Share

Bab 3. Pulang ke Rumah Mertua

Adam mendekap istrinya dalam pelukan. Tentu saja dia tahu isi hati Hana setelah dia mengatakan uang sebenarnya. 

"Mas akan tetap mencintaimu apa adanya, Sayang. Kita akan besarkan anak kita satu-satunya bersama, ya? Kamu harus semangat agar cepat sembuh dan bisa pulang dari sini. Kamu sudah kangen, kan, sama malaikat kecil kita?" kata Adam pelan. Hana mengangguk pelan.

Air matanya mengalir begitu saja ketika berada di pelukan Adam. Jika bukan karena Adam, Hana mungkin tidak akan sekuat itu. Cinta Adam mampu membuatnya menjadi kuat.

Setiap hari, Adam mengajak video call Ibu Laila. Tak sehari pun dia lewatkan karena rasa kangen pada anak yang belum sempat dia gendong itu.

"Anak Ayah lagi apa? Doakan Ibu, ya, semoga cepat pulang dan gendong kamu," ucap Adam sambil mengarahkan kameranya kepada Hana.

Hana tak sanggup berkata-kata. Air matanya mengalir begitu deras ketika melihat anak perempuannya itu. 

Lima hari berlalu. Hana sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Tentu saja hal itu disambut gembira keduanya.

"Alhamdulillah, Sayang ... Kamu akhirnya boleh pulang juga," ujar Adam sembari memeluk istrinya. 

"Alhamdulillah. Terima kasih sudah setia menjagaku, Mas. Aku sudah tidak sabar bertemu anak kita."

"Mas beres-beres bajumu dulu, ya! Setelah ini, Mas mau urus administrasi dulu," kata Adam.

Selama Hana di rumah sakit, Adam mengambil cuti dari tempat kerjanya. Adam adalah salah satu pegawai negeri di kota itu. Karena Hana tidak ada yang menemani di rumah sakit. Sedangkan orang tua Hana tidak tinggal satu kota bersama mereka.

"Iya, Mas."

Tak perlu ada yang dikhawatirkan oleh Adam karena dia punya asuransi kesehatan untuk keluarga kecilnya. Jadi, tak banyak uang yang dia keluarkan. 

Setelah urusan administrasi selesai, Adam menghubungi Ibu Laila untuk memberi kabar kepulangannya bersama Hana.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Waalaikumsalam, Dam. Ada apa, Dam? Hana baik-baik saja, kan?" tanya Ibu Laila. Tak biasa-biasanya Adam menghubungi Ibu Laila di jam sepagi itu.

Ibu Laila termasuk mertua yang menyayangi menantunya. Hana adalah satu-satunya menantunya dan memang Ibu Laila sejak lama ingin punya anak perempuan. 

Tapi takdir berkata lain, dia harus kehilangan rahimnya karena kecerobohan seorang dukun bayi. Saat Ibu Laila hamil, Beliau sempat urut ke salah satu dukun bayi yang ada di sekitar rumahnya.

Siapa sangka itu menjadi malapetaka bagi dirinya. Setelah diurut, Ibu Laila mengalami sakit perut yang teramat sangat sakit hingga akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit. 

Satria harus dikeluarkan saat usia kandungan Ibu Laila menginjak delapan bulan. Tapi, rahim Ibu Laila terpaksa harus diangkat karena sudah rusak akibat tekanan yang berlebihan saat diurut. (Fyi: sekarang sudah tidak dianjurkan untuk ibu hamil diurut, ya, gaes.)

"Alhamdulillah, hari ini Hana sudah boleh pulang, Bu," kata Adam. 

"Alhamdulillah, Ya Allah! Pulang ke rumah saja dulu, Dam. Kasihan istrimu kalau langsung ke rumahmu. Dia masih dalam masa penyembuhan. Kalau di rumah, Ibu bisa bantu jaga anakmu," saran Ibu Laila.

"Iya, Bu. Adam juga berpikiran seperti itu. Tapi, Ibu dan Ayah gak apa-apa, kan, kalau Adam dan Hana di sana sementara waktu?" 

"Ya gak apa-apa lah, Dam. Masak anak sendiri mau di sini Ibu sama Bapak ngelarang, sih?"

"Alhamdulillah. Kalau begitu, Adam mau siap-siap dulu, ya, Bu. Assalamu'alaikum!"

"Waalaikumsalam!"

***

"Sayang, untuk sementara kita tinggal bersama Ibu dan Ayah, ya," ujar Adam sesaat setelah dia kembali dari mengurus administrasi Hana.

