Share

Bab 5. Keras Kepala

"Ayah ... Adam mau bicara," kata Adam masih dengan nada sopan. 

Selama hidup, Adam belum pernah bicara kasar pada kedua orang tuanya dan itu sangat dihindari oleh Adam. Adam tahu karakter ayahnya seperti apa. Jika batu dilawan dengan batu, yang ada akan terjadi perpecahan. 

Pak Guntur duduk di ruang tamu dengan masih menahan amarah. Sedangkan Ibu Laila, Beliau ikut duduk bersama anak dan suaminya di sana. 

Ketakutan yang dirasakan Ibu Laila akhirnya terjadi juga. Awalnya Pak Guntur antusias saat diajak Ibu Laila mengambil cucunya di klinik bidan. Tapi, semuanya berubah ketika Beliau tahu jika cucunya perempuan bukan laki-laki.

"Ayah, kenapa Ayah bicara seperti itu? Tidakkah ada rasa kasihan melihat menantu Ayah yang baru saja melahirkan dan operasi? Belum cukupkah cobaan Hana dengan kehilangan rahim? Bagaimana hati Hana jika Adam menikah lagi hanya untuk memuaskan keinginan Ayah memiliki cucu laki-laki, Yah?" Panjang lebar Adam berkata-kata. 

"Iya, Yah. Laki-laki atau perempuan itu sama saja, Yah. Kasihan menantu kita, Yah," timpal Ibu Laila yang setuju dengan ucapan anaknya.

"Diam, Bu!" bentak Pak Guntur. 

Mulut Ibu Laila seketika menutup dan kepalanya menunduk. Sekuat-kuatnya hati seorang perempuan menghadapi cobaan, dia tidak akan kuat jika sang suami sudah membentaknya. Ibu Laila meneteskan air mata. 

"Ayah!" Adam ikut berteriak karena ibunya dibentak. Dan itu pertama kalinya Adam berteriak di depan ayahnya. 

"Berani kamu berteriak di depan ayahmu, hah? Hanya karena istrimu yang tidak bisa diandalkan itu?" Dada Pak Guntur kembang kempis karena emosi.

"Buat apa mempertahankan istri yang tidak bisa memilik anak laki-laki? Apa gunanya anak perempuan? Lihat saja istrimu itu! Dia hanya bisanya menyusahkan suami dan tidak bisa diandalkan apalagi dibanggakan! Pokoknya Ayah tidak mau tahu, kamu harus menikah lagi walaupun itu nikah siri, TITIK!"

Suara Pak Guntur menggelegar sampai di telinga Hana. Hana yang masih rapuh tentu saja hancur hatinya. Ucapan yang dikatakan ayah mertuanya sangat melukai hatinya.

"Anak perempuan itu nantinya tidak akan bisa sukses dan menjadi orang. Lihat saja ibunya yang tidak bekerja dan malas-malasan di rumah menghabiskan uang suami! Gak guna, Dam, punya anak perempuan," sambung Pak Guntur. 

"Astaghfirullah al'adzim, Yah! Tega Ayah bicara seperti itu?" Adam tak habis pikir dengan pemikiran ayahnya yang masih kuno itu. Ibu Laila juga beristighfar. 

Bukan pertama kalinya Ibu Laila mendengarkan ucapan suaminya itu. Sejak cucunya pertama berada di rumah mereka, tak sekalipun Pak Guntur mau menggendong ataupun hanya sekedar melihat wajah cucunya itu. 

"Bukannya Hana tidak mau bekerja, tapi Adam lah yang meminta Hana untuk menjadi ibu rumah tangga, Yah," bela Adam. 

"Halah, itu cuma alasanmu untuk membela istrimu, kan? Ayah sudah hafal itu. Coba kalau dulu kamu mau sama Rahma anaknya Pak Janu yang dokter itu, pasti keturunanmu jelas bibit, bebet dan bobotnya. Lihat saja sekarang, anaknya Rahma laki-laki dan ganteng sekali," kata Pak Guntur tanpa rasa berdosa. 

"Susah memang bicara sama Ayah. Yang jelas, Adam tekankan sekali sama Ayah kalau sampai kapanpun, istri Adam hanya Hana dan tidak akan ada yang lain."Adam lalu pergi dan masuk kembali ke dalam kamar tanpa mempedulikan ucapan ayahnya lagi.

***

Sementara di dalam kamar, Hana menangis tanpa bersuara. Air matanya terus saja keluar karena percakapan suami dan ayah mertuanya dapat ia dengar.

"Sebegitu bencinya, kah, Ayah padaku, Ya Allah? Aku tidak meminta semua ini terjadi padaku. Kenapa harus aku, Ya Allah?" teriak Hana dalam hati.

