Share

Bab 3 kontraksi?

Auteur: Pena_yuni
last update Dernière mise à jour: 2023-02-15 13:37:38

"Apa, sih, Mas?" Aku memprotes tindakan Mas Rendra yang kembali mencekal lenganku.

"Jangan ke sana, tidak sopan. Ini rumah Ibu, bukan rumah kita!" kilahnya.

"Aku mau lihat ke sana!" Aku mencoba melepaskan diri dari Mas Rendra.

Namun, semakin aku berusaha melepaskan tangannya, semakin erat pula cengkraman dia hingga akhirnya Ibu keluar dari ruangan yang ada di belakang kami seraya menggendong seekor kucing berbulu lebat.

"Dia menjatuhkan piring dari meja makan," tutur Ibu seraya menurunkan hewan itu.

"Tuh, kamu lihat sendiri. Hanya kucing." Mas Rendra menimpali.

Aku diam dengan memperhatikan wajah Mas Rendra dan ibu mertua bergantian. Senyum yang disuguhkan wanita paruh baya itu tidak sama sekali membuat rasa ingin tahuku hilang. Justru semakin menggebu dan curiga jika Ibu hanya bersandiwara dengan membawa kucing sebagai alat kebohongannya.

Melihat kediamanku, Mas Rendra pun mengendurkan pegangannya di tanganku. Dan tentu saja itu membuatku dengan mudah lepas dari dia, dan langsung lari ke ruangan yang tadi dimasuki Ibu.

"Tsania!!"

Aku sama sekali tidak takut dengan teriakan keras Mas Rendra. Justru kaki ini semakin cepat melangkah dan masuk ke ruangan yang ternyata dapur.

Aku memindai ruangan yang didominasi oleh alat-alat masak, mencari keberadaan wanita selingkuhan suamiku.

Namun, tidak ada. Aku tidak menemukan siapa-siapa di sini, bahkan di kolong meja sekalipun.

"Tsania, kamu benar-benar keterlaluan! Kamu bikin malu!" Mas Rendra datang, langsung menarik tanganku dan menyeretnya keluar dari dapur.

"Aw! Sakit, Mas!" Aku meringis, karena pegangan kali ini sangatlah erat hingga membuat kulitku memerah dan terasa panas.

Namun, Mas Rendra sama sekali tidak mendengarkan ucapanku yang kesakitan. Dia bahkan tidak mempedulikan ucapan ibunya yang menyuruhnya melepaskan tanganku.

"Jangan kasar, Rendra," ujar Ibu lagi seraya mengikuti kami yang keluar dari rumahnya.

"Biarkan saja, Bu. Tsania harus diberi pelajaran karena sudah tidak sopan sama Ibu! Biar aku menghukumnya."

"Mas, sakit." Aku kembali merengek.

Namun, dia tidak peduli.

Mas Rendra terus menyeretku dan memaksa aku untuk masuk ke dalam mobilnya. Setelah berhasil, dia menutup pintu dengan keras, lalu mengunciku di dalam. Sedangkan dia, menghampiri Ibu yang berdiri tak jauh dari kendaraan ini berada.

Terlihat Mas Rendra bicara pada Sabrina hingga temanku itu masuk ke dalam kendaraannya.

Kuusap pergelangan tangan yang memerah akibat ulah Mas Rendra, lalu kemudian mengambil ponsel yang berdenting.

[Tsa, aku pergi duluan. Suamimu menyuruhku pergi. Tapi, kamu tenang saja. Aku akan terus mengawasimu dari jauh. Aku khawatir Rendra berbuat kasar dan menyakitimu.]

"Sabrina ...." Aku menyebut nama temanku yang sekarang mobilnya sudah melaju meninggalkan tempat ini.

Pandanganku kembali melihat pada Ibu dan Mas Rendra yang sedang berbicara. Namun, sama sekali aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, hingga akhirnya suamiku datang dan langsung masuk ke dalam mobil.

Masih dengan kebisuannya, Mas Rendra melajukan mobil meninggalkan kediaman ibu mertua.

Dari kaca spion, aku melihat Ibu dengan rumah bagusnya. Bukan rumah kumuh yang selalu dibicarakan Mas Rendra padaku.

"Kamu telah membohongiku, Mas." Satu kalimat keluar dari bibirku setelah beberapa saat terdiam.

"Aku tidak bohong? Aku tidak selingkuh. Aku tidak seperti yang kamu tuduhkan," sanggah Mas Rendra.

"Tidak bohong?" ujarku seraya melihat ke arahnya. "Ini bukan hanya soal perselingkuhan. Tapi, soal rumah Ibu yang katamu jelek, kotor, dan bau. Mana! Tidak aku lihat kenyataan dari tiga kata yang selalu kamu ucapkan padaku, Mas. Dan kamu masih berkilah tidak bohong?"

