyimpan dendam, dalam diam aku akan bertahan. "Sekali lagi, terima kasih, ya," ujarku kemudian.Erna tersenyum sambil berkata, "Semangat, ya."Setelah masuk lewat pintu belakang, Mas Bo'eng melihatku menggendong Fito. Ia dan keluarganya seperti sengaja tak melihatku.
Tiga bulan sudah aku berjualan sayur matang milik Erna, uang yang aku dapatkan dari keuntungan, telah aku sisihkan tanpa sepengetahuan Mas Bo'eng dan ibunya. Lambat laun, aku mulai berpikir, jika memasak sendiri akan jauh lebih untung. Tapi, ada rasa tidak enak di hati. Bagaimana kalau Erna tidak suka? Uang yang kudapatkan dari penjualan, sudah mulai terasa jumlahnya."Kalau masak sendiri, pasti jauh lebih banyak keuntungannya. Selain itu, aku, kan, sudah ada pelanggan tetap," ucapku dalam hati. Tapi, aku takut Erna jadi salah paham padaku.Beberapa hari lalu, Azam datang ke rumah ini, memberikan kesempatan kepada Mas Bo'eng untuk mengelola usaha konter barunya nanti. Rencananya, Azam akan membuka cabang di dekat sini. Setidaknya, suamiku ada pekerjaan.Azam juga menyuruh Mas Bo'eng untuk mengontrak rumah, atau tinggal di dalam kios baru nanti. Ibu mertuaku membujuk Mas Bo'eng untuk memberikan gaji pertamanya nanti, sebenarnya aku tidak mempersoalkan hal itu. Toh, kewaji
Erna menyuruhku untuk datang melihat konter baru secepatnya, emosi meluap bercampur sedih. Kenapa Mas Bo'eng tidak juga berubah? Erna memboncengku dengan motornya, saat sampai di depan konter itu, aku hanya melihat karyawan lainnya.Menurut Erna, ada sekitar empat karyawan termasuk Melly. Namun, hanya ada dua yang sedang berjaga. Aku pun tidak melihat adanya Mas Bo'eng.Melly adalah seorang perempuan berumur sekitar 18 tahunan. Rumahnya tak jauh dari konter ini. Ibunya Melly adalah langganan Erna."Mau cari apa, Mbak?" tanya perempuan berhijab maron pada kami."Mas Bo'eng sama Melly di mana?" tanyaku langsung. Terlihat ia begitu terkejut dan menoleh ke belakang lalu temannya berdiri mendekati kami.Konter ini terbilang cukup luas, karena dua ruko dijadikan satu. Etalase disusun leter L, aku dan Erna berdiri dekat sekat penghubung pintunya."Emm. Mbak siapa? Mas Bo'eng belum datang, Melly hari ini juga tidak masuk." Perempuan itu bernama Siti. Aku tak bisa membendung emosi lagi."Ke ma
Dasar pecundang sejati, aku hanya bisa bersembunyi dan terus berlari dari kenyataan. "Manusia lemah dan bodoh. Sudah mendapati siksaan batin sedemikian rupa, masih saja mau bertahan dengan keadaan ini." Mungkin kalian pun juga mengatakan hal yang sama seperti itu. Ya, benar! Aku memang bodoh. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan, akhirnya diri ini terjebak di dalam prahara kebodohanku sendiri.Erna menatapku iba, tanpa menceritakan tentang sumber tangisanku, ia sudah tahu permasalahannya. Tangannya meraih bahuku dan memeluknya. "Sabar, ya, Jul. Tuhan sedang menguji, tetap percaya pada-Nya." Aku membenamkan kepalaku di pelukannya."Kurang apa aku, Na? Selama ini, aku gak pernah menuntut apa pun dari Mas Bo'eng. Aku dengan ikhlas menerima semua kekurangannya," ucapku sambil tergugu. Erna mengusap-usap bahuku."Kekurangan kamu adalah terlalu sabar! Pemaaf!" rutuknya."Aku hanya mencoba menjadi istri yang gak neko-neko, Na.""Justru itu, si Bo'eng mengambil kesempatan atas kelemahanmu!" t
