Bukan tanpa alasan Hana mengatakan hal itu. Jauh sebelum mereka menikah, Pak Guntur selalu mengatakan jika Hana harus memiliki anak laki-laki dari Adam. Jika tidak, Adam akan dipaksa untuk menikah lagi.
Ibu Laila yang mendengar percakapan anak dan menantunya itu terkejut. Minuman yang sejatinya untuk Adam dan Hana terjatuh dari tangannya. Gelas itu pecah berserakan di lantai. Selain gelas, ada piring yang berisi buah-buahan ikut pecah.
"Astaghfirullah al'adzim!" ucap Ibu Laila lirih.
Adam dan Hana bergegas keluar karena mendengar suara sesuatu yang pecah.
"Ya Allah, Ibu! Ibu gak apa-apa, kan?" seru Adam yang melihat ibunya menutup mulut dengan kedua tangan.
"Apa Ibu mendengar percakapan kami?" batin Hana.
"Biar Adam bereskan dulu pecahannya, Bu." Adam dengan cekatan mengambil sapu dan mengumpulkan satu per satu pecahan piring dan gelas yang besar-besar.
"Masuk dulu, Bu! Hana ... ajak Ibu ke kamar dulu," ujar Adam pada istrinya.
"Iya, Mas."
Dengan mata yang sembab, Hana menuntun Ibu Laila masuk ke dalam kamar. Bayinya masih terlelap karena memang sebelumnya sudah diberikan susu formula oleh Ibu Laila sebelum Adam dan Hana datang.
"Ibu gak apa-apa, kan?" tanya Hana.
Hana berusaha menyembunyikan kesedihannya di depan ibu mertuanya. Ibu Laila sangatlah baik kepada dirinya. Tak pernah dia menganggap Hana sebagai menantu. Hana sudah dianggap seperti anak sendiri.
"Apa yang Ibu dengar itu benar adanya?" Pertanyaan yang membuat Hana terdiam.
Hana paham maksud pertanyaan Ibu Laila. Mulut Hana terkunci dan air mata kembali menetes dari kedua bola matanya.
"Jawab, Han! Katakan yang sejujurnya kepada Ibu," seru Ibu Laila setengah berteriak.
Tangisan Hana semakin meledak mendengar suara Ibu Laila agak tinggi. Belum pernah selama ini sejak dia menjadi menantunya, Ibu Laila berkata dengan nada tinggi.
"Maafkan Ibu, Hana!" lirih Ibu Laila. Beliau merangkul dan memeluk erat Hana dengan penuh kasih sayang.
Kedua wanita itu menangis bersama-sama dengan pemikiran masing-masing. Seakan mengerti keadaan, bayi perempuan mungil itu sama sekali tidak terganggu.
Adam yang baru saja selesai membereskan pecahan kaca, ikut terharu melihat kedua wanita yang dicintainya itu.
"Ya Allah, cobaan apa yang Engkau berikan keluarga?" Adam mendongak keatas dan menahan agar air matanya tidak terjatuh.
***
"Dam ... sini! Ibu mau bicara dengan kalian berdua." Tangan Ibu Laila melambai ke arah Adam.
Patuh. Adam ikut duduk bersama Ibu Laila dan Hana. Ketiganya saling menatap dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.
Hana dan Ibu Laila sudah reda tangisannya. Dan saat ini Hana tengah memangku anak perempuannya karena sudah terbangun dan menangis.
Untuk pertama kalinya sejak dia dirawat di rumah sakit, Hana memberikan ASI kembali kepada bayinya. Mata Hana sesekali menatap bayi mungil yang tidak belum mengerti apapun itu.
"Adam ... katakan pada Ibu, apa benar yang Ibu dengar?" Walupun sudah tahu jawabannya, Ibu Laila tetap ingin kepastian dari anaknya.
Mata Adam menatap Hana. Hana pun mengangguk tanda mengizinkan Adam suaminya untuk mengatakan yang sejujurnya pada Ibu Laila.
