Share

Bab 4. Perintah Ayah

Bukan tanpa alasan Hana mengatakan hal itu. Jauh sebelum mereka menikah, Pak Guntur selalu mengatakan jika Hana harus memiliki anak laki-laki dari Adam. Jika tidak, Adam akan dipaksa untuk menikah lagi.

Ibu Laila yang mendengar percakapan anak dan menantunya itu terkejut. Minuman yang sejatinya untuk Adam dan Hana terjatuh dari tangannya. Gelas itu pecah berserakan di lantai. Selain gelas, ada piring yang berisi buah-buahan ikut pecah. 

"Astaghfirullah al'adzim!" ucap Ibu Laila lirih. 

Adam dan Hana bergegas keluar karena mendengar suara sesuatu yang pecah. 

"Ya Allah, Ibu! Ibu gak apa-apa, kan?" seru Adam yang melihat ibunya menutup mulut dengan kedua tangan. 

"Apa Ibu mendengar percakapan kami?" batin Hana. 

"Biar Adam bereskan dulu pecahannya, Bu." Adam dengan cekatan mengambil sapu dan mengumpulkan satu per satu pecahan piring dan gelas yang besar-besar. 

"Masuk dulu, Bu! Hana ... ajak Ibu ke kamar dulu," ujar Adam pada istrinya.

"Iya, Mas." 

Dengan mata yang sembab, Hana menuntun Ibu Laila masuk ke dalam kamar. Bayinya masih terlelap karena memang sebelumnya sudah diberikan susu formula oleh Ibu Laila sebelum Adam dan Hana datang. 

"Ibu gak apa-apa, kan?" tanya Hana.

Hana berusaha menyembunyikan kesedihannya di depan ibu mertuanya. Ibu Laila sangatlah baik kepada dirinya. Tak pernah dia menganggap Hana sebagai menantu. Hana sudah dianggap seperti anak sendiri.

"Apa yang Ibu dengar itu benar adanya?" Pertanyaan yang membuat Hana terdiam.

Hana paham maksud pertanyaan Ibu Laila. Mulut Hana terkunci dan air mata kembali menetes dari kedua bola matanya. 

"Jawab, Han! Katakan yang sejujurnya kepada Ibu," seru Ibu Laila setengah berteriak. 

Tangisan Hana semakin meledak mendengar suara Ibu Laila agak tinggi. Belum pernah selama ini sejak dia menjadi menantunya, Ibu Laila berkata dengan nada tinggi.

"Maafkan Ibu, Hana!" lirih Ibu Laila. Beliau merangkul dan memeluk erat Hana dengan penuh kasih sayang. 

Kedua wanita itu menangis bersama-sama dengan pemikiran masing-masing. Seakan mengerti keadaan, bayi perempuan mungil itu sama sekali tidak terganggu.

Adam yang baru saja selesai membereskan pecahan kaca, ikut terharu melihat kedua wanita yang dicintainya itu. 

"Ya Allah, cobaan apa yang Engkau berikan keluarga?" Adam mendongak keatas dan menahan agar air matanya tidak terjatuh.

***

"Dam ... sini! Ibu mau bicara dengan kalian berdua." Tangan Ibu Laila melambai ke arah Adam.

Patuh. Adam ikut duduk bersama Ibu Laila dan Hana. Ketiganya saling menatap dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.

Hana dan Ibu Laila sudah reda tangisannya. Dan saat ini Hana tengah memangku anak perempuannya karena sudah terbangun dan menangis. 

Untuk pertama kalinya sejak dia dirawat di rumah sakit, Hana memberikan ASI kembali kepada bayinya. Mata Hana sesekali menatap bayi mungil yang tidak belum mengerti apapun itu. 

"Adam ... katakan pada Ibu, apa benar yang Ibu dengar?" Walupun sudah tahu jawabannya, Ibu Laila tetap ingin kepastian dari anaknya. 

Mata Adam menatap Hana. Hana pun mengangguk tanda mengizinkan Adam suaminya untuk mengatakan yang sejujurnya pada Ibu Laila.

"Iya, Bu. Beberapa jam setelah melahirkan, Hana mengalami pendarahan hebat dan ternyata harus segera di operasi," ujar Adam. Kepala Hana tertunduk tak berani menatap Ibu Laila.

"Demi menyelamatkan nyawa Hana, tim dokter memutuskan mengangkat rahim Hana, Bu."

"APA?!" Suara menggelegar terdengar di depan pintu kamar itu.

Tanpa mereka sadari, Pak Guntur sudah pulang dari memancing dan mendengarkan obrolan mereka.

