Vincent baru saja mengakhiri meeting dengan kolega bisnisnya di sebuah restoran bernuansa elegan. Setelah berjabat tangan dan rekan bisnisnya pergi, Eric mendekat, berbisik di telinga Vincent,
"Tuan, ini hasil penyelidikan bekas luka di tubuh Nona Sara. Juga beberapa informasi tambahan." Eric mengoper sebuah tablet pada Vincent yang duduk di kursi restoran. Dia baru saja selesai meeting dan rekan bisnisnya baru pamit pulang. Vincent memeriksa tampilan layar dengan hati-hati. Keningnya berkerut dalam. Jadi, semua bekas sundutan rokok, memar-memar di punggung itu ... dari Paman dan Bibinya? Vincent membaca bagian sumber penghasilan mereka. Dia bisa menekan di bagian ini. "Bisnis laundry?" Eric mengangguk dalam, "Iya, Tuan." "Sumber permodalan?" "Bank YYY, Tuan. Kredit permodalan jangka panjang." Vincent mendengus sinis. Bank YYY masih dalam radar kuasanya. "Hubungi pimpinan bank YYY, blokir akses pinjaman mereka. Kalau menolak, ancam cabut saham dari sana." * Begitu menyelesaikan pembayaran di kasir, Sara berbalik ke belakang. Menatap tajam pada Paman dan Bibi yang tercengang melihatnya. Bibi menunjuk-nunjuk ke arah Sara, "Nah! Ini dia!Si biang onar! Berani ya, kamu tinggalin rumah? Pakai acara pura-pura nikah! Kayak ada yang mau sama kamu aja!" "Sudahlah sayang, yang penting Sara tinggalkan uang untuk kita belanja." Paman melebarkan cengiran. Tangannya mengangkat keranjang belanja penuh pakaian yang tampaknya akan segera dibayar. "Heh, Sara. Karena kamu tinggalkan uang, kami tidak akan kasih hukuman! Tapi begitu pulang, langsung ke toko! Setrikaan menumpuk! Kami baru saja liburan habiskan sisa uang di tabunganmu." Bibi Sara terbahak. Kedua tangan Sara mengepal kencang. Rahangnya mengeras. "Kembalikan uangku." Geramnya. "Sayang, aku juga mau beli perhiasan! Gimana?" Bibi merajuk. "Paman! Bibi! Kembalikan uangku!" Kali ini seruan Sara cukup membuat Paman dan Bibi beralih menatapnya, mereka lalu saling lirik dan tertawa merendahkan. "Kami kembalikan ini saja." Selembar kertas karton tebal berwarna hijau melayang, mendarat di lantai. Kertas itu tidak utuh selembar, melainkan robek separuh, dengan jejak hitam sisa kobaran api di setengah sudutnya. Sara mengambil benda itu, menatapnya dengan mata berlinang. Kedua alisnya bertaut tajam. Itu surat tanah jatah warisan Papa. "Kalian ... membakarnya?" Tenggorokan Sara tercekat. Dibacanya judul dokumen yang kalimatnya tidak selesai, terpotong karena bekas jilatan api. "Tenang saja. itu hanya teguran. Bukan hukuman." "Tapi sayang, tetap saja suratnya sudah lebur kan." Paman bertanya sambil menyeringai. Bibi pun tertawa. Tidak. Sara tidak akan menangis. Dia melempar kertas itu ke sembarang arah. "Kalian pikir aku takut? Harga tanah itu bahkan tidak mahal! Masih bisa kubeli dengan uangku." Iya, Sara masih punya sisa uang beberapa ratus juta dari Vincent. Walaupun dia tak yakin akan cukup. "Berlagak sekali kamu! Lihat penampilanmu! Seragammu saja SPG. Uang dari mana, kamu?" "Permisi." Vincent melangkah mendekat bersama Eric di belakangnya. "Saya Vincent Suryadinata. CEO Surya group. Suami Sara. Maaf terlambat memperkenalkan diri." Sebuah senyum mampir di wajah dingin Vincent, hanya sesaat, tipis—nyaris tak terlihat. Dengan dua tangan, Eric menyerahkan selembar kartu nama Vincent sambil membungkuk sopan. Paman dan Bibi yang masih terperangah hebat menatap kartu nama berwarna hitam itu dengan mulut tergagap. Vincent berdiri di sisi Sara, merangkul pundaknya, menyempatkan diri melongok wajah Sara. "Sayang, kamu ... nangis?" Wajah Vincent yang terlalu dekat membuat Sara mengalihkan pandangan. Sayang? Sayang apaan? Kenapa jantung Sara mau melompat rasanya! "O-oh ... suaminya Sara? Hahaha." Bibi menyikut lengan Paman. Vincent memungut lembar akta tanah yang sempat dilempar Sara. "Apa ini?" "Itu ... rapot sekolah Sara!" Sahut Paman lantang. Bibi menginjak kaki Paman, membiarkan pria tambun