Setelah selesai, Azam mengantarkan kami pulang. Hari ini, aku begitu bahagia bisa menemaninya. Azam mengatakan, bahwa ia habis berbelanja untuk kebutuhan konter barunya. Membeli beberapa alat untuk menservis HP. Dalam perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Sedangkan Fito, tengah asyik bermain mainan baru yang dibelikan oleh Azam tadi.Kami melewati konter Mas Bo'eng, sekilas aku melihat suamiku sedang memangku perempuan itu. "Ada apa?" tanya Azam yang tanpa sadar mengikuti arah mataku."Gak ada apa-apa," jawabku asal."Rencananya, aku ingin memasang cctv di sana." Hatiku berdebar. Seolah Azam tahu apa yang sedang aku pikirkan."Oh. Oh, ya, Zam ... Melly itu siapa yang masukin kerja?" tanyaku iseng. Entah kenapa, saat menyebutkan nama perempuan itu, hatiku begitu sakit sekali. Tenggorokan tiba-tiba begitu tercekat.Azam mengerutkan dahi, "Melly? Siapa dia?" Pertanyaan Azam membuatku bertanya-tanya, apa semua hak telah diserahkan sepenuhnya kepada suamiku? Dari memilah karyawan, hing
Pukul sembilan pagi, aku dan Fito baru keluar dari kamar. Beberapa cemilan dan susu kotak rasa coklat, telah pindah ke perut Fito. Aku memang sengaja menunggu mertuaku mengantar Risa kerja. Mereka semua telah pergi, hanya ada aku dan Fito di rumah ini.Aku mengajak Fito mandi dan bergantian denganku. Piring kotor telah menumpuk di atas wastafel dapur, sebenarnya aku tidak betah melihat rumah berantakan seperti itu. Akan tetapi, aku ingin memberikan pelajaran untuk mertuaku. Bisa-bisanya mereka tega membohongiku selama ini. Mendukung Mas Bo'eng tinggal sendiri tanpa kami!"Baiklah, ini, kan, yang kalian mau?" Aku bergumam. Sesak rasanya. Setelah selesai mandi, aku merias diri dengan make-up dari Azam kemarin. Cantik juga wajahku kalau berdandan. Dengan tersipu malu dan tersenyum sendiri.‘Terima kasih, Azam. Dari dulu, hanya kamu yang membuatku tersenyum bahagia.’"Fito, ayo, kita main ke rumah Mbak Mitta," ucapku kepada Fito yang masih bermain dengan mobilannya."Iya, Ma." Anak itu me
Erna menyenggol lenganku. "Cie, dari tadi senyum-senyum terus?" ledeknya."Erna, apa aku salah kalau menerima semua kebaikan dari Azam?" tanyaku."Tentu aja gak salah, kan, bukan kamu yang minta?""Aku takut dibilang pelakor nanti, apalagi kalau sampai Lisa tau," jawabku kemudian."Kamu jangan mengirimkan pesan WA duluan, biar aja si Azam yang duluan kirim." Aku mengangguk paham.Benar juga, untuk apa juga aku mengirim pesan duluan? Di dalam kontak, hanya ada nomor Erna dan Azam yang baru kusimpan dalam memori telepon.Bahkan, aku tidak tahu berapa nomor telepon suamiku sendiri. Setengah jam telah berlalu, suara mertuaku terdengar dari dalam rumah. Sepertinya, dia baru kembali."July! Buatin kopi!" teriaknya."Baru pulang, tuh. Sana buatkan dulu, biar Fito di sini aja," ucap Erna.Aku melangkahkan kaki dengan malas, masuk melewati pintu belakang kembali. Namun, aku terkejut melihat mertuaku berkacak pinggang, "Bisanya ngerumpi aja!" bentak mertuaku.Tanpa berkata apa pun, aku mengambi