"Iya, Bu. Beberapa jam setelah melahirkan, Hana mengalami pendarahan hebat dan ternyata harus segera di operasi," ujar Adam. Kepala Hana tertunduk tak berani menatap Ibu Laila.
"Demi menyelamatkan nyawa Hana, tim dokter memutuskan mengangkat rahim Hana, Bu."
"APA?!" Suara menggelegar terdengar di depan pintu kamar itu.
Tanpa mereka sadari, Pak Guntur sudah pulang dari memancing dan mendengarkan obrolan mereka.
"Ayah?" seru Ibu Laila dan Adam hampir bersamaan.
"Apa Ayah tidak salah dengar? Benar itu, Hana?" tanya Pak Guntur dengan suara besarnya.
Malang tidak bisa ditolak. Sebenarnya Ibu Laila ingin Adam dan Hana menyembunyikan hal itu pada suaminya.
Saat Ibu Laila meminta Pak Guntur mengantarkan menjemput cucu mereka, Pak Guntur sangatlah antusias.
Tapi, setelah tahu kalau cucunya perempuan dan bukan laki-laki, Pak Guntur berubah sikapnya. Bahkan dimintai tolong untuk menggendong cucunya, Pak Guntur tidak mau.
"Ayah hanya akan menggendong cucu laki-laki, Bu. Besok kalau Adam dan Hana sudah pulang, Ibu bilang pada mereka gak usah iku KB," ucap Pak Guntur kala itu.
Pak Guntur sangatlah menginginkan cucu laki-laki karena anak sahabat yang dulu hendak dijodohkan dengan Adam juga melahirkan bayi laki-laki.
Persahabatan mereka menjadi putus gara-gara Adam lebih memilih Hana daripada anak sahabatnya itu. Berujung lah aksi saling sindir di media sosial masing-masing dari mereka.
"Sabar dulu, Yah! Yang penting, kan, Hana selamat, Yah," kata Ibu Laila yang langsung menghampiri Pak Guntur.
"Gak bisa! Ayah mau cucu laki-laki TITIK! Adam ... kamu harus menikah lagi biar Ayah bisa dapat cucu laki-laki!" sentak Pak Guntur.
"Ayah apa-apaan, sih?! Mana mungkin Adam menikah lagi sedangkan Adam merasa cukup bersama Hana," jawab Adam lantang.
"Buat apa istrimu itu kalau tidak bisa melahirkan cucu laki-laki untuk Ayah? Ayah gak mau tahu, pokoknya kamu harus menikah lagi! Gak peduli itu menikah siri dan diam-diam. Yang penting kamu harus punya anak laki-laki!" Pak Guntur berlalu begitu saja meninggalkan kamar itu.
Belum sembuh luka jahitan di jalan lahir dan perut. Kini, luka Hana bertambah lagi karena ucapan ayah mertuanya. Luka yang begitu terasa mengiris hatinya.
Bahkan ketika bayi mereka belum diberi nama, sang Mertua memberi suaminya perintah yang tidak masuk akal.
Air mata Hana terus mengalir tanpa bisa dibendung. Sedih, kecewa dan marah semuanya menjadi satu. Tanpa sadar, Hana mencengkram erat tangan mungil bayinya.
"Oek! Oek! Oek!" Suara tangisan bayi perempuan mengagetkan Adam yang masih memandang pintu.
"Ya Allah, Sayang ... kasihan anak kita! Lepaskan, Sayang! Sini biar Mas yang gantian gendong." Pelan, Adam meminta bayinya pada Hana.
"Cup, Sayang! Sudah, ya, Anak Cantik nangisnya, kasihan Bunda belum sembuh. Kamu sama Ayah dulu, ya, Anak Cantik," kata Adam pada putrinya itu.
