Aku memandang setengah gugup ke arah pintu ruangan pak James. Biasanya tidak seperti ini. Hampir 5 tahun bekerja dengan pak James, membuatku cukup terbiasa dengannya. Tapi hari ini, aku merasa sangat gugup. Mungkin karena aku memiliki niat lain selain menjadi sekretaris pak James kali ini.
"Selamat pagi, Pak James. Bagaimana pagi Anda hari ini?" tanyaku ramah, seperti biasanya. Pak James memandangku dengan senyum ramahnya, seperti biasanya. Namun, kali ini ia menampilkan raut heran. Menatap tubuhku dari atas ke bawah. "Baik. Kamu gimana, Diana? Sepertinya harimu sangat baik hari ini?" tanyanya. Aku tersenyum kikuk. Lalu menggeleng pelan. "Ya, seperti biasanya pak James," kataku sedikit tertawa. Aku lalu menyampaikan agenda beliau hari ini dari pagi hingga sore, berikut juga dengan agenda meeting dan pembahasannya, juga jadwal pertemuan di luar meeting dengan salah satu investor perusahaan ini. Pak James mengangguk pelan dan mengucapkan terima kasih. Sebelum aku pamit undur diri, pak James kembali berujar. "Kamu dapat pacar baru, Diana?" tanyanya tiba-tiba. Aku sedikit terkejut. Bukan sekali dua kali pak James bercanda denganku, tapi kali ini rasanya berbeda. Aku menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Kenapa memangnya?" "Gaya pakaian kamu berubah. Saya pikir kamu lagi kasmaran sama pacar baru," ujarnya dengan tawa pelan. Aku ikut tertawa. "Saya justru lagi sakit hati, Pak. Habis putus. Kemarin." Pak James menghentikan tawanya. Sedikit terkejut dengan ucapanku. "Oh maaf, Diana. Saya tidak tau. Turut sedih mendengar ini. Tapi saya jamin pria itu rugi karena meninggalkanmu." Aku sontak tertawa sedikit keras. Setelah sedikit reda, raut wajahnya kuubah jadi sedih. "Tapi saya diselingkuhi, Pak," kataku. "Benarkah? Dia pasti laki-laki paling tidak beruntung karena menyia-nyiakan perempuan sepintar dan secantik kamu." "Ya, tentu saja. Dia pasti rugi," kataku berapi-api. Pak James tersenyum manis. "Mau kukenalkan dengan rekan kerjaku?" tawarnya. Aku memutar bola mata malas. Lagi-lagi, Pak James berniat menjodohkanku. Aku segera menggeleng dan berpamitan pergi. Setelah pintu ruangan pak James tertutup, aku memegang dadaku yang berdetak cepat. Gila. padahal pak James bersikap seperti biasa. Tapi kenapa jantungku terasa ingin copot seperti ini? Tapi ngomong-ngomong, bukankah pak James sama sekali tidak tergoda. Bagaimana bisa aku menggoda orang yang malah berniat menjodohkanku dengan rekan kerjanya? Sepertinya nona Claire salah meminta bantuan padaku. Tapi, sesuai perjanjian awal, tergoda atau tidak, uang 25 milyar ini tetap menjadi milikku. **** "Diana, ayo ikut saya makan siang dengan pak Ricard. Saya tunggu di lobi." Aku yang sedang menyeruput kopi panas sedikit terkejut. Akibatnya, lidahku sedikit perih terkena panas kopi. Aku langsung menatap pak James yang berjalan pergi meninggalkan bilik ruanganku. "Maaf, pak James. Tapi, saya harus ikut?" tanyaku dengan suara sedikit lebih keras. Berharap pak James akan mendengar suaraku. Untungnya, Pak James menoleh. Dia mengangguk cepat. "Ya. Pak Ricard membawa sekretarisnya juga. Jadi saya rasa perlu membawamu juga. Mungkin nanti kamu bisa membantu sesuatu di sana. Jangan lupa bawa print out laporan keuangan bulan lalu. Saya tunggu di bawah." Aku mengangguk sopan dan langsung mencari file laporan keuangan bulan lalu, sesuai permintaan pak James, dalam bentuk print out. Untungnya masih ada, jadi aku tidak perlu ke lantai bawah untuk mampir mencetak dokumen ini. Segera setelah bersiap, aku langsung menyusul pak James ke lobi. Sebenarnya, biasanya pak James seringnya pergi sendiri saat ada pertemuan atau