LOGINPerutku keroncongan satu jam sebelum jam pulang. Mungkin karena tadi pagi aku tidak sarapan dan malah minum kopi. Lalu siangnya, aku hanya memesan pasta yang porsinya hanya sedikit menurutku.
Aku mendesah panjang. Menumpukan kepalaku di meja kerjaku. Kenapa jam pulang terasa lama sekali. Pekerjaanku sebenarnya hanya tinggal sedikit. Tapi saat lapar, otakku tak bisa berpikir jernih. Pak James tiba-tiba keluar dari ruangannya. Aku segera menegakkan tubuhku, lalu pura-pura memencet cepat keyboard komputerku. "Ada apa, pak James? Butuh sesuatu?" tanyaku. Pak James tampak melihat ke sekeliling meja kerjaku. Lalu menatapku dengan alis yang naik sebelah. Naasnya, tiba-tiba perutku bersuara nyaring, membuatnya tertawa keras. Kenapa pas sekali. Aku malu. Tanpa sepatah katapun, pak James langsung pergi meninggalkanku, kembali masuk ke dalam ruangannya. Aku mengehela napas panjang. Lalu menepuk-nepuk kedua sisi pipiku yang memerah. Ah aku benar-benar malu. Baru saja aku menelungkupkan kepalaku ke meja kerja, suara pintu ruangan pak James kembali terbuka. Kali ini ia berpakaian lebih rapi. Dengan menenteng tas kerjanya. Aku melirik jam di layar komputerku, lalu mengernyitkan dahi saat menyadari belum saatnya pulang kantor. "Ayo," katanya sambil melenggang pergi. Aku mematung sejenak, bingung. Lalu segera berlari mengikuti pak James yang hampir memasuki lift. "Mau kemana, Pak?" tanyaku. "Kita makan sore. Saya tau kamu kelaparan sejak siang tadi. Perutmu berbunyi beberapa kali." Mukaku sontak langsung memerah. Rasanya seluruh wajahku sudah seperti kepiting rebus. Memang benar perutku berbunyi sejak tadi? Kok aku tidak menyadarinya? "Sudah sana bersiap, saya tunggu di basement." Aku mengangguk dan segera kembali ke meja kerjaku. Smentara pak James turun duluan. Tanganku dengan cepat bergerak mematikan komputerku, menata beberapa berkas di meja, dan memasukkan beberapa barang-barangku ke tas. Setelah selesai, aku buru-buru menyusul pak James ke basement. Mobil pak James membunyikan klakson ketika aku sampai di basement. Tanpa pikir panjang, aku langsung membuka pintu belakang. Namun, urung masuk karena rupanya pak James yang akan menyetir sendiri. "Saya saja yang menyetir, Pak." Pak James menggeleng. "Masuklah dan duduk di depan. Mana mungkin saya biarkan kita berdua celaka karena membiarkanmu menyetir dalam kondisi kelaparan," ucapnya sambil tertawa pelan. Aku merengut sedikit kesal. Pak James sepertinya puas sekali hari ini karena membuatku beberapa kali merasa malu. Lihat saja, ia bahkan masih tersenyum jahil sambil sesekali melirikku. Kami berhenti di sebuah restoran nasi padang yang tidak cukup ramai. Pak James menyuruhku berjalan dulu, dia mengikutiku di belakang. "Gimana cara pesannya, Diana?" tanyanya. Kini, aku yang giliran mengulum senyum. "Pak James belum pernah makan di sini?" Pak James hanya menggeleng dengan raut seperti anak TK yang kebingungan. Aku lalu berjalan dulu, masuk dan mengambil piring beserta nasi, kemudian memilih menu lauk sambil menjelaskan beberapa masakan kepada pak James. Beliau mengikutiku. Mengambil beberapa lauk yang cukup banyak dan beraneka macam. Seperti beliau ingin mencicipi semua lauk yang ada di sana. Kami memilih duduk di ujung yang paling dalam, menghindari suara bising jalanan. Aku menatap takjub ke arah pak James. Rendang, telur, udang, tempe, gulai ayam, ikan laut, ikan tawar, semua masuk ke dalam piring pak James, seperti gunung. "Pak James yakin belum pernah makan di sini?" tanyaku memastikan. Ia hanya menggeleng, lalu mulai menyantap makanannya. Dari yang kuamati, dia cukup takjub dengan rasa makanannya dari suapan pertama. "Saya baru makan ini pertama kali. Melihat kamu beberapa hari lalu makan ini, bikin saya pengen juga. Tapi saya nggak tau cara pesan makanan ini di tempatnya langsung. Makanya saya ajak kamu sekarang." Aku mengangguk-angguk paham. Mataku sedikit menyipit. Berarti soal perutku berbunyi sejak siang tadi hanya sebuah alasan saja? Ah menyebalkan. "Kenapa bapak nggak ajak nona Claire aja? Saya yakin nona Claire juga belum pernah makan di sini." Tentu saja, orang kaya seperti mereka mungkin hanya makan makanan dari restoran, atau makanan mahal ala bintang lima. "Claire tidak suka makan di tempat