"Ayah?" seru Ibu Laila dan Adam hampir bersamaan.

"Apa Ayah tidak salah dengar? Benar itu, Hana?" tanya Pak Guntur dengan suara besarnya. 

Malang tidak bisa ditolak. Sebenarnya Ibu Laila ingin Adam dan Hana menyembunyikan hal itu pada suaminya.

Saat Ibu Laila meminta Pak Guntur mengantarkan menjemput cucu mereka, Pak Guntur sangatlah antusias.

Tapi, setelah tahu kalau cucunya perempuan dan bukan laki-laki, Pak Guntur berubah sikapnya. Bahkan dimintai tolong untuk menggendong cucunya, Pak Guntur tidak mau.

"Ayah hanya akan menggendong cucu laki-laki, Bu. Besok kalau Adam dan Hana sudah pulang, Ibu bilang pada mereka gak usah iku KB," ucap Pak Guntur kala itu.

Pak Guntur sangatlah menginginkan cucu laki-laki karena anak sahabat yang dulu hendak dijodohkan dengan Adam juga melahirkan bayi laki-laki.

Persahabatan mereka menjadi putus gara-gara Adam lebih memilih Hana daripada anak sahabatnya itu. Berujung lah aksi saling sindir di media sosial masing-masing dari mereka.

"Sabar dulu, Yah! Yang penting, kan, Hana selamat, Yah," kata Ibu Laila yang langsung menghampiri Pak Guntur.

"Gak bisa! Ayah mau cucu laki-laki TITIK! Adam ... kamu harus menikah lagi biar Ayah bisa dapat cucu laki-laki!" sentak Pak Guntur.

"Ayah apa-apaan, sih?! Mana mungkin Adam menikah lagi sedangkan Adam merasa cukup bersama Hana," jawab Adam lantang.

"Buat apa istrimu itu kalau tidak bisa melahirkan cucu laki-laki untuk Ayah? Ayah gak mau tahu, pokoknya kamu harus menikah lagi! Gak peduli itu menikah siri dan diam-diam. Yang penting kamu harus punya anak laki-laki!" Pak Guntur berlalu begitu saja meninggalkan kamar itu.

Belum sembuh luka jahitan di jalan lahir dan perut. Kini, luka Hana bertambah lagi karena ucapan ayah mertuanya. Luka yang begitu terasa mengiris hatinya.

Bahkan ketika bayi mereka belum diberi nama, sang Mertua memberi suaminya perintah yang tidak masuk akal.

Air mata Hana terus mengalir tanpa bisa dibendung. Sedih, kecewa dan marah semuanya menjadi satu. Tanpa sadar, Hana mencengkram erat tangan mungil bayinya.

"Oek! Oek! Oek!" Suara tangisan bayi perempuan mengagetkan Adam yang masih memandang pintu.

"Ya Allah, Sayang ... kasihan anak kita! Lepaskan, Sayang! Sini biar Mas yang gantian gendong." Pelan, Adam meminta bayinya pada Hana.

"Cup, Sayang! Sudah, ya, Anak Cantik nangisnya, kasihan Bunda belum sembuh. Kamu sama Ayah dulu, ya, Anak Cantik," kata Adam pada putrinya itu.

Walaupun masih terlihat kikuk, Adam mencoba belajar menggendong bayi itu menggunakan bantal. Dan setelah beberapa saat, bayi itu tertidur pulas di gendongan ayahnya. 

Sangat pelan, Adam meletakkan bayinya di kasur kembali. Kamar itu pula yang nantinya akan menjadi tempat tidur mereka.

"Gak usah dipikirkan ucapan Ayah, Hana. Mas yakin jika Ayah tidak bermaksud seperti itu. Kamu percaya sama Mas, kan?"

"Bayi ini saja cukup bagi Mas. Dan yang terpenting adalah kamu selamat, Sayang," lanjut Adam lagi.

Dia merengkuh Hana ke dalam pelukannya. Di situlah tangisan Hana pecah kembali. Ketakutan Hana sekarang terbukti. Hana paham jika ayah mertuanya sejak dulu tidak menyukainya. Tapi, dia tidak menyangka jika Pak Guntur akan setega itu.

"Kamu istirahat saja dulu, Sayang. Mas mau ke depan dulu. Oke?" Hana mengangguk dan merebahkan tubuhnya dengan pelan di samping anaknya.

Adam pun keluar hendak membicarakan masalah tadi dengan ayahnya lagi. Dia tahu sifat ayahnya yang jika memberi perintah harus dilaksanakan. Untuk itu, Adam harus membicarakan masalah ini secara tuntas.

"Ayah ..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status