makan siang di luar jam kerja kantor. Pak James bilang, bisa mengatasinya sendiri dan membiarkanku menikmati waktu istirahatku. Tapi hari ini, entahlah, beliau tiba-tiba mengajakku. Mungkin memang karena pak Ricard juga membawa sekretarisnya. Pertemuan pak James dengan pak Ricard tidak jauh dari kantor. Tepatnya di restoran mewah berjarak sekitar 10 menit dari kantor kami. Pak Ricard sudah menunggu kami di sudut paling jauh dari keramaian, mungkin agar pertemuan mereka lebih nyaman dan intens. Di sampingnya, aku bisa melihat seorang perempuan yang kuyakin adalah sekretarisnya. Perempuan yang ewrrr ... cukup sexy untuk seorang sekretaris. "Selamat siang juga, Pak Ricard. Saya Diana, sekretaris pak James," sapaku sopan. Ini memang pertemuan pertama kami. Pak Ricard adalah investor baru di perusahaan pak James. Pria yang usianya mungkin di atas pak James itu tersenyum lebar, lalu menyuruh aku dan pak James duduk. Pertemuan itu diawal dengan saling berkabar antara pak James dan pak Ricard, beserta kabar perusahaannya tentu saja. Lalu dilanjutkan dengan pembahasan lebih serius soal perusahaan kami. Pak James dengan lihat menjelaskan detail perusahaan, keuangan, hingga rencana mendatang. Aku hanya mampu mengaguminya. Setiap ucapan pak James seakan menunjukkan bahwa pria itu sangat cerdas dan pintar. Aku bahkan juga bisa melihat raut kagum dari pak Ricard dan sekretarisnya. Pertemuan ditutup dengan makan siang bersama, juga sedikit ngobrol santai. Aku memilih memesan pasta untuk makan siang karena mereka semua juga memesan menu itu. Padahal, sebenarnya aku ingin makan nasi. Hanya saja, malu ah jika aku sendiri yang makan nasi. Semoga saja perutku masih bisa diajak berkompromi. "Berapa usiamu, Diana? Kamu terlihat masih muda." Aku segera mendongak menatap pak Ricard yang menatap genit ke arahku. Bulu kudukku langsung berdiri. Tapi, apa boleh buat, aku tetap harus profesional. Jangan sampai mengecewakan pak James. "Saya, tahun ini 29 tahun," jawabku sambil tersenyum sopan. Aku kembali melanjutkan makanku. Sekilas, aku bisa melihat pak Ricard mengamatiku, membuatku merasa tidak nyaman. "Sekretarismu sangat cantik," ucap Pak Ricard tiba-tiba. Aku langsung terbatuk keras. Pak James langsung bergerak memijat tengkukku sambil menyodorkanku segelas minuman yang kupesan. "Anda membuatnya terkejut, Pak Ricard," ucap pak James. Entahlah, untuk menegur atau apa. Tapi yang kulihat, pak Ricard malah tertawa pelan. "Maaf-maaf. Tapi, dia memang sangat cantik dan manis. Kalau saja kamu tidak butuh dia, berikan saja padaku." Aku mendongak menatap pak James yang mencoba tetap profesional, tersenyum dengan sedikit terpaksa. "Dia bukan perempuan seperti itu, Pak Ricard," katanya sedikit menggeram. Pak Ricard lagi-lagi tertawa. "Iya-iya. Ternyata kamu juga tertarik padanya," ucapnya berbisik pada pak James. Pelan sekali sampai aku hampir tidak bisa mendengarnya. Sementara itu, pak. James hanya diam menanggapi. Kami akhirnya menyelesaikan makan siang. Sedikit lewat dari jam pertemuan yang kubuat. "Maaf, Diana, membuatmu tidak nyaman. Pak Ricard memang seperti itu. Tapi kupikir dia bisa profesional," ucap pak James saat kami dalam perjalanan pulang. Aku mengangguk pelan, lalu menatap ke luar jendela. Rasanya sedikit lelah dan shock dengan kejadian tadi. Ini pertama kalinya dalam 5 tahun, aku bertemu dengan laki-laki secabul pak Ricard. "Kamu tidak apa-apa, Diana?" Aku segera menoleh dan mengangguk cepat. "Tidak apa-apa, Pak James. Untung saja bos saya bukan pak Ricard," kataku dengan tawa pelan, mencoba mencairkan suasana. Namun, Pak James malah menatapku lama. Lalu tersenyum