seperti ini." Aku mengangguk paham. Ya, kalau aku orang kaya, mungkin aku juga tidak mau makan di sini. Atau mungkin tetap mau? Lidahku sudah kecintaan dengan makanan murah yang lezat ini. "Kamu sering makan di sini?" tanya pak James tiba-tiba. Aku mendongak menatapnya, lalu mengangguk cepat. "Ya. Dulu sering sekali, tapi sekarang jarang. Lebih hemat kalau masak sendiri." "Kamu bisa masak?" tanya pak James dengan raut sedikit terkejut. Aku tersenyum jumawa. Pak James meremehkanku rupanya. "Bisa, dong, Pak. Masakan apapun saya bisa, asal ada resepnya." Pak James tertawa. "Kenapa nggak pernah masakin saya? Saya lihat kamu sering bawain orang kantor makan siang," tanyanya. Aku menyipit mendengar pertanyaannya. "Emang bapak mau? Masakan saya biasanya masakan rumahan, Pak. Pak James pasti nggak cocok. Lebih enakan masakan nona Claire pasti, dong, Pak?" Pak James tersenyum pelan, kulihat sedikit raut sedihnya. "Claire tidak pernah memasak," katanya cukup membuatku meringis tak enak. Tapi kalau dipikir-pikir, ngapain juga nona Claire capek memasak jika menyewa jasa chef saja ia mampu. Kalau aku jadi dia, mungkin aku juga akan malas memasak. "Oh, kalau saya jadi nona Claire, saya juga pasti malas masak, Pak. Mending nyewa chef aja yang udah pasti enak." Pak James tersenyum simpul. "Oh begitu, ya." Aku mengangguk cepat. "Iyalah, Pak. Sayang banget jari tangan lentik dan cantik gitu kalau disuruh potong-potong bawang." Pak James sontak tertawa. Lalu mengangguk, mungkin menyetujui ucapanku. Kami kembali menyantap makanan kami dengan hening. Tak ada lagi obrolan di antara kami. Sampai kami pulang, pak James membayar makanan kami, bahkan membungkus beberapa untukku untuk kubawa pulang. Ia bahkan berniat mengantarkanku pulang, tapi aku menolak. Akhirnya, dia memaksa untuk mengantarkanku sampai ke pemberhentian bus terdekat. "Bagaimana kabar ibumu, Diana?" Aku menunduk lesu. "Pekan depan, ibu harus dioperasi, Pak. Jadi, saya mungkin izin untuk menemani ibu." Pak James mengangguk. "Ya. Silakan ajukan permohonan izinmu, Diana. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk meminta bantuan. Kamu tau, kamu sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Perusahaan cukup berjasa padamu. Berkat saran dan inovasi darimu, kami banyak mengalami pertumbuhan. Kuharap, kamu bisa bekerja dengan kami selama mungkin." Aku terdiam. Kenapa seperti ini. Kenapa rasanya pak James mengetahui apa niatku padanya. Kenapa, hatiku merasa kembali bimbang dengan keputusan yang kuambil. Kenapa aku merasa menjadi perempuan paling jahat sekarang. Aku mendongak menatap pak James. Dia tersenyum simpul. Matanya lesu, seakan banyak pikiran di kepalanya. Aku tak tau. Tapi yang jelas, hari ini aku bisa melihat jelas sisi lemah pak James.Hari ini aku tak masuk kerja. Seperti yang sudah kukatakan pada pak James beberapa waktu lalu. Hari ini jadwal ibu operasi, jadi aku ingin menemaninya. Aku duduk merenung setelah 2 jam berlalu sejak ibu masuk ruangan operasi. Tidak, aku tidak memikirkan atau khawatir soal keadaan ibu. Dokter Danu paling ahli di bidang ini. Jadi, aku sangat percaya padanya bisa melakukan yang terbaik untuk ibu. Kondisi ibu juga berangsur membaik, jauh lebih baik dari sebelumnya sebelum masuk kamar operasi. Jadi, harusnya ibu akan baik-baik saja. Pikiranku justru berkelana pada kondisi pak James. Setelah hari di mana pak James mengatakan bahwa ia mandul, aku sedikit khawatir. Pak James mungkin berpikir jika ia sangat bertanggung jawab atas kejadian malam bersama nona Claire. Lalu, saat tau dirinya tidak bisa menghamili nona Claire, pak James merasa semakin bersalah. Mungkin itu sebabnya pak James begitu putus asa. Nona Claire yang berseli
"Diana, menurutmu, perempuan lebih suka laki-laki yang membebaskannya untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan, atau mengekangnya dengan segala aturan?" Pak James tiba-tiba berhenti mengunyah. Ia manatapku, menunggu jawaban. Saat ini, kami sedang berada di warung nasi padang yang sama seperti yang kami kunjungi beberapa waktu lalu. Ini kedua kalinya pak James mengajakku kemarin. Tadinya, kupikir pak James akan mengurung diri di ruangannya setelah masalah yang ia hadapi dengan nona Claire. Tapi, ternyata tidak. Ia malah mengajakku ke sini. "Tentu saja pilih laki-laki yang membebaskan saya untuk melakukan segala hal yang saya mau. Tapi, bukan dalam artian sebebas-bebasnya. Perempuan itu suka diperhatikan, Pak. Jadi, dibebaskan dalam artian didukung, asalkan itu baik. Memangnya kenapa, Pak? Tumben Bapak tanya hal seperti ini?" Pak James hanya menggeleng pelan, lalu kembali menyantap makanannya. Membuatku bertanya-tanya. Apakah ini ada hubungannya dengan nona Claire. "Em, saya