Rumah mertua Hana memang tidak terlalu jauh dari rumah yang mereka tempati saat ini. Hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai ke sana.

"Iya, Mas. Hana ikut apa kata Mas Adam saja," jawab Hana sambil membantu suaminya beberes.

Meskipun bekas operasi masih terasa sakit, Hana tidak tega juga membiarkan suaminya mengurus semuanya sendiri.

Sambutan hangat dari Ibu Laila terasa saat Hana dan Adam sampai di rumah. Dengan menggendong cucunya, Ibu Laila membukakan pintu untuk anak dan menantunya.

"Waalaikumsalam!" seru Ibu Laila dari dalam rumah menjawab salam Adam. Beliau segera membukakan pintu rumah.

"Bu." Adam mencium tangan ibunya. Begitu juga Hana.

"Alhamdulillah kalian sudah pulang. Ayo masuk!" ajak Ibu Laila. Senyum sumringah tergambar dari bibir ibu paruh baya itu.

"Anak Adam mana, Bu?" tanya Adam kemudian.

"Lagi tidur, Dam. Alhamdulillah anak kalian anteng selama di sini."

"Alhamdulillah. Maaf, ya, Bu ... Hana merepotkan Ibu terus," ucap Hana tak enak hati.

"Gak apa-apa, Nduk. Dia juga cucu Ibu. Tak perlu minta maaf segala. Yang paling penting kamu sehat dulu. Kalian tinggal saja di sini sementara waktu, ya?" Adam dan Hana mengangguk bersamaan.

"Ayah di mana, Bu?"

"Biasalah kerjaan ayahmu itu, kan, tiap hari cuma mancing gak jelas," jawab Ibu Laila kecut.

Adam dan Hana pun tersenyum kecil mendengar jawaban Ibu Laila. Pak Guntur adalah seorang pensiunan pegawai kantor di pasar besar di kota. Uang pensiunan Pak Guntur hanya diberikan satu kali dan itu untuk membeli rumah yang sekarang di tempat Pak Guntur dan Ibu Laila.

"Kalian istirahat saja dulu. Ibu siapkan makanan untuk kalian."

"Terima kasih, Bu," jawab Hana.

Tempat pertama yang mereka tuju adalah kamar yang digunakan anak mereka tidur. Hana tak berhenti berkedip memandangi wajah mungil bayi perempuan yang belum genap satu Minggu itu. Wajah bayi mereka lebih mirip ke Adam. 

"Mirip kamu, Mas," celetuk Hana. Tangannya memegang tangan mungil milik anaknya.

"Mirip kamu juga. Itu bibirnya sama persis denganmu," balas Adam yang juga tersenyum bahagia.

Tes! Air mata jatuh dari kedua bola mata Hana ketika dia mengingat apa yang baru saja dia lewati. Diciuminya pelan bayi mungil yang belum mereka beri nama itu.

Sadar istrinya menangis, Adam meraih tangan Hana dan menggenggamnya erat. "Kamu kenapa menangis, Sayang?" 

Hana menggeleng pelan. Dia tak tahu harus bicara apa pada suaminya soal kekhawatiran dirinya karena tidak bisa memberi Adam keturunan lagi.

"Jangan bohong sama Mas, Han! Mas tahu kamu sedang memikirkan sesuatu. Katakanlah! Mas siap untuk mendenfarkanmu di sini," kata Adam sambil menatap mata istrinya penuh cinta.

"Maafkan aku yang tidak bisa memberikanmu keturunan lagi, Mas. Aku tidak bisa memberikanmu anak laki-laki seperti permintaan Ayah," isak Hana.

Tangisan Hana pecah ketika mengingat ucapan ayah mertuanya yang sangat menginginkan cucu laki-laki dari anak satu-satunya itu.

"Sssttt! Dia saja cukup bagiku, Sayang. Laki-laki dan perempuan itu, sama saja bagiku, Han. Kamu gak usah bersedih. Semua ini sudah takdir Allah, Han. Satu yang perlu kamu ingat, aku akan selalu bersamamu sampai akhir hayat ku." 

Kecupan manis mendarat di kening sang istri. Dukungan dan semangat selalu Adam berikan untuk Hana.

"Tapi bagaimana kalau Ayah tahu jika rahimku diangkat, Mas? Bukankah Beliau akan kecewa?" ucap Hana lagi. Dia masih belum tenang hatinya, walaupun suaminya sudah menghibur hatinya.

Prank!!!! Sebuah benda jatuh dari luar kamar. Suara apakah itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status