"Sayang, kamu mau ikut ke supermarket nggak?" tanya Mama Dea kepada Bella yang sedang menonton televisi. Bukan, lebih tepatnya televisinya yang melihat Bella. Pasalnya, gadis itu melamun dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana.
"Sayang," panggil Mama Dea menjentikkan jarinya di depan wajah Bella, membuat sang empu tersentak kaget.
Bella mengerjap pelan lalu menatap Mamanya yang sedang menatapnya tajam. "Ada apa, Ma?"
"Kamu ini, masih pagi udah ngelamun aja. Nggak baik, Sayang. Kamu mikirin apa sih?" Mama Dea mendudukkan diri di samping sang anak dengan tangan yang mengusap rambutnya lembut.
Bella menggeleng pelan seraya tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. Seolah dirinya memang tidak memikirkan apa pun. Bella hanya tidak ingin Mama atau papanya kembali marah saat tahu dia belum juga berhenti menyelidiki kasus itu. Apalagi saat mereka tahu bahwa sekarang, pikirannya sedang penuh. Yang ada mereka akan semakin murka, karena men
Yuhuu, apa kabar? Semoga selalu baik yaa.... Terima kasih sudah mampir❤️
"Gue ngga pernah nyangka bakal ngalamin hal kayak gini," celetuk Bella memecah keheningan di antara dirinya dan Davin. Saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah Bella. Duduk berdua di atas rumput dengan memandang ribuan bintang yang menghiasi langit malam.Tadinya, Davin merasa sangat khawatir kepada Bella. Mengingat wajah gadis itu yang berubah pucat setelah keluar dari rumah nomor dua puluh itu. Hatinya sedikit lega saat melihat wajah Sahabatnya yang jauh lebih baik.Namun, hal itu tidak mengurungkan niat Davin yang akan mengajak Bella mencari ketenangan. Terlebih dia sendiri sudah membawa gitar."Semuanya emang ngga bisa diprediksi," sahut Davin menunduk, menata kedua tangannya yang saling memilin. "Bohong kalau semua ini ga bikin gue takut. Orang gila yang sedang kita cari itu bisa ada di mana aja. Karena nyatanya, kita ngga punya petunjuk penting yang mengarah ke ciri fisik dia."Bella memutar duduknya hingga menghadap ke arah Davin. "Maafin gue. Setelah kejadian t
Hal yang mereka lihat kali ini bukan lagi sebuah foto, melainkan seorang mayat yang digantung dalam keadaan terbalik. Tentu, siapa yang tidak akan terkejut dan takut saat melihat pemandangan itu begitu membuka pintu?Yuda, orang pertama yang bisa menetralkan degup jantungnya mencoba melangkah pelan agar lebih masuk ke ruangan itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tidak ada apa pun di sana selain mayat itu dan berbagai macam senjata tajam.Tunggu, senjata tajam? Jantung Yuda yang tadinya sudah berdetak normal kini kembali berdetak kencang, bahkan jauh lebih kencang daripada tadi.Jadi, rumah ini sudah sering dipakai untuk mengeksekusi seseorang. Entah musuhnya atau bagaimana, Yuda tidak bisa berpikir jernih.Perlahan kakinya melangkah mundur lalu berbalik sambil mendorong Galih yang menghalangi pintu. Kemudian dia menutup pintunya."Ke ruangan lain aja," ucap Yuda pelan.Dia menggeleng lalu melangkah mendahului yang lain. Entah dosa apa yang dia perbuat sampai bisa berakhir di