Walaupun masih terlihat kikuk, Adam mencoba belajar menggendong bayi itu menggunakan bantal. Dan setelah beberapa saat, bayi itu tertidur pulas di gendongan ayahnya.
Sangat pelan, Adam meletakkan bayinya di kasur kembali. Kamar itu pula yang nantinya akan menjadi tempat tidur mereka.
"Gak usah dipikirkan ucapan Ayah, Hana. Mas yakin jika Ayah tidak bermaksud seperti itu. Kamu percaya sama Mas, kan?"
"Bayi ini saja cukup bagi Mas. Dan yang terpenting adalah kamu selamat, Sayang," lanjut Adam lagi.
Dia merengkuh Hana ke dalam pelukannya. Di situlah tangisan Hana pecah kembali. Ketakutan Hana sekarang terbukti. Hana paham jika ayah mertuanya sejak dulu tidak menyukainya. Tapi, dia tidak menyangka jika Pak Guntur akan setega itu.
"Kamu istirahat saja dulu, Sayang. Mas mau ke depan dulu. Oke?" Hana mengangguk dan merebahkan tubuhnya dengan pelan di samping anaknya.
Adam pun keluar hendak membicarakan masalah tadi dengan ayahnya lagi. Dia tahu sifat ayahnya yang jika memberi perintah harus dilaksanakan. Untuk itu, Adam harus membicarakan masalah ini secara tuntas.
"Ayah ..."
"Ayah ... Adam mau bicara," kata Adam masih dengan nada sopan. Selama hidup, Adam belum pernah bicara kasar pada kedua orang tuanya dan itu sangat dihindari oleh Adam. Adam tahu karakter ayahnya seperti apa. Jika batu dilawan dengan batu, yang ada akan terjadi perpecahan. Pak Guntur duduk di ruang tamu dengan masih menahan amarah. Sedangkan Ibu Laila, Beliau ikut duduk bersama anak dan suaminya di sana. Ketakutan yang dirasakan Ibu Laila akhirnya terjadi juga. Awalnya Pak Guntur antusias saat diajak Ibu Laila mengambil cucunya di klinik bidan. Tapi, semuanya berubah ketika Beliau tahu jika cucunya perempuan bukan laki-laki."Ayah, kenapa Ayah bicara seperti itu? Tidakkah ada rasa kasihan melihat menantu Ayah yang baru saja melahirkan dan operasi? Belum cukupkah cobaan Hana dengan kehilangan rahim? Bagaimana hati Hana jika Adam menikah lagi hanya untuk memuaskan keinginan Ayah memiliki cucu laki-laki, Yah?" Panjang lebar Adam berkata-kata. "Iya, Yah. Laki-laki atau perempuan itu sa
Pak Guntur mendengar percakapan Adam dan juga Ibu Laila. "Kesempatan untukku bisa membuat mantu tak tahu diri itu mengerti posisinya di sini!" gumam Pak Guntur. Setelah Adam pergi, Pak Guntur lantas menunggu istrinya keluar dari kamar Hana. Benar saja, tak lama kemudian, Ibu Laila keluar dari kamar Hana dan pergi ke kamar mandi.Sudah menjadi kebiasaan jika Ibu Laila ke kamar mandi, Beliau bisa menghabiskan waktu setengah jam atau bahkan lebih. "Bagus! Waktu yang tepat untukku beraksi. Kamu kira Ayah akan menyerah begitu saja, Hana? Ayah akan tetap memaksa Adam menikah lagi, walaupun harus mengancamku," tekad Pak Guntur.Sebelum masuk ke kamar Hana, Pak Guntur memastikan jika istrinya sudah benar-benar masuk ke kamar mandi. Setelah itu, Beliau dengan langkah mantap berjalan ke arah kamar Hana."Oek! Oek! Oek!" Suara tangisan cucunya terdengar dari luar kamar. Kebetulan pintu kamar Hana tidak tertutup. Pak Guntur langsung masuk begitu saja dan mendapati Hana tengah menenangkan bayi
