Share

Bab 2. Operasi

Adam sudah tak ingat lagi jika ia masih tersambung di telepon dengan ibunya. Saat ini dia fokus pada Hana. Sementara bayinya masih dia titipkan di klinik sang bidan.

"Bu, titip anak saya selama saya masih mengurus istri saya. Nanti saya telepon Ibu saya biar mengambil anak saya," ucap Adam pada Ibu Bidan.

"Tenang saja, Pak. Anak Bapak akan aman bersama kami. Semoga istri Bapak tidak ada masalah yang serius," jawab Ibu Bidan. Tak lupa pula Beliau mendoakan yang terbaik untuk pasiennya itu.

"Kalau begitu saya tinggal gak apa-apa, ya, Pak." Bidan itu pun pamit untuk kembali ke kliniknya karena juga punya tanggung jawab pada bayi yang masih merah itu.

Sebelum Bidan pulang, Adam meminta nomor telepon Ibu Bidan agar lebih mudah dalam berkomunikasi. 

Hana masih ditangani oleh dokter di dalam. Adam pun berencana menelepon kembali ibunya karena tadi terputus.

Baru saja Adam hendak menelpon ibunya, seorang dokter laki-laki keluar dari ruangan yang digunakan untuk menindak Hana.

"Suami dari pasien bernama Ibu Hana?" tanya Dokter itu pada Adam.

"Benar, Pak. Bagaimana kondisi istri saya di dalam, Pak?" Rasa cemas dan khawatir tak dapat dia sembunyikan.

"Mari ikut saya sebentar, Pak!" ajak Dokter yang bernama Dokter Dwi itu.

Dokter Dwi mengajak Adam ke ruangannya untuk membicarakan hal yang sangat penting dan itu menyangkut masalah Hana.

"Silahkan duduk!" Tangan Dokter Dwi menunjuk ke kursi di depannya.

Adam mengikut perintah Dokter Dwi. Dia duduk dengan tatapan penuh tanya pada dokter yang menangani istrinya itu.

"Begini, Pak, kondisi istri Bapak harus segera di operasi karena terjadi masalah di dalam rahimnya. Jika Bapak setuju, Bapak bisa mengurus segala sesuatunya di bagian administrasi dan kami akan menyiapkan ruang operasinya," ujar Dokter Dwi.

"Memangnya istri saya kenapa, Dok? Padahal tadi setelah melahirkan dia masih baik-baik saja." Adam seakan tak percaya jika ada masalah pada Hana.

"Iya, benar Pak. Tapi faktanya, istri Anda mengalami pendarahan pasca melahirkan dan itu sangat berbahaya jika tidak segera dilakukan tindakan. Dan setelah saya cek tadi, ada jaringan yang masih tertinggal di dalam rahim istri Anda."

Dokter Dwi juga membawa hasil yang bisa dipakai untuk menjelaskan kepada Adam. Terlihat juga ada pengumpulan darah di sana.

"Untuk saat ini, istri Anda masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Saya hanya takut jika kita terlambat melakukan tindakan, maaf, nyawa taruhannya, Pak," sambung Dokter Dwi.

"Operasi ini juga salah satu cara mengetahui penyebab pendarahan lebih detail, Pak. Kasus paling berat yaitu bisa sampai rahimnya diangkat." Ucapan Dokter Dwi membuat Adam syok dan dia juga harus segera memutuskan karena hal itu menyangkut nyawa Hana.

Tak butuh waktu lama untuk Adam berpikir. Nyawa Hana lebih berharga dari apapun itu. 

"Baiklah, Dok. Silahkan lakukan tindakan yang sekiranya menurut Dokter yang terbaik. Saya akan segera mengurus semuanya." Dengan mantap, Adam memutuskan hal itu.

"Baiklah kalau begitu, saya akan minta perawat untuk segera persiapan ruang operasi."

Setelah itu, Adam ke ruang administrasi untuk menyelesaikan semua persyaratan operasi Hana. Dalam hatinya selalu berdoa yang terbaik untuk istrinya itu.

"Ya Allah, selamatkan lah istriku. Anakku dan aku masih membutuhkannya, Ya Allah!" doa Adam dalam hati. 

***

Saat Hana sudah masuk ruang operasi, Adam berniat menghubungi ibunya lagi karena tadi sempat tertunda. Ternyata di ponselnya ada banyak sekali panggilan dari ibunya. 

Adam pun menelepon balik ibunya dan mengabarkan kondisi Hana saat ini. Tak butuh waktu lama untuk Ibu Laila mengangkat telepon karena itu yang Beliau tunggu sejak tadi.

"Kamu kemana saja, Dam? Ibu sejak tadi menghubungimu tapi tidak kamu jawab," cerocos Ibu Laila memarahi anaknya itu.

"Maaf, Bu, tadi buru-buru melarikan Hana ke rumah sakit, Bu." Adam tak kuasa menutupi kesedihannya. Suaranya parau menahan air mata. 