"Kenapa kalian bisa di sini?" tanya seseorang itu lagi. Galih adalah orang pertama yang menoleh, diikuti yang lain tetapi dengan mata yang tertutup rapat. Tanpa sadar Galih menelan salivanya kasar saat melihat sosok di depannya. Seorang pria tua dengan rambut gimbal gondrong dan baju lusuh yang sudah sobek-sobek. Kakinya pun tidak memakai alas, sangat kotor. Mirip seperti orang gila. "Hei!" sentak pria tua. Matanya melotot, membuat kelima remaja yang menutup mata di depannya terkejut. Sedangkan Galih menggigit pipi bagian dalamnya untuk tidak mengumpat. "Anu ... ehem, kami nyari rumah, Kek," jawab Yuda gugup. "Rumah siapa?" tanya pria tua dengan wajah seramnya. "Kalau dilihat dari pakaian kalian, sepertinya kalian bukan orang sini. Apalagi tempat ini jarang dikunjungi orang, meskipun di sini ada saudara atau rumah dulu mereka tinggal." Bella yang tadinya takut kini melangkah lebih ke depan. Merasa ada yang aneh dengan kalimat yang dilontarkan
"Gery, lo ngapain di sini?" tanya Davin sesaat setelah Gery selesai bernyanyi dan semua orang pergi, menyisakan dirinya bersama sahabatnya serta Gery.Gery meletakkan gitarnya di atas kursi yang tadi dia duduki. Melangkah mendekati keenam remaja yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Senyum ramah dia lemparkan untuk menyapa."Aku udah biasa main ke sini sejak kecil. Kayak yang kalian lihat tadi, aku ngehibur pengunjung taman dengan bernyanyi," jawab Gery dengan nada lembut seperti biasanya.Mendengar jawaban Gery, mata Maya, Galih dan Davin tidak bisa untuk tidak memicing curiga."Emangnya rumah lo di sekitar sini?" tanya Bella setelah tersadar dari kekagumannya. Matanya menjelajah ke sekitar taman yang sangat berbeda dengan taman bermain lainnya.Masih dengan senyum ramahnya, Gery menggeleng. "Enggak. Rumah aku satu komplek sama Maya."
"Jebakan atau bukan, yang penting besok kita ke sana," putus Maya tegas."Mending sekarang kita makan," celetuk Davin yang memang sudah merasa sangat lapar. Tatapannya beralih kepada Bella yang terlihat melamun. "Bel, lo mau mandi dulu apa makan?"Sedangkan yang diberi pertanyaan tetap diam dengan pikiran yang ke mana-mana. Jangankan menjawab, Bella saja tidak mendengarkan apa yang dibicarakan sahabat-sahabatnya.Luna yang berada di samping Bella pun menggoyang lengannya pelan. "Bel!"Bella tersadar dan menatap linglung sekitarnya. Setelah beberapa detik, dia menormalkan ekspresinya saat merasa banyak pasang mata yang menatap dirinya bingung."Lo kenapa? Ada yang lo pikirin? Apa orang itu bukan cuma nyuruh kita ke taman, tapi juga ngancem elo?" tanya Maya khawatir. Galih tersebut miring samar melihat itu. Kemudian melenggang pergi, kembali ke meja makan. Me
Di tengah ramainya taman bermain, terdapat anak perempuan berusia enam tahun sedang menangis dengan mata yang mengedar ke seluruh taman. Dia terpisah dari kakaknya.Tadinya, dia terlalu antusias melihat badut-badut yang sedang dikelilingi anak seumurannya. Hingga tanpa sadar telah melepaskan tautan tangannya dengan sang kakak.Air matanya semakin mengalir deras. Teriakannya yang memanggil-manggil kakaknya tidak mampu menumbuhkan rasa iba orang-orang yang berlalu lalang. Semuanya hanya menoleh tanpa bertanya apalagi membantu."Jangan nangis, ada aku di sini. Semuanya baik-baik aja." Secara tiba-tiba tangan mungilnya digenggam oleh anak laki-laki seumurannya.Tangis yang awalnya kencang perlahan berhenti, terganti dengan senyum lebar penuh kelegaan dan kebahagiaan. Apalagi saat matanya menangkap keberadaan dua anak kecil yang berdiri di samping anak yang menggenggam tangannya.