"Selamat pagi, Pak," sapaku pada Pak James yang sedang sibuk menatap layar tablet miliknya. Kacamata yang ia pakai menambah kesan wibawa. Pak James menatapku, lalu melepaskan kacamatanya dan meletakkannya di meja. "Selamat pagi, Diana," jawabnya dengan senyum samar. Ia memandangku aneh, sedikit menaikkan alisnya. "Kamu sedang tak enak badan?" tanyanya. Aku sedikit bingung awalnya. Namun, pak James melirik syal yang kukenakan, membuatku paham maksud pertanyaannya. Aku segera menggeleng pelan, lalu akhirnya mengangguk karena kupikir akan lebih baik jika aku berbohong. "Iya, sedikit tidak enak badan pak James. Tapi saya masih kuat bekerja," kataku. Pak James menatapku seakan tak percaya. Tapi, pada akhirnya ia mengangguk saja. Lagipula, tidak mungkin juga jika aku mengatakan yang sejujurnya. Pak James mungkin tidak akan mengingatnya dan malah menuduhku yang tidak-tidak. Karena semalam dia mabuk. Bahkan setelah pelepasannya, dia langsung a
Rupanya dugaanku salah. Bukannya menghentikan kegiatannya, Pak James malah kembali menciumku secara brutal. Tangannya sudah menyusup ke punggungku, melepaskan kaitan bra yang kukenakan. Tanganku segera menutupi dua asetku yang tak lagi tertutup bra. Pak James kembali menegakkan badannya, lalu diam menatap bagian depanku dengan mata berkilat nafsu. "Jangan ditutup, Diana. Tidak baik menutupi sesuatu yang sangat indah ini," ucapnya parau, sambil mencoba menyingkirkan kedua tanganku. Aku masih mencoba menahan tangan pak James, tapi tenagaku tak cukup kuat. Dengan sekali sentak, pak James berhasil menyingkirkan kedua tanganku dari dua bongkahan milikku. Tanganku ditarik ke atas, membuat dadaku lebih condong ke arahnya. Dan tanpa aba-aba, pak James langsung menenggelamkan kepalanya ke sana. "Ah.... Bapak hentikanhh." Pak James menghirup dalam-dalam aroma tubuhku. Ia juga kembali memberikan tanda di san
Setelah kejadian di dapur apartemen pak James hari itu, aku memutuskan untuk pulang. Pak James tak lagi menghubungiku. Akupun juga tak berniat menghubunginya. Aku butuh waktu, khususnya untuk memikirkan rencanaku selanjutnya. Ada rasa takut ketika mendengar kenyataan bahwa pak James mungkin tertarik padaku, juga tubuhku. Meskipun nona Claire memintaku untuk menggunakan tubuh untuk menggoda pak James—dan sudah kulakukan, nyatanya ada perasaan takut jika hal-hal yang melewati batas akhirnya terjadi. Pak James laki-laki normal. Dia bilang sendiri padaku. Artinya, apakah aku sudah menemukan jawaban yang nona Claire minta? Apakah aku harus menghentikan pekerjaan ini sekarang dan memberi tau nona Claire bahwa pak James tidak setia padanya? Tapi, apa yang akan dilakukan nona Claire selanjutnya setelah mengetahui hal ini? Apakah mereka tetap melanjutkan pernikahan atau malah memutuskan bercerai? Jika bercerai, bukankah aku terlalu jahat pada pak J
Perbincanganku dengan pak James masih berlanjut. Tapi kini kami sudah berpindah duduk di sofa. Di depan kami, televisi besar pak James menyala, menampilkan salah satu tayangan berita yang begitu membosankan menurutku. "Em, kalau boleh tau, nona Claire pergi ke mana, Pak? Kenapa Bapak tidak ikut saja? Ini kan weekend." Aku menoleh ke arah Pak James yang tampak fokus menonton berita. Pak James sepertinya sangat tertarik dengan dunia politik, juga berita kriminal. "Swiss. Dia sedang liburan. Menikmati waktu sendirinya. Kamu tau, perempuan terkadang butuh me time." Aku mengangguk saja. Tapi, batinku seakan tidak setuju. Sebagai seorang perempuan yang masih lajang, aku justru memiliki harapan untuk bisa pergi liburan dengan kekasihku. Untuk me time, akan lebih baik jika hanya untuk kegiatan murah, seperti tidur, baca buku, ngopi santai. Tapi liburan di Swiss, sayang sekali jika tidak bersama pasangan. "Bapak membiarkannya per