itu mengaduh heboh. "Itu ... anu ... kami nggak sengaja membakarnya waktu buang sampah." Bibi cengengesan. "Nggak sengaja?" Vincent mengerutkan kening. Sorot matanya dingin, tajam menghunus. Tangannya mengangkat kertas itu, meneliti lebih lekat. "Ini bukannya surat tanah yang kamu ceritakan, sayang?" Improvisasi Vincent sungguh mengejutkan. Hampir saja Sara bertepuk tangan. Sara menatap wajah Paman dan Bibi yang kini menegang. Ada kepuasan tersendiri melihat wajah-wajah itu bergidik ketakutan. Sebelah sudut bibir Sara sedikit terangkat. Sara mengangguk dengan wajah cemberut, tangannya merengkuh pinggang Vincent, memeluknya. Membuat tubuh pria itu sempat tersentak sekilas. 'Dia yang mengajak sandiwara kenapa dia yang kaget?' Sara membatin. "Itu surat tanah milik Papa. Sekarang ... habis terbakar." Sara membenamkan wajah ke dada Vincent. Ada aroma parfum mahal yang menenangkan, membuat jantungnya berdebar. Tangannya mencengkeram jas milik Vincent. Setengah ingin kabur, setengah ingin tetap di sana. "Eric." Suara Vincent terdengar dingin. Sara tak mampu melihat wajahnya karena masih pura-pura bersedih di pelukan Vincent. "Ya, Tuan?" Sara mendongak. Masih menggelayut manja, dia melihat raut wajah Vincent sedikit menegang, seolah sekuat tenaga menahan diri untuk tak menghempaskan Sara yang mirip ulat bulu melekat. "Buat laporan kepolisian untuk penyalahgunaan aset keluarga. Cari bukti dari cctv sekitar. Dan juga ...." Bibi lekas duduk bersimpuh, dia menarik kasar ujung baju Paman. Pria tambun itu segera ikut meluruh ke lantai. "Tolong ... jangan laporkan kami ke polisi! Tolong, ampuni kami Tuan!" Vincent mendengus sinis. "Kalian pikir saya hanya akan diam dengan semua bekas sundutan rokok dan memar di tubuh istri saya?" Sara menegang. Bagaimana Vincent tahu luka-luka di punggungnya? Kapan dia melihatnya?Sara beranjak bangkit dan mencoba mengejar untuk memeriksa siapa sosok di balik kamera itu. Namun rumah megah ini mendadak sunyi. Tak ada jejak siapa pun di sekitar. Satu hal yang Sara yakini, ada seseorang yang ditugaskan untuk mengawasi Sara di rumah ini. Siapa yang memberi instruksi? Sara mencurigai beberapa pihak. Deana, atau seseorang di keluarga Vincent—Ibu mertuanya atau mungkin Kakek. Jika dipikir, pertemuan terakhir Sara dengan sang Ibu mertua adalah di hari pernikahannya. Hingga saat itu, Sara yakin wanita paruh baya yang kerap dipanggil Nyonya Martha itu masih belum sepenuhnya menerima Sara. Vincent juga tak pernah membahas beliau. Dan, tak ada tanda-tanda Nyonya Martha berencana menemui Sara. Tampaknya ada sesuatu di balik itu. Sara harus menanyakan hal ini pada Vincent. Walau sebenarnya Sara tak ingin mengambil pusing. Karena toh dia hanya sementara di rumah ini. Tetapi, bagaimana jika misinya membutuhkan waktu lebih lama? Jangan-jangan pihak yang tak me
"Kenapa? Karena aku menciummu? Karena aku tidur denganmu?” pekik Sara, lekas membuat Vincent memejamkan mata kuat-kuat. Tangannya mengusap wajah, tampak frustasi.Bi Laila dan seorang pelayan lain yang sedang berada di dapur berjalan keluar ruangan dengan kepala menunduk, berpura-pura tak mendengar ucapan Sara yang barusan lolos tanpa filter.Sementara itu, Eric di ambang pintu bergeser kikuk, memindahkan tubuhnya agar berada di ruangan sebelah.Vincent membuka mulut, tampak akan memprotes ucapan Sara, namun wanita itu lebih dulu memotongnya,“Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?”“Dengar. Aku nggak suka, kamu bertemu banyak orang. Nggak ada yang bisa jamin kamu nggak akan bertemu kembali dengan orang-orang seperti Yuta.” Vincent menatapnya tajam, penuh tekanan. “Paham?”Sara semakin mengernyit, menunjukkan penolakan keras, “Kamu mau mengurungku di rumah?”“Kamu bisa kembali latihan bermain gitar.” ucap Vincent memberi solusi.Iya, mungkin benar. Tetapi Sara kini kehilangan momen
