Adam mendekap istrinya dalam pelukan. Tentu saja dia tahu isi hati Hana setelah dia mengatakan uang sebenarnya.
"Mas akan tetap mencintaimu apa adanya, Sayang. Kita akan besarkan anak kita satu-satunya bersama, ya? Kamu harus semangat agar cepat sembuh dan bisa pulang dari sini. Kamu sudah kangen, kan, sama malaikat kecil kita?" kata Adam pelan. Hana mengangguk pelan.
Air matanya mengalir begitu saja ketika berada di pelukan Adam. Jika bukan karena Adam, Hana mungkin tidak akan sekuat itu. Cinta Adam mampu membuatnya menjadi kuat.
Setiap hari, Adam mengajak video call Ibu Laila. Tak sehari pun dia lewatkan karena rasa kangen pada anak yang belum sempat dia gendong itu.
"Anak Ayah lagi apa? Doakan Ibu, ya, semoga cepat pulang dan gendong kamu," ucap Adam sambil mengarahkan kameranya kepada Hana.
Hana tak sanggup berkata-kata. Air matanya mengalir begitu deras ketika melihat anak perempuannya itu.
Lima hari berlalu. Hana sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Tentu saja hal itu disambut gembira keduanya.
"Alhamdulillah, Sayang ... Kamu akhirnya boleh pulang juga," ujar Adam sembari memeluk istrinya.
"Alhamdulillah. Terima kasih sudah setia menjagaku, Mas. Aku sudah tidak sabar bertemu anak kita."
"Mas beres-beres bajumu dulu, ya! Setelah ini, Mas mau urus administrasi dulu," kata Adam.
Selama Hana di rumah sakit, Adam mengambil cuti dari tempat kerjanya. Adam adalah salah satu pegawai negeri di kota itu. Karena Hana tidak ada yang menemani di rumah sakit. Sedangkan orang tua Hana tidak tinggal satu kota bersama mereka.
"Iya, Mas."
Tak perlu ada yang dikhawatirkan oleh Adam karena dia punya asuransi kesehatan untuk keluarga kecilnya. Jadi, tak banyak uang yang dia keluarkan.
Setelah urusan administrasi selesai, Adam menghubungi Ibu Laila untuk memberi kabar kepulangannya bersama Hana.
"Assalamu'alaikum, Bu."
"Waalaikumsalam, Dam. Ada apa, Dam? Hana baik-baik saja, kan?" tanya Ibu Laila. Tak biasa-biasanya Adam menghubungi Ibu Laila di jam sepagi itu.
Ibu Laila termasuk mertua yang menyayangi menantunya. Hana adalah satu-satunya menantunya dan memang Ibu Laila sejak lama ingin punya anak perempuan.
Tapi takdir berkata lain, dia harus kehilangan rahimnya karena kecerobohan seorang dukun bayi. Saat Ibu Laila hamil, Beliau sempat urut ke salah satu dukun bayi yang ada di sekitar rumahnya.
Siapa sangka itu menjadi malapetaka bagi dirinya. Setelah diurut, Ibu Laila mengalami sakit perut yang teramat sangat sakit hingga akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit.
Satria harus dikeluarkan saat usia kandungan Ibu Laila menginjak delapan bulan. Tapi, rahim Ibu Laila terpaksa harus diangkat karena sudah rusak akibat tekanan yang berlebihan saat diurut. (Fyi: sekarang sudah tidak dianjurkan untuk ibu hamil diurut, ya, gaes.)
"Alhamdulillah, hari ini Hana sudah boleh pulang, Bu," kata Adam.
"Alhamdulillah, Ya Allah! Pulang ke rumah saja dulu, Dam. Kasihan istrimu kalau langsung ke rumahmu. Dia masih dalam masa penyembuhan. Kalau di rumah, Ibu bisa bantu jaga anakmu," saran Ibu Laila.