"Yah ... kenapa, sih, Ayah nekat seperti ini? Apa mau, Ayah? Istighfar, Yah!" kata Ibu Laila mengingatkan."Tahu apa kamu, Bu? Sudah, kamu diam saja!" seru Pak Guntur."Tunggu di sini sebentar, Pak! Saya mau panggil anak saya terlebih dahulu," kata Pak Guntur kepada dua orang laki-laki itu. Tak lupa, Pak Guntur mempersilahkan ketiganya untuk duduk.Senyum kedua laki-laki itu terasa sangat aneh bagi Ibu Laila. Berbanding terbalik dengan kedua laki-laki itu, perempuan yang disebut akan dinikahkan dengan Adam itu hanya menunduk. Tak sedikitpun dia berani menatap ke depan.Sementara ketiganya menunggu, Ibu Laila mengekor dibelakang suaminya. Ternyata Adam dan Hana sudah bangun dan keduanya tengah berada di kamar Ibu Laila mengambil Kanaya."Ada apa, Yah?" tanya Adam yang melihat ayahnya menghampirinya dengan senyum tak biasa."Ayo ikut Ayah sebentar! Ada yang ingin Ayah kenalkan sama kamu," ucap Pak Guntur. "Ikut kemana, Yah?""Jangan, Dam! Kamu di sini saja gak usah ikut ayahmu," seru I
"Tunggu!" Suara menggelegar Pak Guntur terdengar dari arah dalam.Adam dan Hana menghentikan langkahnya dan membalikkan badan mereka. Terlihat Pak Guntur keluar dari dalam rumah dengan muka merah penuh amarah."Kalau kamu keluar dari rumah ini, Ayah tidak akan menganggap kamu anak Ayah lagi! Ingat itu, Adam!" ancam Pak Guntur.Bak disambar petir di siang bolong, Adam dan Ibu Laila terkejut. Mereka tak bisa mengatakan apapun selain istighfar. Tega sekali laki-laki yang seharusnya menjadi panutan Adam, malah berbuat seperti itu."Ingat itu! Dan Ibu, masuk ke dalam!" perintah Pak Guntur. Matanya tajam menatap Ibu Laila."Kalau Ayah mengusir Adam, Ibu akan ikut Adam! Ayah benar-benar tak punya perasaan!" Kali ini ada perlawanan dari Ibu Laila.Ibu mana yang tidak sakit hati jika sang anak diperlakukan tidak layaknya seorang anak. Hanya karena menantunya melahirkan cucu perempuan, Pak Guntur tega meminta anaknya menikah lagi dan sekarang bahkan mengusir Adam karena tidak mau menuruti perin
Adam baru teringat jika dia sama sekali belum mengabari ibu mertuanya soal Hana yang sudah melahirkan. Sembari menunggu makanan yang dibungkus, Adam mencoba menghubungi mertuanya di kampung. Tut ... tut ... tut ....Terdengar suara khas jika telepon tersambung. Tak lama kemudian, ibu mertuanya yang bernama Ibu Nur mengangkatnya."Assalamu'alaikum, Le. Apa kabar kamu?" sapa Ibu Nur terlebih dahulu.Sudah lama Beliau menanti telepon dari anaknya. Beliau di kampung bersama dengan adik Hana yang masih sekolah di sekolah menengah pertama. Ayah Hana sudah meninggal sejak lama. Dan kini, Ibu Nur mengandalkan hasil dari berkebun untuk hidup sehari-hari."Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik, Bu. Maaf, ya, Bu, Adam baru telepon Ibu sekarang. Adam hanya mau mengabarkan kalau Hana sudah melahirkan, Bu. Anak kami perempuan dan sehat, Bu."Ada binar kebahagiaan yang terpancar dari wajah Ibu Nur. Cucu yang dia nantikan ternyata sudah lahir."Alhamdulillah, Ya Allah! Ibu bahagia dengarnya. Anak laki
