Rose menggeleng. “Saya tidak tahu kemana nyonya pergi.”
Geovano mengangguk dan meminta Rose segera pergi. Alena benar-benar selalu mencari masalah dengannya. Tidak bisakah gadis itu berdiam diri dan menikmati semua fasilitas yang ada di dalam rumahnya tanpa melakukan sesuatu yang membuat Geovano berpikir?
Geovano akan keluar saat melihat Alena memasuki ruang kerjanya. Melihat penampilan gadis itu yang hanya mengenakan pakaian kusut dan wajah tanpa make up sama sekali. Penampilan seperti itu dibuat keluar rumah? Mau mencoba menjadi pengemis jalanan?
“Kenapa kau ke sini?”
“Rose mengatakan padaku kau mencariku. Jadi, aku datang.”
Geovano memberikan intruksi untuk Alena segera keluar. Gadis itu berbalik dan melangkah pergi, tetapi ketika berada di ambang pintu ia kembali menoleh. Melihat Geovano yang menatap ke arahnya dengan satu alis terangkat.
“Maaf aku tidak bilang sebelum keluar.” Alena menutup pintu setelahnya, membuat Geovano mengernyit.
“Wanita itu benar-benar!”
Geovano kembali melihat ponselnya. Melihat foto kebersamaan dirinya dengan Alisya. Kenangan indah bertahun-tahun yang mereka jalani, kenapa mendadak tidak ada dengan hilangnya kekasihnya itu?
Geovano menghembuskan napas panjang. Pikirannya sungguh kacau sejak pernikahan dilaksanakan. Alisya tidak pernah menyembunyikan apapun darinya, tapi kenapa hari hal buruk seperti ini harus terjadi kepada mereka?
Apa Alisya menerima kritikan atau ancaman dari seseorang?
Geovano benar-benar tidak bisa berpikir dengan jelas dengan langkahnya yang perlahan keluar dari ruang kerjanya. Kaki itu melangkah pasti pada salah satu kamar yang berdekatan dengan kamarnya. Segala kecurigaan terhadap Alena adalah sesuatu yang pasti menurut Geovano.
Geovano membuka pintu kamar Alena yang tidak dikunci. Langkahnya semakin dekat dengan ranjang dimana Alena sudah tertidur. Matanya menatap lekat bagaimana wajah polos Alena yang tampak tidak terganggu dengan apapun.
Tidak mungkin Alena mengancam Alisya, kan?
Geovano mendudukkan diri di kursi menghadap Alena. Gadis itu benar-benar tidur dengan nyaman. Sedangkan Geovano bahkan tidak bisa tenang sebelum menemukan semua fakta yang tersembunyi.
Geovano merasa frustasi. Pikirannya kacau tetapi mencoba tetap tenang. Ini adalah musibah dalam sejarah kehidupan Geovano yang selama ini baik-baik saja.
Suara isakan tangis membuat Geovano melihat Alena. Gadis itu terisak dalam tidurnya.
“Ayah … ku mohon jangan tinggalkan aku.”
Ayah?
Alena … kehilangan ayahnya?
Geovano memang menyadari bahwa saat berkunjung ke rumah Alena tidak menemukan sosok pria dewasa. Hanya ada 3 perempuan di dalam rumah kecil itu. Jadi, dimana ayah perempuan ini?
Isakan Alena semakin menyakitkan. Jemari tangan Alena juga menggenggam selimut sangat erat. Gadis itu … kenapa?
“Sstt ….”
Meski kaku, Geovano berusaha menepuk-nepuk pelan pundak Alena. Mencoba membuat Alena tidur dalam ketenangan lagi meski tidak yakin. Namun bukannya kembali tertidur, Geovano dibuat terkejut dengan Alena yang duduk dengan napas tersengal-sengal.
“Kamu … tidak apa-apa?”
Mungkin jika Alena mendengar suara Geovano saat sedang tenang akan tertawa terbahak. Apalagi wajah bingung dan sedikit berbalut takut Geovano tidak bisa disembunyikan.