"Iya, Bu. Adam juga berpikiran seperti itu. Tapi, Ibu dan Ayah gak apa-apa, kan, kalau Adam dan Hana di sana sementara waktu?"
"Ya gak apa-apa lah, Dam. Masak anak sendiri mau di sini Ibu sama Bapak ngelarang, sih?"
"Alhamdulillah. Kalau begitu, Adam mau siap-siap dulu, ya, Bu. Assalamu'alaikum!"
"Waalaikumsalam!"
***
"Sayang, untuk sementara kita tinggal bersama Ibu dan Ayah, ya," ujar Adam sesaat setelah dia kembali dari mengurus administrasi Hana.
Rumah mertua Hana memang tidak terlalu jauh dari rumah yang mereka tempati saat ini. Hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai ke sana.
"Iya, Mas. Hana ikut apa kata Mas Adam saja," jawab Hana sambil membantu suaminya beberes.
Meskipun bekas operasi masih terasa sakit, Hana tidak tega juga membiarkan suaminya mengurus semuanya sendiri.
Sambutan hangat dari Ibu Laila terasa saat Hana dan Adam sampai di rumah. Dengan menggendong cucunya, Ibu Laila membukakan pintu untuk anak dan menantunya.
"Waalaikumsalam!" seru Ibu Laila dari dalam rumah menjawab salam Adam. Beliau segera membukakan pintu rumah.
"Bu." Adam mencium tangan ibunya. Begitu juga Hana.
"Alhamdulillah kalian sudah pulang. Ayo masuk!" ajak Ibu Laila. Senyum sumringah tergambar dari bibir ibu paruh baya itu.
"Anak Adam mana, Bu?" tanya Adam kemudian.
"Lagi tidur, Dam. Alhamdulillah anak kalian anteng selama di sini."
"Alhamdulillah. Maaf, ya, Bu ... Hana merepotkan Ibu terus," ucap Hana tak enak hati.
"Gak apa-apa, Nduk. Dia juga cucu Ibu. Tak perlu minta maaf segala. Yang paling penting kamu sehat dulu. Kalian tinggal saja di sini sementara waktu, ya?" Adam dan Hana mengangguk bersamaan.
"Ayah di mana, Bu?"
"Biasalah kerjaan ayahmu itu, kan, tiap hari cuma mancing gak jelas," jawab Ibu Laila kecut.
Adam dan Hana pun tersenyum kecil mendengar jawaban Ibu Laila. Pak Guntur adalah seorang pensiunan pegawai kantor di pasar besar di kota. Uang pensiunan Pak Guntur hanya diberikan satu kali dan itu untuk membeli rumah yang sekarang di tempat Pak Guntur dan Ibu Laila.
"Kalian istirahat saja dulu. Ibu siapkan makanan untuk kalian."
"Terima kasih, Bu," jawab Hana.
Tempat pertama yang mereka tuju adalah kamar yang digunakan anak mereka tidur. Hana tak berhenti berkedip memandangi wajah mungil bayi perempuan yang belum genap satu Minggu itu. Wajah bayi mereka lebih mirip ke Adam.
"Mirip kamu, Mas," celetuk Hana. Tangannya memegang tangan mungil milik anaknya.
"Mirip kamu juga. Itu bibirnya sama persis denganmu," balas Adam yang juga tersenyum bahagia.
Tes! Air mata jatuh dari kedua bola mata Hana ketika dia mengingat apa yang baru saja dia lewati. Diciuminya pelan bayi mungil yang belum mereka beri nama itu.
Sadar istrinya menangis, Adam meraih tangan Hana dan menggenggamnya erat. "Kamu kenapa menangis, Sayang?"
Hana menggeleng pelan. Dia tak tahu harus bicara apa pada suaminya soal kekhawatiran dirinya karena tidak bisa memberi Adam keturunan lagi.
