Setelah kejadian di dapur apartemen pak James hari itu, aku memutuskan untuk pulang. Pak James tak lagi menghubungiku. Akupun juga tak berniat menghubunginya. Aku butuh waktu, khususnya untuk memikirkan rencanaku selanjutnya.
Ada rasa takut ketika mendengar kenyataan bahwa pak James mungkin tertarik padaku, juga tubuhku. Meskipun nona Claire memintaku untuk menggunakan tubuh untuk menggoda pak James—dan sudah kulakukan, nyatanya ada perasaan takut jika hal-hal yang melewati batas akhirnya terjadi. Pak James laki-laki normal. Dia bilang sendiri padaku. Artinya, apakah aku sudah menemukan jawaban yang nona Claire minta? Apakah aku harus menghentikan pekerjaan ini sekarang dan memberi tau nona Claire bahwa pak James tidak setia padanya? Tapi, apa yang akan dilakukan nona Claire selanjutnya setelah mengetahui hal ini? Apakah mereka tetap melanjutkan pernikahan atau malah memutuskan bercerai? Jika bercerai, bukankah aku terlalu jahat pada pak James yang menganggapku keluarganya sendiri? Di tengah pikiranku yang berputar-putar, suara panggilan telepon membuatku tersadar. Aku mengernyitkan dahi saat menatap nama pak James terpampang jelas di gawaiku. Tumben sekali pak James langsung menelepon. Biasanya dia lebih suka menghubungiku lewat pesan. Aku segera mengangkatnya, lalu menyapanya. Beberapa detik, tidak terdengar suara pak James berbicara. Hanya suara napas kasarnya. "Hallo, Pak James. Bapak baik-baik aja?" tanyaku sekali lagi. Namun, lagi-lagi tak ada jawaban. Aku baru saja berniat untuk mematikan panggilan, suara pak James tiba-tiba terdengar. "Diana," ucapnya dengan suara serak. Terdengar suara grusak-grusuk. Lalu, sayup-sayup aku juga mendengar suara musik. Apa pak James sedang mabuk? "Ya, ada apa, Pak?" Helaan napas pak James terdengar. "Diana, kenapa— kenapa Claire tega melakukan ini padaku?" Dahiku berkerut. "Maksudnya?" "Apa salahku, Diana?" Suara pak James tanpa tak beraturan. Kuyakin ia sedang mabuk kali ini. Rancauannya tentang nona Claire membuatku yakin jika mereka sedang dilanda masalah. Tapi apa? Bukankah mereka masih baik-baik saja kemarin? "Pak James, Anda mabuk?" "Aku tidak mabuk, Diana— huek." Aku meringis mendengar suara muntah pak James. Dengan segera, aku mengambil tasku dan bergerak keluar. "Kakak pergi dulu, Rin. Jaga ibuk dulu, ya." Riana hanya mengangguk dan tidak bertanya macam-macam. Kini, aku harus tau di mana posisi pak James sekarang. "Bapak di mana sekarang? Biar saya jemput." "Tidak, Diana. Saya tidak apa-apa. Istirahatlah. Kamu pasti kelelahan bekerja," rancau pak James lagi. Aku terus menodongnya untuk mengetahui posisinya sekarang. Untungnya, setelah beberapa kali aku bertanya, Pak James menjawabnya. **** Memutuskan untuk membawa pak James yang sudah tidak kuat berdiri sendiri ke apartemennya adalah pikiran pertamaku. Pak James sudah setengah terpejam. Sejak aku datang, ia sudah merantau tak jelas. Bau alkohol dari mulutnya membuatku beberapa kali menutup hidung. Kalau saja aku tidak kasihan padanya, mungkin sudah kudorong dia menjauh dariku. "Passwordnya apa, Pak?" tanyaku saat kami sudah berada di depan unitnya. Pak James terlihat gelagapan. Lalu matanya tiba-tiba terbuka. Dengan tanpa mengucapkan apa-apa, tangannya terulur memencet beberapa angka hingga pintu unitnya terbuka. Aku membantunya masuk. Pak