"Ganti sebelum saya yang lepasin, Sara." suara Vincent terdengar tajam, penuh ancaman.
Namun Sara mengabaikannya. Kalau Vincent nekat pun, artinya pancingan Sara bersambut. Wanita itu memiringkan wajah, pura-pura sibuk membenarkan untaian dasi yang simpulnya sempat keliru. "Tunggu. Begini ... lalu begini ...." Sara fokus menyusun ikatan dasi. Diam-diam, diliriknya Vincent sekilas. Pria itu masih memejamkan mata dengan tangan menutupi dahi—seperti hendak membatasi pandangannya. Melihat hal itu, batin Sara tertawa menang. Tampaknya Vincent berjuang keras menahan diri. Sara menurunkan tangannya yang sudah selesai memasangkan dasi. "Sudah." Sara tersenyum puas. Hari ini Vincent tidak mengusirnya meski dia masuk sembarangan. Juga tidak mengamuk walau Sara nekat menerobos privasi Vincent tanpa izin. Ini sudah kemajuan yang cukup baik. Padahal, Sara sudah menyiapkan kata-kata jikalau dia diusir dari kamar Vincent. Ditatapnya Vincent yang mulai membuka mata dan menjauhkan tangan dari dahi. Kening beralis tebal itu berkerut tanda tak suka. Sara mengamati wajah tegas itu sambil tersenyum. Namun pria itu lekas berpaling ke arah lain. Apa dia malu? "Minggir. Saya mau berangkat." Sekilas, walau tak yakin, Sara melihat daun telinga Vincent memerah. Wah, dia tersipu? Entah mengapa, melihat reaksi malu-malu Vincent, Sara jadi semakin tertarik menggodanya. "Vin, hari ini aku juga masuk kerja. Nanti kubawakan bekal lagi, ya!" seru Sara. Namun Vincent berlalu masuk ke dalam walk-in closet tanpa sepatah kata pun. Sara melipat bibirnya ke dalam, menahan tawa yang hampir saja lepas. Wanita itu berkacak pinggang, menggeleng. Dari luar kelihatannya Vincent menyeramkan, misterius, dingin. Ternyata, diam-diam dia punya sisi yang menggemaskan. * Hari ini, seharusnya Sara masih menikmati cuti menikah, tetapi dia tetap masuk kerja—menukar cutinya ke hari lain. Karena toh, dia tidak punya jadwal bulan madu. Alih-alih liburan menginap di hotel, kemarin dia dan Vincent malah menginap di rumah sakit. Sara sedang melipat pakaian yang dipanjang di rak display toko ritel tempatnya bekerja. Otaknya sedang memikirkan strategi selanjutnya yang akan dia lakukan untuk menyembuhkan Vincent. Beberapa poin yang dia masih ingat dalam buku 'Kiat Mengatasi Impotensi' sepertinya ada pijat relaksasi, sentuhan, lalu apalagi ya? Ah, berhubung pagi ini misi Sara cukup efektif membuat Vincent merona, tampaknya dia perlu mempertahankan gaya pakaian serupa untuk dikenakan di rumah—yang cukup minim dan terbuka untuk memprovokasi Vincent. Kalau Vincent tergoda dan hendak 'menerkamnya', Sara berencana hanya akan lihat bagian 'bawahnya' saja—apakah berfungsi atau tidak, lalu kabur dengan cara apa pun. Kalau berfungsi, dia akan lapor Deana, Papa bisa dibebaskan dari penjara, dia bisa pergi dan hidup merdeka bersama Papa. Kalau belum, Sara akan coba trik lain yang lebih nekat, yang cukup kuat efeknya untuk membuat Vincent 'aktif'. Setidaknya ... begitu dalam bayangan polos Sara. Walaupun, Sara sendiri tidak yakin, apakah nantinya berjalan mulus? Ah, rasanya akan lebih sopan kalau Sara mulai memberi bagian 'itu' dengan nama. Jonathan kedengarannnya bagus. Tidak lebih terang-terangan dari Dicky atau Jhonny. Tiba-tiba, beberapa orang senior Sara datang mendekat. Wajah-wajah itu menatapnya tajam, sarat amarah yang meluap. "Heh, mentang-mentang cantik, kamu keganjenan ya samperin pelanggan-pelanggan elit. Berapa kali saya harus bilang, pantau semua sisi! Jangan cuma yang ganteng doang yang disamperin!" Pekik seorang senior Sara yang paling dituakan. Sara lekas menatap sekeliling. Benar saja, suara bernada lantang itu mengundang perhatian beberapa pasang mata pengunjung Mall. Ada apa sebenarnya? Selisih jumlah stok lagi? Iya, biasanya Sara diperlakukan seperti ini kalau ada selisih dan tuntutan ganti rugi. Tetapi sejauh ini senior-senior Sara hanya berani menyindir, menghujat Sara di belakang, merusak atau menghilangkan barang milik Sara. Belum