"Jangan bohong sama Mas, Han! Mas tahu kamu sedang memikirkan sesuatu. Katakanlah! Mas siap untuk mendenfarkanmu di sini," kata Adam sambil menatap mata istrinya penuh cinta.
"Maafkan aku yang tidak bisa memberikanmu keturunan lagi, Mas. Aku tidak bisa memberikanmu anak laki-laki seperti permintaan Ayah," isak Hana.
Tangisan Hana pecah ketika mengingat ucapan ayah mertuanya yang sangat menginginkan cucu laki-laki dari anak satu-satunya itu.
"Sssttt! Dia saja cukup bagiku, Sayang. Laki-laki dan perempuan itu, sama saja bagiku, Han. Kamu gak usah bersedih. Semua ini sudah takdir Allah, Han. Satu yang perlu kamu ingat, aku akan selalu bersamamu sampai akhir hayat ku."
Kecupan manis mendarat di kening sang istri. Dukungan dan semangat selalu Adam berikan untuk Hana.
"Tapi bagaimana kalau Ayah tahu jika rahimku diangkat, Mas? Bukankah Beliau akan kecewa?" ucap Hana lagi. Dia masih belum tenang hatinya, walaupun suaminya sudah menghibur hatinya.
Prank!!!! Sebuah benda jatuh dari luar kamar. Suara apakah itu?
Bukan tanpa alasan Hana mengatakan hal itu. Jauh sebelum mereka menikah, Pak Guntur selalu mengatakan jika Hana harus memiliki anak laki-laki dari Adam. Jika tidak, Adam akan dipaksa untuk menikah lagi.Ibu Laila yang mendengar percakapan anak dan menantunya itu terkejut. Minuman yang sejatinya untuk Adam dan Hana terjatuh dari tangannya. Gelas itu pecah berserakan di lantai. Selain gelas, ada piring yang berisi buah-buahan ikut pecah. "Astaghfirullah al'adzim!" ucap Ibu Laila lirih. Adam dan Hana bergegas keluar karena mendengar suara sesuatu yang pecah. "Ya Allah, Ibu! Ibu gak apa-apa, kan?" seru Adam yang melihat ibunya menutup mulut dengan kedua tangan. "Apa Ibu mendengar percakapan kami?" batin Hana. "Biar Adam bereskan dulu pecahannya, Bu." Adam dengan cekatan mengambil sapu dan mengumpulkan satu per satu pecahan piring dan gelas yang besar-besar. "Masuk dulu, Bu! Hana ... ajak Ibu ke kamar dulu," ujar Adam pada istrinya."Iya, Mas." Dengan mata yang sembab, Hana menuntun
"Ayah ... Adam mau bicara," kata Adam masih dengan nada sopan. Selama hidup, Adam belum pernah bicara kasar pada kedua orang tuanya dan itu sangat dihindari oleh Adam. Adam tahu karakter ayahnya seperti apa. Jika batu dilawan dengan batu, yang ada akan terjadi perpecahan. Pak Guntur duduk di ruang tamu dengan masih menahan amarah. Sedangkan Ibu Laila, Beliau ikut duduk bersama anak dan suaminya di sana. Ketakutan yang dirasakan Ibu Laila akhirnya terjadi juga. Awalnya Pak Guntur antusias saat diajak Ibu Laila mengambil cucunya di klinik bidan. Tapi, semuanya berubah ketika Beliau tahu jika cucunya perempuan bukan laki-laki."Ayah, kenapa Ayah bicara seperti itu? Tidakkah ada rasa kasihan melihat menantu Ayah yang baru saja melahirkan dan operasi? Belum cukupkah cobaan Hana dengan kehilangan rahim? Bagaimana hati Hana jika Adam menikah lagi hanya untuk memuaskan keinginan Ayah memiliki cucu laki-laki, Yah?" Panjang lebar Adam berkata-kata. "Iya, Yah. Laki-laki atau perempuan itu sa
