Share

Jadi bawahan

Miskin Setelah Bercerai

Part 7

Pov Robi

Semenjak kejadian kemarin hidupku semakin tidak jelas kemana arahnya, harusnya sekarang aku bisa dengan santai mau bangun jam berapa mau tidur lagi jam berapa. Harusnya juga sekarang aku bisa dengan bebas memakai uangku kemana saja yang aku inginkan. Aku sangat menyesal telah mengambil keputusan yang salah dengan menikahi Nia simpanan om-om dengan mengkhianati Talita yang menemaniku dari nol.

Aku sudah kesana kemari mencari Talita, tapi nihil, jejaknya tidak aku temui. Bahkan nomornya sudah dia ganti, aku juga sudah kerumah Ibunya tapi kata tetangga rumahnya sudah dijual. Semua aset yang kami mulai dari nol pun sudah dia jual, beberapa restoran yang kami kelola bersama dulu juga dia jual kepada saingan bisnis kami dulu. Jujur aku sangat kecewa dengan sikapnya, bukankah dia ingin hidup denganku sampai JannahNya. Tapi kenapa dia meninggalkan aku, Ibu hanya menginginkan seorang cucu. Salahkah itu?

Saat ini kami tinggal dikontrakkan sempit dengan dua kamar tidur, satu dapur dan kamar mandi. Sungguh tempat ini mengingatkan aku dengan Talita yang dengan sabar menerima uang bulanan yang sangat sedikit. Belum lagi Ibu selalu minta dikirimkan uang, caciannya kepada Talita pun tak luput saat dia datang berkunjung. Berbeda dengan Nia sekarang, dia sangat pembangkang. Bahkan dia berani menerima telpon dari om-om langganannya didepanku.

"Robi, mau sampai kapan kamu terus terpuruk begini," tiba-tiba Ibu datang saat aku sedang duduk di teras rumah. Aku malas menanggapinya, karena aku menganggap semua ini juga karena Ibu yang terus merongrongku agar menikah lagi.

"Ibu itu udah capek gini terus, mana rumahnya sempit, panas lagi. Belum lagi Nia istrimu yang nyuruh ini itu," keluh Ibu. Ini bukan kali pertama Ibu mengeluh, aku sudah terbiasa mendengarnya. Bukannya aku tidak ingin mencari kerja, tapi semangatku sudah tidak ada lagi. Aku bingung harus memulainya darimana.

"Jadi aku harus apa Bu, bukankah Nia wanita pilihan Ibu," jawabku kesal.

"Itu dulu sebelum Ibu tau sifat aslinya, dia itu ga jauh beda sama si Talita yang rakus itu,"

"Buk, bajuku udah disetrika belum." Teriak Nia dari dalam kamar.

"Heran hobinya kok teriak-teriak," cebik Ibu yang segera bangun untuk menyetrika baju Nia. Pasti dia mau kelayapan lagi sama om-om langganannya.

"Aku dengar ya semua yang kalian omongin tadi, awas aja ga aku kasih makan baru tau." Teriak Nia lagi, aku memang sudah tidak berguna jadi suami. Makan aja dikasih istri, andai uangku masih ada. Aku rindu jadi orang kaya lagi, batinku menjerit.

"Bisa ga sih nyetrikanya yang bener, bisa rusak semua baju aku kalau Ibu ga becus ngerjainnya," bentak Nia. Ah aku sudah tidak tahan melihat sikap dia yang semena-mena dengan Ibu.

"Cukup, kamu jangan semena-mena ya dengan Ibuk. Walau gimanapun dia mertua kamu, dan aku suami yang harus kamu hormati," kesalku.

"Menghormati katamu Mas, coba katakan dari segi mana aku harus menghormati kamu," tanya Nia dengan senyuman meremehkan. Aku yang kalut dan terbawa emosi dengan sigap menampar pipinya.

Plak.

Nia terkejut tidak menyangka aku akan menamparnya, dia memegang pipi dengan tangan sambil menahan amarah.