Alena menutup wajahnya. Berusaha mengatur napasnya lalu kembali menatap Geovano. “Kamu mau tidur di sini?”
Geovano berdeham dan segera beranjak dari posisinya. “Aku hanya kebetulan mau mengambil senter lalu melihatmu menangis dalam tidur,” ucapnya dan berusaha mencari sesuatu di dalam nakas dan menemukan senter untuk menutupi kebohongannya.
Alena mengangguk lalu kembali berbaring. Memunggungi Geovano dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Sedangkan Geovano memutar bola matanya malas. Bisa-bisanya gadis itu mengabaikan seorang Geovano Aldirge? Aneh! Sungguh Aneh!
Geovano segera melangkah pergi. Alena kembali membuka selimutnya dan melihat pintu yang baru saja tertutup. Gadis itu lalu mendudukkan diri. Mengusap kembali wajahnya.
“Mimpi ayah lagi. Kenapa rasanya sedih sekali?”
Alena menyibak selimut, mengambil minum lalu berdiri di depan jendela setelah membuka tirainya. Malam begitu sunyi di luar sana, begitu pula dengan hatinya yang tidak memiliki perasaan apapun saat ini.
Alena menoleh saat pintu kembali terbuka. Memperlihatkan Geovano yang berjalan mendekat.
“Kenapa tidak tidur lagi?” tanya Geovano seraya mengembalikan senter kembali di dalam nakas. Padahal itu hanya alasannya saja untuk melihat keadaan Alena. Ternyata benar dugaannya jika Alena tidak akan langsung tidur lagi.
“Aku bermimpi buruk sebelumnya. Jadi, ku pikir aku butuh menenangkan diri sebentar.”
“Tunggu sebentar.”
Alena mengernyit dengan Geovano yang langsung pergi meninggalkan kamar. Ada apalagi pria itu?
Alena kembali melihat ke luar. Hembusan napasnya terasa gusar tetapi pikirannya bahkan kosong. Alena benar-benar butuh waktu untuk memikirkan semua hal.
“Datang kemari.”
Alena menoleh. Geovano kembali datang membawa dua cangkir. Alena lantas mendekat setelah menutupi kembali tirai. “Apa itu?”
“Kopi hitam.”
Alena menerima satu cangkir yang diberikan Geovano.
“Minumlah.”
Meski ragu, Alena menurut tetapi setelahnya dirinya sungguh menyesal. Kopi itu bahkan tanpa gula!
“Kamu berniat membunuhku?!”
Geovano memutar bola matanya malas. “Rasa pahitnya akan berkurang kalau kamu meminumnya perlahan.”
Alena meletakkan cangkir di atas meja. Tidak mau tertipu lagi dengan ucapan dan ekspresi serius Geovano. “Aku tidak menyukai minuman pahit.”
Geovano mengedikkan bahu dan meminum perlahan kopinya. “Aku selalu minum kopi hitam saat tidak bisa tidur.”
“Justru kopi hitam akan mmebuatmu terjaga sepanjang malam.”
Geovano mengangguk. “Benar, tetapi setidaknya hatiku tidak resah.”
“Hati resah karena pikiran, Tuan Aldirge.” Alena memperjelas.
“Benarkah?”
Alena melihat penampilan Geovano yang masih mengenakan pakaian kerja. “Ah … atau kamu sengaja membuatkanku kopi hitam untuk menemani dirimu bekerja sepanjang malam, begitu?”
Geovano melihat dirinya sendiri. “Kamu punya kepercayaan sangat tinggi. Sayang sekali niat baikku malah mendapatkan balasan di luar nalar.”
Geovano beranjak dari duduknya, tidak lupa membawa kembali dua cangkir kopi. Alena … gadis itu benar-benar tidak tahu terimakasih. Bukankah harusnya dia berterimakasih kepada Geovano karena berusaha membuatnya tenang setelah mengalami mimpi buruk?
***
Geovano kembali membuka kaca mobil untuk memastikan apa yang dia lihat. Alena … gadis itu menyiram tanaman? Untuk apa?