Vincent merebahkan kepalanya yang penat di atas bantal. Matanya dipejamkan kuat-kuat. Tangannya memijit pelan pelipis.‘Kamu boleh tidur di kamarku.’Kalimat yang dia ucapkan tadi itu terus terngiang di kepala. Bagai mimpi buruk yang mencekik kewarasannya. Dia sendiri menyesali kebodohannya yang belakangan ini begitu mudah takluk pada pesona Sara. Segala yang ada pada wanita itu, entah sejak kapan menggoyahkan pertahanannya hingga luluh lantak.Suara yang kadang terdengar manja, tatapan mata yang berbinar indah, bibir yang ranum …Dan sentuhan hangat yang menari lembut di bibirnya ….Semua berkelebat liar di kepala Vincent. Mengacaukan debar jantungnya hingga tanpa sadar tangannya mencengkeram rambutnya kuat. Pria itu menghela napas berat. Sejujurnya, dia menikahi Sara tanpa diiringi niat untuk ‘hadir’ sebagai suaminya. Jangankan menjadi suami, menikah kembali pun dia tak berminat.Namun kini … apa hatinya mulai goyah? Sekarang … apa yang dia inginkan?“Vin ….” Vincent membuka mata
“I-itu ….” Sara membelalak ketika Vincent mengernyit menatap layar ponsel Sara. Buru-buru direbutnya benda pipih itu dari tangan Vincent. Namun, pria itu menahannya.“Itu cuma spam! Bukan pembelian!” Sara berseru panik. Tangannya mencoba merampas ponsel yang dicengkeram erat oleh Vincent. “Lepas! Berikan ponselku!” pekiknya seraya mendelik kesal.“Kalau hanya spam, lantas kenapa kamu sepanik ini?” Vincent menatap Sara lekat, guratan curiga menggantung di wajahnya. Pria itu semakin mendekat, membuat Sara refleks menjauh.“Ada yang kamu sembunyikan?” desaknya dengan suara rendah.Sara meneguk ludah. Ini gawat. Kalau sampai Vincent berhasil mengakses ponsel Sara, bukan hanya pembelian barang-barang mesum itu, tetapi juga pesan rahasianya dengan Deana yang bisa terbongkar.Sara menarik paksa ponselnya dalam satu sentakan cepat. Namun, gerakan itu membuat Vincent yang memegang ponsel ikut tertarik. “Aakkkh!”Bagai dihisap gravitasi, tubuh Sara miring ke belakang, kepalanya nyaris terjere
Penerangan di ruangan itu redup, hanya mengandalkan lampu dinding kecil di dua sudut. Sehingga tidak terlalu jelas apa yang berada di sekitar. Sara menelan ludah, ragu untuk masuk. Namun rasa ingin tahunya menang. Langkahnya diayun perlahan seiring daun pintu berderit. Suasana gelap memaksa Sara meraba dinding, mencari saklar. Ketika cahaya lampu menerangi sekitar, Sara membelalak. Ruangan itu diisi beberapa alat musik. Ada gitar klasik, grand piano, biola, juga ada buku partitur dan lemari kaca besar berisi beragam piala dan piagam. Sara berkeliling. Tangannya menyentuh perlahan pintu kaca yang melapisi beragam piala. Dibacanya sebuah ukiran teks pada salah satu piala yang ukurannya paling besar dan elegan. Juara satu kompetisi piano Internasional. Vincent Suryadinata. Senyum Sara mengembang tipis. Tak disangka Vincent menyukai musik. Sara pun begitu. Hanya saja, impian dan minat itu harus padam sejak Sara meninggalkan rumahnya yang dijual, lalu pindah dan hidup ber
Langit sudah gelap saat Sara berjalan keluar menuju balkon kamar. Udara dingin malam menusuk kulitnya yang terbalut gaun malam berlapis kimono panjang.Terbayang kalimat dokter saat siang tadi dia temui setelah waktu jenguknya habis.“Secara garis besar, perkembangan kondisi pasien cukup baik. Jika progresnya terus sebaik ini, sepertinya paling cepat malam ini sudah bisa pindah ke kamar rawat biasa. Semoga saja.”Bagai bongkahan batu besar dipindahkan dari dada, kelegaan merayapi Sara.Walau demikian, Sara yakin, ini perbuatan Deana. Entah dengan cara apa—mungkin menyuap melalui perpanjangan tangannya di dalam lingkungan internal Lapas, membuat skenario keji, hingga Papa berakhir mengalami kekerasan dari rekan satu sel. Atau mungkin dengan cara keji lainnya?Merasakan udara dingin yang kian membuatnya menggigil, Sara memutuskan kembali ke kamar. Langkahnya diayun pelan seraya menutup pintu balkon. Diliriknya jam digital di atas nakas. Pukul sembilan malam. Sudah selarut ini dan Vince