Sara meraih tangan Vincent, berdiri perlahan. Vincent tak langsung melepas genggamannya. Membuat Sara merasakan kehangatan dan rasa aman karena dilindungi.
Sesuatu yang benar-benar asing dalam hidup Sara. Seorang laki-laki berkacamata yang hadir mendampingi Vincent membungkuk sopan pada Sara. "Eric, hubungi penanggung jawab tenant ritel ini. Suruh kosongkan space mereka sebelum staf-stafnya sujud di kaki istri saya. Sampai kapan pun saya nggak akan lupakan penghinaan mereka." Rahang Vincent mengeras, matanya memicing tajam ke arah Senior Sara. Pria berkacamata yang bernama Eric mengangguk. "Baik, Tuan." Sara membeliak. Ditatapnya Vincent penuh keterkejutan. Sejauh ini, Sara hanya mengetahui kalau dia menikahi orang kaya. Tetapi siapa persisnya Vincent, seberpengaruh apa posisinya, sebanyak apa kekayaannya, Sara tidak pernah tahu, tidak tertarik juga untuk mencaritahu. Namun tampaknya, dari yang Sara pahami melalui kalimat Vincent barusan, Vincent adalah seseorang yang berkuasa atas Mall ini. Dengan mudah dia meminta sebuah ritel besar untuk tutup keesokan harinya? Jangan-jangan ini masih sebagian kecil dari kekuasaan Vincent. Gila. Sara ... menikah dengan orang seperti apa sebenarnya? "Vin ...." Sara menggeleng, memberi kode agar Vincent tidak bertindak sejauh itu. "Kalau mereka keberatan, suruh mereka minta maaf ke istri saya secara publik." Vincent menoleh sedikit pada Eric. "Terserah pers conference atau sosial media." Sementara itu, senior-senior Sara sejak tadi membelalak dengan tangan gemetar. Ada pula yang hanya berdiri mematung dengan mulut terbuka lebar. "A-anu ... saya ...." "Sara ... kami cuma bercanda, kita kan tem—" "—Catat waktu kejadian, jumlah orang dan nama yang terlibat, cari saksi dan minta rekaman cctv." Pria berkacamata yang mendampingi Vincent menjawab cepat, "Baik, Tuan." "Sara, kita pulang." Vincent menarik tangan Sara, membawanya melangkah pergi. "Vincent, tunggu!" Sara berusaha mengejar langkah Vincent. Di pelataran parkir VIP, seorang supir pribadi Vincent lekas mengangguk begitu Vincent muncul dan memberi kode. Pria paruh baya itu masuk ke dalam kemudi mobil, disusul Vincent dan Sara. BRAK! Pintu mobil ditutup keras oleh Vincent seolah dia mau menghancurkannya. Sara sampai berjengit kaget. Saat Sara menatap wajah Vincent, raut pria itu sungguh menyeramkan. Dingin, tajam, penuh amarah yang menggelegak. "Sudah berapa lama mereka memperlakukanmu seperti tadi?" Tanya Vincent, masih dengan nada suara yang sarat emosi. Pria itu mengeluarkan ponsel. Napasnya dihembuskan kasar sambil tangannya mengetik. Sara menggeleng, menolak menjawab, "Vincent tolong tarik perintahmu tadi!" "Besok kamu nggak perlu kerja di sana lagi. Mereka tutup permanen." "Vin, kamu serius?" Sara membeliak, benar-benar tidak habis pikir. Jadi toko tempatnya bekerja benar-benar akan tutup? Vincent hanya diam, memasukkan ponsel lalu menatap ke arah jendela mobil sambil menopang pipi. Deru mesin mobil terdengar bersamaan dengan getaran tipis di jok. Eric lalu masuk ke dalam mobil, duduk di kursi depan. "Terus aku harus kerja di mana?" Sara bertanya tanpa bisa menyembunyikan rasa frustasi. Vincent akhirnya menoleh. "Kamu ...." tanpa menurunkan tangannya dari wajah, Vincent menelisik Sara, lekat, dalam, penuh pengamatan tajam. "Kamu Asisten Pribadi saya, resmi mulai besok." Ujarnya ringan. Padahal keputusan sepihak, tetapi nada bicaranya seolah dia yakin ucapannya tak terbantah. "Apa?" "Kamu bisa kerjasama dengan Eric." Sara masih mencoba mencerna kalimat Vincent sampai pemuda itu kembali bicara. "Belilah pakaian-pakaian kerja yang pantas. Saya sudah transfer ke rekeningmu lima puluh juta beberapa hari lalu." "Rekening?" Mata Sara membelalak. "Rekening yang mana? Kenapa nggak bilang? ATM-ku ada di Paman!" Ah, habislah sudah. Padahal Sara sudah membuat rekening baru untuk pembayaran gaji bulan ini. Tetapi Vincent