tipis. "Memangnya kenapa kalau bosmu saya? Saya juga pria normal, Diana?" ucapnya. Aku mengerjapkan mata cepat. Namun, yang kudengar, pak James malah tertawa terbahak-bahak. Aku terdiam. Menikmati tawa lebar dan lantang itu. Pak James tidak pernah tertawa sebebas ini saat bersamaku. "Maaf, Diana. Hanya bercanda," ucapnya di sela-sela menghentikan tawa. Aku tersenyum dan mengangguk. "Ya. Bapak mana mungkin bisa berpaling dari nona Claire," ucapku. Pak James tersenyum tipis. "Ya. Istriku memang yang paling cantik." Aku mengulum senyum, lalu kembali menoleh menatap ke luar jendela. Pikiranku berkelana. Hari pertama saja aku sudah jelas mendapatkan pernyataan mutlak dari pak James, bahwa pria itu benar-benar mencintai istrinya. Haruskah kulanjutkan sampai sebulan ke depan?Malam harinya, aku menjenguk ibu. Riana dan Dino ku suruh pulang sebentar untuk membersihkan diri dan makan malam. Kami gantian berjaga. Aku tau, meskipun aku lelah bekerja, Riana dan Dino pasti juga merasa lelah karena menunggu orang yang sakit di rumah sakit. Ibu sudah sadar pagi tadi. Saat ini ia tengah tertidur pulas setelah perawat membantu membersihkan tubuhnya. Kondisinya berangsur membaik, meskipun sekarang masih dalam masa pemulihan dan pembersihan dalam lambungnya. Cairan berwarna hitam masih setia mengalir dari selang makan miliknya, tapi warnanya tak sepekat sebelumnya. Aku menatap ibu. Menggenggam tangannya dengan lembut. Ibu bergerak pelan, lalu kembali tertidur pulas. Tadi, aku sudah menemui dokter Danu. kembali berkonsultasi soal kondisi ibuku dan rencana operasi pemasangan ring jantung. Dokter Danu menyarankan segera. Dan aku akhirnya menyetujui setelah berbincang juga dengan kedua adikku. Ibu belum tau terkait rencana opera
Perutku keroncongan satu jam sebelum jam pulang. Mungkin karena tadi pagi aku tidak sarapan dan malah minum kopi. Lalu siangnya, aku hanya memesan pasta yang porsinya hanya sedikit menurutku. Aku mendesah panjang. Menumpukan kepalaku di meja kerjaku. Kenapa jam pulang terasa lama sekali. Pekerjaanku sebenarnya hanya tinggal sedikit. Tapi saat lapar, otakku tak bisa berpikir jernih. Pak James tiba-tiba keluar dari ruangannya. Aku segera menegakkan tubuhku, lalu pura-pura memencet cepat keyboard komputerku. "Ada apa, pak James? Butuh sesuatu?" tanyaku. Pak James tampak melihat ke sekeliling meja kerjaku. Lalu menatapku dengan alis yang naik sebelah. Naasnya, tiba-tiba perutku bersuara nyaring, membuatnya tertawa keras. Kenapa pas sekali. Aku malu. Tanpa sepatah katapun, pak James langsung pergi meninggalkanku, kembali masuk ke dalam ruangannya. Aku mengehela napas panjang. Lalu menepuk-nepuk kedua sisi pipiku yang memerah. Ah aku benar-benar malu. Baru saja aku mene
Aku memandang setengah gugup ke arah pintu ruangan pak James. Biasanya tidak seperti ini. Hampir 5 tahun bekerja dengan pak James, membuatku cukup terbiasa dengannya. Tapi hari ini, aku merasa sangat gugup. Mungkin karena aku memiliki niat lain selain menjadi sekretaris pak James kali ini. "Selamat pagi, Pak James. Bagaimana pagi Anda hari ini?" tanyaku ramah, seperti biasanya. Pak James memandangku dengan senyum ramahnya, seperti biasanya. Namun, kali ini ia menampilkan raut heran. Menatap tubuhku dari atas ke bawah. "Baik. Kamu gimana, Diana? Sepertinya harimu sangat baik hari ini?" tanyanya. Aku tersenyum kikuk. Lalu menggeleng pelan. "Ya, seperti biasanya pak James," kataku sedikit tertawa. Aku lalu menyampaikan agenda beliau hari ini dari pagi hingga sore, berikut juga dengan agenda meeting dan pembahasannya, juga jadwal pertemuan di luar meeting dengan salah satu investor perusahaan ini.