"Ibu apa kabar? Sehat?" Hana mencium tangan ibunya setelah meminta Ibu Nur duduk."Alhamdulillah Ibu sehat. Kamu juga baik-baik saja, kan? Mana cucu Ibu?" tanya Ibu Nur sambil matanya mencari bayi mungil Kanaya."Ada di kamar lagi tidur, Bu. Ibu diberitahu Mas Adam?" Hana sendiri lupa untuk memberi kabar pada sang Ibu."Iya. Kok kalian bisa lupa sama Ibu, sih? Sengaja, ya?" sindir Ibu Nur."Bukan begitu, Bu. Setelah melahirkan, Hana sempat pendarahan, Bu. Mungkin Mas Adam panik dan gak mau buat Ibu kepikiran. Tapi sekarang Hana sudah gak apa-apa." Hana sedikit menjelaskan kronologi kejadian saat dia melahirkan. "Astaghfirullah al'adzim! Maaf, Nduk, Ibu gak tau. Tapi sekarang kamu beneran gak apa-apa, kan, Nduk?" tanya Ibu Nur memastikan. Hana mengangguk pelan."Alhamdulillah. Nduk, Ibu mungkin tidak bisa lama di sini, kasihan adikmu di kampung sendirian. Ibu cuma dua hari di sini gak apa-apa, ya?"Menjadi single parent memang tidaklah mudah bagi Ibu Nur. Tapi, selama ini Beliau kuat
Hana lupa jika perumahan tempatnya tinggal kini, rata-rata penghuninya adalah para pekerja, baik itu laki-laki ataupun yang perempuan. Teriakan demi teriakan seperti tidak ada artinya saat ini. "Ya Allah, aku harus apa? Mas Adam ... tolong Hana, Mas!" gumam Hana sambil memeluk Kanaya yang sudah mulai menangis. Riko tidak putus asa. Dia mencoba mencongkel pintu kamar mandi dengan peralatan yang ada. Dan setelah sepuluh menit berlalu, Riko berhasil membuka paksa pintu itu. "Kamu mau apa, Riko? Lepaskan!" Hana kembali berontak ketika Riko menarik tubuhnya keluar dari kamar mandi. "Diam! Ikuti perintahku atau anakmu akan m*ti ditanganku!" ancam Riko sambil mengambil Kanaya dari gendongan Hana."Jangan, Riko! Aku mohon jangan!" Hana semakin menangis karena melihat anaknya terlepas dari gendongan dan berpindah tangan ke Riko. Demi keselamatan Kanaya, Hana terpaksa mengikuti perintah Riko. Keselamatan Kanaya adalah yang utama saat ini. Kanaya masih saya terus menangis di gendongan Riko
Adam benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Alya yang dulu pernah datang bersama dengan pamannya, sekarang menjadi babysitter. "Assalamu'alaikum!" ucap Adam saat baru sampai di rumah tepat pukul tujuh malam."Waalaikumsalam." Hana menghampiri Adam dan mencium punggung tangan suaminya serta membawa tas Adam untuk diletakkan di dalam kamar. "Hana siapkan air hangat dulu, ya, Mas," kata Hana lagi. Adam mengangguk pelan. Mandi dengan air hangat akan bisa sedikit mengobati rasa lelah hari ini. Adam sebenarnya tidak suka jadi pegawai negeri. Tapi saat itu, desakan Pak Gunawan sangatlah kuat. Adam tak kuasa menolak dan dia pun mencoba ikut tes. Hingga akhirnya keberuntungan berpihak padanya. Satu kali ikut tes, Adam dinyatakan lolos.Setelah Hana selesai menyiapkan air hangat, Adam mandi kemudian mereka makan bersama. Hana merasa jauh lebih tenang karena Riko tidak ke sana lagi setelah kejadian kemarin. Dia sudah mengantisipasi semuanya saat nanti jika sewaktu-waktu Riko data