"Berani kamu Mas nampar aku, kamu mau tau rasanya sakit ditampar," teriak Nia.

Plak.

Aku yang berpikir dia akan menampar pipiku segera menghindar, tetapi sayang tamparannya bukan ditujukan kepadaku, melainkan pada Ibu yang tengah berdiri diantara kami. Ibu yang tidak menyangka, langsung tersungkur kelantai akibat tamparan Nia.

"Ibuk," panggilku, sudut bibir Ibu mengeluarkan darah. Kurang ajar kamu Nia, akan kubun*h kamu. Aku yang tidak bisa lagi mengontrol emosi dengan cepat menarik rambut Nia, dan kubenturkan kepalanya didinding. Aku kalap sampai tidak menyadari jika Nia telah pingsan dengan lumuran darah di kepalanya.

"Sudah Robi, kamu mau masuk penjara," cegah Ibu kemudian. Aku baru sadar jika aku tidak mau menghabiskan waktu di penjara. Aku segera memopong tubuh Nia ke kamar, Ibu juga segera mengobati luka di kepalanya.

"Gimana Buk," tanyaku saat melihat Ibu membersihkan luka Nia.

"Sepertinya bisa diobati dirumah aja, kita tunggu dia siuman aja," jawab Ibu lesu.

"Aku mau keluar dulu ya." Aku ingin. Mencari pekerjaan, terserah itu apa yang penting kami bisa makan dulu. Di dekat sini ada restoran baru yang tempatnya sangat strategis jadi pelanggannya rame, aku akan kesana. Siapa tau mereka butuh koki baru untuk masakan mereka.

"Permisi mbak, disini butuh karyawan baru ga," tanyaku ketika bertemu dengan salah satu pelayan yang ada disini.

"Kayaknya ga deh Mas, tapi untuk jelasnya lebih baik langsung nanya ke atasan kami, itu yang baju biru orangnya." Jelas wanita itu dengan menunjukkan seseorang yang sedang memainkan ponselnya di meja sudut ruangan.

"Makasih ya mbak," aku segera menuju ke meja yang katanya atasan tadi.

"Permisi Pak, maaf sebelumnya restoran ini butuh karyawan ga ya," tanyaku hati-hati, takut ditolak.

Dia memperhatikanku dari atas sampai bawah, akupun risih karena memang saat ini baju yang kukenakan agak lusuh.

"Emangnya kamu bisa apa," tanyanya .

"Saya bisa memasak Pak, saya yakin masakan saya pas di lidah pengunjung disini," ucapku yakin. Karena dulu ketika masih mengelola restoran bersama dengan Talita aku memang menjadi koki di restoran sendiri.

"Oke baik, kebetulan kami memang butuh koki tambahan. Tapi kamu harus ikut training dulu selama seminggu, gimana" tawarnya. Lebih baik aku terima saja dulu, daripada jadi pengangguran.

"Siap, Pak. Jadi kapan saya boleh bekerja," tanyaku lagi.

"Kamu bisa memulainya hari ini, sekarang kamu bisa ganti baju diruang ganti karyawan," perintah Pak Ali yang namanya kuketahui dari pelayan lain.

***

Menjadi koki di restoran orang sungguh sangat melelahkan, tenagaku terkuras habis hari ini. Jam menunjukkan pukul dua belas malam, sebaiknya aku membeli sedikit makanan untuk Ibu dan Nia dirumah. Lumayan kerja dari pagi sampai tengah malam dapat gaji tiga ratus ribu.

Setelah membeli makanan aku langsung pulang kerumah, aku juga membeli obat merah untuk luka di kepala Nia.

"Assalamualaikum, Bu." Aku memberi salam tapi tidak ada jawaban dari dalam.

Pintu rumah juga tidak dikunci, kemana Ibu dan Nia.

"Buk, Nia…." Kemana mereka, bukankah sekarang Nia sedang sakit. Samar aku mendengar suara Ibu yang sedang menangis dikamar, aku segera ke kamar Ibu.