Geovano memanggil Mai yang akan melewati mobil. “Kenapa kamu membiarkannya melakukan pekerjaanmu?”
Mai menunduk. “Nyonya yang memaksa, Tuan. Maafkan saya.”
“Panggilkan wanita itu.”
Mai segera mendekati Alena dan memberitahukan apa yang terjadi. Alena menoleh dan benar saja, Geovano belum pergi sebelum dirinya datang. Pria itu kenapa selalu mempermasalahkan hal tidak penting?
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
“Untuk apa kamu melakukan hal-hal seperti itu? Kamu lupa kamu NYONYA BESAR di rumah ini?”
Alena memejamkan mata mendengar peringatan Geovano. “Daripada aku bingung harus melakukan apa lebih baik membantu para pelayan, bukan?”
“Dimana harga dirimu?”
“Kenapa malah membahas harga diri? Aku tidak melakukan sesuatu yang membuatku malu. Kamu kenapa?”
Geovano menghembuskan napas kasar. Alena ini pura-pura tidak tahu atau bagaimana. Bukankah status Nyonya rumah sudah membuktikan bahwa gadis itu harus lebih memperhatikan kegiatannya? Untuk apa menyiram tanaman? Para pelayan juga sudah memiliki jadwalnya sendiri.
“Mai!”
Mai segera mendekati majikannya. “Ya, Tuan?”
“Jangan biarkan nyonya melakukan pekerjaan kalian lagi atau kalian yang akan tahu akibatnya,” peringat Geovano.
“Baik, Tuan.”
Mai pergi setelah Geovano memberikan isyarat. Sedangkan Alena memutar bola mata.
“Jika aku melihatmu melakukan pekerjaan rumah lagi, aku tidak segan-segan menghukum para pelayan yang membiarkanmu.”
“Maka izinkan aku bekerja dan melakukan apapun di luar.”
“Kamu mau mempermalukanku dan keluarga Aldirge?!”
Rose menggeleng. “Saya tidak tahu kemana nyonya pergi.”Geovano mengangguk dan meminta Rose segera pergi. Alena benar-benar selalu mencari masalah dengannya. Tidak bisakah gadis itu berdiam diri dan menikmati semua fasilitas yang ada di dalam rumahnya tanpa melakukan sesuatu yang membuat Geovano berpikir?Geovano akan keluar saat melihat Alena memasuki ruang kerjanya. Melihat penampilan gadis itu yang hanya mengenakan pakaian kusut dan wajah tanpa make up sama sekali. Penampilan seperti itu dibuat keluar rumah? Mau mencoba menjadi pengemis jalanan?“Kenapa kau ke sini?”“Rose mengatakan padaku kau mencariku. Jadi, aku datang.”Geovano memberikan intruksi untuk Alena segera keluar. Gadis itu berbalik dan melangkah pergi, tetapi ketika berada di ambang pintu ia kembali menoleh. Melihat Geovano yang menatap ke arahnya dengan satu alis terangkat.“Maaf aku tidak bilang sebelum keluar.” Alena menutup pintu setelahnya, membuat Geovano mengernyit.“Wanita itu benar-benar!”Geovano kembali me
Alena mengernyitkan kening. Jadi … Geovano mengajaknya ke rumah keluarganya?Alena segera turun dan mengikuti pelayan yang menjemputnya. Bisa dilihatnya rumah mewah milik keluarga Geovano yang bahkan lebih luas dari rumah yang Geovano tinggali. Pria itu benar-benar kaya!Alena tersenyum kaku begitu sampai di depan keluarga Geovano, sedangkan pria itu bahkan duduk santai dengan bermain ponsel.“Menantu kita sangat cantik.”Alena sangat kaku mendapatkan pujian dari nenek? Alena tidak yakin, tetapi melihat ke empat orang di sini wanita itu memang sudah berusia dengan rambut yang berwarna putih dan kerutan wajah yang terlihat jelas.“Duduklah.”Alena mengambil duduk di samping wanita ber-uban yang memberikannya isyarat. Pelukan hangat bisa dirasakan oleh Alena setelahnya, melihat senyuman ketiga orang yang terlihat tulus. Sangat berbeda dengan pria es yang duduk diujung sana.“Siapa namamu?”“Alena.”Velonia, ibu Geovano tersenyum. “Nama yang cantik seperti orangnya.”“Terimakasih, Nyonya