James benar-benar berat sampai membuat napasku terengah. Setelah sampai di sofa miliknya, aku mendorongnya hingga ia bisa berbaring asal di sofa. Tanganku lalu bergerak melepas sepatunya, juga jaket kulit yang ia kenakan. "Kamu cantik, Diana," ucapnya tiba-tiba. Kulihat, pak James tersenyum menatapku. Matanya terlihat sayu, mungkin efek mabuk. "Bapak terlalu mabuk. Saya buatkan teh jahe dulu," kataku, berniat pergi ke dapur. Namun, Pak James justru malah menarik lenganku, hingga aku terjerembab di atas tubuhnya. "Kamu tau, Diana. Kamu benar-benar cantik. Kemana saja aku selama ini, tidak menyadari kecantikanmu," bisiknya di telingaku. Aku merinding seketika. Aroma alkohol dari mulut pak James membuatku tak nyaman. Juga posisi ini. Pak James memelukku erat, membuatku sulit untuk bangkit dari posisi ini. "Pak James, tolong. Saya ingin ke dapur dulu." Aku berusaha mendorong pak James agar bisa berdiri. Namun, belitan tangan pak James di sekitar pinggangku cukup kuat. "Sudah kubilang jangan ikat rambutmu saat di dekatku, Diana. Kamu tau, aku ingin sekali mencium dan menyesap leher cantikmu." Bulu kudukku langsung berdiri. Lagi-lagi, usahaku untuk melepaskan diri dari belitan pak James sia-sia. Bahkan kini, pak James sudah mendekatkan wajahnya ke leherku. Menghirup dalam-dalam aroma tubuhku. Aku memejamkan mata, menahan sensasi aneh dari tubuhku. "Ah.... " Desahanku tak kuasa kutahan lagi saat pak James benar-benar mencium leherku. Kali ini bibirnya bergerak menyesap, meninggalkan jejak keunguan di sana. "Kamu wangi, Diana," ucapnya dengan tersenyum simpul. Ia kembali menghirup dalam-dalam leherku. Kembali menyesap dan memberikan tanda di beberapa titik. Tangannya sudah bergerak liar, menggerayangi pinggangku. Lalu, aku tersentak saat tiba-tiba pak James meremas kasar bokongku. "Akh— hentikan, Pak James. Anda mabuk." Tanganku berusaha menjauhkan tangannya dari bokongku. "Bukankah ini enak, Diana?" tanyanya menggodaku. Tak sampai di situ, kali ini pak kedua tangan pak James kembali meremas kedua bongkahan bokongku. Tubuhnya menyentak ke depan, hingga aku bisa merasakan sesuatu yang keras menyentuh bagian depanku. "Pak James, kumohon— ah...." Pak James tak mendengarkanku. Dia justru semakin beringas menciumi bagian atasku. Di saat aku lengah, ia tiba-tiba membalik badanku. Hingga posisi kami sekarang berubah. Pak James berada di atas tubuhku, menatapku dengan mata penuh nafsu. Bibirnya langsung menyergap bibirku. Aku mencoba menolak, Namun pak James malah menekan bibirnya semakin dalam. Lidahnya mencoba menyeruak masuk ke dalam mulutku. Tangan kanan mengelus pinggangku, lalu bergerak ke atas, dan berhenti di bongkahan padat bagian atas tubuhku. Ia meremasnya kasar, membuatku sedikit berteriak dan membuka mulut. Kesempatan itu dipakainya untuk memporak-porandakan dalam mulutku. "Bagaimana, Diana? Bukankah ini enak?" tanyanya. Aku tak menjawab. Sibuk menata napasku yang tersenggal. Tak membiarkanku untuk beristirahat lebih lama, Pak James kembali melumat bibirku. "Pak James hentikanhh. Ini salah. Anda mabuk uh." "Aku tidak mabuk, Diana. Aku hanya sedang membagi kenikmatan bersamamu. Bukankah kamu belum pernah merasakannya sebelumnya?" katanya dengan menyeringai. Wajahnya bergerak turun. Kemejaku tiba-tiba disobek begitu saja, membuat kancinya