Ada rasa sesal yang menggelayut manja dipundakku, apa langkahku sudah tepat? Melaporkan skandal mas Wira dan Mila ke pak Herman dan berujung pemecatan mereka. Mas Wira selama ini baik bahkan sangat baik, hanya saja mulai berubah ketika sepulang dari acara gathering waktu itu."Dek maafin mas." Mas Wira mendekatiku yang tengah melamun didepan mesin cuci. Aku terperanjat dan pura-pura memilah-milah baju yang akan aku cuci."Kamu melamun dek?" Tanya mas Wira."Mas, mas laki-laki kan? Mas harus bertanggung jawab atas perbuatan mas." Ucapku pelan, tak ada lagi semangat dalam hidupku. "Mas akan buktikan kalau yang dikandung Mila bukan anak mas." Mas Wira masih dengan pendiriannya."Jadi untuk apa dia minta pertanggung jawaban mas kalau mas gak tidur sama dia?""Dengerin mas dulu ya.""Oke mas, coba mas jelaskan.""Waktu acara gathering, mas dijebak, pak Herman menyuruh mas ambil sesuatu dikamar hotel, namun ketika mas sampai disana, malah ada Mila dengan pakaian yang tidak pantas, mas lang
Aku menyimpan gawai kedalam tas, dan beres-beres barang Dimas selama dua hari disini, sementara mas Wira asyik bermain dengan Dimas. Ada rasa bersalah ketika aku melihat keakraban mereka."Nay Mila tadi kesini." Ucap mbak Gita setengah berbisik."Hah Mila?" Balasku sedikit terkejut, ada apa perempuan itu datang kesini.Mas Wira dan aku saling berpandangan"Hah Mila? Ngapain dia kesini mbak?""Nyariin kamu Nay.""Mau apa dia Nyari Kanaya mbak?" Sahut mas Wira."Gak tau Wir, dia tadi tiba-tiba datang terus marah-marah, terus diusir sama petugas keamanan.""Emang stres dia mbak." Sahut mas Wira lagi.Mbak Gita hanya mengangkat kedua bahunya, setelah itu dia sibuk mengotak-atik gawainya. "Kamu sama mereka sudah selesai Nay?" Tanya mbak Gita sambil melirik kearah mas Wira."Nanti aku ceritain mbak kalau udah dirumah, panjang ceritanya, ntar terputus malah gak seru." Pungkasku sambil nyengir kuda."Aneh ini anak, rumah tangga udah diujung tanduk masih sempat-sempatnya cengir-cengir.""Buk
"Wira Keluar kamu, jangan jadi pengecut!".Dor...dor...dor...Suara memekakan telinga itu terdengar lagi. Dimas yang masih ketakutan aku larikan kekamar, sedangkan mas Wira, Kang Dani dan bapak menemui tamu yang tak tahu diri.Kusibakkan horden untuk melihat siapa yang berteriak-teriak diluar. Tampak diluar pria paruh baya dan seorang perempuan."Itu kan bapak ya Mila, tapi perempuan itu siapa ya? Apa Mila?" BatinkuAku tak ingin Dimas melihat kegaduhan ini, akhirnya ku ungsikan Dimas kerumah mbak Gita, aku tidak ingin nantinya Dimas melihat dan mendengar orang itu berbicara kasar, karena dari kedatangannya saja sudah tidak ada adab.Aku keluar dari pintu belakang dan berlari menuju rumah mbak Gita."Assalamualaikum mbak.""Walaikumsalam, Nay, Dimas ada pada kok panik gitu?" Mbak Gita menyambut Kami dengan wajah khawatir kemudian mengambil alih menggedong Dimas."Ada bapaknya Mila dirumah, dia teriak-teriak kayak orang kesurupan mbak, aku nitip Dimas dulu ya.""Iya Nay, kalau ada apa-
Sudah satu minggu aku dirumah ibu, selama disini aku tetap menjalankan bisnis online. Mas Wira hampir setiap hari menanyakan kabar Dimas. Hari itu aku sedang membabat rumput yang sudah tumbuh subur di halaman rumah ibu. Sesekali ngobrol dengan ibu-ibu yang lewat didepan rumah, sedangkan ibu dan bapak sudah berangkat kekebun. Dimas tengah bermain tanah disamping rumah. Aku sengaja membiarkan dia bermain di alam. Sementara Maya, adik perempuanku satu-satunya masih sekolah. Terdengar bunyi gawaiku yang kuletak diruang tamu. Ada panggilan tak terjawab dari mas Wira dan satu pesan. [Dek Alhamdulillah rumah kita sudah laku, hasil penjualan sudah mas transfer ke rekening kamu ya, besok mas antar barang-barang sisa yang kemaren belum sempat di bawa][Alhamdulillah makasih banyak mas][Iya dek, sebenarnya mas berat mau ngelepas rumah itu, banyak kenangan disana, tapi mas butuh modal untuk buka usaha][Gak apa-apa mas, nanti beli lagi kalau sudah ada rejeki] Jawabku lagi.Kemudian aku cek m-