pernah mereka se-ekstrem ini—menyerang di tempat umum, apalagi masih dalam suasana kerja. "Kak, sebenarnya kenapa?" Suara Sara mulai gemetar. Seorang senior yang lain melempar satu set dokumen dengan clipboard ke atas meja display. Angka-angka terpampang penuh di atas kertas itu, hasil perhitungan fisik dan sistem penjualan toko. Ada selisih stok yang cukup jauh untuk brand pakaian termahal. Nilainya membuat mata Sara membelalak. PLAAAK!! Pedas, nyeri, panas menjalari pipi Sara. Sambil menahan sakit, Sara menoleh. "Kak, kenapa cuma aku yang—AAAKH!" Sara refleks menjerit saat rambutnya ditarik kasar. "Dasar pembawa sial! Huu!" Kepala Sara didorong kasar. Sara memekik. "Modal tampang doang sih! Jilat sana jilat sini!" Satu tamparan papan klipboard menghantam kepala Sara. Belum sempat Sara berkelit, datang serangan lain. "Mati aja sana! Dasar cewek penggoda!" Sebuah dorongan keras mendarat di bahu hingga Sara terhuyung dan jatuh. Gadis itu tersungkur. Dilempari gulungan nota sambil dihujani beragam hinaan. Sara mengepalkan tangannya kuat-kuat. Amarah di dadanya menggelegak. Padahal, Sara hanya menjalankan standar operasional untuk bersikap ramah. Bukan keinginan Sara juga kalau dia ditempatkan di bagian pakaian mahal. Pemandangan lantai di mata Sara mulai memburam. Kenapa mereka tidak membunuh Sara saja sekalian? Sia-sia juga Sara hidup. Sara cuma punya Papa, yang bahkan tidak bisa dia temui sepuasnya sekarang. "Sialan. Gaji kita habis kepotong banyak gara-gara anak ini sibuk cari muka kegatelan!" Lalu suara langkah sepatu terdengar. Pelan, tapi mantap. Satu per satu suara hinaan lenyap. Beberapa senior kembali berpencar ke pos masing-masing. "Silakan kak, lagi cari baju apa?" seorang senior Sara mendadak menyahut ramah. "Bangun." Suara berat itu tajam dan dingin. Bersamaan hadirnya tangan laki-laki berjas hitam dengan arloji mewah terulur ke depan Sara. Sara mendongak. Mendapati Vincent menatap tajam ke arah seniornya yang kini bungkam.Sara beranjak bangkit dan mencoba mengejar untuk memeriksa siapa sosok di balik kamera itu. Namun rumah megah ini mendadak sunyi. Tak ada jejak siapa pun di sekitar. Satu hal yang Sara yakini, ada seseorang yang ditugaskan untuk mengawasi Sara di rumah ini. Siapa yang memberi instruksi? Sara mencurigai beberapa pihak. Deana, atau seseorang di keluarga Vincent—Ibu mertuanya atau mungkin Kakek. Jika dipikir, pertemuan terakhir Sara dengan sang Ibu mertua adalah di hari pernikahannya. Hingga saat itu, Sara yakin wanita paruh baya yang kerap dipanggil Nyonya Martha itu masih belum sepenuhnya menerima Sara. Vincent juga tak pernah membahas beliau. Dan, tak ada tanda-tanda Nyonya Martha berencana menemui Sara. Tampaknya ada sesuatu di balik itu. Sara harus menanyakan hal ini pada Vincent. Walau sebenarnya Sara tak ingin mengambil pusing. Karena toh dia hanya sementara di rumah ini. Tetapi, bagaimana jika misinya membutuhkan waktu lebih lama? Jangan-jangan pihak yang tak me
"Kenapa? Karena aku menciummu? Karena aku tidur denganmu?” pekik Sara, lekas membuat Vincent memejamkan mata kuat-kuat. Tangannya mengusap wajah, tampak frustasi.Bi Laila dan seorang pelayan lain yang sedang berada di dapur berjalan keluar ruangan dengan kepala menunduk, berpura-pura tak mendengar ucapan Sara yang barusan lolos tanpa filter.Sementara itu, Eric di ambang pintu bergeser kikuk, memindahkan tubuhnya agar berada di ruangan sebelah.Vincent membuka mulut, tampak akan memprotes ucapan Sara, namun wanita itu lebih dulu memotongnya,“Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?”“Dengar. Aku nggak suka, kamu bertemu banyak orang. Nggak ada yang bisa jamin kamu nggak akan bertemu kembali dengan orang-orang seperti Yuta.” Vincent menatapnya tajam, penuh tekanan. “Paham?”Sara semakin mengernyit, menunjukkan penolakan keras, “Kamu mau mengurungku di rumah?”“Kamu bisa kembali latihan bermain gitar.” ucap Vincent memberi solusi.Iya, mungkin benar. Tetapi Sara kini kehilangan momen