"Aku memang bukanlah dari keluarga kaya. Apa itu aib?"

Hana terus saja mempertanyakan hal yang aneh-aneh pada dirinya sendiri. Bahkan Hana sendiri belum menikmati rasanya menjadi ibu karena masalah ini.

Tak lama suaminya datang. Dia berusaha tegar tapi tetap tidak bisa. Tangisannya pecah ketika Adam masuk ke dalam kamar.

"Kamu kenapa, Han? Ada apa?" Adam panik karena saat masuk kamar istrinya langsung histeris.

"Apakah aku tidak pantas untukmu hanya karena melahirkan anak perempuan, Mas? Jika aku bisa mengubah keadaan, aku juga ingin mengantikan anak itu menjadi anak laki-laki agar Ayah senang, Mas," ucap Hana sesenggukan.

"Astaghfirullah al'adzim, Hana! Kamu gak boleh bicara seperti itu. Bukankah Mas sudah katakan, anak laki-laki atau perempuan sama saja untuk, Mas. Jika kamu berkata seperti itu, sangat berdosa lah kamu karena semua yang terjadi dengan kondisi kita itu sudah ketetapan Allah. Kamu mendengar ucapan Ayah?" Hana mengangguk pelan. 

Adam merengkuh Hana ke dalam pelukannya. Pelukan yang dari awal menikah tidak berubah sama sekali. Rasa kasih dan cintanya pada Hana tak berkurang sedikitpun.

"Sudah, ya, Sayang. Mas berjanji padaku kalau hanya kamu yang akan menjadi istriku saat ini dan untuk seterusnya sampai maut memisahkan." Cup! Sebuah kecupan hangat mendarat di kening Hana. 

"Jangan sedih lagi, ya! Bukankah seharusnya kita berbahagia karena lahirnya malaikat kecil ini?" kata Adam sambil melepas pelukannya. Matanya menatap hangat mata Hana. 

"Lihatlah wajah anak kita, Sayang! Tak pantas jika kita tidak mensyukuri anugerah Allah ini. Paham, kan, Sayang?" 

"Terima kasih, Mas. Terima kasih sudah mau menerima semua kekuranganku. Maafkan jika aku belum bisa menjadi yang terbaik untukmu," balas Hana. Dia kembali memeluk erat suaminya.

Pelan, Adam mengusap kepala Hana dengan penuh kasih sayang. "Kamu yang terbaik untukku, Han."

"Sudah, ah, jangan sedih terus! Anak kita belum diberi nama. Kamu mau kasih nama anak kita apa, Sayang?" kata Adam mengalihkan pembicaraan. 

"Terserah Mas saja," jawab Hana singkat. Hana bahkan tak sempat memikirkan nama anaknya. 

"Gimana kalau Kanaya? Kanaya Putri," usul Adam.

"Bagus, Mas, Hana suka."

"Alhamdulillah. Inshaa Allah lusa kita adakan aqiqah, ya, Sayang. Nanti Mas bilang sama Ibu." Hana pun mengangguk.

Begitulah Hana menjalani hari pertamanya di rumah mertua. Walaupun ada perkataan ayah mertua yang tidak mengenakkan, dia tetap bertahan karena ibu mertua dan juga suaminya.

Keesokan harinya, Adam memberitahu pada Ibu Laila kalau akan mengadakan acara aqiqah anaknya.

"Bu, besok Adam dan Hana mau mengadakan acara aqiqah. Adam sudah pesan makanan untuk acaranya. Kita tinggal siapkan tempat dan hari ini Adam akan di rumah Ustadz Deri untuk meminta bantuan agar memimpin doa besok. Ibu tidak keberatan, kan?" kata Adam saat mereka tengah berada di kamar Adam.

Hana terlihat tengah belajar menggantikan popok dan pakaian Kanaya dibantu oleh ibu mertuanya.

"Alhamdulillah jika kalian ada niatan seperti itu. Ibu tidak masalah, Nak."

"Alhamdulillah. Kalau begitu, Adam titip Hana, ya, Bu. Adam mau ke rumah Pak Ustadz dulu," ucap Adam.

"Iya, Nak."

"Assalamu'alaikum!"

"Waalaikumsalam!" jawab Ibu Laila dan Hana serentak.

Saat Adam pergi, tiba-tiba Ibu Laila merasa mulas dan dia pergi ke kamar mandi. Namun, saat Beliau kembali ke kamar Adam, betapa terkejutnya Ibu Laila melihat pemandangan yang tidak biasa.

"Astaghfirullah, Hana?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status