Pak Guntur mendengar percakapan Adam dan juga Ibu Laila. "Kesempatan untukku bisa membuat mantu tak tahu diri itu mengerti posisinya di sini!" gumam Pak Guntur. Setelah Adam pergi, Pak Guntur lantas menunggu istrinya keluar dari kamar Hana. Benar saja, tak lama kemudian, Ibu Laila keluar dari kamar Hana dan pergi ke kamar mandi.Sudah menjadi kebiasaan jika Ibu Laila ke kamar mandi, Beliau bisa menghabiskan waktu setengah jam atau bahkan lebih. "Bagus! Waktu yang tepat untukku beraksi. Kamu kira Ayah akan menyerah begitu saja, Hana? Ayah akan tetap memaksa Adam menikah lagi, walaupun harus mengancamku," tekad Pak Guntur.Sebelum masuk ke kamar Hana, Pak Guntur memastikan jika istrinya sudah benar-benar masuk ke kamar mandi. Setelah itu, Beliau dengan langkah mantap berjalan ke arah kamar Hana."Oek! Oek! Oek!" Suara tangisan cucunya terdengar dari luar kamar. Kebetulan pintu kamar Hana tidak tertutup. Pak Guntur langsung masuk begitu saja dan mendapati Hana tengah menenangkan bayi
"Yah ... kenapa, sih, Ayah nekat seperti ini? Apa mau, Ayah? Istighfar, Yah!" kata Ibu Laila mengingatkan."Tahu apa kamu, Bu? Sudah, kamu diam saja!" seru Pak Guntur."Tunggu di sini sebentar, Pak! Saya mau panggil anak saya terlebih dahulu," kata Pak Guntur kepada dua orang laki-laki itu. Tak lupa, Pak Guntur mempersilahkan ketiganya untuk duduk.Senyum kedua laki-laki itu terasa sangat aneh bagi Ibu Laila. Berbanding terbalik dengan kedua laki-laki itu, perempuan yang disebut akan dinikahkan dengan Adam itu hanya menunduk. Tak sedikitpun dia berani menatap ke depan.Sementara ketiganya menunggu, Ibu Laila mengekor dibelakang suaminya. Ternyata Adam dan Hana sudah bangun dan keduanya tengah berada di kamar Ibu Laila mengambil Kanaya."Ada apa, Yah?" tanya Adam yang melihat ayahnya menghampirinya dengan senyum tak biasa."Ayo ikut Ayah sebentar! Ada yang ingin Ayah kenalkan sama kamu," ucap Pak Guntur. "Ikut kemana, Yah?""Jangan, Dam! Kamu di sini saja gak usah ikut ayahmu," seru I
"Tunggu!" Suara menggelegar Pak Guntur terdengar dari arah dalam.Adam dan Hana menghentikan langkahnya dan membalikkan badan mereka. Terlihat Pak Guntur keluar dari dalam rumah dengan muka merah penuh amarah."Kalau kamu keluar dari rumah ini, Ayah tidak akan menganggap kamu anak Ayah lagi! Ingat itu, Adam!" ancam Pak Guntur.Bak disambar petir di siang bolong, Adam dan Ibu Laila terkejut. Mereka tak bisa mengatakan apapun selain istighfar. Tega sekali laki-laki yang seharusnya menjadi panutan Adam, malah berbuat seperti itu."Ingat itu! Dan Ibu, masuk ke dalam!" perintah Pak Guntur. Matanya tajam menatap Ibu Laila."Kalau Ayah mengusir Adam, Ibu akan ikut Adam! Ayah benar-benar tak punya perasaan!" Kali ini ada perlawanan dari Ibu Laila.Ibu mana yang tidak sakit hati jika sang anak diperlakukan tidak layaknya seorang anak. Hanya karena menantunya melahirkan cucu perempuan, Pak Guntur tega meminta anaknya menikah lagi dan sekarang bahkan mengusir Adam karena tidak mau menuruti perin