bertebaran di mana-mana. Pak James menyingkap kemejaku ke samping, dia terdiam sejenak, menatap bagian atasku yang hanya tertutup bra berwana merah dengan mata berkabut. Jakunnya juga terlihat naik turun. Mata pak James menggelap. Ia kembali mencium bibirku sejenak. Sebelum akhirnya bibirnya mendarat di bongkahan padat milikku. Pak James menciuminya rakus, seakan itulah sesuatu yang ia tunggu-tunggu selama ini. Saat tangannya mencoba melepaskan braku, aku menahannya. "Pak James, Anda yakin? Bukankah Anda mencintai nona Claire?" tanyaku. Pak James diam. Seakan tersadar akan sesuatu. Tubuhnya mulai duduk tegak, masih di atas tubuhku. Aku masih merasakan tonjolan keras miliknya yang mengenai perutku. Pak James tampak bergeming, lalu menatapku lama. Aku tak tau apa yang sedang pak James pikirkan. Hanya saja, kuyakin pak James mungkin merasa menyesal karena telah menghianati nona Claire sekarang.Hari ini aku tak masuk kerja. Seperti yang sudah kukatakan pada pak James beberapa waktu lalu. Hari ini jadwal ibu operasi, jadi aku ingin menemaninya. Aku duduk merenung setelah 2 jam berlalu sejak ibu masuk ruangan operasi. Tidak, aku tidak memikirkan atau khawatir soal keadaan ibu. Dokter Danu paling ahli di bidang ini. Jadi, aku sangat percaya padanya bisa melakukan yang terbaik untuk ibu. Kondisi ibu juga berangsur membaik, jauh lebih baik dari sebelumnya sebelum masuk kamar operasi. Jadi, harusnya ibu akan baik-baik saja. Pikiranku justru berkelana pada kondisi pak James. Setelah hari di mana pak James mengatakan bahwa ia mandul, aku sedikit khawatir. Pak James mungkin berpikir jika ia sangat bertanggung jawab atas kejadian malam bersama nona Claire. Lalu, saat tau dirinya tidak bisa menghamili nona Claire, pak James merasa semakin bersalah. Mungkin itu sebabnya pak James begitu putus asa. Nona Claire yang berseli
"Diana, menurutmu, perempuan lebih suka laki-laki yang membebaskannya untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan, atau mengekangnya dengan segala aturan?" Pak James tiba-tiba berhenti mengunyah. Ia manatapku, menunggu jawaban. Saat ini, kami sedang berada di warung nasi padang yang sama seperti yang kami kunjungi beberapa waktu lalu. Ini kedua kalinya pak James mengajakku kemarin. Tadinya, kupikir pak James akan mengurung diri di ruangannya setelah masalah yang ia hadapi dengan nona Claire. Tapi, ternyata tidak. Ia malah mengajakku ke sini. "Tentu saja pilih laki-laki yang membebaskan saya untuk melakukan segala hal yang saya mau. Tapi, bukan dalam artian sebebas-bebasnya. Perempuan itu suka diperhatikan, Pak. Jadi, dibebaskan dalam artian didukung, asalkan itu baik. Memangnya kenapa, Pak? Tumben Bapak tanya hal seperti ini?" Pak James hanya menggeleng pelan, lalu kembali menyantap makanannya. Membuatku bertanya-tanya. Apakah ini ada hubungannya dengan nona Claire. "Em, saya