malah mengirimkan uang yang jumlahnya berkali-kali lipat dari gaji Sara ke nomor rekening yang lama. Vincent mengernyit, lalu menoleh ke depan, berkata pada supir, "Kita mampir sebentar ke rumah Paman Sara. Sara, beritahu alamatnya." "JANGAN! Tunggu sebentar." Sara buru-buru mengecek saldo dan mutasi rekening dari aplikasi di ponsel. Benar saja, uang lima puluh juta itu hanya mampir sesaat di rekening Sara. Sekarang Sara harus bagaimana? Datangi Paman dan meminta uang itu dikembalikan? Mana mungkin Paman akan mengembalikannya dengan mudah. Kepala Sara mendadak pening. Seandainya uang yang dikirim Vincent tidak banyak, mungkin Sara bisa relakan. Tetapi lima puluh juta? Sara menghela napas berat. "Tuan, ada jadwal meeting di restoran Alpen satu jam lagi. Waktunya tidak cukup untuk mampir ke mana pun." Eric memotong. Sementara itu, Vincent terdiam di tempatnya. * Sara menjelajah butik demi butik pakaian branded di mall yang terkenal dengan pengunjung kaum berkelas—pejabat, konglomerat, atau artis. Masih dengan seragam SPG, dia berjalan ragu di antara pakaian-pakaian mahal yang tak pernah dia sangka akan dia hampiri untuk beli. Vincent tadi memberikannya kartu pembayaran berwarna hitam. Sementara pria itu melenggang ke dalam sebuah restoran mewah di dalam Mall bersama Eric, menghadiri meeting katanya. Kata Sara, nanti total belanjanya akan dia ganti dari uang satu miliar yang diberikan Vincent. Tetapi Vincent menolak. Sara membeli beberapa stel pakaian untuk kerja. Tak lupa, dia juga membeli pakaian rumahan yang berpotongan minim, yang mendukung misinya. Walau ragu dan sempat melirik kanan-kiri, dia juga membeli lingerie berwarna merah menyala. Sara sedang melakukan pembayaran di kasir saat suara gaduh pengunjung di belakangnya membuat Sara tersentak. Itu suara Paman dan Bibi.Sara beranjak bangkit dan mencoba mengejar untuk memeriksa siapa sosok di balik kamera itu. Namun rumah megah ini mendadak sunyi. Tak ada jejak siapa pun di sekitar. Satu hal yang Sara yakini, ada seseorang yang ditugaskan untuk mengawasi Sara di rumah ini. Siapa yang memberi instruksi? Sara mencurigai beberapa pihak. Deana, atau seseorang di keluarga Vincent—Ibu mertuanya atau mungkin Kakek. Jika dipikir, pertemuan terakhir Sara dengan sang Ibu mertua adalah di hari pernikahannya. Hingga saat itu, Sara yakin wanita paruh baya yang kerap dipanggil Nyonya Martha itu masih belum sepenuhnya menerima Sara. Vincent juga tak pernah membahas beliau. Dan, tak ada tanda-tanda Nyonya Martha berencana menemui Sara. Tampaknya ada sesuatu di balik itu. Sara harus menanyakan hal ini pada Vincent. Walau sebenarnya Sara tak ingin mengambil pusing. Karena toh dia hanya sementara di rumah ini. Tetapi, bagaimana jika misinya membutuhkan waktu lebih lama? Jangan-jangan pihak yang tak me
"Kenapa? Karena aku menciummu? Karena aku tidur denganmu?” pekik Sara, lekas membuat Vincent memejamkan mata kuat-kuat. Tangannya mengusap wajah, tampak frustasi.Bi Laila dan seorang pelayan lain yang sedang berada di dapur berjalan keluar ruangan dengan kepala menunduk, berpura-pura tak mendengar ucapan Sara yang barusan lolos tanpa filter.Sementara itu, Eric di ambang pintu bergeser kikuk, memindahkan tubuhnya agar berada di ruangan sebelah.Vincent membuka mulut, tampak akan memprotes ucapan Sara, namun wanita itu lebih dulu memotongnya,“Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?”“Dengar. Aku nggak suka, kamu bertemu banyak orang. Nggak ada yang bisa jamin kamu nggak akan bertemu kembali dengan orang-orang seperti Yuta.” Vincent menatapnya tajam, penuh tekanan. “Paham?”Sara semakin mengernyit, menunjukkan penolakan keras, “Kamu mau mengurungku di rumah?”“Kamu bisa kembali latihan bermain gitar.” ucap Vincent memberi solusi.Iya, mungkin benar. Tetapi Sara kini kehilangan momen
