Share

Bab 3 kontraksi?

"Apa, sih, Mas?" Aku memprotes tindakan Mas Rendra yang kembali mencekal lenganku.

"Jangan ke sana, tidak sopan. Ini rumah Ibu, bukan rumah kita!" kilahnya.

"Aku mau lihat ke sana!" Aku mencoba melepaskan diri dari Mas Rendra.

Namun, semakin aku berusaha melepaskan tangannya, semakin erat pula cengkraman dia hingga akhirnya Ibu keluar dari ruangan yang ada di belakang kami seraya menggendong seekor kucing berbulu lebat.

"Dia menjatuhkan piring dari meja makan," tutur Ibu seraya menurunkan hewan itu.

"Tuh, kamu lihat sendiri. Hanya kucing." Mas Rendra menimpali.

Aku diam dengan memperhatikan wajah Mas Rendra dan ibu mertua bergantian. Senyum yang disuguhkan wanita paruh baya itu tidak sama sekali membuat rasa ingin tahuku hilang. Justru semakin menggebu dan curiga jika Ibu hanya bersandiwara dengan membawa kucing sebagai alat kebohongannya.

Melihat kediamanku, Mas Rendra pun mengendurkan pegangannya di tanganku. Dan tentu saja itu membuatku dengan mudah lepas dari dia, dan langsung lari ke ruangan yang tadi dimasuki Ibu.

"Tsania!!"

Aku sama sekali tidak takut dengan teriakan keras Mas Rendra. Justru kaki ini semakin cepat melangkah dan masuk ke ruangan yang ternyata dapur.

Aku memindai ruangan yang didominasi oleh alat-alat masak, mencari keberadaan wanita selingkuhan suamiku.

Namun, tidak ada. Aku tidak menemukan siapa-siapa di sini, bahkan di kolong meja sekalipun.

"Tsania, kamu benar-benar keterlaluan! Kamu bikin malu!" Mas Rendra datang, langsung menarik tanganku dan menyeretnya keluar dari dapur.

"Aw! Sakit, Mas!" Aku meringis, karena pegangan kali ini sangatlah erat hingga membuat kulitku memerah dan terasa panas.

Namun, Mas Rendra sama sekali tidak mendengarkan ucapanku yang kesakitan. Dia bahkan tidak mempedulikan ucapan ibunya yang menyuruhnya melepaskan tanganku.

"Jangan kasar, Rendra," ujar Ibu lagi seraya mengikuti kami yang keluar dari rumahnya.

"Biarkan saja, Bu. Tsania harus diberi pelajaran karena sudah tidak sopan sama Ibu! Biar aku menghukumnya."

"Mas, sakit." Aku kembali merengek.

Namun, dia tidak peduli.

Mas Rendra terus menyeretku dan memaksa aku untuk masuk ke dalam mobilnya. Setelah berhasil, dia menutup pintu dengan keras, lalu mengunciku di dalam. Sedangkan dia, menghampiri Ibu yang berdiri tak jauh dari kendaraan ini berada.

Terlihat Mas Rendra bicara pada Sabrina hingga temanku itu masuk ke dalam kendaraannya.

Kuusap pergelangan tangan yang memerah akibat ulah Mas Rendra, lalu kemudian mengambil ponsel yang berdenting.

[Tsa, aku pergi duluan. Suamimu menyuruhku pergi. Tapi, kamu tenang saja. Aku akan terus mengawasimu dari jauh. Aku khawatir Rendra berbuat kasar dan menyakitimu.]

"Sabrina ...." Aku menyebut nama temanku yang sekarang mobilnya sudah melaju meninggalkan tempat ini.

Pandanganku kembali melihat pada Ibu dan Mas Rendra yang sedang berbicara. Namun, sama sekali aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, hingga akhirnya suamiku datang dan langsung masuk ke dalam mobil.

Masih dengan kebisuannya, Mas Rendra melajukan mobil meninggalkan kediaman ibu mertua.

Dari kaca spion, aku melihat Ibu dengan rumah bagusnya. Bukan rumah kumuh yang selalu dibicarakan Mas Rendra padaku.

"Kamu telah membohongiku, Mas." Satu kalimat keluar dari bibirku setelah beberapa saat terdiam.

"Aku tidak bohong? Aku tidak selingkuh. Aku tidak seperti yang kamu tuduhkan," sanggah Mas Rendra.

"Tidak bohong?" ujarku seraya melihat ke arahnya. "Ini bukan hanya soal perselingkuhan. Tapi, soal rumah Ibu yang katamu jelek, kotor, dan bau. Mana! Tidak aku lihat kenyataan dari tiga kata yang selalu kamu ucapkan padaku, Mas. Dan kamu masih berkilah tidak bohong?"