"Astaghfirullah al'adzim! Hana kenapa, Dam? Dimana kalian? Dan anakmu dimana?" tanya Ibu Laila.

Adam menjelaskan secara singkat kondisi Hana dan posisinya saat ini. Tak henti-hentinya Ibu Laila beristighfar dan menangis mendengar cerita Adam.

"Bu, Adam minta Ibu jemput anak Adam di klinik bidan dekat rumah Adam. Bawa anak Adam dulu ke rumah, ya, Bu," pinta Adam.

"Pasti, Dam! Pasti Ibu akan rawat anakmu dengan baik. Semoga Hana tidak kenapa-napa, ya, Le. Doa Ibu selalu bersama kalian."

"Terima kasih, ya, Bu. Kalau begitu, Adam tutup dulu teleponnya, Bu. Nanti untuk administrasi di bidan tolong Ibu bayarkan dulu, ya. Nanti setelah Adam pulang, Adam ganti."

"Iya, Dam. Kamu tenang saja. Jangan lupa kamu makan biar tidak sakit, Le," pesan Ibu Laila sebelum mengakhiri percakapan itu.

Rasa-rasanya perut tidak lapar. Jangankan untuk makan, minum saja Adam tidak sanggup karena masih memikirkan nasib Hana di dalam.

Satu setengah jam operasi Hana sudah berjalan. Operasi itu berhasil dilakukan dan nyawa Hana terselamatkan. Tapi, ada satu hal yang membuat Adam tak sanggup mengatakannya pada Hana.

Dipandanginya wajah sang istri yang matanya masih terpejam itu dengan kesedihan. "Setelah kamu sadar, aku harus katakan apa padamu, Hana? Sanggupkah kamu menerima kenyataan ini?" gumam Adam di dekat Hana berbaring.

Hana sudah dipindahkan ke ruang rawat inap karena kondisinya sudah stabil. Hanya saja tinggal menunggu reaksi obat biusnya habis.

Karena pendarahan yang hebat hingga merusak rahim Hana, membuat tim dokter terpaksa harus mengangkat rahim Hana karena demi keselamatan Hana.

Itu artinya Hana tidak akan bisa hamil lagi karena sudah tidak ada rahim. Tentu saja hal itu pukulan berat bagi setiap perempuan.

Tiap jam, Ibu Laila juga mengabarkan kepada Adam soal kondisi bayi mungilnya itu. Beberapa kali Ibu Laila menelepon Adam untuk tahu perkembangan kondisi Hana. 

Adam belum menceritakan masalah Hana ini kepada orang tuanya. Untuk sekarang ini, Adam fokus pada kesembuhan Hana agar cepat bisa berkumpul kembali dengan anak mereka.

"Mas ... Aku dimana?" Mata Hana terbuka setelah dua jam dalam pengaruh obat bius.

"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, Ya Allah!" ucap Adam penuh syukur.

"Aku dimana, Mas? Anak kita dimana?" tanya Hana. Matanya mengawasi sekeliling ruangan yang serba putih.

"Kamu di rumah sakit, Sayang. Tak lama setelah kamu melahirkan, kamu pendarahan hebat. Tak usah khawatir dengan anak kita. Dia sehat dan sekarang sudah dibawa pulang oleh Ibu," jawab Adam sambil mengusap lembut kepala Hana.

Hana tiba-tiba teringat rasa sakit yang teramat sangat saat Adam keluar izin menelepon Ibu Laila. Bahkan Hana sampai tidak bisa berteriak karena sakit yang teramat sangat itu. Dia pun tidak ingat apa-apa lagi karena dia pingsan.

"Kenapa aku dibawa ke rumah sakit, Mas?"

"Kamu baru saja selesai di operasi, Sayang." Adam menjawab pertanyaan Hana dengan jujur tanpa menjelaskan detail terlebih dahulu.

"Operasi? Operasi apa, Mas?" 

Adam terdiam cukup lama. Dia berpikir antara mengatakan yang sebenarnya atau tidak.

"Ada apa, Mas? Katakan saja sejujurnya dan jangan ada yang disembunyikan dari aku, Mas." Hana bisa menebak isi pikiran Adam dari raut muka suaminya itu.

"Begini, Sayang ... rahimmu terpaksa diangkat, Sayang. Karena pendarahan itu, rahimmu jadi rusak dan mengancam nyawamu. Maka dari itu, tim dokter terpaksa mengangkatnya," kata Adam pelan.

Glegar! Bak tersambar petir, ucapan Adam membuat Hana terdiam cukup lama. 

"Lalu bagaimana nasibku selanjutnya kalau aku tidak bisa hamil lagi? Mana mungkin aku bisa hamil kalau rahimku saja sudah diangkat" batin Hana.

Apa yang dimaksud Hana nasibnya? Apa hubungannya dengan operasi yang baru saja dia jalani?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status