Vincent merebahkan kepalanya yang penat di atas bantal. Matanya dipejamkan kuat-kuat. Tangannya memijit pelan pelipis.‘Kamu boleh tidur di kamarku.’Kalimat yang dia ucapkan tadi itu terus terngiang di kepala. Bagai mimpi buruk yang mencekik kewarasannya. Dia sendiri menyesali kebodohannya yang belakangan ini begitu mudah takluk pada pesona Sara. Segala yang ada pada wanita itu, entah sejak kapan menggoyahkan pertahanannya hingga luluh lantak.Suara yang kadang terdengar manja, tatapan mata yang berbinar indah, bibir yang ranum …Dan sentuhan hangat yang menari lembut di bibirnya ….Semua berkelebat liar di kepala Vincent. Mengacaukan debar jantungnya hingga tanpa sadar tangannya mencengkeram rambutnya kuat. Pria itu menghela napas berat. Sejujurnya, dia menikahi Sara tanpa diiringi niat untuk ‘hadir’ sebagai suaminya. Jangankan menjadi suami, menikah kembali pun dia tak berminat.Namun kini … apa hatinya mulai goyah? Sekarang … apa yang dia inginkan?“Vin ….” Vincent membuka mata
“I-itu ….” Sara membelalak ketika Vincent mengernyit menatap layar ponsel Sara. Buru-buru direbutnya benda pipih itu dari tangan Vincent. Namun, pria itu menahannya.“Itu cuma spam! Bukan pembelian!” Sara berseru panik. Tangannya mencoba merampas ponsel yang dicengkeram erat oleh Vincent. “Lepas! Berikan ponselku!” pekiknya seraya mendelik kesal.“Kalau hanya spam, lantas kenapa kamu sepanik ini?” Vincent menatap Sara lekat, guratan curiga menggantung di wajahnya. Pria itu semakin mendekat, membuat Sara refleks menjauh.“Ada yang kamu sembunyikan?” desaknya dengan suara rendah.Sara meneguk ludah. Ini gawat. Kalau sampai Vincent berhasil mengakses ponsel Sara, bukan hanya pembelian barang-barang mesum itu, tetapi juga pesan rahasianya dengan Deana yang bisa terbongkar.Sara menarik paksa ponselnya dalam satu sentakan cepat. Namun, gerakan itu membuat Vincent yang memegang ponsel ikut tertarik. “Aakkkh!”Bagai dihisap gravitasi, tubuh Sara miring ke belakang, kepalanya nyaris terjere
Penerangan di ruangan itu redup, hanya mengandalkan lampu dinding kecil di dua sudut. Sehingga tidak terlalu jelas apa yang berada di sekitar. Sara menelan ludah, ragu untuk masuk. Namun rasa ingin tahunya menang. Langkahnya diayun perlahan seiring daun pintu berderit. Suasana gelap memaksa Sara meraba dinding, mencari saklar. Ketika cahaya lampu menerangi sekitar, Sara membelalak. Ruangan itu diisi beberapa alat musik. Ada gitar klasik, grand piano, biola, juga ada buku partitur dan lemari kaca besar berisi beragam piala dan piagam. Sara berkeliling. Tangannya menyentuh perlahan pintu kaca yang melapisi beragam piala. Dibacanya sebuah ukiran teks pada salah satu piala yang ukurannya paling besar dan elegan. Juara satu kompetisi piano Internasional. Vincent Suryadinata. Senyum Sara mengembang tipis. Tak disangka Vincent menyukai musik. Sara pun begitu. Hanya saja, impian dan minat itu harus padam sejak Sara meninggalkan rumahnya yang dijual, lalu pindah dan hidup ber
Langit sudah gelap saat Sara berjalan keluar menuju balkon kamar. Udara dingin malam menusuk kulitnya yang terbalut gaun malam berlapis kimono panjang.Terbayang kalimat dokter saat siang tadi dia temui setelah waktu jenguknya habis.“Secara garis besar, perkembangan kondisi pasien cukup baik. Jika progresnya terus sebaik ini, sepertinya paling cepat malam ini sudah bisa pindah ke kamar rawat biasa. Semoga saja.”Bagai bongkahan batu besar dipindahkan dari dada, kelegaan merayapi Sara.Walau demikian, Sara yakin, ini perbuatan Deana. Entah dengan cara apa—mungkin menyuap melalui perpanjangan tangannya di dalam lingkungan internal Lapas, membuat skenario keji, hingga Papa berakhir mengalami kekerasan dari rekan satu sel. Atau mungkin dengan cara keji lainnya?Merasakan udara dingin yang kian membuatnya menggigil, Sara memutuskan kembali ke kamar. Langkahnya diayun pelan seraya menutup pintu balkon. Diliriknya jam digital di atas nakas. Pukul sembilan malam. Sudah selarut ini dan Vince