"Soal rumah Ibu, aku memang sengaja untuk tidak mengatakan yang sebenarnya padamu, Tsa. Itu semua karena—"

"Melancarkan kebusukanmu yang menyimpan wanita lain di sana?" kataku memotong ucapan Mas Rendra.

Mas Rendra mengerem mobilnya dengan mendadak, hingga tubuhku maju ke depan.

Rahang kembali mengeras dengan tatapan nyalang padaku. Rasa takut jika dia akan berbuat kasar mulai menjalar. Apalagi sekarang aku berada di tempat asing, dan tidak ada orang lain yang bisa kumintai tolong jika Mas Rendra memukulku.

"Sudah kubilang aku tidak selingkuh!" Mas Rendra kembali menyanggah dengan suara yang meninggi.

Lalu pria itu mengusap wajahnya seraya menyandarkan punggung pada sandaran jok mobil. Mas Rendra diam seraya memejamkan mata, kemudian menoleh ke arahku yang menatapnya curiga.

"Aku tidak selingkuh, Tsa," ujarnya lagi.

"Lalu pakaian bayi itu untuk siapa, kalau bukan untuk selingkuhanmu?"

"Oke. Aku akan jelaskan semuanya. Tapi tidak di sini. Aku akan ceritakan semuanya di rumah," tandasnya.

Mas Rendra tidak lagi bicara. Dia melajukan mobilnya dan melarangku untuk bertanya apa pun sebelum kami sampai di rumah.

Aku menurut. Bukan menurut sebenarnya, tapi lebih karena aku kesal pada dia. Aku marah, karena demi menutupi kebohongannya, Mas Rendra berani berbuat kasar dan bentakan yang membuatku tidak mengenali suamiku itu.

Sedih?

Sangat. Bahkan hatiku sakit saat melihat perangai Mas Rendra yang ternyata tidak selembut yang aku kira.

"Huft ...." Aku mengembuskan napas kasar, menahan air mata yang hendak keluar saat mengingat perlakuan Mas Rendra di rumah Ibu tadi.

Jejak kekerasan yang dia lakukan pun membekas di tanganku yang mungkin sebentar lagi akan membiru.

'Apa yang harus aku katakan jika nanti Mama bertanya tentang ini?' bisikku dalam hati seraya meraba pergelangan tangan yang menyimpan nyeri dan ngilu.

"Tsa." Mas Rendra memanggil.

Aku abai. Jangankan untuk menjawab, melihat wajahnya pun membuatku enggan saat ini.

Sakit. Bukan hanya fisik, tapi hati yang lebih merasakan kepedihan ini.

Kuusap pipi yang dilelehi air mata. Bayangan kebersamaan kami membuat perasaanku terkoyak dengan sangat. Aku bodoh, tidak mengenal betul siapa pria yang kujadikan suami dan teman hidupku itu.

Sekarang, rasa cinta yang kupunya menjadi senjata yang akhirnya melukai perasaan dan ragaku sendiri.

"Tsania, tolong jangan berpikir buruk tentangku, aku tidak seperti yang kamu pikirkan, Sayang," tutur Mas Rendra lagi.

"Tolong jangan panggil aku sayang sebelum semuanya kamu jelaskan. Suami yang menyayangi istrinya, tidak akan menutupi apa pun. Meskipun itu menyakitkan."

Embusan napas Mas Rendra terdengar kasar. Kami pun kembali saling diam hingga akhirnya sampai di rumah.

Aku turun terlebih dahulu dari mobil, kemudian masuk ke rumah tanpa bicara. Kujatuhkan bokong pada sofa, lalu mengadahkan kepala pada sandaran sofa dengan kedua tangan dilipat di perut.

Beberapa saat duduk, Mas Rendra tak kunjung masuk. Aku pun beranjak. Berjalan pelan ke luar, lalu berdiri di ambang pintu.

"Aku harus mendiamkan Tsania dulu. Ibu bujuklah sampai dia tenang," ujar Mas Rendra dengan ponsel menempel di telinga.

Pasti dia sedang bicara dengan Ibu, membahas wanita itu.

'Mau berbohong seperti apa lagi kamu, Mas?' gumamku dengan mengepalkan tangan.

"Hah, kontraksi? Kok, bisa? Katanya masih beberapa hari lagi?" ujar Mas Rendra terdengar panik.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
tsaniya tipe istri yg cuman bisa ngangkan dan tolol
goodnovel comment avatar
Dekranasda Lamongan
hello guys
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 139

    "Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 138

    "Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 136 Pria Asing itu Ternyata ....

    Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 135

    "Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 134

    Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 133 Orang Asing

    "Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status