"Ibuk, kok nangis," tanyaku ketika sudah dikamar Ibu.

"Ibu udah ga tahan, ibu ga tahan hidup menderita kayak gini. Ibu pengen shoping, ibu juga pengen ke salon kayak dulu. Belum lagi Rina minta dikirimkan uang, mau dapat darimana kita uang untuk kuliah dia. Makan aja susah," Ibu menangis tergugu dengan memegang dadanya.

"Aku udah dapat kerjaan sekarang Bu, walaupun gajinya ga besar tapi cukup kok untuk kita makan." Hidupku betul-betul linglung tanpa Talita, sungguh aku sangat merindukan sosoknya meskipun diselimuti oleh kebencian.

"Kamu pikir dengan gaji yang ga seberapa itu cukup buat Ibu senang-senang, belum lagi istrimu itu katanya akan mengusir kita dari rumah ini," tangis Ibu semakin menjadi. Kenapa susah sekali hidup bahagia setelah berpisah dari Talita.

"Aku udah beli makanan, sekarang kita makan yuk," ajakku agar Ibu makan, dia pasti belum makan dari pagi.

"Oh ya Bu, mana Nia," tanyaku lagi.

"Udah pergi, katanya kalau dia pulang kita masih disini, dia mengancam akan melaporkan kita ke polisi,"

"Yaudah kita makan dulu, nanti biar aku ngomong dan minta maaf sama dia," kataku.

Huuffttt….

Batin dan fisikku benar-benar lelah, kesalahan kecil yang kubuat mengharuskan aku memulai semuanya dari nol. Sudah tengah malam Nia belum juga pulang, aku memutuskan untuk tidur agar besok pagi tidak terlambat untuk bekerja. Kata manajer tadi, besok akan datang pemilik dari restoran jadi aku tidak boleh terlambat. Siapa tau dengan melihat bakat dan pengalamanku sebelumnya dia mau menaikkan jabatanku.

***

Pagi jam 7 aku sudah berangkat bekerja, jangankan menyiapkan sarapan pagi untukku, Nia bahkan tidak pulang semalam. 

Aku harus berangkat jalan kaki karena mobil sudah kujual untuk mencukupi kebutuhan Nia dan Ibu yang boros. Aku juga memberikan sedikit uang pada Kak Mira agar bisa mengontrak rumah sendiri, Nia tidak mau satu rumah dengan Kak Mira.

Setelah sampai di tempat kerja, aku langsung melakukan pekerjaan. Pengunjung hari ini sangat ramai, aku jadi teringat dengan beberapa restoranku dulu.

"Woi melamun aja, big bos udah datang tuh, semua karyawan disuruh kesana untuk menyambut," ucap Sandi yang terburu-buru keluar.

Aku pun segera bersiap-siap untuk keluar, sampai diluar aku melihat semua karyawan sudah berbaris menyambut pemilik restoran ini. Dari yang kudengar dari Sandi, pemilik restoran ini tidak pernah kesini sebelumnya. Karena dia memiliki banyak restoran lainnya, restoran tempatku bekerja hanyalah anak cabang.

"Yang mana pemiliknya San," tanyaku pada Sandi saat aku sudah dibarisan.

"Itu yang baju biru," Sandi menunjuk dengan dagunya yang diikuti dengan pandangan mataku. Dadaku bergemuruh hebat, detak jantungku tidak karuan. Nafasku memburu, dia disana. Sangat elegan dan… cantik. Talita, sejak kapan dia menekuni bisnis ini. Dia sangat sukses sekarang, bahkan lebih sukses dari dulu saat bersamaku. Sekarang dia juga sudah mengenakan hijab, sangat cantik. Aku terpana dengan kecantikannya sampai-sampai aku tidak mendengarkan apa yang sampaikan Sandi. Jadi sekarang, aku malah bekerja untuk Talita, yang benar saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status