"Selamat pagi, Pak," sapaku pada Pak James yang sedang sibuk menatap layar tablet miliknya. Kacamata yang ia pakai menambah kesan wibawa. Pak James menatapku, lalu melepaskan kacamatanya dan meletakkannya di meja. "Selamat pagi, Diana," jawabnya dengan senyum samar. Ia memandangku aneh, sedikit menaikkan alisnya. "Kamu sedang tak enak badan?" tanyanya. Aku sedikit bingung awalnya. Namun, pak James melirik syal yang kukenakan, membuatku paham maksud pertanyaannya. Aku segera menggeleng pelan, lalu akhirnya mengangguk karena kupikir akan lebih baik jika aku berbohong. "Iya, sedikit tidak enak badan pak James. Tapi saya masih kuat bekerja," kataku. Pak James menatapku seakan tak percaya. Tapi, pada akhirnya ia mengangguk saja. Lagipula, tidak mungkin juga jika aku mengatakan yang sejujurnya. Pak James mungkin tidak akan mengingatnya dan malah menuduhku yang tidak-tidak. Karena semalam dia mabuk. Bahkan setelah pelepasannya, dia langsung a
Rupanya dugaanku salah. Bukannya menghentikan kegiatannya, Pak James malah kembali menciumku secara brutal. Tangannya sudah menyusup ke punggungku, melepaskan kaitan bra yang kukenakan. Tanganku segera menutupi dua asetku yang tak lagi tertutup bra. Pak James kembali menegakkan badannya, lalu diam menatap bagian depanku dengan mata berkilat nafsu. "Jangan ditutup, Diana. Tidak baik menutupi sesuatu yang sangat indah ini," ucapnya parau, sambil mencoba menyingkirkan kedua tanganku. Aku masih mencoba menahan tangan pak James, tapi tenagaku tak cukup kuat. Dengan sekali sentak, pak James berhasil menyingkirkan kedua tanganku dari dua bongkahan milikku. Tanganku ditarik ke atas, membuat dadaku lebih condong ke arahnya. Dan tanpa aba-aba, pak James langsung menenggelamkan kepalanya ke sana. "Ah.... Bapak hentikanhh." Pak James menghirup dalam-dalam aroma tubuhku. Ia juga kembali memberikan tanda di san
Setelah kejadian di dapur apartemen pak James hari itu, aku memutuskan untuk pulang. Pak James tak lagi menghubungiku. Akupun juga tak berniat menghubunginya. Aku butuh waktu, khususnya untuk memikirkan rencanaku selanjutnya. Ada rasa takut ketika mendengar kenyataan bahwa pak James mungkin tertarik padaku, juga tubuhku. Meskipun nona Claire memintaku untuk menggunakan tubuh untuk menggoda pak James—dan sudah kulakukan, nyatanya ada perasaan takut jika hal-hal yang melewati batas akhirnya terjadi. Pak James laki-laki normal. Dia bilang sendiri padaku. Artinya, apakah aku sudah menemukan jawaban yang nona Claire minta? Apakah aku harus menghentikan pekerjaan ini sekarang dan memberi tau nona Claire bahwa pak James tidak setia padanya? Tapi, apa yang akan dilakukan nona Claire selanjutnya setelah mengetahui hal ini? Apakah mereka tetap melanjutkan pernikahan atau malah memutuskan bercerai? Jika bercerai, bukankah aku terlalu jahat pada pak J
Perbincanganku dengan pak James masih berlanjut. Tapi kini kami sudah berpindah duduk di sofa. Di depan kami, televisi besar pak James menyala, menampilkan salah satu tayangan berita yang begitu membosankan menurutku. "Em, kalau boleh tau, nona Claire pergi ke mana, Pak? Kenapa Bapak tidak ikut saja? Ini kan weekend." Aku menoleh ke arah Pak James yang tampak fokus menonton berita. Pak James sepertinya sangat tertarik dengan dunia politik, juga berita kriminal. "Swiss. Dia sedang liburan. Menikmati waktu sendirinya. Kamu tau, perempuan terkadang butuh me time." Aku mengangguk saja. Tapi, batinku seakan tidak setuju. Sebagai seorang perempuan yang masih lajang, aku justru memiliki harapan untuk bisa pergi liburan dengan kekasihku. Untuk me time, akan lebih baik jika hanya untuk kegiatan murah, seperti tidur, baca buku, ngopi santai. Tapi liburan di Swiss, sayang sekali jika tidak bersama pasangan. "Bapak membiarkannya per