Jantungku hampir meloncat ketika membaca pesan dari perempuan sint*ng itu, bisa-bisanya aku yang dibilang kegatelan, gak sadar dia seperti apa.[Maaf ya mbak aku gak ada waktu ngurusin kamu][Eh jangan sombong kamu, sekarang aku yang menang, mas Wira sudah menceraikanmu dan akan menikahiku][Pernikahan bukan ajang untuk mencari pemenang, kalau mas Wira menceraikanku, memang itu aku yang minta] send lalu blokir, aku tak mau berurusan dengan perempuan itu lagi.Dulu aku sangat dekat dengannya bahkan aku sering menginap dirumahnya, karena aku dulu waktu SMA sudah tinggal dikostan, sedangkan Mila tidak, rumahnya dengan sekolah relatif dekat.Jika weekend aku sering nginap dirumahnya ketika tidak pulang kerumah ibu dan sesekali Mila aku ajak nginap dirumahku, karena aku memang jarang pulang. Kadang kalau aku tidak pulang dikosan sendiri tak ayal Mila ikut nginap dikostanku, pak Nurdin juga sangat baik, tapi setelah lulus SMA, aku aku melanjutk
[Assalamualaikum mas] kukirim pesan melalui aplikasi berlogo gagang telfon."[Walaikumsalam dek, udah dapat rukonya][Belum mas, masih keliling, maaf mas, aku mau kirim sesuatu, siapa tau nanti bisa menjadi bukti][Apa Nay?]Kemudian kukirim foto yang barusan ku ambil, gambar seorang pria berumur dengan gadis muda yang katanya kini tengan mengandung anaknya mas Wira.Ck, miris sekali, bisa-bisanya dia jalan dengan pak Herman, padahal sebentar lagi akan menikah dengan Mas Wira.[Makasih banyak ya dek, ini bisa membatu dan menambah bukti][Sama-sama mas]Akupun meneruskan makanku bersama mbak Gita sambil sesekali memyuapi Dimas. "Ada apa Nay, kok ku kayak sembunyi-sembunyi gitu? Mbak Gita penasaran."Lihat kearah pukul sembilan mbak, coba tebak siapa mereka?""Astaghfirullah, itu kan.""Ssttt... jangan keras-keras, nanti mereka lihat kita." Mbak Gita mengangguk."Foto Nay, kirim ke Wira!""Udah mbak aman."Aku terus memperhatikan mereka, sayangnya obrolan mereka tak terdengar, kalau ak
Hari ini, hari pernikahan mas Wira dengan Mila, aku masih ragu untuk datang atau tidak, pasalnya aku masih memendam perasaan yang begitu besar terhadap mas Wira. Jauh dalam lubuk hatiku, sebenarnya aku hancur.Setelah menimbang hingga berjam-jam, akhirnya aku memutuskan untuk datang diacara pernikahan mas Wira dan Mila, aku akan pergi bersama mbak Gita. Kami hanya berdua, Dimas aku titipkan dengan bik Yuli. Aku tak ingin Dimas bingung, anak baik itu masih terlalu kecil untuk memahami situasi saat ini.Polesan make up tipis kusapu setiap centi wajahku. Gamis warna pink soft kupadukan dengan pasmina grey menambah kesan natural make up - ku.Tas tangan berwarna abu-abu kujinjing serta high heels berwarna hitam kukenakan untuk menambah tinggi badannku yang hanya 150cm. Bisa dibayangkan dulu jika jalan beriringan dengan mas Wira aku terlihat seperti anak kecil dan bapaknya. Tinggi mas Wira yang mencapai 172 cm membuat aku tenggelam diketiaknya. Dulu dadanya yang tidak begitu bidang menjad
"Hei jal*ng jangan pernah ganggu mas Wira lagi". Teriaknya tanpa malu sedikitpun.Aku terhenyak dan terdiam menahan amarah yang menuncakAku yang sudah berada diambang tangga, berbalik badan dan mendekatinya lagi. Dada ini sangat bergemuruh. Plak.....tamparan kecil mendarat dipipinya. Diapun mengaduh kesakitan. Pesta mendadak gaduh dengan ulah mempelai wanita itu sendiri. Aku melawan karena tidak mau harga diriku di injak-injak."Hemila Mutiara, sesungguhnya apa yang keluar dari mulutmu itu lah dirimu, tidak ingatkah bagaimana kau mendapatkan mas Wira, dengan cara yang sangat licik, lupa kamu hal itu?" Sahutku berapi-api.Aku turun dari panggung pelaminan dengan diiringi tatapan dari para tamu undangan. Aku tak menyangka jika Mila akan berbuat seperti itu. Aku berjalan cepat menuju parkiran diikuti mbak Gita dari belakang. Tak kuhiraukan lagi orang-orang yang membicarakanku. "Mbak aku lapar, kita jemput Dimas dulu ya, dah tu makan diluar.""Ternyata menahan emosi bisa menguras te