Vincent merebahkan kepalanya yang penat di atas bantal. Matanya dipejamkan kuat-kuat. Tangannya memijit pelan pelipis.‘Kamu boleh tidur di kamarku.’Kalimat yang dia ucapkan tadi itu terus terngiang di kepala. Bagai mimpi buruk yang mencekik kewarasannya. Dia sendiri menyesali kebodohannya yang belakangan ini begitu mudah takluk pada pesona Sara. Segala yang ada pada wanita itu, entah sejak kapan menggoyahkan pertahanannya hingga luluh lantak.Suara yang kadang terdengar manja, tatapan mata yang berbinar indah, bibir yang ranum …Dan sentuhan hangat yang menari lembut di bibirnya ….Semua berkelebat liar di kepala Vincent. Mengacaukan debar jantungnya hingga tanpa sadar tangannya mencengkeram rambutnya kuat. Pria itu menghela napas berat. Sejujurnya, dia menikahi Sara tanpa diiringi niat untuk ‘hadir’ sebagai suaminya. Jangankan menjadi suami, menikah kembali pun dia tak berminat.Namun kini … apa hatinya mulai goyah? Sekarang … apa yang dia inginkan?“Vin ….” Vincent membuka mata
“I-itu ….” Sara membelalak ketika Vincent mengernyit menatap layar ponsel Sara. Buru-buru direbutnya benda pipih itu dari tangan Vincent. Namun, pria itu menahannya.“Itu cuma spam! Bukan pembelian!” Sara berseru panik. Tangannya mencoba merampas ponsel yang dicengkeram erat oleh Vincent. “Lepas! Berikan ponselku!” pekiknya seraya mendelik kesal.“Kalau hanya spam, lantas kenapa kamu sepanik ini?” Vincent menatap Sara lekat, guratan curiga menggantung di wajahnya. Pria itu semakin mendekat, membuat Sara refleks menjauh.“Ada yang kamu sembunyikan?” desaknya dengan suara rendah.Sara meneguk ludah. Ini gawat. Kalau sampai Vincent berhasil mengakses ponsel Sara, bukan hanya pembelian barang-barang mesum itu, tetapi juga pesan rahasianya dengan Deana yang bisa terbongkar.Sara menarik paksa ponselnya dalam satu sentakan cepat. Namun, gerakan itu membuat Vincent yang memegang ponsel ikut tertarik. “Aakkkh!”Bagai dihisap gravitasi, tubuh Sara miring ke belakang, kepalanya nyaris terjere
Penerangan di ruangan itu redup, hanya mengandalkan lampu dinding kecil di dua sudut. Sehingga tidak terlalu jelas apa yang berada di sekitar. Sara menelan ludah, ragu untuk masuk. Namun rasa ingin tahunya menang. Langkahnya diayun perlahan seiring daun pintu berderit. Suasana gelap memaksa Sara meraba dinding, mencari saklar. Ketika cahaya lampu menerangi sekitar, Sara membelalak. Ruangan itu diisi beberapa alat musik. Ada gitar klasik, grand piano, biola, juga ada buku partitur dan lemari kaca besar berisi beragam piala dan piagam. Sara berkeliling. Tangannya menyentuh perlahan pintu kaca yang melapisi beragam piala. Dibacanya sebuah ukiran teks pada salah satu piala yang ukurannya paling besar dan elegan. Juara satu kompetisi piano Internasional. Vincent Suryadinata. Senyum Sara mengembang tipis. Tak disangka Vincent menyukai musik. Sara pun begitu. Hanya saja, impian dan minat itu harus padam sejak Sara meninggalkan rumahnya yang dijual, lalu pindah dan hidup ber
Langit sudah gelap saat Sara berjalan keluar menuju balkon kamar. Udara dingin malam menusuk kulitnya yang terbalut gaun malam berlapis kimono panjang.Terbayang kalimat dokter saat siang tadi dia temui setelah waktu jenguknya habis.“Secara garis besar, perkembangan kondisi pasien cukup baik. Jika progresnya terus sebaik ini, sepertinya paling cepat malam ini sudah bisa pindah ke kamar rawat biasa. Semoga saja.”Bagai bongkahan batu besar dipindahkan dari dada, kelegaan merayapi Sara.Walau demikian, Sara yakin, ini perbuatan Deana. Entah dengan cara apa—mungkin menyuap melalui perpanjangan tangannya di dalam lingkungan internal Lapas, membuat skenario keji, hingga Papa berakhir mengalami kekerasan dari rekan satu sel. Atau mungkin dengan cara keji lainnya?Merasakan udara dingin yang kian membuatnya menggigil, Sara memutuskan kembali ke kamar. Langkahnya diayun pelan seraya menutup pintu balkon. Diliriknya jam digital di atas nakas. Pukul sembilan malam. Sudah selarut ini dan Vince