Kami bertemu tepat pukul 2 siang di tempat yang sudah dipilih nona Claire. Tadinya aku bilang izin kepada Pak James untuk mengunjungi ibuku di rumah sakit sebentar. Untung saja pekerjaanku hari ini sudah luang, jadi pak James mengizinkan. Nona Claire sudah menungguku. Saat mata kami bertemu, aku bisa melihat antusias darinya. Mungkin dia sudah tau apa jawabanku nanti. "Duduk, Diana." Nona Claire menyuruhku duduk di depannya, lalu ia menyodorkan minuman dingin yang sudah ia pesan padaku. "Minum dulu. Kamu terlihat banyak pikiran." Aku mengangguk pelan dan mengucapkan Terima kasih. Segera kuteguk minuman dingin dari nona Claire, cukup untuk membasahi tenggorokanku dan menyegarkan pikiranku. Mataku beralih menatap nona Claire yang tampak menungguku. "Bagaimana Diana? Aku tau kamu sedang banyak masalah keuangan. Maka dari itu, aku menawarkan pekerjaan ini kepadamu. Karena aku ingin membantumu. Kuharap kamu tidak mengecewakanku," ucapnya. Aku menarik napas dalam. Mencoba untu
Aku menghentak-hentakkan kakiku di lantai kamar setelah mengunci rapat pintunya. Setelah sampai, aku sama sekali tak berkata apapun pada kedua adikku yang menatapku bingung. Kekesalan dan sakit hati membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tak sadar, air mataku menetes. Aku segera mengusapnya. Kenapa aku harus menangisi laki-laki kadal macam Elzard. Kenapa Elzard tega mengkhianatiku? Kenapa Elzard tega menyelingkuhiku? Tapi jangan-jangan, justru akulah selingkuhannya. Ah, membayangkan itu membuat diriku semakin kesal. Bayangan pernikahan tahun depan buyar sudah. Laki-laki yang kuyakin akan menjadi suamiku nyatanya tega menduakanku. Aku memilih untuk segera membersihkan diri. Sepertinya aku butuh air dingin sekarang juga. Tak butuh waktu terlalu lama, aku sudah segar dengan rambut basah yang kugulung dengan handuk. Kakiku langsung menaiki ranjang, cukup dingin. Tanganku bergerak membuka pons
"Aku ingin kamu menggoda suamiku."Ucapan nona Claire sontak membuatku terkejut. Sangat terkejut. Apa dia sudah gila? Menyuruh perempuan lain untuk menggoda suaminya sendiri? Oke, mungkin jika suaminya jelek, gendut, miskin, mata keranjang, akan sedikit masuk akal. Tapi suaminya adalah Pak James, orang yang masuk daftar 10 orang terkaya di kota ini. Jangan lupakan fisiknya yang— ah, melihatnya saja pasti sudah membuat perempuan kejang-kejang. Di usia yang terbilang masih muda—sekitar 40 tahunan mungkin—dia terlihat sangat tampan dan maskulin, ditambah tubuhnya yang cukup kekar dan berotot. Lalu, Pak James dikenal sebagai sosok yang cinta keluarga. Tidak pernah sedikit pun rumor yang beredar mengatakan Pak James mendua. Ia bahkan digadang-gadang menjadi pria paling setia di kota ini. Dengan kekayaan dan ketampanan yang ia punya, Pak James bisa saja memiliki banyak wanita simpanan. Tapi, setahuku, 10 tahun pernikahan nona Claire dan pak James, tak pernah s