“Ibu, kemana kakak? Dia belum kembali sejak kemarin.”Danastri, perempuan berusia 45 tahun itu mengambilkan sepotong paha ayam ke piring Freya sembari berujar, “Kakakmu mungkin tidak kembali. Makanlah. Ibu sudah berusaha menghubunginya tapi tidak kunjung dijawab.”Freya sedikit tidak percaya tapi ia mengangguk mengerti. Pikirnya, mungkin saudaranya itu tengah sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak bisa pulang. “Kakak mungkin sibuk.”Danastri tersenyum kecil dan kembali dengan makanannya. Mencoba mengabaikan pertanyaan Freya yang membuatnya juga khawatir akan sesuatu, namun pilihannya sudah bulat dan ia harus mengabaikan apapun yang terjadi.Suara ketukan pintu membuat Danastri dan Freya saling pandang. Kerutan pada kening keduanya jelas mengatakan kebingungan. Siapa yang datang dipagi buta?“Temanmu?”Freya menggeleng. “Hari ini sekolah libur dan tidak ada tugas. Tidak mungkin temanku berkunjung apalagi sepagi ini, kan?”Jawaban Freya membuat Danastri mulai bimbang dengan siapa tamu ya
“Luna.”Pelayan yang baru saja keluar dari kamar majikannya itu menoleh dan mendapati pelayan utama yang memanggilnya. “Ya, Rose?”“Apa nyonya beristirahat?”“Ya, baru saja tertidur setelah melihat kami bekerja.”Rose tampak manggut-manggut dengan jawaban Luna. “Baiklah, kau bisa pergi.”Luna kemudian pergi meninggalkan Rose sendiri. Pelayan itu menatap ke arah pintu kamar yang tertutup. Senyumnya tersungging dengan langkahnya yang pasti.Suara derit pintu yang terbuka dengan perlahan membuat Alena yang baru saja akan terlelap kembali terjaga. Matanya mencoba tetap terpejam dengan suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Alena merasa ada yang aneh.“Kenapa juga tuan mau menikahi perempuan ini? Dia tampak tidak cukup baik dengan penampilan usang.”Alena mendengarkan meski ia menyetujui ungkapan seseorang itu.“Wajahnya memang cukup menarik tapi siapa yang tahu isi hatinya? Dia mungkin hanya membutuhkan uang tuan.”Satu pendapat Alena tentang seseorang ini. dia pasti sangat menyukai
Seorang perempuan dengan gaun putih pernikahan menjuntai berjalan di tengah ramainya tamu yang datang. Wajahnya tidak terlihat jelas dengan tudung yang menutup. Rambutnya tergerai dengan sebuah mahkota yang tertutup pula. Semua mata masih memandang, saling mengagumi dengan penampilan juga bertanya akan bagaimana rupa dari sang pengantin perempuan.Di depan sana, seorang pria dengan seulas senyuman memandang bagaimana wanitanya berjalan mengarah padanya. Begitu anggun dan tampak jauh lebih sempurna.Senyuman itu menghilang begitu saja begitu menyadari sesuatu. Matanya menyorot tajam pada cara berjalan serta bentuk tubuh yang sedikit kebesaran mengenakan gaun pengantin tersebut. Langkah perempuan itu semakin dekat, begitu pula dengan kernyitan pada kening sang pria.Dia … bukan wanitanya!“Siapa dirimu?!”Alena, gadis itu yang yang sejak tadi berusaha menahan diri untuk tidak kabur dari acara sacral ini gelisah. Pandangannya menyorot pada pria di depannya meski samar.“A-aku-”Pria itu