Adam baru teringat jika dia sama sekali belum mengabari ibu mertuanya soal Hana yang sudah melahirkan. Sembari menunggu makanan yang dibungkus, Adam mencoba menghubungi mertuanya di kampung. Tut ... tut ... tut ....Terdengar suara khas jika telepon tersambung. Tak lama kemudian, ibu mertuanya yang bernama Ibu Nur mengangkatnya."Assalamu'alaikum, Le. Apa kabar kamu?" sapa Ibu Nur terlebih dahulu.Sudah lama Beliau menanti telepon dari anaknya. Beliau di kampung bersama dengan adik Hana yang masih sekolah di sekolah menengah pertama. Ayah Hana sudah meninggal sejak lama. Dan kini, Ibu Nur mengandalkan hasil dari berkebun untuk hidup sehari-hari."Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik, Bu. Maaf, ya, Bu, Adam baru telepon Ibu sekarang. Adam hanya mau mengabarkan kalau Hana sudah melahirkan, Bu. Anak kami perempuan dan sehat, Bu."Ada binar kebahagiaan yang terpancar dari wajah Ibu Nur. Cucu yang dia nantikan ternyata sudah lahir."Alhamdulillah, Ya Allah! Ibu bahagia dengarnya. Anak laki
"Ibu apa kabar? Sehat?" Hana mencium tangan ibunya setelah meminta Ibu Nur duduk."Alhamdulillah Ibu sehat. Kamu juga baik-baik saja, kan? Mana cucu Ibu?" tanya Ibu Nur sambil matanya mencari bayi mungil Kanaya."Ada di kamar lagi tidur, Bu. Ibu diberitahu Mas Adam?" Hana sendiri lupa untuk memberi kabar pada sang Ibu."Iya. Kok kalian bisa lupa sama Ibu, sih? Sengaja, ya?" sindir Ibu Nur."Bukan begitu, Bu. Setelah melahirkan, Hana sempat pendarahan, Bu. Mungkin Mas Adam panik dan gak mau buat Ibu kepikiran. Tapi sekarang Hana sudah gak apa-apa." Hana sedikit menjelaskan kronologi kejadian saat dia melahirkan. "Astaghfirullah al'adzim! Maaf, Nduk, Ibu gak tau. Tapi sekarang kamu beneran gak apa-apa, kan, Nduk?" tanya Ibu Nur memastikan. Hana mengangguk pelan."Alhamdulillah. Nduk, Ibu mungkin tidak bisa lama di sini, kasihan adikmu di kampung sendirian. Ibu cuma dua hari di sini gak apa-apa, ya?"Menjadi single parent memang tidaklah mudah bagi Ibu Nur. Tapi, selama ini Beliau kuat
Hana lupa jika perumahan tempatnya tinggal kini, rata-rata penghuninya adalah para pekerja, baik itu laki-laki ataupun yang perempuan. Teriakan demi teriakan seperti tidak ada artinya saat ini. "Ya Allah, aku harus apa? Mas Adam ... tolong Hana, Mas!" gumam Hana sambil memeluk Kanaya yang sudah mulai menangis. Riko tidak putus asa. Dia mencoba mencongkel pintu kamar mandi dengan peralatan yang ada. Dan setelah sepuluh menit berlalu, Riko berhasil membuka paksa pintu itu. "Kamu mau apa, Riko? Lepaskan!" Hana kembali berontak ketika Riko menarik tubuhnya keluar dari kamar mandi. "Diam! Ikuti perintahku atau anakmu akan m*ti ditanganku!" ancam Riko sambil mengambil Kanaya dari gendongan Hana."Jangan, Riko! Aku mohon jangan!" Hana semakin menangis karena melihat anaknya terlepas dari gendongan dan berpindah tangan ke Riko. Demi keselamatan Kanaya, Hana terpaksa mengikuti perintah Riko. Keselamatan Kanaya adalah yang utama saat ini. Kanaya masih saya terus menangis di gendongan Riko