"Soal rumah Ibu, aku memang sengaja untuk tidak mengatakan yang sebenarnya padamu, Tsa. Itu semua karena—"

"Melancarkan kebusukanmu yang menyimpan wanita lain di sana?" kataku memotong ucapan Mas Rendra.

Mas Rendra mengerem mobilnya dengan mendadak, hingga tubuhku maju ke depan.

Rahang kembali mengeras dengan tatapan nyalang padaku. Rasa takut jika dia akan berbuat kasar mulai menjalar. Apalagi sekarang aku berada di tempat asing, dan tidak ada orang lain yang bisa kumintai tolong jika Mas Rendra memukulku.

"Sudah kubilang aku tidak selingkuh!" Mas Rendra kembali menyanggah dengan suara yang meninggi.

Lalu pria itu mengusap wajahnya seraya menyandarkan punggung pada sandaran jok mobil. Mas Rendra diam seraya memejamkan mata, kemudian menoleh ke arahku yang menatapnya curiga.

"Aku tidak selingkuh, Tsa," ujarnya lagi.

"Lalu pakaian bayi itu untuk siapa, kalau bukan untuk selingkuhanmu?"

"Oke. Aku akan jelaskan semuanya. Tapi tidak di sini. Aku akan ceritakan semuanya di rumah," tandasnya.

Mas Rendra tidak lagi bicara. Dia melajukan mobilnya dan melarangku untuk bertanya apa pun sebelum kami sampai di rumah.

Aku menurut. Bukan menurut sebenarnya, tapi lebih karena aku kesal pada dia. Aku marah, karena demi menutupi kebohongannya, Mas Rendra berani berbuat kasar dan bentakan yang membuatku tidak mengenali suamiku itu.

Sedih?

Sangat. Bahkan hatiku sakit saat melihat perangai Mas Rendra yang ternyata tidak selembut yang aku kira.

"Huft ...." Aku mengembuskan napas kasar, menahan air mata yang hendak keluar saat mengingat perlakuan Mas Rendra di rumah Ibu tadi.

Jejak kekerasan yang dia lakukan pun membekas di tanganku yang mungkin sebentar lagi akan membiru.

'Apa yang harus aku katakan jika nanti Mama bertanya tentang ini?' bisikku dalam hati seraya meraba pergelangan tangan yang menyimpan nyeri dan ngilu.

"Tsa." Mas Rendra memanggil.

Aku abai. Jangankan untuk menjawab, melihat wajahnya pun membuatku enggan saat ini.

Sakit. Bukan hanya fisik, tapi hati yang lebih merasakan kepedihan ini.

Kuusap pipi yang dilelehi air mata. Bayangan kebersamaan kami membuat perasaanku terkoyak dengan sangat. Aku bodoh, tidak mengenal betul siapa pria yang kujadikan suami dan teman hidupku itu.

Sekarang, rasa cinta yang kupunya menjadi senjata yang akhirnya melukai perasaan dan ragaku sendiri.

"Tsania, tolong jangan berpikir buruk tentangku, aku tidak seperti yang kamu pikirkan, Sayang," tutur Mas Rendra lagi.

"Tolong jangan panggil aku sayang sebelum semuanya kamu jelaskan. Suami yang menyayangi istrinya, tidak akan menutupi apa pun. Meskipun itu menyakitkan."

Embusan napas Mas Rendra terdengar kasar. Kami pun kembali saling diam hingga akhirnya sampai di rumah.

Aku turun terlebih dahulu dari mobil, kemudian masuk ke rumah tanpa bicara. Kujatuhkan bokong pada sofa, lalu mengadahkan kepala pada sandaran sofa dengan kedua tangan dilipat di perut.

Beberapa saat duduk, Mas Rendra tak kunjung masuk. Aku pun beranjak. Berjalan pelan ke luar, lalu berdiri di ambang pintu.

"Aku harus mendiamkan Tsania dulu. Ibu bujuklah sampai dia tenang," ujar Mas Rendra dengan ponsel menempel di telinga.

Pasti dia sedang bicara dengan Ibu, membahas wanita itu.

'Mau berbohong seperti apa lagi kamu, Mas?' gumamku dengan mengepalkan tangan.

"Hah, kontraksi? Kok, bisa? Katanya masih beberapa hari lagi?" ujar Mas Rendra terdengar panik.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
tsaniya tipe istri yg cuman bisa ngangkan dan tolol
goodnovel comment avatar
Dekranasda Lamongan
hello guys
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status